*

*

Ads

FB

Minggu, 28 Agustus 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 157

Cong San juga berhenti. Mereka saling berpandangan. Kini pemuda itu mulai mengerti atau sedikitnya mengenal watak Yan Cu, maka dia tidak kaget melihat gadis yang tadi mengobati pangkal lengannya dengan lemah lembut itu kini marah. Ia malah tersenyum dan berkata,

"Nona, aku seorang laki-laki, mana mungkin seperti nenek-nenek yang cerewet ?"

"Kalau tidak seperti nenek-nenek yang cerewet, kenapa bertanya saja? Lari-lari sambil bicara mana enak?"

"Kalau begitu, kenapa kita tidak berhenti dulu dan bicara yang enak di bawah pohon yang teduh?"

Yan Cu menghapus keringatnya di leher dengan ujung lengan baju.
"Kita harus cepat mengejar suheng, engkau ini memperlambat saja."

"Maaf, Nona. Aku pun ingin sekali segera menolong Keng Hong, akan tetapi aku ingin mendengar dulu siapa yang menangkapnya, dan kenapa dia ditangkap?"

"Baiklah, baiklah. Kalau tidak kuturuti, engkau tentu akan rewel seperti anak kecil minta kembang gula dan mengganggu terus. Nah, dengarkan baik-baik!"

Yan Cu terpaksa ikut duduk di bawah pohon ketika melihat Cong San memberi isyarat dengan tangan kepadanya, mempersilahkan duduk di atas akar-akar pohon yang menonjol ke luar dari tanah. Akan tetapi setelah mereka berdua duduk berhadapan, keduanya hanya saling pandang dan diam saja.

"Eh, bagaimana ceritanya, Nona?"

"kau dulu ceritakan keadaanmu dan bagaimana engkau bisa menjadi sahabat suheng."

Cong San menghela napas. Agaknya gadis ini masih belum percaya benar kepadanya. Ia lalu menceritakan pertemuannya dengan Keng Hong ketika dia menyerbu ke Phu-niu-san untuk membalas dendam Siauw-lim-pai kepada Ang-kaim Bu-tek Bhe Cui Im dan betapa Keng Hong menyelamatkannya, kemudian mengembalikan dua buah kitab Siauw-lim-pai.

"Ketika aku menyerahkan dua buah kitab itu kepada suhu, suhu lalu memerintahkan aku agar pergi mencari Cia-taihiap dan membantunya menghadapi Ang-kiam Bu-tek yang lihai sebagai pembalas jasa. Nah, sekarang harap kau suka ceritakan keadaan Cia Keng Hong taihiap, Nona."

"Dia ditawan oleh gadis yang dicintanya."

"Mengapa? Dicinta mengapa malah menawannya?"






"Justeru karena suheng mencintanya, maka dia menyerahkan diri. Kalau tidak, mana mungkin Sie Biauw Eng itu dapat menawannya?"

"Sie Biauw Eng? Nona maksudkan Song-bun Siu-li puteri mendiang Lam-hai Sin-ni?"

Cong San bertanya, kaget karena nama Sie Biauw Eng amat terkenal.Apalagi kalau diingat bahwa Song-bun Siu-li adalah sumoi dari Bhe Cui Im musuh besarnya!

Yan Cu mengangguk.
"Bukan dia saja, masih ada seorang lagi yang begini!"

Kembali ketika berkata "begini" Yan Cu melintangkan telunjuk di depan dahinya yang berkulit putih halus.

"Gila? Siapakah dia? Mengapa..........?"

Yan Cu cemberut.
"Mengapa? Pertanyaanmu tak masuk akal dan bodoh. Mana bisa aku tahu mengapa dia gila?"

"Bukan gilanya yang kumaksudkan, Nona. Mengapa Cia-taihiap sampai ditawan?"

"Karena dia dituduh memperkosa si gila itu dan oleh Biauw Eng, dia ditawan untuk dipaksa menikah dengan perempuan gila itu!"

Cong San sedang terpesona memandang wajah itu. Kini setelah dia mengenal sifat baik dara ini, wajah jelita itu makin menarik. Sepasang mata indah yang kini bersinar-sinar penuh semangat, dengan alis yang hitam kecil menjelirit, bulu mata yang panjang melengkung dan tebal sehingga membentuk garis hitam di seputar matanya. Hidung yang kecil mancung, yang cupingnya dapat bergerak-gerak kembang-kempis kalau sedang marah. Dan bibirnya! Ketika bicara bergerak-gerak demikian manisnya, seolah-olah bertetesan madu dari bibir itu, dan sepasang bibir itu bergerak demikian indahnya, seindah seekor kupu-kupu menggerak-gerakkan sepasang sayapnya yang beraneka warna, ataukah seperti setangkai bunga mawar jambon tertiup angin, seperti cahaya keemasan bulan purnama bermain di permukaan air telaga? Entah seperti apa, namun yang sudah pasti, amat manis menarik, amat indah mempesona.

"Heeeiiii! Kenapa kau mengangguk-angguk?" Yan Cu membentak heran.

Cong San yang sedang tenggelam dalam hikmat keindahan yang menyentuh perasaannya, bagaikan mabuk arak simpanan yang amat halus kerjanya, tadi mendengar penuturan Yan Cu, akan tetapi hanya setengah-setengah menangkap inti dan artinya. Kini dibentak dia menjadi kaget sekali dan menjawab sekenanya,

"Memang betul! Sudah semestinya mengawini perempuan yang diperkosa!"

Yan Cu meloncat berdiri, kedua tangannya dikepal, matanya mengeluarkan sinar berapi-api! Cong San terkejut sekali dan dia pun memandang dengan melongo, masih duduk dan menengadahkan kepalanya seperti orang tersadar dari mimpi.

"Apa kau bilang? Hati-hati engkau menjaga mulut, sembarangan saja bicara!"

"Eh...... aku bicara apakah, Nona? Apa yang salah?"

"Engkau percaya bahwa suheng Cia Keng Hong memperkosa perempuan gila itu?"

Barulah Cong San sadar bahwa yang dibicarakan adalah Keng Hong. Tentu saja dia tidak percaya. Setelah sadar kini dia menjadi pemuda murid Siauw-lim-pai yang tenang dan gagah perkasa kembali. Perlahan dia bangkit berdiri dan menjura,

"Maaf, seribu kali maaf, Nona. Demi tuhan, aku tidak percaya bahwa Cia-taihiap melakukan perbuatan sekeji itu. Kalau tadi aku bicara seperti itu, hemmm......... aku lupa dan aku hanya mengatakan bahwa siapapun juga, kalau betulan dia sudah memprkosa orang, harus bertanggung jawab! Akan tetapi............"

"Suheng tidak diperkosa wanita itu! Itu fitnah belaka!"

Cong San mengangguk.
"Tentu begitu. Siapa sih wanita gila itu yang menjatuhkan fitnah keji terhadap Cia-taihiap?"

"Namanya Tan Hun Bwee, suci dari....."

"Tan Hun Bwee........? Ah, aku tahu! Bukan Cia-taihiap yang memperkosa, melainkan orang lain!"

Bukan main kaget dan girangnya hati Yan Cu. Seketika kemarahannya terhadap Cong San lenyap seperti api disiram air, bahkan saking gembiranya ia memegang tangan pemuda itu dan menariknya lari lagi!

"Lekas! mari kita susul mereka!"

Kembali keduanya berlari-larian cepat sekali.
"Nona, nanti dulu....."

"Ssttt.....! Jangan cerewet lagi!" Yan Cu memotong.

Cong San terpaksa menelan kembali kata-katanya. Akan tetapi dia tidak tahan. Sepuluh menit kemudian dia memaksa diri bertanya,

"Aku hanya ingin mengetahui siapa Nona yang menyebut suheng kepada Cia-taihiap. Siapakah namamu, Nona?"

"Namaku Gui Yan Cu, guruku bernama Tung Sun Nio, dahulu isteri Sin-jiu Kiam-ong. Sudah, cukup!"

Cong San melongo. Mendengar bahwa gadis ini murid bekas isteri Sin-jiu Kiam-ong, dia terheran-heran. Sin-jiu Kiam-ong mempunyai isteri? Baru sekarang dia mendengarnya. Karena melongo memandang wajah gadis itu sambil berlari cepat, kakinya tersandung akar pohon dan dia roboh terguling!

Yan Cu berteriak dan cepat menyambar lengannya sehingga pemuda ini tidak sampai terguling ke dalam jurang di sebelah kirinya. Karena tarikannya yang tiba-tiba ini, padahal Cong San tadi ketika akan jatuh sudah menggerakan tubuh, maka tubuhnya bertumbukan dengan tubuh Yan Cu sehingga kedua lengan Cong San merangkul pinggang yang ramping itu sedangkan kedua tangan Yan Cu juga memeganginya, yang satu memegang lengannya yang ke dua memegang pundaknya!

"Ihhh!” Yan Cu melepaskan pegangannya dan meronta.

"Maaf! Maaf!"

Cong San cepat melepaskan "pelukannya" dan keduanya menjadi tersipu-sipu dengan muka merah sekali.

"Matamu kau taruh di mana sih?"

Yan Cu mengomel, akan tetapi melihat wajah gadis itu, Cong San maklum bahwa Yan Cu tidak marah, karena gadis ini pun mengerti bahwa peristiwa itu terjadi diluar kesengajaan Cong San.

"Aku...... aku sedang memandangmu, Gui-moi-moi!"

Yan Cu mengerling akan tetapi juga tidak marah disebut moi-moi oleh pemuda itu.
"Sudahlah, hayo cepat!"

Mereka berlarian lagi, cepat sekali. Wajah Cong San berseri-seri dan ia sendiri merasa heran sekali mengapa mendadak dia merasa amat gembira, mengapa daun-daun dan rumput di sepanjang jalan yang dilaluinya tampak lebih segar dan lebih hijau dalam pandang matanya, langit tampak begitu cerah, sinar matahari yang terik terasa hangat dan pemandangan alam tampak jauh lebih indah daripada biasanya. Belum pernah selama hidupnya Cong San merasa begitu gembira. Betapa nikmat dan bahagianya hidup ini, pikirnya sambil lari mengimbangi kecepatan Yan Cu.

Memang demikianlah Cinta! Amat besar kuasanya atas perasaan manusia. Sekali Cinta menyentuh hati sanubari insan, Cinta merupakan titik terang satu-satunya yang meniadakan segala persoalan hidup, menjadi satu-satunya tujuan hidup penuh dengan hasrat dan harapan, melambungkan cita-cita setinggi angkasa, membuat yang terkena terapung muluk dan satu-satunya hal yang penting dalam hidup hanyalah tercapainya hasrat dan harapannya.

Cinta memang indah, namun keindahan yang cemerlang menyilaukan hati sehingga terlupakan orang bahwa di dalam keindahan itu terdapat lika-liku yang ruwet dan rumit, lika-liku yang mudah menyesatkan dan sekali terpeleset, segala kemanisan berubah kepahitan, madu berubah empedu, keindahan berubah keburukan dan kebahagiaan terbang pergi, kegembiraan berganti kedukaan!

Cinta! Bagaikan pohon kembang, indah sekali, namun sesungguhnya mengandung duri, mengandung ular yang mudah pula layu. Kalau pandai merawatnya, menghindarkan durinya, pandai memupuknya, barulah akan subur dan semakin indah!

**** 157 ****
Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: