*

*

Ads

FB

Sabtu, 03 September 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 178

Biauw Eng yang menyaksikan ini, cepat meloncat dan mengirim pukulan dari samping ke arah lambung nenek itu. Go-bi Thai-houw berusaha mengelak, namun kepalan tangan Biauw Eng masih menyerempet pinggulnya sehingga kuda-kudanya tergempur dan ia meloncat ke belakang sambil memasuki.

"Aku tidak mengaku engkau sebagai murid, engkau musuhku!"

"Terserah! Aku hanya berhutang budi setahun lamanya padamu, akan tetapi aku telah berhutang budi selamanya terhadap orang tuaku, terutama ibuku. Tak mungkin aku mendiamkan saja engkau memaki-maki orang tuaku, terutama ibuku!"

Biauw Eng juga membentak marah dan kembali ia menyerang. Hampir saja lengannya dapat ditangkap oleh nenek yang lihai itu kalau saja Keng Hong tidak cepat menyambar tubuh Biauw Eng ke samping dan mengirim tendangan yang dapat ditangkis oleh Go-bi Thai-houw.

Pada saat itu, Cong San dan Yan Cu juga maju membantu dan mengeroyok nenek itu. Dikeroyok empat orang muda yang memiliki ilmu silat tinggi, nenek itu kewalahan juga, memaki-maki dan menyeling tangis dan tawa.

Menyaksikan kehebatan si nenek gila, Cong San dan Yan Cu mencabut pedang, juga Biauw Eng telah melolos sabuk suteranya, akan tetapi Keng Hong berseru,

"Jangan pergunakan senjata!"

Cong San dan Yan Cu segera menyimpan pedang mereka kembali, akan tetapi Biauw Eng memandang penasaran.

"Kenapa, Keng Hong? Dia gila dan jahat!"

"Justeru karena dia tidak waras pikirannya kita harus dapat memaafkannya Biauw Eng. Pula, sedikitnya dia adalah gurumu. Kau tidak boleh membunuhnya."

Nenek itu mengamuk dengan hebat dan karena Keng Hong melarang teman-temannya membunuh, mereka berempat menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan nenek itu sehingga berganti-ganti empat orang muda itu terpelanting dan terlempar.

Pukulan-pukulan empat orang muda itu jika mengenai tubuh si nenek hanya membuat nenek itu bergoyang tubuhnya. Hanya pukulan Keng Hong yang membuat ia terhuyung dan hampir roboh. Kalau saja Keng Hong menggunakan seluruh tenaganya, agaknya dibantu tiga orang muda yang lihai itu tentu dia dapat memukul tewas lawannya. Namun pemuda yang bijaksana ini tidak menghendaki demikian.

Untuk kesekian kalinya, ketika nenek itu sibuk menangkis serangan Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu, Keng Hong dapat menampar punggungnya dari belakang. Nenek itu menggeluarkan keluhan dan tubuhnya terpelanting, akan tetapi sambil bergulingan ia berhasil menyambar pinggang Yan Cu, terus mengempit tubuh dara ini dan mengayun tangan memukul ke arah ubun-ubun Yan Cu!

"Celaka...!"

Cong San berseru kaget dan dengan nekat dia menubruk nenek itu, menangkap tangannya dan menelikung ke belakang. Juga Biauw Eng sudah menubruk dan menarik tangan satunya yang mengempit pinggang Yan Cu, sedangkan Keng Hong maju pula menotok pundak untuk membuat nenek itu roboh lemas.






Akan tetapi, betapa kaget hati Keng Hong ketika jari tangannya menotok jalan darah yang seolah-olah kering dan kaku seperti kawat baja!

Nenek itu tertawa, tubuhnya bergoyang seperti seekor anjing mengeringkan bulu dan... tubuh Yan Cu , Cong San dan Biauw Eng terlempar dan terbanting keras ke kanan kiri! Tiga orang muda ini bergulingan dan meloncat bangun, tidak terluka akan tetapi amat kaget dan sedikitnya kulit tangan kaki mereka babak-bundas!

Nenek itu mendengus-dengus, tertawa-tawa bercampur isak, dikurung seperti seekor anjing gila digoda empat orang anak nakal. Tiba-tiba terdengar suara halus namun nyaring berwibawa,

"Hian Wi...!" Apa yang kaulakukan ini...??"

Go-bi Thai-houw kelihatan terkejut sekali, wajahnya pucat, matanya terbelalak dan tubuhnya cepat membalik ke arah suara halus itu. Ketika ia melihat seorang nenek tua lain berdiri tak jauh dari situ dengan sikap agung dan angkuh memandangnya, Go-bi Thai-houw menjadi makin ketakutan, tubuhnya gemetar dan ia lalu menjatuhkan diri berlutut!

"Ahhhhh... Nyonya... am... Ampunkan hamba.. hamba tidak apa-apa...!"

Nenek yang berdiri dengan sikap angkuh dan agung Tung Sun Nio. Sejenak ia memandang nenek gila itu, kemudian berkata dengan suara dingin,

"Hemmm... kalau begitu, pergilah, Hian Wi!"

"Baik.. baik... Nyonya!"

Nenek gila itu memberi hormat dengan berlutut, kemudian sekali tubuhnya bergerak, ia sudah mencelat dan lari turun dari puncak seperti dikejar setan!

"Subo...!"

Keng Hong dan Yan Cu lari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan Tung Sun Nio yang masih menengok ke arah larinya Go-bi Thai-houw.

"Subo, sungguh menakjubkan! Go-bi Thai-houw itu lihai bukan main, kepandaiannya seperti iblis, akan tetapi dia begitu takut kepada Subo. Mengapakah?"

Yan Cu yang memang berwatak jenaka bertemu gurunya sudah bertanya dengan ramah. Agaknya pertemuannya dengan Go-bi Thai-houw itu menimbulkan kenang-kenangan yang amat mempengaruhi batin Tung Sun Nio sehingga sejenak ia seperti lupa akan segala urusan yang dihadapi, melainkan terbayang kembali semua pengalaman masa dahulu. Seperti orang mimpi ia menjawab pertanyaan Yan Cu.

"Mengapa? Dia bernama Oh Hian Wi, semenjak kecil menjadi pelayan ibuku, bahkan setelah aku menikah dengan Sie Cun Hong, dia lalu ikut bersamaku, menjadi pelayanku. Biarpun pelayan, dia kami perlakukan dengan baik, malah diberi pelajaran ilmu silat sesuai dengan pelayan keluarga ahli silat. Akan tetapi... Nenek itu menarik napas panjang, "dia tergila-gila kepada suamiku, ketahuan olehku, merasa bersalah dan melarikan diri. Sungguh tidak nyana dia sekarang menjadi Go-bi Thai-houw yang gila, ilmu kepandaiannya jauh melebihi aku, akan tetapi rasa bersalah masih menggores hatinya maka dia ketakutan berjumpa denganku..."

Keterangan ini membuat Keng Hong, Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu tercengang. Pantas saja nenek gila itu lari seperti seekor anjing diancam penggebuk! Dan untung nenek itu lari karena sesungguhnya nenek itu memiliki ilmu kepandaian yang tidak lumrah manusia!

Tung Sun Nio agaknya masih terharu dan perjumpaannya dengan bekas pelayan itu membuat ia termenung, tenggelam dalam lamunan sehingga keadaan menjadi sunyi sejenak.

Tiba-tiba nenek itu sadar kembali dan kini pandang matanya ditujukan kepada Yan Cu dan Keng Hong, kemudian terdengar suaranya dingin dan keras,

"Keng Hong! Yan Cu! Apa yang telah kalian lakukan? Mengapa kalian melarikan diri?"

"Subo, teecu ingin mencari pengalaman, maka teecu mengajak suheng untuk pergi merantau," kata Yan Cu.

"Maaf, Subo. Teeculah yang mengajak Sumoi pergi untuk meluaskan pengalaman, teecu yang bersalah dalam hal ini."

"Tidak, Subo, Suheng tidak bersalah, teecu yang bersalah dan kalau Subo hendak menjatuhkan hukuman, teecu siap menerimanya," bantah Yan Cu.

"Sumoi tidak bersalah, teecu yang harus dihukum." Keng Hong tidak mau mengalah.

Tung Sun Nio yang biasanya berwajah dingin dan keras suara itu kini tersenyum.
"Bagus, agaknya sekarang kalian sudah saling membela dan saling melindungi. Itu artinya kalian saling mencinta! Anak-anak nakal, aku memaafkan kalian. Mari kita pulang dan akan kurayakan pernikahan kalian!"

"Tidak...!"

Teriakan ini terdengar hampir berbarengan dari mulut Keng Hong dan Yan Cu sehingga mengejutkan hati Tung Sun Nio. Nenek ini seketika kehilangan senyum dan seri wajahnya, memandang tajam penuh kemarahan.

"Apa kalian bilang? Sekarang juga kalian harus ikut aku pulang dan menikah. Hayo jawab!"

"Tidak, Subo!"

Kembali kedua orang muda itu menjawab serempak dan wajah nenek itu menjadi merah. Cong San dan Biauw Eng hanya mendengarkan sambil menonton dengan hati tegang.

"Keng Hong! Mengapa kau berani membangkang?"

"Maaf, Subo. Teecu tidak mungkin dapat menikah dengan Yan Cu Sumoi karena teecu mencinta gadis itu!"

Keng Hong menunjuk ke arah Biauw Eng yang tiba-tiba menundukkan mukanya dengan wajah kemerahan.

"Setan! Engkau mewarisi watak gurumu! Siapa gadis ini?"

"Dia bernama Sie Biauw Eng dan dia... Dia... dia adalah puteri suhu sendiri."

"Apa??" Mata nenek itu terbelalak memandang ke arah Biauw Eng. "Puteri ... Sie Cun Hong?"

"Benar, Subo. Ibunya adalah mendiang Lam-hai Sin-ni. Teecu dan dia sudah saling mencinta semenjak dahulu, mengharapkan kebijaksanaan Subo."

Wajah nenek yang masih cantik itu kerut-merut tanda bahwa hatiya terguncang. Kemudian ia menunduk, memandang Yan Cu membentak,

"Dan engkau, Yan Cu?"

"Teecu tidak dapat menikah dengan Suheng karena... karena...” Dara itu tiba-tiba menjadi merah mukanya dan melirik ke arah Cong San, kemudian menggigit bibir seolah-olah hendak menambah ketabahannya dan berkata lantang, "Karena teecu mencinta pemuda lain..."

"Siapa dia?" Bentak gurunya, tercengang mendengar semua ini.

"Dia itulah...!"

Yan Cu menuding ke arah Cong San dan pemuda ini memandang dengan wajah berseri penuh kebahagiaan. Baru sekarang Yan Cu menyatakan cinta kasih dengan kata-kata, bahkan pengakuan ini dilakukan di depan banyak orang! Hampir Cong San menari-nari kegirangan dan tiba-tiba sinar matahari makin gemilang baginya, dunia tampak seperti sorga!

Seperti tadi, nenek itu memandang Cong San dengan sinar mata penuh selidik bercampur kemarahan.

"Siapa pemuda ini?"

"Dia bernama Yap Cong San, murid ketua Siauw-lim-pai. Kami sudah saling mencinta, Subo, maka hanya dengan dialah teecu mau menikah."

Hening sejenak, keheningan yang mencekam hati empat orang muda penuh ketegangan. Tiba-tiba nenek itu membanting kakinya dan menjerit,

"Tidak...!! Kalian tunduk kepadaku. Kalian harus pulang sekarang juga dan melangsungkan pernikahan!"

"Teecu tidak mau, Subo!" Yan Cu berkata dengan isak tertahan.

"Murid celaka!" Tung Sun Nio menggerakkan kakinya menendang.

"Desss!" tubuh Yan Cu terlempar jauh dan bergulingan.

"Moi-moi...!" Cong San menubruk dan memeluk gadis itu, membantunya bangun.

"Subo, jangan...!"

"Kau pun murid celaka!"

Kakinya menendang lagi. Kalau Keng Hong menghendaki, tentu saja akan mudah baginya untuk mengelak atau menangkis, akan tetapi dia tidak berani melakukan perlawanan.

"Desss!" Tubuhnya pun terlempar.

"Keng Hong...!" Biauw Eng menubruknya.

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: