*

*

Ads

FB

Kamis, 18 Agustus 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 118

"Subo sudah menyebutmu dewi, berarti engkau menjadi muridnya," kata lagi wanita itu dan setiap kali bicara dengannya, suara wanita baju merah itu tenang dan wajar.

Akan tetapi begitu bicara kepada nenek itu atau kepada pasukan baju kuning, gadis baju merah itu lalu ketular gilanya!

Giranglah hati Biauw Eng. Bukankah dia mengambil keputusan untuk mengasingkan diri dan menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang tinggi agar kelak dapat menghadapi Cui Im? Tempat mana yang lebih tepat untuk mengasingkan diri dari dunia ramai daripada tempat aneh di samping sekumpulan orang gila ini?

Dan guru mana yang akan dapat menggemblengnya lebih hebat daripada nenek gila yang memiliki kepandaian tidak lumrah manusia ini? Segera ia dapat mengambil keputusan dan cepat Biauw Eng menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu sambil berkata,

"Subo...!"

"Heh-heh-heh, muridku yang manis, engkau tidak lekas memberi hormat?"

Biauw Eng tercengang. Dia sudah berlutut masih disuruh lekas memberi hormat. Penghormatan apalagi yang harus ia lakukan? Cepat ia melakukan pai-kwi (menyembah) sampai delapan kali. Akan tetapi betapa kagetnya ketika nenek itu berkata lagi,

"Lekas engkau memberi hormat kepada gurumu. Apakah kau tidak suka menjadi muridku?"

Biauw Eng menjadi bingung dan wanita berpakaian merah di dekatnya berbisik,
"Lekas kau mencium ujung kedua sepatunya."

Kemudian nona baju merah itu tertawa.
"Hi-hi-hik, Subo. Bukankah Sumoi ini masih gila dan belum sembuh benar? Akan tetapi teecu percaya dia akan sembuh."

Biauw Eng terkejut dan hampir saja ia meloncat berdiri untuk memaki-maki nenek itu. Aturan mana ini kalau bukan aturan orang gila? Masa menjadi murid saja harus merendahkan diri melebihi budak belian, harus mencium kedua ujung sepatu gurunya!

Akan tetapi kesadarannya membuat ia mempertimbangkan. Kalau ia bangkit dan menentang, tentu ia akan mati. Ia tidak takut mati, akan tetapi bukankah kematiannya itu akan sia-sia dan bagaimana ia akan dapat membalas dendamnya terhadap Cui Im dibiarkan enak-enak tak terhukum setelah melakukan kekejian terhadap dirinya dan terhadap ibunya? Ia mengeraskan hatinya, lalu menghampiri nenek itu, berlutut dan mencium kedua ujung sepatunya.

"Heh-heh-heh, bagus, bagus, engkau mulai sembuh dari penyakit gilamu! Eh, siapa namamu?"

"Nama teecu Sie Biauw Eng," jawab Biauw Eng, diam-diam mengharap agar nenek itu tidak mengeluarkan perintah yang gila-gila lagi.






"Dukkk...!"

Tubuh Biauw Eng terpental dan bergulingan sampai lima meter jauhnya. Kembali nafsu amarah hampir membuat Biauw Eng meloncat bangun, memaki-maki dan melawan. Biarpun tendangan itu tidak melukainya karena ia sebetulnya hanya didorong pada pundaknya dengan ujung kaki, namun penghinaan itu terlampau berat baginya. Untung bahwa sebelum ia melakukan sesuatu yang tentu akan berakibat hebat bagi dirinya, nenek itu sudah membentak,

"Engkau she Sie ? Apa hubunganmu dengan Sie Cun Hong??"

Saking herannya mendengar nama mendiang ayahnya disebut-sebut nenek itu. Biauw Eng lupa akan kemarahannya. Nenek ini gila, semua orang yang berada disitu gila. Apa salahnya kalau ia membohong? Semua ucapan mereka pun kacau balau dan tidak ada yang benar!

"Teecu tidak mengenalnya. Mengapa Subo menyebut-nyebut nama itu? Siapakah dia?"

"Dia? Heh-heh-heh, dia laki-laki yang paling tampan, paling gagah perkasa di dunia ini! Dia laki-laki satu-satunya yang kucinta, akan tetapi.... sikeparat gila dia menolakku dengan mengatakan aku berotak miring! Heh-heh-heh!"

Mendengar ini dan melihat nenek itu tertawa terkekeh-kekeh, kemudian mendengar pula nona baju merah tertawa diikuti gelak tawa ketiga belas orang pasukan kuning, Biauw Eng lalu tertawa pula. Tertawa bergelak, lebih nyaring dari yang lain karena gadis ini tertawa sewajarnya, timbul dari hati yang girang bahwa ayahnya dahulu menolak nenek ini yang semenjak mudanya sudah gila! Melihat sikap Biauw Eng ini, nenek itu kelihatan senang.

"Heh-heh-heh, muridku yang baik, Biauw Eng dewi manis, ternyata engkau sudah sembuh, tidak gila seperti Sie Cun Hong. Biarlah, biar she-mu Sie akan tetapi engkau tidak ada hubungan dengan dia. Kalau masih keluarga, tentu kubunuh sekarang juga engkau. Dan ibumu, di mana ibumu?"

"Ibu sudah meninggal dunia, dibunuh orang. Ayah pun sudah meninggal dunia!"

"Heh-heh-heh-ha-ha! Orang tuamu sudah mati, orang tuaku pun sudah mati. Orang tua Hun Bwe juga sudah mati semua. Ha-ha-ha, betapa sengsara hidup kita, merana sebatangkara... Heh-heh-heh!"

"Hi-hi-hik, sungguh sengsara kita!" Hun Bwe si nona baju merah juga terkekeh.

Biauw Eng menjadi bingung, memandang nenek dan "sucinya" itu yang tertawa-tawa. Mereka bilang hidup sebatangkara ditinggal mati orang tua akan tetapi mengapa mereka tertawa-tawa? Benar-benar gila!

Tiba-tiba nenek itu menghentikan ketawanya dan memandang Biauw Eng.
"Eh, kenapa engkau tidak tertawa? Apakah engkau tidak berduka ditinggal mati orang tuamu?"

Biauw Eng terkejut. Ia memang berduka diingatkan bahwa ibunya telah mati dengan mengenaskan. Akan tetapi mengapa dia disuruh tertawa? Karena tidak dapat menyelami isi hati gurunya ia tertawa akan tetapi tidak seperti tertawa, melainkan menyeringai pahit.

"Wah, ketawamu tidak sedap! Mulutmu bau kalau tertawa seperti itu!" Nenek itu membentak.

"Subo, Sumoi masih belum sembuh dari gilanya." Hun Bwee mengingatkan gurunya yang mengangguk-angguk.

"Benar, hampir aku lupa. Mari kita rayakan kedatanganmu Biauw Eng. Kita rayakan datangnya muridku yang baru!"

Biauw Eng digandeng tangannya oleh Hun Bwe dan diajak memasuki gedung aneh mengikuti guru mereka. Ternyata di sebelah dalam gedung itu amat luas dan biarpun lantainya tidak rata, namun di dalam gedung itu hawanya dingin dan sejuk.

Celaka bagi Biauw Eng, semua perabot rumah itu aneh-aneh. Bangku-bangkunya diletakkan terbalik, tempat duduknya di bawah dan empat kakinya mencuat ke atas. Mereka duduk di atas kaki-kaki bangku itu. Tentu saja amat tidak enak, akan tetapi Biauw Eng yang mulai dapat menyesuaikan diri, bagi orang yang memiliki kepandaian seperti dia, duduk di atas bangku atau di atas ujung tombak sekalipun, sama saja.

Mejanya juga aneh, bentuknya segi tiga tidak rata pletat-pletot dan letaknya miring sehingga kalau meletakkan benda di atas meja itu tentu akan tergelincir jatuh! Akan tetapi melihat permukaan meja yang miring itu kasar dan banyak lubang-lubangnya, mengertilah Biauw Eng bahwa menaruh benda di situ harus menggunakan sinkang sehingga bendanya ditekan menancap pada permukaan meja!

Ketika ia melirik ke arah dinding, disitu terdapat gambar-gambar yang aneh. Warnanya menyolok beraneka macam sehingga menyakitkan mata, dan bentuk lukisan itu sendiri aneh sekali. Ada orang yang matanya hanya satu, hidungnya dua, bahkan ada lukisan orang yang kepalanya di bawah kakinya di atas, matanya berada di kuku jempol kaki! Banyak pula lukisan yang membuat Biauw Eng menjadi pening kepalanya hanya dengan memandanginya saja. sampai hampir pecah rasa kepalanya hanya dengan memandanginya saja.

Sampai hampir pecah rasa kepalanya ketika ia berusaha untuk mengerti lukisan apa sebenarnya yang tergantung itu. Namun tetap saja ia tidak mengerti! Bayangkan saja. Lukisan itu merupakan coretan-coretan halus, malang melintang dan saling membelit seperti lima macam benang ruwet menjadi satu! Ada pula lukisan yang merupakan titik-titik hitam di atas putih, dan yang lebih gila lagi adalah lukisan yang hanya hitam saja tidak berbentuk, tak tentu garisnya, akan tetapi lukisan-lukisan aneh ini di taruh di tempat tertinggi dan ada yang diberi bingkai emas!

"Indah,ya?" tiba-tiba nenek itu bertanya kepada Biauw Eng ketika melihat gadis ini memandangi lukisan-lukisan yang menghias dinding.

Biauw Eng terpaksa mengangguk-angguk, akan tetapi ia tidak dapat menahan keingin tahuannya dan bertanya,

"Subo, lukisan apakah itu? Apakah lukisan benang lima warna yang ruwet dan awut-awutan?"

"Wah, celaka....! Dasar engkau masih gila, belum sembuh benar, maka tidak bisa mengerti. Itu adalah lukisan yang bernama KECERDASAN!"

Biauw Eng menelan ludah bersama sumpah serapah yang sudah berada di ujung lidah. Lukisan berjudul Kecerdasan? Kecerdasan orang gila!

"Karena engkau gila maka engkau tidak dapat menikmati keindahannya. Lihat saja, betapa goresan si pelukis menjiwai lukisannya. Betapa jelas menggambarkan kecerdasan manusia, seperti benang-benang sutera halusnya, dapat menyusuri setiap liku-liku hidup dan seisi alam mayapada. Hemmm, betapa hebatnya si pelukis!" Nenek itu mengangguk-angguk.

"Dan yang hitam semua itu, Subo. Apakah itu lukisan keindahan waktu malam gelap tiada bulan?"

"Wah-wah, dasar gila! Itu namanya lukisan ketenangan! Dan yang titik-titik hitam di atas putih itu namanya lukisan Titik-titik Dosa."

Bukan main! Biauw Eng tidak berani memandang atau bertanya lagi, bukan takut disebut gila oleh gurunya, melainkan takut kalau-kalau ia akan betul-betul gila jika ia dapat mengerti lukisan-lukisan seperti itu!

Para anak buah pasukan baju kuning yang kemudian ternyata merupakan pelayan-pelayan dan juga murid-murid si nenek, datang membawa hidangan yang masih mengepul panas. Semua mangkok dan panci berisi hidangan itu mereka taruh di atas meja sambil mengerahkan sinking, mangkok-mangkok itu tertekan di dalam permukaan meja dan tidak jatuh biarpun permukaan itu miring.

"Mari kita pesta, hayo makan, Biauw Eng!"

Biauw Eng mengambil mangkok dan sumpit, akan tetapi begitu sumpitnya mengambil sepotong daging di dalam panci, ia hampir menjerit karena yang disumpinya itu adalah buntut seekor kadal!

Tiba-tiba, sebelum ia membuang buntut itu sambil menggigil jijik, kakinya diinjak orang dan ia tahu bahwa yang menyentuh kakinya itu kaki Hun Bwee yang duduk di sebelah kirinya. Ia menoleh dan melihat sedetik mata yang indah dari gadis baju merah itu berkedip.

Biauw Eng melihat Hun Bwee sengaja menyumpit sebutir kepala kadal yang mata melotot, lalu memasukkan kepala ini ke mulutnya yang merah dan mengunyah, kelihatan enak sekali!

Biauw Eng menelan ludah, hampir muntah. Akan tetapi ia maklum bahwa kalau ia menolak hidangan itu, gurunya yang gila akan marah dan sucinya itu telah memberi isyarat. Mengapa sucinya memberi isyarat ? Ia sambil memejamkan mata seperti orang makan jamu pahit ia memasukkan buntut itu ke mulutnya dan... Ternyata rasanya enak gurih dan baunya sedap. Entah bumbu apa yang digunakan, akan tetapi buktinya enak! Rasa enak ini mengurangi kemuakkannya dan mulailah dia ikut makan.

Dapat dibayangkan betapa muak rasa perut Biauw Eng ketika mendapat kenyataan bahwa yang dimasak itu adalah binatang yang tidak biasa dimakan orang waras. Ada sop cacing, ada tim cecak, goreng kacoa kering, ca ular berbisa dan kadal godok!

"Hayo makan yang kenyang, ini rasakan sopnya, wah lezat sekali!"

Nenek itu berkata dan sekali sumpitnya bergerak seonggok cacing memasuki mangkok Biauw Eng! Gadis ini membelalakan matanya, hampir menjerit, akan tetapi kembali Hun Bwee berkedip kepadanya ! Biauw Eng meramkan mata, menyumpit cacing dan memasukkan ke mulutnya. Ihhhh, memang enak rasanya akan tetapi licin dan seolah-olah cacing-cacing itu masih hidup, terus saja meluncur memasuki tenggorokannya terus ke perut. Perut Biauw Eng mual dan hampir ia muntah, dan hanya dengan kekuatan kemauannya saja ia dapat bertahan.

Setelah pesta makan, nenek itu lalu menari dan semua orang menari, termasuk Biauw Eng. Gadis ini selalu berusaha mencontoh Hun Bwee, akan tetapi melihat sucinya itu mengegal-egolkan pantatnya yang bulat membusung, menjadi geli dan tertawa bergelak.

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: