*

*

Ads

FB

Kamis, 18 Agustus 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 117

Yang membuat ia terbelalak keheranan adalah ketika ia melihat adanya bangunan besar di puncak itu. Bangunan itu besar dan megah, akan tetapi bentuknya sungguh tidak lumrah bangunan manusia. bentuknya pletat-pletot, bulat bukan persegi pun bukan.

Tiang rumah yang biasanya dan seharusnya lurus itu berbentuk bengkang-bengkong tidak karuan, tembok yang biasanya rata itu brenjal-brenjol tinggi-rendah tidak karuan pula. Lantainya tidak rata, melainkan penuh lekuk-lengkung sehingga kalau tidak hati-hati berjalan di situ bisa tersandung atau terjeblos!

Pintunya sekecil jendela, sebaliknya jendelanya selebar pintu. Daun pintu bangunan itu dibuka dengan engsel di kanan kiri, atau terbuka dengan mengangkat daun pintu ke atas, melainkan daun pintunya amblas ke dalam lantai. Pendeknya, selama hidupnya belum pernah ia melihat rumah seperti itu. Agaknya pembuatnya adalah orang-orang dengan pikiran kanak-kanak atau pikiran tidak waras! Ataukah.... Pikirannya sendiri dan pandang matanya yang sudah berubah sehingga ia melihat sesuatu yang wajar akan tetapi kelihatan aneh?

Para pemikulnya melemparkannya di depan pintu gedung aneh itu, dan mereka semua, termasuk gadis pakaian merah berdiri di pinggiran. Tiga belas orang pelayan itu berlutut dan menyembah dengan muka mencium tanah, sedangkan gadis pakaian merah itu berlutut dengan sebelah kaki.

Tak lama kemudian terdengar suara ketawa dari dalam gedung. Suara ketawa terkekeh aneh dan menyeramkan, seperti suara ketawa kuntilanak. Tubuh ketiga belas orang anak buah pasukan baju kuning tidak ada yang bergerak, muka mereka tetap menempel tanah, sedangkan gadis baju merah yang berlutut dengan kaki kiri itu menunduk, sikapnya penuh hormat.

Hati Biauw Eng berdebar tidak karuan. Mahluk apakah yang tertawa seperti itu? Mengingatkan ia akan suara burung hantu yang berbunyi pada tengah malam di tengah tanah kuburan. Apakah ia akan diserahkan mahluk ajaib yang akan mengganyangnya mentah-mentah? Ia bergidik dan membuka mata lebar-lebar penuh perhatian ke arah lubang pintu yang hitam gelap.

Suara ketawa disusul suara batuk-batuk serak dan agak lega hati Biauw Eng. Betapapun juga, yang dapat batuk-batuk seperti itu tentulah seorang manusia. Akan tetapi manusia macam apakah? Terdengar bunyi kaki diseret dan ketukan tongkat, tidak rata bunyinya dan Biauw Eng mengerti bahwa orang yang berjalan di atas lantai berlekuk-lengkung seperti itu mana bisa rata langkahnya? Tentu sambil berloncatan kalau tidak mau tertelungkup.

Kini muncullah orang yang tertawa dan batuk-batuk itu. Kiranya seorang nenek yang tua sekali, mukanya sudah kempot peyot dan karena ia tertawa lebar, tampak mulutnya tidak bergigi sama sekali. Matanya sipit hampir tertutup, keriput, rambutnya putih semua, muntel seperti kapas basah, seluruh kulit tubuhnya yang tampak, dari muka, leher dan tangan, penuh keriput karena kelebihan kulit kekurangan daging.

Biarpun nenek itu sudah kelihatan tua sekali, akan tetapi pakaiannya amat mewah dan indah, terbuat daripada sutera halus dari barat dan berkembang-kembang lima macam warna, kuning merah biru hitam dan putih!






Sepatunya sulaman dan rambut yang putih tinggal sedikit itu dihias burung hong emas bertabur mutiara! Nenek ini memegang tongkat dan tongkatnya pun terbuat daripada gading yang kepalanya diukir indah merupakan kepala liong. Sukar ditaksir berapa usia nenek ini, tentu sedikitnya ada seratus tahun.

Bukan main, pikir Biauw Eng, setengah geli akan tetapi juga heran dan merasa ngeri hatinya. Inilah agaknya sang ratu yang menjadi peran utama di tempat ini! Ia mengingat-ingat akan penuturan ibunya dahulu tentang nama tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw bagian utara, akan tetapi seingatnya ibunya belum pernah menyebut-nyebut seorang nenek yang masih pesolek seperti ini, yang tinggal di rumah gila dan mempunyai pasukan wanita gila pula!

Seingatnya, seorang diantara Bu-tek Su-kwi atau empat iblis tanpa tanding, yang disebut pula empat datuk hitam, yang menguasai daerah utara adalah Pat-jiu Sian-ong, di timur Ang-bin Kwi-bo dan di selatan adalah ibunya sendiri. Adapun tokoh-tokoh di Go-bi-san, yang ia dengar adalah Go-bi-pai atau partai persilatan Go-bi-san yang tersohor ilmu pedangnya akan tetapi termasuk golongan putih dan pimpinannya adalah hwesio-hwesio dari barat.

Di samping Pak-san Kwi-ong, memang ada tokoh-tokoh Go-bi-san yang tergolong tokoh sesat, yaitu Go-bi Chit-kwi (Tujuh Iblis Go-bi) yang dahulu pernah hampir memperkosa ibunya akan tetapi mereka dipukul mundur oleh Sin-jiu Kiam-ong, sehingga ibunya yang masih gadis menjadi tergila-gila kepada pendekar itu. Akan tetapi Go-bi Chit-kwi sudah mati dan kini yang ada hanya muridnya, yaitu Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek yang menjadi sahabat bekas sucinya. Akan tetapi nenek gila dan aneh ini? Dia belum pernah mendengarnya!

"Heh-heh-heh! Hun Bwe muridku yang hebat, dewiku yang cantik, untuk apa engkau membawa pula hasil buruan seperti ini? Hi-hi-hi, dagingnya tentu tidak enak dan kalau dipelihara, dia ini gila, bukan?"

"Dia gila segila-gilanya, Thai-houw....!" Tiga belas orang anak buah pasukan baju kuning menjawab serentak.

"Dia mengatakan hamba semua gila, hi-hi-hik, ha-ha!" Perempuan berurai rambut berkata sambil tertawa.

"Hush, aku tidak tanya kamu! Mengapa mulutmu terbuka? Bau!"

Sang ratu itu memencet hidungnya. Melihat ini hampir saja Biauw Eng tak dapat menahan ketawanya. Benar-benar ia telah memasuki dunianya orang gila.

"Apa engkau pagi tadi menyikat gigimu?" Tiba-tiba nenek itu bertanya kepada si rambut riap-riapan.

"Sudah, Thai-houw."

"Perlihatkan gigimu!"

Wanita itu meringis sehingga deretan giginya yang putih seperti mutiara itu tampak semua. Nenek itu menggangguk-angguk.

"Baik, akan tetapi awas, kalau gigimu kotor dan bau, akan kucabuti semua. Gigiku dahulu tinggal sebuah, kuning dan bau maka kucabut sekali. Sekarang bersih. Nah, lihat, bagus dan tidak bau, kan?"

Nenek itu meringis sehingga tampak gusinya yang kemerahan dan gundul tanpa gigi. Biauw Eng tak dapat menahan ketawanya dan biarpun kaki tangannya masih terbelenggu, gadis ini cekikikan, tak dapat menahan kegelian hatinya. Melihat ini, nenek itu mencela muridnya yang berpakaian merah.

"Hun Bwe, bagaimana ini? Kulihat dia waras! Dapat tertawa sehat!"

Gadis berpakain merah itu cepat menjawab,
"Dia memang gila, Subo, akan tetapi bisa disembuhkan."

"Hemmm, begitukah? Eh, mengapa dia dibelenggu? Kalau mau dipelihara, harus dibebaskan agar dia senang."

"Dia lihai sekali subo. Teecu khawatir dia memberontak."

"Di depanku, mana bisa memberontak?"

Nenek itu menggerakkan tongkatnya, dan Biauw Eng terkejut bukan main. Tongkat itu menyambar bagaikan kilat ke arah tubuhnya. Dia memejamkan mata, siap menerima datangnya pukulan maut. Ia maklum bahwa menghadapi pukulan tongkat yang anginnya mendatangkan rasa dingin sekali itu ia takkan dapat menyelamatkan diri.

Akan tetapi betapa herannya ketika tiba-tiba kaki tangannya sudah terbebas daripada belenggu! Ia kagum bukan main, membuka matanya dan melihat betapa tali-tali kuat yang tadi mengikatnya sudah putus seperti dibabat pedang tajam. Padahal tongkat di tangan nenek itu runcing pun tidak melainkan tumpul. Cepat ia meloncat bangun dengan sigapnya, siap untuk mempertahankan diri dan membela diri mati-matian sebelum menyerah.

"Heh, di depan ratumu engkau berani berdiri? Hayo berlutut!" Nenek itu membentak.

Biauw Eng adalah seorang gadis yang berhati keras dan tabah, tentu saja ia tidak sudi berlutut di depan nenek gila ini, biarpun nenek ini menamakan dirinya seorang ratu. Akan tetapi sebelum ia membantah, tampak sinar kuning berkelebat ke arah kakinya. Biauw Eng hanya melihat sinar, dapat menduga bahwa dia diserang maka cepat ia meloncat untuk mengelak. Akan tetapi sinar yang ternyata adalah tongkat nenek itu mengejar ke atas, kakinya ditotok dan ia roboh kembali ke atas tanah!

"Heh-heh-heh, berlutut.. rebahlah....!" Nenek itu berjingkrak-jingkrak kegirangan.

Merah seluruh wajah Biauw Eng, merah saking malu dan marahnya. Ia meloncat bangun lagi, akan tetapi sekali ini bukan sinar kuning tongkat nenek itu yang menyambar, melainkan tangan kiri nenek yang kurus itu mendorong ke depan. Biauw Eng cepat mengelak dengan loncatan ke kiri, akan tetapi seperti juga tadi, percuma saja ia meloncat ke kiri karena pukulan jarak jauh itu tetap saja mengenai tubuhnya dan ia sekali lagi roboh terguling!

"Nenek iblis!"

Biauw Eng memaki sambil meloncat bangun lagi karena biarpun ia roboh, ternyata hawa pukulan nenek itu tidak melukainya, hanya membuatnya terjengkang karena hawa pukulan itu amat kuat.

"Bagus, terima kasih, nona manis! Aku memang nenek iblis, juga nenek ratu! Pujianmu kuterima dengan hati terbuka!"

Nenek itu berjingkrak kegirangan seperti seorang anak kecil mendapat pujian. Melihat ini, Biauw Eng tercengang. Benar-benar nenek yang miring otaknya dan agaknya nenek ini lihai sekali. Kalau ia tidak cepat merobohkan nenek ini, tentu tidak ada harapan lagi baginya terlepas dari tangan orang-orang gila ini. Pasukan baju kuning dapat ia atasi, sedangkan gadis baju merah biarpun lihai, dapat pula ia tahan karena tidak selihai nenek ini. Ia menggunakan kesempatan selagi nenek itu menari-nari dan memutar tubuh, secepat kilat ia menghantam punggung nenek itu dari belakang.

"Wuuuuuuttt..... bleggg!!"

Pukulan Biauw Eng tepat mengenai punggung nenek itu, dan sekali ini ia mengerahkan tenaga sinkang yang dahulu dilatih sambil merendam tangan dalam godokan lima macam racun karenanya dinamai Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun).

Tadi dalam pertandingan melawan gadis baju merah ia tidak tega menggunakan tangan beracun itu, akan tetapi kini menghadapi nenek yang demikian lihainya, yang perlu ia pukul mati agar ia dapat bebas, ia terpaksa mengeluarkan pukulan ini, bahkan memukul dari belakang.

Pukulannya mengenai punggungg dengan tepat. Nenek itu mengeluh dan terguling miring, dari mulutnya mengeluarkan darah hitam, tanda bahwa pukulan itu mengenai sasaran dan jantung nenek itu telah keracunan. Anehnya, baik nona baju merah maupun tiga belas orang perempuan baju kuning diam saja seperti patung. Kesempatan ini dipergunakan oleh Biauw Eng untuk memutar tubuh dan hendak lari meninggalkan puncak. Akan tetapi baru melangkah beberapa tindak, terdengar suara ketawa,

"Heh-heh-heh, dewiku yang manis, kau hendak terbang ke mana?"

Biauw Eng terkejut mengenal suara nenek itu dan pada saat itu pun ia terguling roboh karena kedua kakinya kena diserampang tongkat gading. Biauw Eng menggulingkan diri mendekati tambang yang tadi dipergunakan mengikat tubuhnya. Ia melihat nenek yang tadinya roboh mati oleh pukulannya itu kini telah berdiri lagi dan terkekeh-kekeh.

Kiaranya nenek itu tidak apa-apa dan tadi hanya mempermainkannya saja. akan tetapi mengapa mulutnya keluar darah hitam? Biauw Eng bergidik, maklum bahwa nenek ini luar biasa lihainya, memiliki kepandaian yang tidak lumrah manusia, lebih lihai daripada ibunya sendiri.

Sabuk suteranya telah lenyap ketika ia bertanding melawan nona baju merah tadi, maka ia teringat akan tambang yang tadi mengikat dirinya. Tambang itu pun merupakan benda lemas maka ia dapat pergunakan sebagai senjatanya. Begitu ia meraba tambang, ia cepat meloncat ke arah tubuh nenek itu, sekaligus ujung tambang menotok ketiga belas jalan darah di depan tubuh yang mematikan!

"Heh-heh-heh, engkau memiliki dasar yang lebih baik daripada Hun Bwe...!"

Dengan matanya sendiri Biauw Eng melihat betapa totokannya yang bertubi-tubi itu semua mengenai sasaran, akan tetapi nenek itu tidak apa-apa, bahkan akhirnya ujung tambang itu membalik dan menotok dadanya sendiri. Ia cepat menyendal tambang itu sehingga ujung tambang lewat di atas kepalanya. Keringat dingin mulai keluar dari wajah Biauw Eng. Tahulah ia bahwa melawan pun tidak akan ada gunanya. Nenek ini memiliki kepandaian yang amat luar biasa seperti siluman saja.

"Sumoi, Subo telah mengambilmu sebagai murid, kenapa engkau masih melawan? Hi-hi-hik, Subo, sudah kukatakan bahwa dia ini memang gila. Betul tidak?"

Mendengar ucapan gadis pakaian merah ini. Biauw Eng terkejut. Dia diambil murid? Sejak kapan?

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: