*

*

Ads

FB

Sabtu, 03 September 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 176

Hebat bukan main perang tanding yang terjadi di puncak Tai-hang-san itu. Betapapun lihainya para tokoh kang-ouw dan betapa nekat mereka mempertahankan diri, namun karena jumlah mereka jauh kalah banyak sehingga setiap orang terpaksa harus menghadapi empat lima orang lawan, maka mulailah fihak mereka terdesak dan keadaan mereka berbahaya sekali. Korban kedua fihak sudah mulai berjatuhan dan perang itu penuh dengan suara gaduh, teriakan-teriakan kesakitan, maki-makian kemarahan dan diseling bertemunya senjata tajam yang mengeluarkan bunyi nyaring.

Tiba-tiba terdengat bunyi terompet disusul sorak-sorai dan menyerbulah pasukan pemerintah yang terdiri dari ratusan orang, dipimpin oleh seorang perwira dan didampingi oleh Sian Ti Sengjin! Itulah pasukan yang didatangkan oleh bekas tokoh Kun-lun-pai ini dari tai-goan dan kalau tadi pertandingan terjadi berat sebelah dengan keuntungan fihak pemberontak, kini sebaliknya menjadi berat sebelah dengan kerugian mereka! Kini fihak pemberontak kalah banyak jumlahnya dan mulailah terjadi penyembelihan yang mengerikan

Perang tanding yang terjadi selama setengah hari di puncak Tai-hang-san itu bagi golongan sesat merupakan sejarah hitam di mana lebih dari dua ratus orang terbunuh. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang dapat lolos, semua tewas termasuk tokoh-tokohnya, sungguh pun di fihak orang kang-ouw juga jatuh korban yang tidak sedikit.

Yang hebat adalah pertandingan antara Keng Hong dan Cui Im. Masih juga Keng Hong belum dapat merobohkan Cui Im padahal perang telah terhenti karena musuh telah terbasmi habis.

"Keng Hong, aku bersumpah untuk membunuhmu sekarang juga!" Cui Im meloncat maju mengirim tusukan maut.

"Trang-trang-cringgg!"

Keng Hong menangkis dan melanjutkan dengan membacokkan pedang Siang-bhok-kiam ke arah paha lawannya.

"Wuuutttttt!" Cui Im melompat ke belakang sehingga bacokan itu luput.

"Keng Hong, engkau selamanya menjadi penghalang untukku. Engkau manusia satu-satunya di dunia yang paling kubenci!"

Kembali Cui Im menerjang maju. Wajahnya pucat sekali, keringatnya membasahi seluruh tubuh, akan tetapi matanya sama sekali tidak memperlihatkan kelelahan, bahkan mata itu memancarkan cahaya seperti api menyala-nyala.

"Cui Im, kau menyerahlah. Aku takkan membunuhmu," kata Keng Hong sambil memutar pedangnya menangkis.

"Menyerah? Lebih baik mati!" Cui Im kembali menerjang maju.

Keng Hong tahu bahwa teman-temannya sudah mengurung tempat pertandingan itu, menonton penuh perhatian. Di antara mereka terdapat Biauw Eng yang menonton dengan alis berkerut.

"Keng hong, kenapa engkau ragu-ragu merobohkan dia?" Tiba-tiba Biauw Eng bertanya, di dalam suaranya terkandung penasaran besar.

Keng Hong kaget dan maklum bahwa dia menjadi pusat perhatian. Mungkin bagi orang-orang lain mereka tidak tahu betapa dia mengalah dan tidak mau membunuh lawan, akan tetapi pandang mata tajam dari orang-orang yang ilmunya sudah tinggi seperti Biauw Eng, Cong San, Yan Cu dan beberapa orang lain akan mudah melihatnya. Maka dia menjadi bimbang dan ketika pedang merah itu berkelebat menyambar lehernya, dia mengerahkan seluruh sinkangnya dan menangkis sekuat tenaga.






"Trakkk!"

Pedang merah itu patah manjadi dua dan ujung Siang-bhok-kiam masih menyerempet pundak Cui Im.

"Aihhhhhh!!" Cui Im terhuyung dan roboh, pundaknya terluka lebar dan darah bercucuran.

Sinar putih berkelebat menyambar ke arah kepala Cui Im yang masih rebah miring. Itu adalah sabuk sutera yang digerakkan Biauw Eng untuk membunuh bekas sucinya. Agaknya gadis ini hendak membalas dendam atas kematian ibunya di tangan Cui Im.

"Takkk!"

Ujung sabuk sutera tertangkis oleh pedang Siang-bhok-kiam sehingga luput mengenai sasaran.

"Keng Hong...!" Biauw Eng berseru kaget.

Keng Hong menarik napas panjang.
"Biauw Eng, maafkan aku. Perlukah kita membunuhnya? Dia bekas sucimu dan kalau kuingat-ingat secara adil, dia pun masih terhitung sumoiku sendiri karena dia telah mempelajari pusaka warisan suhu. Dia sudah kalah, kehabisan sagala-galanya, perlukah kita membunuhnya begitu saja. kurasa hatimu tidak akan sekejam itu, Biauw Eng."

"Tapi... Tapi... dia telah membunuh ibuku!"

"Benar, akan tetapi apakah untungnya balas-membalas karena dendam? Memang ibumu terbunuh olehnya dalam pertandingan, akan tetapi sekiranya baik kita ingat betapa banyaknya orang yang telah tewas di tangan ibumu juga, Biauw Eng, kalau bukan engkau yang hendak membunuhnya, aku masih tidak peduli. Akan tetapi aku tidak ingin melihat engkau melibatkan diri dalam ikatan dendam-mendendam. Kalau dia melakukan dosa biarlah dia yang akan memikul hukumannya yang pasti akan ia rasakan sendiri. Kekalahannya yang berkali-kali pun merupakan peringatan dan hukuman baginya. Biauw Eng, kuharap engkau suka memenuhi permintaanku, yaitu kita bebaskan lawan yang sudah kalah, jangan membunuh orang yang sudah tidak mampu melawan lagi."

Biauw Eng meragu, memandang kepada Keng Hong kemudian kepada Cui Im yang sudah merangkak bangun dengan wajah kerut-kerut menahan sakit.

"Akan tetapi, andaikata dia tidak kubunuh, kurasa banyak saudara di sini yang tentu akan membunuhnya!"

"Aku tidak percaya mereka mau melakukannya, Biauw Eng. Setelah begini banyak manusia terbunuh...?"

Dengan gerakan kedua lengan dikembangkan ke arah tumpukan mayat, Keng Hong memandang sedih.

"Cia-taihiap benar! Tiba-tiba terdengar suara keras dan Thian Kek Hwesio yang masih memegangi jubahnya yang penuh darah lawan, berkata dan melangkah maju. "Pinceng memang bersakit hati atas tewasnya suheng Thian Ti Hwesio di tangan iblis betina itu, akan tetapi setelah mendengar kata-kata Cia-taihiap tadi pinceng... merasa malu untuk membunuh lawan yang sudah tidak berdaya. Pinceng membebaskan dia!"

"Pinto juga tidak akan membunuhnya, mengingat dia itu bekas suci Nona, dan masih sumoi dari Cia-taihiap. Pinto tidak akan membunuh orang yang sudah tidak mampu melawan," kata Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai.

"Biarlah dia pergi, biarlah iblis betina terkutuk itu pergi!" Berkata Kok Sian-cu mewakili saudara-saudaranya dari Kong-thong-pai.

Biauw Eng menunduk dan tidak membantah lagi.

"Cui Im, kau dengarlah pendirian orang-orang sedunia! Mudah-mudahan ucapan mereka itu akan membikin engkau bertobat dan menebus kejahatan-kejahatanmu dengan perbuatan baik, dengan demikian, tidak percuma mendiang suhu meninggalkan pusaka-pusaka yang kau pelajari pula," kata Keng Hong.

Cui Im bangkit berdiri, tubuhnya bergoyang-goyang, rambutnya riap-riapan, wajahnya pucat.

"Keng Hong, keparat busuk! Ucapan-ucapan itu lebih hebat dari pembunuhan. Hayo, kau bunuh saja aku... Hi-hi-hik... kau bunuh aku atau kelak engkau yang akan kubunuh...!"

Kemudian Cui Im pergi terhuyung-huyung sambil terkekeh-kekeh, akan tetapi suara ketawanya menyeramkan semua orang karena di dalam suara ketawa itu terkandung isak tangis!

Setelah bayangan wanita itu lenyap ke bawah puncak, Keng Hong menarik napas panjang, kemudian dia mengeluarkan semua pusaka yang disimpan di kantungnya, menyerahkan pedang pusaka Hoa-san-pai kepada Coa Kiu, kemudian berkata kepada semua orang,

"Setelah semua pusaka suhu kuambil dan sebagian telah kembali kepada yang berhak, maka kumohon para Locinapwe sudilah memaafkan semua perbuatan suhu dahulu. Hanya sebuah kitab dari Go-bi-pai yang masih berada padaku dan kelak pasti akan kukembalikan kepada yang berhak."

Coa Kiu dan Cou Bu girang sekali menerima pusaka Hoa-san-pai itu dan menyatakan terima kasihnya dan semua orang gagah merasa kagum terhadap Keng Hong yang mereka saksikan sepak terjangnya tadi. Mereka lalu mulai mengurus semua korban tewas, baik fihak sendiri maupun fihak lawan, menguburkan mereka di puncak Tai-hang-san. Hanya Kiang tojin seorang yang menjadi amat kagum kepada Keng Hong dan ketika pemuda ini berlutut menghampirinya untuk memeriksa lukanya bersama Biauw Eng, Kiang Tojin menggeleng kepala dan memegang pundak pemuda itu,

"Pinto tidak apa-apa, Keng Hong. Betapa gembira hati pinto menyaksikan engkau, bukan hanya karena kepandaianmu, terutama sekali karena sikapmu terhadap Ang-kiam Bu-tek. Sikapmu tepat sekali, Keng Hong dan pinto menyatakan tunduk kepadamu. Memang semua manusia ini dan pada dasarnya sama, hanya ada yang sedang menderita sakit seperti Cui Im dan yang lain-lain dan mengakibatkan… ah, semua pembunuhan antar manusia ini...” Tosu itu kelihatan menyesal sekali.

Tiba-tiba Biauw Eng mengeluh dan meloncat berdiri lari ke sebelah kiri kemudian berlutut dan menangis di depan mayat Tan Hun Bwee. Melihat ini, Keng Hong menarik napas panjang dan membiarkan saja gadis itu menumpahkan kesedihannya, karena memang nasib Hun Bwee amat menyedihkan.

Melihat kesibukan semua orang dan dia hanya berada dengan Kiang Tojin, Keng Hong tak dapat menahan keinginan tahu hatinya untuk bertanya kepada kakek yang dia kenal sebagai seorang yang arif bijaksana itu.

"Totiang, mengapa manusia saling berbunuhan karena terbagi menjadi dua golongan? Mengapa ada yang baik dan ada yang buruk? Apakah yang menyebabkan terjadinya dosa?’

Kiang Tojin memejamkan mata, akan tetapi mulutnya berkata dengan lirih namun jelas, seperti orang berbisik dan yang terdengar oleh Keng Hong seperti suara yang datang dari angkasa,

"Perbuatan yang dianggap jahat dan berdosa tercipta dari pengetahuan manusia tentang baik dan buruk itulah! Karena manusia membagi perbuatan menjadi dua, baik dan buruk, maka terciptalah pantangan-pantangan atau larangan-larangan yang menjadi hukum. Manusia menciptakan hukum dan karena pengetahuan tentang baik dan buruk ini sudah mengisi hati, maka setiap pelanggaran hukum menjadi perbuatan jahat dan berdosa. Kalau di dunia ini tidak ada hukum, di dunia ini tidak ada pengetahuan tentang baik dan buruk, maka tidak akan ada pula pemisahan perbuatan yang baik atau jahat."

"Mohon penjelasan, Totiang, teecu masih kurang mengerti."

"Anak-anak kecil yang hati dan pikirannya belum mengenal pengetahuan antara baik dan buruk, yang belum menerima hukum pantangan dan larangan, adalah manusia yang bersih, tidak baik dan juga tidak jahat. Dia akan mengambil barang orang lain, akan tetapi karena dia belum tahu akan hukum yang menentukan bahwa perbutan itu terlarang dan disebut pencuri, maka dia tidak merasa mencuri. Kalau orang tidak mengenal kata-kata mencuri, bagaimana dia bisa menjadi pencuri? Karena anak itu belum mengenal pengetahuan antara baik dan buruk, maka perbuatannya mengambil barang orang lain itu pun baginya tidak baik tidak buruk, hanya wajar dan tidak bisa kita katakan dia mencuri atau berdosa.

Setelah dia nanti tahu dan mengenal hukum itu, tahu bahwa perbuatan seperti itu terlarang, kemudian dia melanggar, barulah dia melakukan perbuatan dosa. Jadi yang berdosa bukanlah perbuatannya melainkan pelanggarannya terhadap hukum yang sudah dikenalnya. Di dalam hati sudah tahu bahwa perbuatan itu termasuk tidak baik namun tetap di lakukannya, maka berdosalah dia. Manusia terbelenggu oleh pengetahuan antara baik dan buruk, terkurung oleh hukum-hukum yang yang diciptakannya sendiri, maka penuhlah dunia ini oleh dosa. Sungguh menyedihkan..."

Keng Hong mengangguk-angguk.
"Kalau begitu, kita yang hidup di dalam dunia yang penuh dengan larangan-larangan yang timbul dari pengetahuan antara baik dan buruk ini, apa yang harus kita lakukan, Totiang?"

"Kita sudah terlanjur mengenal baik dan buruk, tentu saja kita harus selalu mengabdi kebaikan, hanya dengan hati besar kita harus dapat mengampuni mereka yang kita anggap melakukan perbuatan jahat setelah kita tahu bahwa perbuatannya itu merupakan pelanggaran bagi hukum yang sudah dikenalnya, berarti bahwa dia itu lemah, atau sedang sakit, terdorong oleh nafsunya sendiri sehingga melakukan hal-hal yang sebenarnya berlawanan dengan pengenalan hukum dalam sanubarinya sendiri."

"Terima kasih atas petunjuk Totiang yang bijaksana."

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: