Akan tetapi Lian Ci Sengjin yang sudah marah dan makin malu, tidak memperdulikannya lalu lari memasuki rumahnya di mana dia mengeram diri ke dalam kamar. Ingin dia menangis saking marah dan malunya. Kebenciannya terhadap Keng Hong makin menghebat akan tetapi dia pun teringat akan Tan Hun Bwee dan diam-diam dia bergidik. Bagaimana Keng Hong tahu akan perbuatannya itu? Dan dimanakah Tan Hun Bwee sekarang? Ia menjadi ngeri kalau membayangkan betapa gadis itu akan mendendam sakit hati kepadanya.
Sementara itu, dengan bijaksana Sian Ti Sengjin lalu membubarkan pesta dengan pernyataan maaf. Para tamu kecewa, sungguhpun mereka kehilangan barang sumbangan untuk pengantin yang tidak jadi menikah, akan tetapi mereka diberi suguhan pertandingan tingkat tinggi dan peristiwa-peristiwa lucu dan aneh yang sama sekali tidak mereka sangka-sangka.
"Cia-taihiap, mengapa engkau melarangku membunuh iblis betina itu?"
Cong San menegur Keng Hong setelah mereka melarikan diri selama setengah hari dan baru berhenti di tepi Sungai Han-sui di sebelah selatan Pegunungan Phu-niu-san.
Keng Hong menarik napas. Hatinya lega bahwa dia telah berhasil merampas kembali semua pusaka selengkapnya. Hari telah menjelang malam dan mereka beristirahat sambil duduk di dekat api unggun yang mereka buat untuk mengusir nyamuk.
"Yap-twako, kalau aku tidak memaksa kau pergi, belum tentu kita akan dapat hidup sampai sekarang. Engkau tidak tahu, tiga orang kakek itu adalah Thian-te Sam-lo-mo yang berkepandaian hebat bukan main. Kalau mereka membantu Cui Im, ditambah bantuan para tamu yang agaknya semua berfihak kepada mereka, dan dikeroyok anak buah Phu-niu-san yang seratus orang lebih jumlahnya, mana mungkin kita dapat menang, apalagi dapat keluar dari Phu-niu-san dengan selamat?"
"Aku tidak gentar menghadapi kematian dalam usahaku melaksanakan tugas sebagai murid Siauw-lim-pai!"
Keng Hong menghela napas dan berkata, nada suaranya sedih karena dia teringat akan semua pengalamannya dahulu ketika dikejar-kejar di mana tokoh-tokoh Siauw-lim-pai juga turut mengejarnya. Teringat pula betapa dia pernah bentrok akhir-akhir ini dengan Thian Kek Hwesio dan lima hwesio Siauw-lim-pai yang hendak membunuh Biauw Eng.
"Yap-twako, di dunia ini kiranya tidak ada orang yang pernah meragukan kegagahan dan kejantanan jago-jago Siauw-lim-pai. Akan tetapi sesungguhnya, hanya mengandalkan keberanian dan kekerasan saja, selain hidup ini tidak akan menjadi aman, juga sering kali menimbulkan hal-hal yang meruwetkan. Pernah aku sendiri dikejar-kejar Thian Ti Hwesio dan Thian Kek Hwesio tanpa bersalah hanya karena aku adalah murid Sin-jiu Kiam-ong! Pernah pula belum lama ini nona Sie Biauw Eng diserang oleh tokoh tokoh Siauw-lim-pai di bawah pimpinan Thian Kek Hwesio hanya karena nona itu adalah sumoi dari Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im. Padahal, antara nona Sie Biauw Eng sudah tidak ada hubungan apa-apa, berbeda jauh seperti bumi dengan langit, bahkan ibu nona Sie Biauw Eng yaitu Lam-hai Sin-ni sendiri telah dibunuh oleh Cui Im dan nona Sie Biauw Eng hampir saja mati di tangan bekas sucinya. Inilah, Twako, buruknya watak keras dan kaku, hanya mengandalkan asal berani dan benar terus merunduk saja tanpa wawasan dan pertimbangan lagi."
Wajah pemuda baju hijau yang tampan itu menjadi merah. Ia tidak senang mendengar pemuda itu mencela tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, akan tetapi karena celaan itu sebenarnya menurut kenyataan dan sama sekali bukan dimaksudkan untuk menghina, dia pun tidak dapat membantah dan berkata,
"Habis, kalau menurut pendapatmu bagaimana, Cia-taihiap? Apakah karena kedudukannya yang sedemikian kuatnya itu aku lalu harus lari ketakutan dan melapor kepada suhu di Siauw-lim-si bahwa aku tidak sanggup melaksanakan perintah suhu?"
Keng Hong tersenyum sabar, maklum bahwa hati pemuda yang gagah perkasa ini agak tersinggung.
"Bukan begitu, Twako. Tugas dari guru merupakan tugas suci yang harus dilaksanakan dengan taruhan nyawa, akan tetapi kalau tugas itu gagal karena kecerobohan, hal itu tentu terjadi kalau kau nekat melawannya, bukankah akan berarti kau menyia-yiakan dan menggagalkan tugasmu pula? Melawan dengan nekat sampai mati padahal sudah tahu bahwa melawan hanya berarti akan mengantar nyawa sendiri sama sekali bukanlah perbuatan orang gagah, melainkan pernuatan orang bodoh yang nekat. Terus terang aku memberitahu kepadamu, Yap-twako, bahwa dengan tingkat kepandaianmu yang sekarang, engkau tidak akan dapat menangkan Cui Im. Ketahuilah, dia telah mewarisi ilmu-ilmu dalam kitab-kitab pusaka peninggalan guruku Sin-jiu Kiam-ong dan agaknya tokoh Siauw-lim-pai yang akan dapat menundukkan hanya gurumu sendiri!"
Yap Cong San termenung dan dihatinya dia benar-benar terkejut mendengar ini. Memang tadi dia sudah menyaksikan sendiri kelihaian wanita itu, akan tetapi tidak menyangka bahwa Keng hong akan menyatakan seperti itu. Dia menjadi bingung dan bertanya, suaranya mengandung penasaran.
"Mohon petunjuk Cia-taihiap. Bagaimanakah saya harus bersikap sekarang? Apa yang harus saya lakukan?"
Keng Hong mengeluarkan dua buah kitab yang sudah kuning dan menyerahkannya kepada pemuda itu. Yap Cong San menerima dua kitab itu dan begitu melirik ke atas judul yang tertulis di kulit sampul, dia berseru,
"Ahhhhh! Kitab I-kiong-hoan-hiat dan kitab Seng-to-cin-keng! Bukankah ini dua buah kitab pusaka Siauw-lim-pai yang dikabarkan hilang..?"
"Benar. Itulah dua buah kitab yang dahulu dipinjam oleh mendiang guruku, Sin-jiu Kiam-ong dan yang pernah kujanjikan kepada tokoh-tokoh Siauw-lim-pai untuk kucari dan kukembalikan kepada Siauw-lim-pai. Baru sekarang aku berhasil merampasnya kembali dari Cui Im. Nah, dua buah kitab ini kuserahkan kepadamu, Yap-twako, agar kau bawa ke Siauw-lim-pai, disertai hormat dan permohonan maaf dariku demi nama mendiang guruku. Biarpun kau tidak berhasil membunuh Cui Im, namun dengan membawa kembali dua buah kitab yang amat penting ini, berarti perjalanamu tidak sia-sia belaka.
Untuk membalas dendam kepada Cui Im, sekarang ini percuma. Dia tentu tidak lagi berada di Phu-niu-san setelah melihat aku mencarinya, dan engkau pun perlu memperdalam ilmu kepandaianmu untuk menghadapinya, Twako. Lebih baik kau ceritakan terus terang semua pemberitahuanku tentang kelihaian Ang-kiam Bu-tek kepada suhumu agar beliau dapat pula mempertimbangkan dan mempertinggi tingkat kepandaianmu sebelum kau ditugaskan lagi untuk menandingi Cui Im."
Yap Cong San mengangguk-angguk hatinya terharu melihat dua buah kitab itu. Dia tahu karena pernah mendengar penuturan suhunya tentang dua buah kitab pusaka yang hilang dibawa Sin-jiu Kiam-ong dan hal itu selain merupakan pukulan memalukan bagi Siauw-lim-pai, juga merupakan kehilangan yang amat besar. Kini dua buah kitab itu telah diberikan kepadanya, hal yang sama sekali tidak pernah disangkanya. Pemuda Siauw-lim-pai itu cepat menjura dengan hormat dan berkata,
"Banyak terima kasih, Cia-taihiap. Bukan hanya atas pengembalian dua buah kitab pusaka Siauw-lim-pai ini, akan tetapi juga atas nasihat-nasihat Taihiap yang kini dapat kulihat dan kurasakan kebenarannya. Baiklah, aku akan menghadap suhu, Mempersembahkan dua buah kitab ini dan menceritakan keadaan musuh besar itu yang kini menjadi amat lihai. Tentu dia sudah pula mempelajari ilmu dari kedua buah kitab ini."
Keng Hong menghela napas panjang.
"Memang benar demikianlah, maka dia menjadi demikian lihai."
Yap Cong San menganggu-angguk dan berkata dengan suara tegas,
"Betapa pun juga, aku mohon kemurahan hati suhu untuk memberi gemblengan agar aku dapat memperdalam ilmu sehingga akan dapat menandingi wanita iblis itu! Sekali lagi terima kasih, Tai-hiap, dan selamat berpisah sampai jumpa pula."
“Selamat jalan dan berhati-hatilah. Dua buah kitab yang kau bawa itu kalau sampai terlihat tokoh-tokoh kang-ouw tentu akan mendatangkan bahaya dan gangguan hebat."
Yap Cong San menyimpan dua buah kitab di sebelah dalam bajunya dan mengaguk,
"Aku mengerti, Tai-hiap, dan karena dua buah kitab ini adalah benda-benda pusaka Siauw-lim-pai, aku akan melindunginya dengan nyawaku!'
Sekali lagi dia memberi hormat, kemudian tubuh pemuda Siauw-lim-pai ini berkelebat cepat, pergi meninggalkan Keng Hong yang memandang kagum. Pemuda itu benar-benar tampan dan gagah perkasa keberaniannya luar biasa membuat dia kagum dan suka sekali.
Setelah Yap Cong San pergi, Keng Hong lalu membuka bajunya dan mengeluarkan semua benda yang tadi dia rampas atau curi dari kamar pengantin wanita, pusaka-pusaka yang dahulu dilarikan Cui Im dari tempat persembunyian gurunya.
Sebatang pedang pusaka Hoa-san-pai, sepasang golok emas yang gagangnya di tabur mutiara, yaitu benda pusaka dari Khong-thong-pai, sekumpulan benda perhiasan yang dahulu oleh Sin-jiu Kiam-ong dirampasnya dari tangan Tan-piauwsu dan isterinya, yaitu benda-benda milik pembesar yang dikawalnya, sebuah kitab kuno dari Go-bi-pai yang dia rampas dari tangan Go-bi Chit-kwi, karena memang kitab ini dari Go-bi-pai dicuri oleh Tujuh Iblis Go-bi itu.
Tujuh buah kitab peninggalan Sin-jiu Kia-ong sendiri yang ditulis oleh pendekar sakti itu, dan sekantung penuh berisi potongan emas dan puluhan butir permata yang amat indah dan mahal harganya.
Hemmm, benda-benda inilah di antara semua benda yang menimbulkan keributan di dunia kang-ouw, yang membuat gurunya dahulu dimusuhi oleh banyak orang kang-ouw, dan yang kini menjadi tugasnya untuk dia kembalikan kepada pemiliknya yang berhak, pertama-tama dia harus mengembalikan pokiam (pedang pusaka) dari Hoa-san-pai seperti yang pernah dia janjikan kepada tokoh-tokoh Hoa-san-pai.
Sambil tersenyum puas Keng Hong memandang benda-benda pusaka yang terletak di depan kakinya itu. Tiba-tiba, secepat kilat, dia menyambar benda-benda itu dan beberapa detik kemudian benda-benda pusaka itu telah lenyap tersembunyi di dalam saku-saku bajunya sebelah dalam, sedangkan tubuhnya sudah melompat dan membalik.
Biarpun dia tadi sudah bergerak cepat sekali menyimpan semua benda itu ketika mendengar suara mencurigakan di sebelah belakang, namun Keng Hong maklum bahwa dia masih belum cukup cepat untuk menyembunyikan dari mata tiga orang kakek yang tahu-tahu telah berada di situ, berdiri memandangnya. Mereka itu bukan lain adalah Thian-te Sam-lo-mo!
Tiga orang kakek ini sebetulnya adalah tiga orang yang usianya amat tingi, kurang lebih seratus tahun! Diantara datuk-datuk golongan tua seperti Bu-tek Su-kwi yang kini tinggal tiga orang, yaitu Ang-bin Kwi-bo, Pak-san Kwi-ong dan Pat-jiu Sian-ong, mereka inilah yang paling tua.
Sudah puluhan tahun semenjak dahulu mereka dikalahkan Sin-jiu Kiam-ong, tiga orang iblis tua ini mengundurkan diri, bertapa dan tidak mencampuri urusan dunia, karena mereka sudah berjanji dan bertaruh dengan Sin-jiu Kiam-ong bahwa fihak yang kalah akan mengundurkan diri dan tidak akan muncul lagi di dunia kang-ouw!
Mereka itu bersembunyi dan bertapa di antara puncak-puncak di Pegunungan Himalaya, selain untuk memenuhi janji, juga untuk menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang tinggi agar kelak kalau perlu mereka akan dapat menebus kekalahan mereka dari Sin-jiu Kiam-ong!
Akan tetapi, mereka lalu mendengar bahwa Sin-jiu Kiam-ong telah meninggal dunia di puncak Kun-lun-san, yaitu Lembah Kiam-kok-san. Berita ini menggirangkan hati mereka karena mereka kini terbebas dari janji karena kalah bertaruh, juga mengecewakan kesempatan lagi untuk menebus kekalahan!
Namun, ketiga orang iblis tua ini menuruni Pegunungan Himalaya dan memasuki dunia ramai lagi, mereka kehilangan gairah. Melihat tokoh-tokoh besar yang boleh dijadikan saingan sudah tidak ada, mereka menjadi jemu. Pula, karena usia mereka yang sudah tua membuat mereka tidak bersemangat lagi untuk bermusuhan dan menimbulkan ribut, dan nafsu-nafsu jasmani mereka sudah mulai lemah, tiga orang ini hanya mencurahkan kesenangan dalam melakukan pibu dengan orang-orang pandai. Akan tetapi mereka tidak mau sembarangan turun tangan mencoba kepandaian orang kalau tidak merasa yakin betul bahwa lawannya cukup berharga untuk mereka tandingi!
Watak tiga orang yang sudah terlalu tua ini seperti kembali menjadi kanak-kanak. Ketika lewat di Phu-niu-san dan mendengar tentang San-cu dari gunung itu yang kabarnya lihai, mereka mampir. Akan tetapi setelah bertemu dan mendapat kenyataan bahwa San-cu dan suhengnya itu hanyalah tokoh-tokoh Kun-lun-pai tingkat tiga atau empat saja, mereka memandang rendah dan hanya mau menerima persahabatan Lian Ci Sengjin dan Sian Ti Sengjin setelah dua orang yang dapat mengenal orang sakti itu menerima mereka bertiga sebagai tamu-tamu kehormatan.
Apalagi ketika Thian-te Sam-lo-mo melihat calon isteri Sancu itu, Mereka menjadi terheran-heran dan dapat menduga bahwa calon pengantin wanita ini adalah seorang wanita muda yang memiliki kepandaian yang mungkin tidak akan mengecewakan untuk diajak pibu!
Mereka diperlakukan sebagai tamu-tamu terhormat sampai tiba saat pesta pernikahan di mana ketiga kakek tua renta ini bertemu dengan jago muda Siauw-lim-pai Yap Cong San dan pendekar muda yang memiliki kepandaian hebat, Cia Keng Hong.
Ketika Cui Im yang marah-marah dan kecewa sekali meninggalkan Phu-niu-san, tiga orang kakek itu pun segera menggunakan kepandaian mereka untuk mengejar. Akan tetapi mereka kehilangan jejak Cui Im sehingga mereka itu, terutama sekali orang tertua yang berpakaian jembel, membanting-banting kaki dengan gemas dan kecewa. Mereka masih merasa penasaran dan belum puas kalau belum menguji kepandaian wanita muda yang telah berani menggunakan nama julukan Bu-tek (Tanpa Tanding) setelah mereka kecewa tidak dapat mengadu ilmu dengan dua orang pemuda lihai itu.
Sementara itu, dengan bijaksana Sian Ti Sengjin lalu membubarkan pesta dengan pernyataan maaf. Para tamu kecewa, sungguhpun mereka kehilangan barang sumbangan untuk pengantin yang tidak jadi menikah, akan tetapi mereka diberi suguhan pertandingan tingkat tinggi dan peristiwa-peristiwa lucu dan aneh yang sama sekali tidak mereka sangka-sangka.
"Cia-taihiap, mengapa engkau melarangku membunuh iblis betina itu?"
Cong San menegur Keng Hong setelah mereka melarikan diri selama setengah hari dan baru berhenti di tepi Sungai Han-sui di sebelah selatan Pegunungan Phu-niu-san.
Keng Hong menarik napas. Hatinya lega bahwa dia telah berhasil merampas kembali semua pusaka selengkapnya. Hari telah menjelang malam dan mereka beristirahat sambil duduk di dekat api unggun yang mereka buat untuk mengusir nyamuk.
"Yap-twako, kalau aku tidak memaksa kau pergi, belum tentu kita akan dapat hidup sampai sekarang. Engkau tidak tahu, tiga orang kakek itu adalah Thian-te Sam-lo-mo yang berkepandaian hebat bukan main. Kalau mereka membantu Cui Im, ditambah bantuan para tamu yang agaknya semua berfihak kepada mereka, dan dikeroyok anak buah Phu-niu-san yang seratus orang lebih jumlahnya, mana mungkin kita dapat menang, apalagi dapat keluar dari Phu-niu-san dengan selamat?"
"Aku tidak gentar menghadapi kematian dalam usahaku melaksanakan tugas sebagai murid Siauw-lim-pai!"
Keng Hong menghela napas dan berkata, nada suaranya sedih karena dia teringat akan semua pengalamannya dahulu ketika dikejar-kejar di mana tokoh-tokoh Siauw-lim-pai juga turut mengejarnya. Teringat pula betapa dia pernah bentrok akhir-akhir ini dengan Thian Kek Hwesio dan lima hwesio Siauw-lim-pai yang hendak membunuh Biauw Eng.
"Yap-twako, di dunia ini kiranya tidak ada orang yang pernah meragukan kegagahan dan kejantanan jago-jago Siauw-lim-pai. Akan tetapi sesungguhnya, hanya mengandalkan keberanian dan kekerasan saja, selain hidup ini tidak akan menjadi aman, juga sering kali menimbulkan hal-hal yang meruwetkan. Pernah aku sendiri dikejar-kejar Thian Ti Hwesio dan Thian Kek Hwesio tanpa bersalah hanya karena aku adalah murid Sin-jiu Kiam-ong! Pernah pula belum lama ini nona Sie Biauw Eng diserang oleh tokoh tokoh Siauw-lim-pai di bawah pimpinan Thian Kek Hwesio hanya karena nona itu adalah sumoi dari Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im. Padahal, antara nona Sie Biauw Eng sudah tidak ada hubungan apa-apa, berbeda jauh seperti bumi dengan langit, bahkan ibu nona Sie Biauw Eng yaitu Lam-hai Sin-ni sendiri telah dibunuh oleh Cui Im dan nona Sie Biauw Eng hampir saja mati di tangan bekas sucinya. Inilah, Twako, buruknya watak keras dan kaku, hanya mengandalkan asal berani dan benar terus merunduk saja tanpa wawasan dan pertimbangan lagi."
Wajah pemuda baju hijau yang tampan itu menjadi merah. Ia tidak senang mendengar pemuda itu mencela tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, akan tetapi karena celaan itu sebenarnya menurut kenyataan dan sama sekali bukan dimaksudkan untuk menghina, dia pun tidak dapat membantah dan berkata,
"Habis, kalau menurut pendapatmu bagaimana, Cia-taihiap? Apakah karena kedudukannya yang sedemikian kuatnya itu aku lalu harus lari ketakutan dan melapor kepada suhu di Siauw-lim-si bahwa aku tidak sanggup melaksanakan perintah suhu?"
Keng Hong tersenyum sabar, maklum bahwa hati pemuda yang gagah perkasa ini agak tersinggung.
"Bukan begitu, Twako. Tugas dari guru merupakan tugas suci yang harus dilaksanakan dengan taruhan nyawa, akan tetapi kalau tugas itu gagal karena kecerobohan, hal itu tentu terjadi kalau kau nekat melawannya, bukankah akan berarti kau menyia-yiakan dan menggagalkan tugasmu pula? Melawan dengan nekat sampai mati padahal sudah tahu bahwa melawan hanya berarti akan mengantar nyawa sendiri sama sekali bukanlah perbuatan orang gagah, melainkan pernuatan orang bodoh yang nekat. Terus terang aku memberitahu kepadamu, Yap-twako, bahwa dengan tingkat kepandaianmu yang sekarang, engkau tidak akan dapat menangkan Cui Im. Ketahuilah, dia telah mewarisi ilmu-ilmu dalam kitab-kitab pusaka peninggalan guruku Sin-jiu Kiam-ong dan agaknya tokoh Siauw-lim-pai yang akan dapat menundukkan hanya gurumu sendiri!"
Yap Cong San termenung dan dihatinya dia benar-benar terkejut mendengar ini. Memang tadi dia sudah menyaksikan sendiri kelihaian wanita itu, akan tetapi tidak menyangka bahwa Keng hong akan menyatakan seperti itu. Dia menjadi bingung dan bertanya, suaranya mengandung penasaran.
"Mohon petunjuk Cia-taihiap. Bagaimanakah saya harus bersikap sekarang? Apa yang harus saya lakukan?"
Keng Hong mengeluarkan dua buah kitab yang sudah kuning dan menyerahkannya kepada pemuda itu. Yap Cong San menerima dua kitab itu dan begitu melirik ke atas judul yang tertulis di kulit sampul, dia berseru,
"Ahhhhh! Kitab I-kiong-hoan-hiat dan kitab Seng-to-cin-keng! Bukankah ini dua buah kitab pusaka Siauw-lim-pai yang dikabarkan hilang..?"
"Benar. Itulah dua buah kitab yang dahulu dipinjam oleh mendiang guruku, Sin-jiu Kiam-ong dan yang pernah kujanjikan kepada tokoh-tokoh Siauw-lim-pai untuk kucari dan kukembalikan kepada Siauw-lim-pai. Baru sekarang aku berhasil merampasnya kembali dari Cui Im. Nah, dua buah kitab ini kuserahkan kepadamu, Yap-twako, agar kau bawa ke Siauw-lim-pai, disertai hormat dan permohonan maaf dariku demi nama mendiang guruku. Biarpun kau tidak berhasil membunuh Cui Im, namun dengan membawa kembali dua buah kitab yang amat penting ini, berarti perjalanamu tidak sia-sia belaka.
Untuk membalas dendam kepada Cui Im, sekarang ini percuma. Dia tentu tidak lagi berada di Phu-niu-san setelah melihat aku mencarinya, dan engkau pun perlu memperdalam ilmu kepandaianmu untuk menghadapinya, Twako. Lebih baik kau ceritakan terus terang semua pemberitahuanku tentang kelihaian Ang-kiam Bu-tek kepada suhumu agar beliau dapat pula mempertimbangkan dan mempertinggi tingkat kepandaianmu sebelum kau ditugaskan lagi untuk menandingi Cui Im."
Yap Cong San mengangguk-angguk hatinya terharu melihat dua buah kitab itu. Dia tahu karena pernah mendengar penuturan suhunya tentang dua buah kitab pusaka yang hilang dibawa Sin-jiu Kiam-ong dan hal itu selain merupakan pukulan memalukan bagi Siauw-lim-pai, juga merupakan kehilangan yang amat besar. Kini dua buah kitab itu telah diberikan kepadanya, hal yang sama sekali tidak pernah disangkanya. Pemuda Siauw-lim-pai itu cepat menjura dengan hormat dan berkata,
"Banyak terima kasih, Cia-taihiap. Bukan hanya atas pengembalian dua buah kitab pusaka Siauw-lim-pai ini, akan tetapi juga atas nasihat-nasihat Taihiap yang kini dapat kulihat dan kurasakan kebenarannya. Baiklah, aku akan menghadap suhu, Mempersembahkan dua buah kitab ini dan menceritakan keadaan musuh besar itu yang kini menjadi amat lihai. Tentu dia sudah pula mempelajari ilmu dari kedua buah kitab ini."
Keng Hong menghela napas panjang.
"Memang benar demikianlah, maka dia menjadi demikian lihai."
Yap Cong San menganggu-angguk dan berkata dengan suara tegas,
"Betapa pun juga, aku mohon kemurahan hati suhu untuk memberi gemblengan agar aku dapat memperdalam ilmu sehingga akan dapat menandingi wanita iblis itu! Sekali lagi terima kasih, Tai-hiap, dan selamat berpisah sampai jumpa pula."
“Selamat jalan dan berhati-hatilah. Dua buah kitab yang kau bawa itu kalau sampai terlihat tokoh-tokoh kang-ouw tentu akan mendatangkan bahaya dan gangguan hebat."
Yap Cong San menyimpan dua buah kitab di sebelah dalam bajunya dan mengaguk,
"Aku mengerti, Tai-hiap, dan karena dua buah kitab ini adalah benda-benda pusaka Siauw-lim-pai, aku akan melindunginya dengan nyawaku!'
Sekali lagi dia memberi hormat, kemudian tubuh pemuda Siauw-lim-pai ini berkelebat cepat, pergi meninggalkan Keng Hong yang memandang kagum. Pemuda itu benar-benar tampan dan gagah perkasa keberaniannya luar biasa membuat dia kagum dan suka sekali.
Setelah Yap Cong San pergi, Keng Hong lalu membuka bajunya dan mengeluarkan semua benda yang tadi dia rampas atau curi dari kamar pengantin wanita, pusaka-pusaka yang dahulu dilarikan Cui Im dari tempat persembunyian gurunya.
Sebatang pedang pusaka Hoa-san-pai, sepasang golok emas yang gagangnya di tabur mutiara, yaitu benda pusaka dari Khong-thong-pai, sekumpulan benda perhiasan yang dahulu oleh Sin-jiu Kiam-ong dirampasnya dari tangan Tan-piauwsu dan isterinya, yaitu benda-benda milik pembesar yang dikawalnya, sebuah kitab kuno dari Go-bi-pai yang dia rampas dari tangan Go-bi Chit-kwi, karena memang kitab ini dari Go-bi-pai dicuri oleh Tujuh Iblis Go-bi itu.
Tujuh buah kitab peninggalan Sin-jiu Kia-ong sendiri yang ditulis oleh pendekar sakti itu, dan sekantung penuh berisi potongan emas dan puluhan butir permata yang amat indah dan mahal harganya.
Hemmm, benda-benda inilah di antara semua benda yang menimbulkan keributan di dunia kang-ouw, yang membuat gurunya dahulu dimusuhi oleh banyak orang kang-ouw, dan yang kini menjadi tugasnya untuk dia kembalikan kepada pemiliknya yang berhak, pertama-tama dia harus mengembalikan pokiam (pedang pusaka) dari Hoa-san-pai seperti yang pernah dia janjikan kepada tokoh-tokoh Hoa-san-pai.
Sambil tersenyum puas Keng Hong memandang benda-benda pusaka yang terletak di depan kakinya itu. Tiba-tiba, secepat kilat, dia menyambar benda-benda itu dan beberapa detik kemudian benda-benda pusaka itu telah lenyap tersembunyi di dalam saku-saku bajunya sebelah dalam, sedangkan tubuhnya sudah melompat dan membalik.
Biarpun dia tadi sudah bergerak cepat sekali menyimpan semua benda itu ketika mendengar suara mencurigakan di sebelah belakang, namun Keng Hong maklum bahwa dia masih belum cukup cepat untuk menyembunyikan dari mata tiga orang kakek yang tahu-tahu telah berada di situ, berdiri memandangnya. Mereka itu bukan lain adalah Thian-te Sam-lo-mo!
Tiga orang kakek ini sebetulnya adalah tiga orang yang usianya amat tingi, kurang lebih seratus tahun! Diantara datuk-datuk golongan tua seperti Bu-tek Su-kwi yang kini tinggal tiga orang, yaitu Ang-bin Kwi-bo, Pak-san Kwi-ong dan Pat-jiu Sian-ong, mereka inilah yang paling tua.
Sudah puluhan tahun semenjak dahulu mereka dikalahkan Sin-jiu Kiam-ong, tiga orang iblis tua ini mengundurkan diri, bertapa dan tidak mencampuri urusan dunia, karena mereka sudah berjanji dan bertaruh dengan Sin-jiu Kiam-ong bahwa fihak yang kalah akan mengundurkan diri dan tidak akan muncul lagi di dunia kang-ouw!
Mereka itu bersembunyi dan bertapa di antara puncak-puncak di Pegunungan Himalaya, selain untuk memenuhi janji, juga untuk menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang tinggi agar kelak kalau perlu mereka akan dapat menebus kekalahan mereka dari Sin-jiu Kiam-ong!
Akan tetapi, mereka lalu mendengar bahwa Sin-jiu Kiam-ong telah meninggal dunia di puncak Kun-lun-san, yaitu Lembah Kiam-kok-san. Berita ini menggirangkan hati mereka karena mereka kini terbebas dari janji karena kalah bertaruh, juga mengecewakan kesempatan lagi untuk menebus kekalahan!
Namun, ketiga orang iblis tua ini menuruni Pegunungan Himalaya dan memasuki dunia ramai lagi, mereka kehilangan gairah. Melihat tokoh-tokoh besar yang boleh dijadikan saingan sudah tidak ada, mereka menjadi jemu. Pula, karena usia mereka yang sudah tua membuat mereka tidak bersemangat lagi untuk bermusuhan dan menimbulkan ribut, dan nafsu-nafsu jasmani mereka sudah mulai lemah, tiga orang ini hanya mencurahkan kesenangan dalam melakukan pibu dengan orang-orang pandai. Akan tetapi mereka tidak mau sembarangan turun tangan mencoba kepandaian orang kalau tidak merasa yakin betul bahwa lawannya cukup berharga untuk mereka tandingi!
Watak tiga orang yang sudah terlalu tua ini seperti kembali menjadi kanak-kanak. Ketika lewat di Phu-niu-san dan mendengar tentang San-cu dari gunung itu yang kabarnya lihai, mereka mampir. Akan tetapi setelah bertemu dan mendapat kenyataan bahwa San-cu dan suhengnya itu hanyalah tokoh-tokoh Kun-lun-pai tingkat tiga atau empat saja, mereka memandang rendah dan hanya mau menerima persahabatan Lian Ci Sengjin dan Sian Ti Sengjin setelah dua orang yang dapat mengenal orang sakti itu menerima mereka bertiga sebagai tamu-tamu kehormatan.
Apalagi ketika Thian-te Sam-lo-mo melihat calon isteri Sancu itu, Mereka menjadi terheran-heran dan dapat menduga bahwa calon pengantin wanita ini adalah seorang wanita muda yang memiliki kepandaian yang mungkin tidak akan mengecewakan untuk diajak pibu!
Mereka diperlakukan sebagai tamu-tamu terhormat sampai tiba saat pesta pernikahan di mana ketiga kakek tua renta ini bertemu dengan jago muda Siauw-lim-pai Yap Cong San dan pendekar muda yang memiliki kepandaian hebat, Cia Keng Hong.
Ketika Cui Im yang marah-marah dan kecewa sekali meninggalkan Phu-niu-san, tiga orang kakek itu pun segera menggunakan kepandaian mereka untuk mengejar. Akan tetapi mereka kehilangan jejak Cui Im sehingga mereka itu, terutama sekali orang tertua yang berpakaian jembel, membanting-banting kaki dengan gemas dan kecewa. Mereka masih merasa penasaran dan belum puas kalau belum menguji kepandaian wanita muda yang telah berani menggunakan nama julukan Bu-tek (Tanpa Tanding) setelah mereka kecewa tidak dapat mengadu ilmu dengan dua orang pemuda lihai itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar