*

*

Ads

FB

Sabtu, 03 September 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 177

Kiang Tojin membuka matanya dan tersenyum kepada pemuda itu.
"Semua orang bijaksana, orang muda yang baik. Di dunia tidak ada orang pandai atau bodoh. Yang sudah mengerti disebut pandai. Padahal yang sudah mengerti itu pun tadinya tidak mengerti, sebaliknya yang belum mengerti itu pun kelak akan mengerti. Karena itu, adalah menjadi kewajiban kita untuk belajar mengerti, setelah mengerti lalu sadar, setelah sadar lalu menjadikan pengertian sebagai dasar setiap perbuatan."

Demikianlah, menggunakan kesempatan itu Keng Hong menerima wejangan-wejangan dari ketua Kun-lun-pai itu, sedangkan orang-orang kang-ouw yang lain bersama pasukan dari Tai-goan mengadakan pembersihan terhadap mayat-mayat yang berserakan. Pembicaraan Keng Hong dan Kiang Tojin terhenti Sian Ti Sengjin datang berlutut di depan ketua Kun-lun-pai sambil berkata,

"Suheng..., Sute yang penuh dosa datang menghadap."

Kiang tojin memandang, sejenak pandang matanya penuh teguran dan keren, akan tetapi kemudian melunak dan dia berkata,

"Sute, jauh lebih baik seorang yang sadar dan bertobat, menyesali dan mencuci kekotorannya daripada seorang yang menyombongkan kebersihannya. Pinto telah mendengar semua tentang dirimu dan merasa berbahagia dapat menerimamu kembali sebagai seorang murid Kun-lun-pai yang baik."

Keng Hong lalu meninggalkan kedua kakak beradik seperguruan yang sudah rujuk kembali untuk membantu orang-orang lain mengurus mayat-mayat yang amat banyak. Kembali dia bersama Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu mengubur mayat Tan Hun Bwee di tempat terpisah.

Pada keesokan harinya, barulah pasukan pemerintah kembali ke Tai-goan dan para rokoh kang-ouw meninggalkan puncak Tai-hang-san. Biauw Eng tidak mau meninggalkan tempat itu karena dia hendak berkabung selama tiga hari di situ. Keng Hong menemaninya dan Cong San juga berpamit kepada suhengnya, Thian Kek Hwesio, untuk menemani Keng Hong dan Biauw Eng. Tentu saja Yan Cu tidak mau ketinggalan menemani Biauw Eng di puncak yang menyeramkan itu.

Setelah semua orang pergi, sunyilah puncak Tai-hang-san, sunyi menyeramkan. Di tempat bekas pertempuran tampak banyak sekali gundukan tanah kuburan baru, dan untuk memudahkan pekerjaan, ada satu lubang yang diisi sampai lima mayat manusia. Hanya kuburan para tokoh besar saja yang dipisahkan, termasuk kuburan Pak-san Kwi-ong dan Pat-jiu Sian-ong.

Biauw Eng merasa kasihan dan terharu sekali mengenang nasib sucinya, Tan Hun Bwee, yang pada akhir hidupnya mengorbankan nyawa dan berusaha untuk menolong mereka, duduk bersila di depan makam sucinya dengan wajah berduka. Keng Hong tidak mau mengganggunya, malah pemuda ini lalu mengukir nama-nama para tokoh di atas batu-batu dan memasang batu nisan sederhana ini di kuburan masing-masing.

Juga Cong San dan Yan Cu tidak berani mengganggu Biauw Eng. Sepasang orang muda ini tampak rukun dan sering kali bicara bisik-bisik sehingga diam-diam Keng Hong merasa girang sekali hatinya, mengharapkan agar sekali ini Yan Cu yang lincah itu benar-benar dapat menemukan cintanya!

Tak seorang pun di antara orang muda ini mengira bahwa urusan di puncak itu belumlah habis sampai di situ saja. masih ada bahaya besar mengancam mereka. Bahaya dari seorang nenek tua renta, yang berlari cepat seperti terbang sambil kadang-kadang tertawa atau menangis tanda bahwa otaknya tidak waras. Nenek ini adalah Go-bi Thai-houw!

Secara kebetulan saja Go-bi Thai-houw yang melakukan perjalanan mencari kedua orang muridnya, bertemu dengan Cui Im di kaki Gunung Tai-hang-san. Andaikata tidak bertemu dengan Cui Im, tentu nenek ini tidak akan mendaki puncak sambil berlari secepat terbang.






Dia sedang berjalan seenaknya ketika mendengar suara rintihan dicampur isak tangis. Ketika melihat bahwa yang merintih-rintih dan menangis itu adalah seorang wanita muda cantik yang pundaknya terluka besar, nenek ini menghampiri, berdiri di depan Cui Im kemudian tertawa terkekeh-kekeh sambil menudingkan telunjuknya kepada Cui Im!

"Ha-ha-ha, heh-heh, sungguh bocah lucu engkau! Lelah, setengah mati dan terluka, kenapa malah menangis?" Nenek itu lalu meletakkan telunjuk ke depan dahinya yang penuh keriput dan bertanya, "Eh, bocah lucu, apakah engkau begini?"

Cui Im mengangkat mukanya dan biar pun dia sudah terluka lahir batin, kemarahannnya memuncak ketika ia diejek dan dianggap gila. Cepat ia meloncat dan memukul dada nenek itu.

"Dessssss!"

Cui Im terkejut karena dada yang dipukulnya itu lunak seperti kapas, maka maklumlah ia bahwa tentu nenek ini seorang yang lihai luar biasa.

"Nenek gila! Siapa kau...?" Tiba-tiba ia teringat. Nenek yang gila dan amat lihai. Siapa lagi kalau bukan Go-bi Thai-houw? "Engkau... engkau Go-bi Thai-houw?"

"Hi-hi-he-he-heh! Engkau benar gila tapi matamu tajam. Benar aku Go-bi Thai-houw, dan mengapa engkau menangis di sini?"

Tiba-tiba Cui Im tertawa, tertawa didorong kecerdikannya yang pada saat seperti itu masih mempunyai akal untuk membalas kekalahannya.

"Hi-hi-hik, nenek gila. Sekarang kau boleh mentertawakan aku yang menangis, akan tetapi engkau takkan bisa tertawa lagi kalau mendengar penuturanku tentang muridmu!"

Biarpun otaknya miring, mendengar tentang muridnya, nenek itu cepat bertanya nafsu,
"Di mana murid-muridku?"

"Muridmu bernama Tan Hun Bwee dan Sie Biauw Eng, bukan? Muridmu Tan Hun Bwee itu pun gila seperti engkau?"

"Setan kau! Muridku keduanya waras seperti aku, tidak gila seperti engkau?"

Cui Im tidak mau berbantahan dengan seorang gila, cepat ia berkata,
"Percuma saja kau mencari. Muridmu Tan Hun Bwee sudah dibunuh oleh Cia Keng Hong, tuh mayatnya masih menggeletak di atas puncak!"

Cui Im sengaja berkata demikian padahal sudah sehari semalam ia sampai di kaki gunung ini dalam perjalanannya setengah merangkak.

"Bedebah!"

Tanpa bertanya lagi Go-bi Thai-houw lalu melompat dan lari seperti terbang cepatnya menuju ke puncak Tai-hang-san. Cui Im tertawa-tawa dan melanjutkan perjalanannya dengan terhuyung-huyung.

Demikianlah, pada siang hari itu secara tiba-tiba Go-bi Thai-houw muncul di puncak dan begitu melihat Biauw Eng bersama tiga orang berada di situ, cepat ia berseru,

"Mana Hun Bwee? Mana yang bernama Cia Keng Hong?"

Semua orang terkejut dan menengok karena kedatangan nenek itu tidak mereka ketahui sama sekali, tahu-tahu nenek itu telah berada di situ!

"Subo...!" Biauw Eng lari dan berlutut di depan Go-bi Thai-houw sambil menangis. "Subo... suci telah tewas...!"

"Eh, Biauw Eng, apakah kau mendadak telah menjadi gila? Ha-ha-ha, Hun Bwee mati, kenapa engkau malah menangis?"

Tentu saja Keng Hong, Cong San dan Yan Cu terkejut dan terheran-heran mendengar ucapan yang aneh ini.

Biauw eng tahu bahwa bagi nenek ini, orang berduka harus tertawa, kalau senang barulah menangis. Betapa selama dia menjadi murid nenek itu dia dan Hun Bwee selalu harus ikut menggila. Akan tetapi kini dia tidak bernafsu untuk bermain sandiwara dan tangisnya mengguguk.

"Subo... dia... Tewas...

"Aku sudah tahu?" Nenek itu membentak. "Mana murid Sin-jiu Kiam-ong? Mana dia yang bernama Cia Keng Hong yang membunuh Hun Bwee?"

Keng Hong terkejut. Dia sudah mendengar bahwa nenek sakti ini miring otaknya, maka cepat dia menghampiri, memberi hormat dan berkata,

"Locianpwe, sayalah yang bernama Cia Keng Hong, murid Sin-jiu Kiam-ong dan tentang nona Tan..."

"Wuuuuuttttt!"

Nenek itu telah menghantamnya dengan gerakan yang cepat bukan main. Keng Hong terkejut, mengelak sambil menangkis, akan tetapi dia masih terpelanting. Nenek itu memiliki kekuatan yang mujijat!

"Bagus, murid Sie Cun Hong engkau mampuslah!" Nenek itu menyerang lagi lebih hebat daripada tadi. Keng Hong kembali mengelak.

"Locianpwe, tunggu dulu...! Bukan saya yang membunuhnya..."

"Cerewet! Membunuh atau tidak, murid Sie Cun Hong harus mampus!"

Kini serangan Go-bi Thai-houw benar-benar hebat dan serangannya membingungkan Keng Hong yang terpaksa harus mengerahkan kecepatannya untuk mengelak sambil meloncat ke sana-sini.

"Heh-heh-heh, engkau pandai juga, keparat!"

Kini nenek itu mengeluarkan serangan dengan gerakan aneh dan lucu tampaknya kacau-balau akan tetapi setiap gerak tangannya mengeluarkan angin yang menyambar-nyambar seperti badai mengamuk.

Keng Hong terkejut, maklum bahwa membantah pun percuma saja terhadap nenek gila yang amat lihai ini. Dia cepat mainkan Thai Kek Sin-kun dan menjaga dirinya rapat-rapat, mengelak sambil menangkis dengan kedua tangan, namun dalam belasan jurus saja dia sudah terdesak hebat dan dipaksa mundur terus.

"Subo...!" Biauw Eng meloncat ke depan nenek itu menghalangi nenek itu menyerang Keng Hong. "Subo, jangan menyerang Keng Hong...!"

"Apa kau bilang? Kau sudah gila? Dia murid Sie Cun Hong, hayo kau bantu aku membunuhnya!" Nenek itu membentak-bentak.

"Tidak, Subo! Aku tidak akan menyerangnya, aku cinta kepadanya!"

Nenek itu tertawa.
"He-he-heh, justeru kalau cinta harus membunuhnya, tolol!"

Keng Hong memandang penuh keharuan kepada Biauw Eng, penuh kemesraan. Terbayanglah dia dahulu ketika dia hendak dibunuh Lam-hai Sin-ni, gadis itu pun membelanya dan seperti juga sekarang, secara terang-terangan penuh ketulusan hati, gadis ini mengaku cinta kepadanya! Ah, Biauw Eng... hatinya menjerit.

"Tidak Subo. Engkau tidak boleh menyerangnya, dan dia tidak membunuh suci Tan Hun Bwee!"

"Apa? Engkau hendak membela Cia Keng Hong? Hendak membela murid Sin-jiu Kiam-ong? Engkau tidak mau membantu memusuhi Sie Cun Hong?"

"Tidak mungkin, Subo, Sie Cun Hong itu adalah mendiang ayahku."

"Heh...???" Agaknya untuk detik itu, kegilaan meninggalkan hati dan pikiran nenek itu dan ia memandang terbelalak. "Bukankah kau puteri Lam-hai Sin-ni?’

"Ibuku memang Lam-hai Sin-ni, akan tetapi ayahku Sie Cun Hong yang berjuluk Sin-jiu Kiam-ong, karena itu tidak mungkin aku memusuhinya dan apalagi aku cinta kepada murid ayahku..."

"Iblis!"

Nenek itu menendang dan tubuh Biauw Eng mencelat sampai lima meter jauhnya. Gadis itu roboh berguling-guling akan tetapi cepat meloncat bangun lagi.

"Keparat, kau puteri Sie Cun Hong, he-he-heh! Kalau begitu engkau pun harus mampus. Kau puterinya, dan Lam-hai Sin-ni sainganku, ha-ha-ha!"

Nenek itu meloncat maju hendak menyerang Biauw Eng, akan tetapi Keng Hong sudah menghadangnya.

"Locianpwe, harap sabar...!"

"Mampus kau!"

Go-bi Thai-houw menghantamkan kedua tangannya dan tampaklah uap hitam menyambar dari sepasang telapak tangannya.

Keng Hong terkejut bukan main dan cepat dia membuang diri ke belakang, namun tetap saja dia masih merasa hawa yang amat dahsyat menyerempet pundaknya sehingga biarpun dia sudah berjungkir balik, tetap saja dia terbanting jatuh.

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: