"Nona, yang menghina itu aku ataukah engkau? Sepasang Im-yang-pit ini adalah senjataku!" Ia berkata setengah membentak, suaranya serak seperti ingin menangis.
Tiba-tiba Yan Cu tertawa sambil menutupi mulutnya dengan tangan kiri. Biarpun ditutupi, masih tampak mulutnya merekah dan Cong San yang tadinya mengkal dan marah, sekaligus lenyap kemarahannya. Hati yang panas mendadak menjadi dingin hangat melihat betapa wajah cantik itu kini benar-benar tertawa, bukan tertawa mengejek seperti tadi. Dan setelah tertawa wajar, bukan main manisnya! Manis memabukkan. Kalah arak merah!
"Pena bulu itu senjatamu? Hi-hi-hik! Untuk apa? Senjata untuk menulis bisa jadi, akan tetapi senjata bertanding ? Sobat, jangan kau main-main, sekali pedang pusaka ini membabat, engkau takkan dapat menulis lagi. Lebih baik kau pergilah kembali ke bangku sekolahmu, belajar menulis sajak dengan tekun agar kelak bisa menjadi hak-su atau menjadi Siu-cai."
"Nona, kulihat engkau lihai, akan tetapi engkau kurang pengalaman sehingga tidak mengerti bahwa senjataku sepasang Im-yang-pit ini dapat melawan seratus buah pedang pusaka seperti yang kau pegang itu."
"Wiiihhhhh, sombong! Makan pedangku!" Yan Cu kini meloncat maju dan langsung menyerang dengan pedangnya.
"Singgggg..... trang-cring-cringggg.....!!"
Yan Cu meloncat mundur dan memeriksa pedangnya. Ternyata pedangnya tidak apa-apa. Hatinya lega. Pedang itu bukan miliknya dan harus ia kembalikan ke Hoa-san-pai dan sekarang ia hanya "meminjammya". Kalau sampai rusak kan repot! Ketika tadi tiga kali pedangnya ditangkis sepasang Im-yang-pit secara bergantian, ia merasa betapa tangan dan lengannya tergetar hebat dan benturan senjata yang ketiga tadi disusul totokan pit hitam ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang.
Tentu saja ia cepat menarik tangannya dan mencelat ke belakang. Kini ia memandang pemuda itu dan berdiri tersenyum sambil memasang kuda-kuda. Begitu gagah pemuda itu, dan wajahnya amat tampan.Yan Cu menjadi panas.
"Kau kira aku kalah?"
Ia membentak dan kembali ia mnerjang maju dengan amat ganas. Cong San yang maklum bahwa gadis ini sudah memiliki ilmu silat tinggi dan ilmu pedangnya juga tidak boleh dipandang ringan, cepat bergerak mengelak, menangkis, dan tidak lupa membalas dengan totokan-totokan kedua senjatanya. Tentu saja dia menotok secara hati-hati karena tidak ingin mencelakai gadis itu.
Pertandingan berjalan dengan seru. Setelah mereka bertempur selama lima puluh jurus lebih, tahulah Cong San bahwa kepandaian gadis itu benar-benar amat lihai dan kalau saja dia bukan murid pilihan dari ketua Siauw-lim-pai sendiri, agaknya tidak akan mudah menahan serangan-serangan pedang yang demikian ganasnya.
Di lain pihak, hati Yan Cu yang tadinya menjadi girang mendapat kenyataan bahwa pemuda ini benar lihai sekali dan boleh diandalkan untuk membebaskan Keng Hong, makin lama menjadi makin penasaran. Tadi ia sudah membuktikan kelihaiannya. Tiga belas orang perampok liar ia robohkan dalam waktu singkat hanya dengan tangan kosong saja.
Masa kini menghadapi seorang pemuda baju hijau yang hanya memegang dua batang alat tulis yang pendek kecil saja ia sama sekali tidak mampu mendesak? Apalagi melihat selama bertanding ini pemuda itu terus tersenyum ramah dan amat manis kepadanya, pandang mata pemuda itu begitu........ entah bagaimana dia sendiri tidak tahu, pendeknya pandang mata yang membuat jantungnya berdebar dan kedua pipinya terasa panas karena malu.
Sikap pemuda ini ia anggap mengejek dan membuat ia merasa makin penasaran! Dia tidak boleh sampai kalah! Kalau kalah, tentu pemuda itu akan memandang rendah kepadanya! Dia harus membuktikan bahwa dia seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, seorang yang lihai, seorang gadis yang jarang terdapat bandingnya!
"Bocah sombong!"
Tiba-tiba Yan Cu membentak dan dalam suaranya terkandung isak penasaran dan kemarahan yang makin memanas. Pedangnya berkelebat cepat sekali.
Cong San kaget. Tak disangka bahwa gadis itu akan menjadi marah lagi. padahal tadi sudah hilang marahnya. Kalau dilanjutkan begini bisa berbahaya, pikirnya. Memang dia mendapat kenyataan bahwa biarpun tingkat ilmu kepandaiannya lebih tinggi daripada gadis itu, namun selisihnya tidaklah banyak dan dia hanya dapat mengandalkan kematangannya dalam gerakan. Ilmu silat gadis ini benar-benar dahsyat dan aneh. Untuk merobohkannya pun tidaklah mudah, akan tetapi kalau dipertahankan terus juga akan berlarut-larut dan menjadi berbahaya bagi kedua fihak.
"Nona, sudahlah, Nona...... mari kita bicara....... aku mengaku kalah........!"
"Siuuuuttttt...... singggg....... cringggg......!" Kembali pedang bertemu dengan sepasang pit yang disilangkan.
"Tidak! Aku tidak sudi bicara denganmu! Aku tidak sudi kau beri hadiah dengan mengaku kalah! Coba kau kalahkan aku dengan benar-benar kalau mapu! Aku tidak takut mati!" Yan Cu yang merasa penasaran dan merasa malu kalau kalah itu sudah menyerang lagi.
Melihat pedang itu meluncur ke arah dadanya, Cong San menangkis dengan tangan kiri yang memegang pit putih, akan tetapi sengaja mengurangi tenaga sehingga pedang lawan itu hanya menyeleweng sedikit ke pinggir dan masih menyerempet pangkal lengan kirinya.
Secepat kilat dia pun membarengi dengan menotok pergelangan tangan kanan Yan Cu yang memegang pedang itu dengan pit hitamnya. Yan Cu merasa lenganya lumpuh dan pedangnya terlepas dari pegangannya!
Cong San berdarah pada pangkal lengan kirinya. Baju hijaunya robek berikut kulit dan sedikit dagingnya. Ia membungkuk, mengambil pedang dan menyerahkan pedang itu kepada Yan Cu sambil berkata,
"Sudah kukatakan, Nona. Aku mengaku kalah. Agaknya engkau belum puas kalau belum melukai aku."
Sejenak Yan Cu tercengang ketika melihat pangkal lengan dari lawannya berdarah. Akan tetapi sebagai seorang ahli yang mempelajari ilmu pengobatan dari gurunya, ia melihat bahwa luka itu tidak ada artinya sama sekali, hanya luka kulit dan sedikit daging. Ia menerima pedangnya dengan kasar dan berkata lagi,
"Aku belum menang atau kalah! Pedangku jatuh akan tetapi lenganmu terluka. Kita masih belum ada yang menang atau kalah. Hayo lanjutkan!" Ia sudah siap lagi dengan pedangnya, ditodongkan ke depan.
Cong San menggeleng kepalanya.
"Aku sudah menerima kalah, tidak akan melawan lagi."
Berkata demikian, Cong San melemparkan kedua senjatanya ke atas tanah di depan kaki gadis itu.
Sikap pemuda ini mengingatkan Yan Cu kepada sikap Keng Hong yang juga mengalah dan "pasrah bongkokan" kepada Biauw Eng. Maka ia menjadi makin marah.
"Kau laki-laki pengecut! Mengapa mengalah begini? Mengapa kau mengalah kepadaku? Hayo lawanlah! Masa ada laki-laki begini lemah? Apakah semua laki-laki menjadi lemah dan pengecut kalau berhadapan dengan wanita?"
Cong San tidak mengerti mengapa gadis ini marah-marah seperti ini. Akan tetapi pertanyaan itu dengan tepat menusuk hatinya dan membuat dia sendiri terheran akan sikapnya sendiri. Mengapa berhadapan dengan gadis yang belum dikenalnya ini dia benar-benar telah kehilangan akal? Sampai dia rela mengorbankan diri dilukai dan rela pula mengalah padahal dia tidak bersalah?
"Aku..... aku tidak akan melawanmu, Nona."
"Benar? Bagaimana kalau sekarang ini kutusukkan pedangku ke dalam dadamu?" Yan Cu meloncat maju dan ujung pedangnya menyentuh kulit dada di balik baju pemuda itu.
Cong San mengangkat muka, memandang wajah gadis itu. Dua pasang mata bertemu dan Yan Cu merasa aneh.
"Entah mengapa, Nona. Akan tetapi andaikata engkau membunuhku, aku pun rela dan tidak akan melawan."
Yan Cu merasa tubuhnya menjadi lemas. Pedangnya yang menodong diturunkan, disarungkannya kembali dan sepintas lalu ia bertanya,
"Apakah engkau jatuh cinta kepadaku?"
Pertanyaan ini sepintas lalu saja, akan tetapi Cong San hampir roboh terjengkang saking kagetnya. Muka pemuda ini menjadi merah sekali sampai ke daun telinganya.
"Aku....... aku tidak tahu, Nona. Apakah engkau tahu.......?"
"Tahu apa?"
"Tentang........ eh, tentang jatuh cinta......"
Yan Cu menggeleng kepalanya.
"Aku sendiri tidak tahu tentang cinta dan bersama suhengku tadinya sedang menyelidiki tentang cinta."
Cong San meloncat kaget, teringat akan Keng Hong.
"Menyelidiki tentang...... cinta.....? Di mana dia, Nona? Di mana Cia Keng Hong? Aku diutus oleh suhu untuk membantunya menghadapi Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im yang jahat."
Yan Cu tertegun dan memandang tajam.
"Siapa gurumu?"
Cong San memberi hormat.
"Aku bernama Yap Cong San dan guruku adalah ketua Siauw-lim-pai."
Kini gadis itu terkejut. Kiranya seorang jagoan Siauw-lim-pai! Dan dia mengira tadi seorang kepala perampok!
"Ahhhhh, kenapa kau tidak bilang dari tadi? Dan aku telah melukaimu. Hemmmmm, biarkan kuobati lukamu itu!"
Tanpa menanti jawaban Yan Cu menghampiri Cong San, merobek baju pemuda itu di bagian pangkal lengan yang luka, memeriksa kemudian memberi obat bubuk dan membalut lengan dengan sehelai saputangan bersih. Ia melakukan pengobatan ini dengan cekatan, cepat dan tanpa bicara apa-apa.
Cong San tidak percaya kepada mulutnya sendiri, mengapa dia pun tidak berkata-kata, hanya matanya memandang penuh kagum dan penuh perasaan kepada dara jelita yang mengobati luka di pangkal lengannya itu.
"Terima kasih, Nona. Engkau sugguh amat baik hati......." Cong San berkata dengan suara gemetar.
"Sudahlah, yap-twako. Maafkan saja aku tadi tidak mengenalmu maka menganggapmu musuh. Tak perlu terima kasih-terima kasih! Sekarang mari bantu aku membebaskan suheng!"
Sambil berkata demikian, Yan Cu sudah menarik tangan pemuda itu dan diajak lari cepat. Tentu saja Cong San girang sekali, akan tetapi dia pun bingung. Terpaksa dia berlari cepat mengimbangi dara jelita yang aneh ini.
"Eh, Nona...... di manakah dia? Di mana Keng Hong, dan siapa yang menangkapnya?"
Sambil berlari-lari cepat Yan Cu menjawab,
"Ditangkap seorang gadis dan dibawa pergi!"
Tidak enak bicara sambil berlarian cepat itu. Akan tetapi karena heran Cong San bertanya lagi,
"Mengapa? Siapa gadis itu?"
"Gadis yang dicintainya....... dia menyerahkan diri, tidak melawan......." karena sedang mengerahkan tenaga untuk berlari cepat, tentu saja ketika bercakap-cakap, banyak angin memasuki mulut membuat suara Yan Cu terputus-putus dan napasnya megap-megap.
Cong San makin heran dan penasaran. Mendengar Keng Hong ditangkap orang saja sudah merupakan hal mengejutkan dan juga mengherankan. Siapa yang dapat menangkap pemuda sakti itu? Kini dia mendengar bahwa yang menangkapnya adalah seorang gadis yang dicintanya! Dan dia menyerah tidak melawan! Tentu saja mendengar ini dia menjadi penasaran.
"Dicinta mengapa menangkap? Mengapa pula dia ditangkap? Apa salahnya?"
Tiba-tiba Yan Cu berhenti berlari dan memandangnya dengan mata marah, mulutnya mengomel,
"Wah, kau ini amat cerewet seperti seorang nenek-nenek pikun!"
Tiba-tiba Yan Cu tertawa sambil menutupi mulutnya dengan tangan kiri. Biarpun ditutupi, masih tampak mulutnya merekah dan Cong San yang tadinya mengkal dan marah, sekaligus lenyap kemarahannya. Hati yang panas mendadak menjadi dingin hangat melihat betapa wajah cantik itu kini benar-benar tertawa, bukan tertawa mengejek seperti tadi. Dan setelah tertawa wajar, bukan main manisnya! Manis memabukkan. Kalah arak merah!
"Pena bulu itu senjatamu? Hi-hi-hik! Untuk apa? Senjata untuk menulis bisa jadi, akan tetapi senjata bertanding ? Sobat, jangan kau main-main, sekali pedang pusaka ini membabat, engkau takkan dapat menulis lagi. Lebih baik kau pergilah kembali ke bangku sekolahmu, belajar menulis sajak dengan tekun agar kelak bisa menjadi hak-su atau menjadi Siu-cai."
"Nona, kulihat engkau lihai, akan tetapi engkau kurang pengalaman sehingga tidak mengerti bahwa senjataku sepasang Im-yang-pit ini dapat melawan seratus buah pedang pusaka seperti yang kau pegang itu."
"Wiiihhhhh, sombong! Makan pedangku!" Yan Cu kini meloncat maju dan langsung menyerang dengan pedangnya.
"Singgggg..... trang-cring-cringggg.....!!"
Yan Cu meloncat mundur dan memeriksa pedangnya. Ternyata pedangnya tidak apa-apa. Hatinya lega. Pedang itu bukan miliknya dan harus ia kembalikan ke Hoa-san-pai dan sekarang ia hanya "meminjammya". Kalau sampai rusak kan repot! Ketika tadi tiga kali pedangnya ditangkis sepasang Im-yang-pit secara bergantian, ia merasa betapa tangan dan lengannya tergetar hebat dan benturan senjata yang ketiga tadi disusul totokan pit hitam ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang.
Tentu saja ia cepat menarik tangannya dan mencelat ke belakang. Kini ia memandang pemuda itu dan berdiri tersenyum sambil memasang kuda-kuda. Begitu gagah pemuda itu, dan wajahnya amat tampan.Yan Cu menjadi panas.
"Kau kira aku kalah?"
Ia membentak dan kembali ia mnerjang maju dengan amat ganas. Cong San yang maklum bahwa gadis ini sudah memiliki ilmu silat tinggi dan ilmu pedangnya juga tidak boleh dipandang ringan, cepat bergerak mengelak, menangkis, dan tidak lupa membalas dengan totokan-totokan kedua senjatanya. Tentu saja dia menotok secara hati-hati karena tidak ingin mencelakai gadis itu.
Pertandingan berjalan dengan seru. Setelah mereka bertempur selama lima puluh jurus lebih, tahulah Cong San bahwa kepandaian gadis itu benar-benar amat lihai dan kalau saja dia bukan murid pilihan dari ketua Siauw-lim-pai sendiri, agaknya tidak akan mudah menahan serangan-serangan pedang yang demikian ganasnya.
Di lain pihak, hati Yan Cu yang tadinya menjadi girang mendapat kenyataan bahwa pemuda ini benar lihai sekali dan boleh diandalkan untuk membebaskan Keng Hong, makin lama menjadi makin penasaran. Tadi ia sudah membuktikan kelihaiannya. Tiga belas orang perampok liar ia robohkan dalam waktu singkat hanya dengan tangan kosong saja.
Masa kini menghadapi seorang pemuda baju hijau yang hanya memegang dua batang alat tulis yang pendek kecil saja ia sama sekali tidak mampu mendesak? Apalagi melihat selama bertanding ini pemuda itu terus tersenyum ramah dan amat manis kepadanya, pandang mata pemuda itu begitu........ entah bagaimana dia sendiri tidak tahu, pendeknya pandang mata yang membuat jantungnya berdebar dan kedua pipinya terasa panas karena malu.
Sikap pemuda ini ia anggap mengejek dan membuat ia merasa makin penasaran! Dia tidak boleh sampai kalah! Kalau kalah, tentu pemuda itu akan memandang rendah kepadanya! Dia harus membuktikan bahwa dia seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, seorang yang lihai, seorang gadis yang jarang terdapat bandingnya!
"Bocah sombong!"
Tiba-tiba Yan Cu membentak dan dalam suaranya terkandung isak penasaran dan kemarahan yang makin memanas. Pedangnya berkelebat cepat sekali.
Cong San kaget. Tak disangka bahwa gadis itu akan menjadi marah lagi. padahal tadi sudah hilang marahnya. Kalau dilanjutkan begini bisa berbahaya, pikirnya. Memang dia mendapat kenyataan bahwa biarpun tingkat ilmu kepandaiannya lebih tinggi daripada gadis itu, namun selisihnya tidaklah banyak dan dia hanya dapat mengandalkan kematangannya dalam gerakan. Ilmu silat gadis ini benar-benar dahsyat dan aneh. Untuk merobohkannya pun tidaklah mudah, akan tetapi kalau dipertahankan terus juga akan berlarut-larut dan menjadi berbahaya bagi kedua fihak.
"Nona, sudahlah, Nona...... mari kita bicara....... aku mengaku kalah........!"
"Siuuuuttttt...... singggg....... cringggg......!" Kembali pedang bertemu dengan sepasang pit yang disilangkan.
"Tidak! Aku tidak sudi bicara denganmu! Aku tidak sudi kau beri hadiah dengan mengaku kalah! Coba kau kalahkan aku dengan benar-benar kalau mapu! Aku tidak takut mati!" Yan Cu yang merasa penasaran dan merasa malu kalau kalah itu sudah menyerang lagi.
Melihat pedang itu meluncur ke arah dadanya, Cong San menangkis dengan tangan kiri yang memegang pit putih, akan tetapi sengaja mengurangi tenaga sehingga pedang lawan itu hanya menyeleweng sedikit ke pinggir dan masih menyerempet pangkal lengan kirinya.
Secepat kilat dia pun membarengi dengan menotok pergelangan tangan kanan Yan Cu yang memegang pedang itu dengan pit hitamnya. Yan Cu merasa lenganya lumpuh dan pedangnya terlepas dari pegangannya!
Cong San berdarah pada pangkal lengan kirinya. Baju hijaunya robek berikut kulit dan sedikit dagingnya. Ia membungkuk, mengambil pedang dan menyerahkan pedang itu kepada Yan Cu sambil berkata,
"Sudah kukatakan, Nona. Aku mengaku kalah. Agaknya engkau belum puas kalau belum melukai aku."
Sejenak Yan Cu tercengang ketika melihat pangkal lengan dari lawannya berdarah. Akan tetapi sebagai seorang ahli yang mempelajari ilmu pengobatan dari gurunya, ia melihat bahwa luka itu tidak ada artinya sama sekali, hanya luka kulit dan sedikit daging. Ia menerima pedangnya dengan kasar dan berkata lagi,
"Aku belum menang atau kalah! Pedangku jatuh akan tetapi lenganmu terluka. Kita masih belum ada yang menang atau kalah. Hayo lanjutkan!" Ia sudah siap lagi dengan pedangnya, ditodongkan ke depan.
Cong San menggeleng kepalanya.
"Aku sudah menerima kalah, tidak akan melawan lagi."
Berkata demikian, Cong San melemparkan kedua senjatanya ke atas tanah di depan kaki gadis itu.
Sikap pemuda ini mengingatkan Yan Cu kepada sikap Keng Hong yang juga mengalah dan "pasrah bongkokan" kepada Biauw Eng. Maka ia menjadi makin marah.
"Kau laki-laki pengecut! Mengapa mengalah begini? Mengapa kau mengalah kepadaku? Hayo lawanlah! Masa ada laki-laki begini lemah? Apakah semua laki-laki menjadi lemah dan pengecut kalau berhadapan dengan wanita?"
Cong San tidak mengerti mengapa gadis ini marah-marah seperti ini. Akan tetapi pertanyaan itu dengan tepat menusuk hatinya dan membuat dia sendiri terheran akan sikapnya sendiri. Mengapa berhadapan dengan gadis yang belum dikenalnya ini dia benar-benar telah kehilangan akal? Sampai dia rela mengorbankan diri dilukai dan rela pula mengalah padahal dia tidak bersalah?
"Aku..... aku tidak akan melawanmu, Nona."
"Benar? Bagaimana kalau sekarang ini kutusukkan pedangku ke dalam dadamu?" Yan Cu meloncat maju dan ujung pedangnya menyentuh kulit dada di balik baju pemuda itu.
Cong San mengangkat muka, memandang wajah gadis itu. Dua pasang mata bertemu dan Yan Cu merasa aneh.
"Entah mengapa, Nona. Akan tetapi andaikata engkau membunuhku, aku pun rela dan tidak akan melawan."
Yan Cu merasa tubuhnya menjadi lemas. Pedangnya yang menodong diturunkan, disarungkannya kembali dan sepintas lalu ia bertanya,
"Apakah engkau jatuh cinta kepadaku?"
Pertanyaan ini sepintas lalu saja, akan tetapi Cong San hampir roboh terjengkang saking kagetnya. Muka pemuda ini menjadi merah sekali sampai ke daun telinganya.
"Aku....... aku tidak tahu, Nona. Apakah engkau tahu.......?"
"Tahu apa?"
"Tentang........ eh, tentang jatuh cinta......"
Yan Cu menggeleng kepalanya.
"Aku sendiri tidak tahu tentang cinta dan bersama suhengku tadinya sedang menyelidiki tentang cinta."
Cong San meloncat kaget, teringat akan Keng Hong.
"Menyelidiki tentang...... cinta.....? Di mana dia, Nona? Di mana Cia Keng Hong? Aku diutus oleh suhu untuk membantunya menghadapi Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im yang jahat."
Yan Cu tertegun dan memandang tajam.
"Siapa gurumu?"
Cong San memberi hormat.
"Aku bernama Yap Cong San dan guruku adalah ketua Siauw-lim-pai."
Kini gadis itu terkejut. Kiranya seorang jagoan Siauw-lim-pai! Dan dia mengira tadi seorang kepala perampok!
"Ahhhhh, kenapa kau tidak bilang dari tadi? Dan aku telah melukaimu. Hemmmmm, biarkan kuobati lukamu itu!"
Tanpa menanti jawaban Yan Cu menghampiri Cong San, merobek baju pemuda itu di bagian pangkal lengan yang luka, memeriksa kemudian memberi obat bubuk dan membalut lengan dengan sehelai saputangan bersih. Ia melakukan pengobatan ini dengan cekatan, cepat dan tanpa bicara apa-apa.
Cong San tidak percaya kepada mulutnya sendiri, mengapa dia pun tidak berkata-kata, hanya matanya memandang penuh kagum dan penuh perasaan kepada dara jelita yang mengobati luka di pangkal lengannya itu.
"Terima kasih, Nona. Engkau sugguh amat baik hati......." Cong San berkata dengan suara gemetar.
"Sudahlah, yap-twako. Maafkan saja aku tadi tidak mengenalmu maka menganggapmu musuh. Tak perlu terima kasih-terima kasih! Sekarang mari bantu aku membebaskan suheng!"
Sambil berkata demikian, Yan Cu sudah menarik tangan pemuda itu dan diajak lari cepat. Tentu saja Cong San girang sekali, akan tetapi dia pun bingung. Terpaksa dia berlari cepat mengimbangi dara jelita yang aneh ini.
"Eh, Nona...... di manakah dia? Di mana Keng Hong, dan siapa yang menangkapnya?"
Sambil berlari-lari cepat Yan Cu menjawab,
"Ditangkap seorang gadis dan dibawa pergi!"
Tidak enak bicara sambil berlarian cepat itu. Akan tetapi karena heran Cong San bertanya lagi,
"Mengapa? Siapa gadis itu?"
"Gadis yang dicintainya....... dia menyerahkan diri, tidak melawan......." karena sedang mengerahkan tenaga untuk berlari cepat, tentu saja ketika bercakap-cakap, banyak angin memasuki mulut membuat suara Yan Cu terputus-putus dan napasnya megap-megap.
Cong San makin heran dan penasaran. Mendengar Keng Hong ditangkap orang saja sudah merupakan hal mengejutkan dan juga mengherankan. Siapa yang dapat menangkap pemuda sakti itu? Kini dia mendengar bahwa yang menangkapnya adalah seorang gadis yang dicintanya! Dan dia menyerah tidak melawan! Tentu saja mendengar ini dia menjadi penasaran.
"Dicinta mengapa menangkap? Mengapa pula dia ditangkap? Apa salahnya?"
Tiba-tiba Yan Cu berhenti berlari dan memandangnya dengan mata marah, mulutnya mengomel,
"Wah, kau ini amat cerewet seperti seorang nenek-nenek pikun!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar