"Eh, mengapa engkau berduka? Mari bergembira!"
Nenek itu mencela melihat Biauw Eng tertawa dan... Dia lalu menangis tersedu-sedu sambil menari. Biauw Eng terbelalak heran, lebih lagi kaget dan herannya melihat Hun Bwee juga menangis sambil menari. Juga tiga belas pelayan wanita itu menangis semua, ada yang merauang-raung, ada yang sesunggukan, ada yang mengguguk, ada yang terisak-isak. Mereka menangis sambil menari, menggoyangkan pinggul, meliak-liukkan pinggang yang ramping! Benar-benar lucu dan aneh dan.... Gila!
Terpaksa Biauw Eng juga ikut menangis dan karena ia teringat akan nasibnya, betapa ia sampai tersesat ke dunia gila dan terpaksa ikut-ikutan gila, tangisnya paling menyedihkan! Hal ini menyenangkan hati nenek itu. Ia menepuk-nepuk pundak biauw Eng sambil menangis tersedu-sedu dan berkata dengan suara terputus-putus,
"Aahhh... Muridku yang baik.... engkau paling gembira... Ah, hu-hu-huuu, bagus... Engkau menikmati pesta ini... Hu-hu-huuukkk!"
Biauw Eng merasa pening kepalanya, tidak tahu apakah ia harus tertawa atau menangis. Akan tetapi hatinya penuh duka, dan ia sengaja mengenangkan ibunya, mengenangkan Keng Hong sehingga hatinya seperti diremas-remas dan tangisnya makin menggukguk.
Akhirnya pesta berakhir dan Biauw Eng disuruh mengaso, tidur bersama Hun Bwee. Kamar tidurnya juga membuat ia menarik napas panjang. Bukan dipan dengan kasur empuk, melainkan dipan kasar dengan "kasur" batu-batu karang yang runcing dan tajam. Ini bukan beristirahat namanya, melainkan menyiksa diri!
Melihat wajah sumoinya muram Hun Bwee berbisik.
"Sumoi, kau harus pandai menyesuaikan diri. Pilihlah, tidur di atas dipan, atau tidur bersila di lantai atau tidur... Berdiri."
Biauw Eng kehilangan kesabarannya. Disambarnya tangan sucinya dan ia berkata,
"Suci, apa artinya ini semua? Aku tahu betul, engkau tidak gila!"
"Sssttttt....!" Hun Bwee menarik tangan sumoinya, diajak duduk di atas lantai dan ia berbisik lirih sekali di dekat telinga sumoinya. "Kalau subo tahu, kita tentu akan dibunuhnya. Engkau ingin memperdalam ilmu silat, bukan?"
Biauw Eng mengangguk.
"Sudah kuduga, maka engkau mau menjadi muridnya. Aku pun begitu hanya subolah yang akan dapat menggembleng kita. Aku baru setahun di sini akan tetapi ilmuku maju pesat secara luar biasa. Demi tercapainya cita-cita kita harus berani berkorban dan di sini kita hanya berkorban menyesuaikan diri dalam dunia yang tidak normal. Akan tetapi kau tunggu saja, hal ini bahkan akan dapat memberi kemajuan kepada ilmu silatmu. Setahun yang lalu, ketika aku tiba di sini, kepandaianku masih jauh di bawah tingkatmu sekarang."
Biauw Eng terkejut. Kalau begitu jelas bahwa kemajuan yang diperoleh sucinya memang hebat sekali.
"Suci, siapakah subo itu.."
"Mari kita berbaring di atas dipan batu-batu karang itu. Baik sekali untuk latihan ginkang. Aku dapat menempelkan mulut ke telingamu dan kita dapat mengobrol dengan leluasa tanpa khawatir terdengar orang lain."
Hati Biauw Eng girang sekali. Kenyataan bahwa sucinya bukanlah orang gila seperti guru mereka dan para pelayan, memberi hiburan yang amat besar dan berpengaruh sehingga rasa mual di perutnya seketika lenyap. Kalau dia harus berpura-pura gila dan makan masakan yang menjijikan itu, kini ia tahu bahwa dia tidak menderita sendirian, ada Hun Bwee yang juga sama dengan dia nasibnya!
Kedua dara ini lalu membaringkan diri di atas dipan berkasur batu karang dan melihat betapa sucinya dapat berbaring dengan enak Biauw Eng menjadi kagum akan ginkang sucinya.
Ia pun lalu mengerahkan ginkangnya dan berbaring di sebelah sucinya yang kini ia tahu sengaja mengajak dia untuk dijadikan teman agar penderitaaannya menjadi ringan. Tahulah ia mengapa sucinya ini tadi sengaja memaki-maki dia gila akan tetapi dapat disembuhkan. Diam-diam ia berterima kasih kepada Hun Bwee dan merasa suka kepada sucinya ini.
Mereka berbisik-bisik dan Hun Bwee menceritakan pengalamannya lebih dulu. Kini mereka bicara sewajarnya seperti orang waras dan Hun Bwee kelihatan berduka sekali, bercerita sambil bercucuran aiar mata.
"Namaku Tan Hun Bwee, orang tuaku meninggal dunia karena tekanan batin, tidak berhasil membalas dendam kepada musuh besarnya. Aku berusaha melanjutkan cita-cita mereka membalas dendam, akan tetapi musuh besar itu telah tewas. Aku bertemu dengan murid musuh itu, hendak kubalas dendam kepada muridnya, akan tetapi .... aku.... Aku.... Malah diperkosanya...!" Gadis itu menutupi mukanya dan menangis tanpa suara.
Biauw Eng memeluknya.
"Aduh, sungguh buruk nasibmu, Suci. Siapakah jahanam itu? Biar kelak aku membantumu menghancurkan kepalanya!"
Hun Bwee menggeleng kepala.
"Marilah kita berjanji Sumoi. Kita tidak akan mencampuri urursan kita masing-masing. Urusan pribadi kita harus kita selesaikan sendiri dan marilah kita disini saling melatih agar dapat cepat memperoleh hasil, yaitu kepandaian tinggi untuk membalas dendam."
Biauw Eng menarik napas panjang. Ada benarnya kata-kata sucinya ini. Urusan pribadi memang tidak baik kalau dicampuri orang lain, biarpun yang mencampuri itu saudara seperguruan sendiri.
"Baiklah, Suci."
Tentu saja Biauw Eng sama sekali tidak pernah mimpi bahwa musuh besar yang dimaksudkan oleh Hun Bwee adalah ayahnya sendiri. Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong, dan bahwa murid musuh besar yang dikatakan memperkosa dirinya itu bukan lain adalah...Keng Hong.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, Tan Hun Bwee, puteri mendiang Hek-houw Tan Kai Sek atau Tan-piauwsu yang bersama isterinya mati karena tekanan batin tak mampu membalas dendam kepada Sin-jiu Kiam-ong, telah bertemu dengan Keng Hong dan betapa dia telah diperkosa oleh Lian Ci Tojin tokoh Kun-lun-pai yang menyeleweng dan menjadi hamba nafsu berahi, kemudian betapa Hun Bwee ditolong oleh Keng Hong akan tetapi menyangka pemuda itu telah memperkosanya.
"Sumoi, sekarang ceritakanlah pengalamanmu. Tentu pengalamanmu hebat pula, tidak kalah sengsara dari pengalamanku, maka engkau kelihatan seperti orang yang putus asa. Kalau kau tidak keberatan, ceritakanlah pengalamanmu kepadaku, Sumoi."
Diam-diam Biauw Eng merasa terharu mendengar ucapan Hun Bwee yang terdengar penuh kasih sayang. Suara seperti ini belum pernah ia dengar, dari mulut ibunya yang bersuara dingin pun belum pernah. Hanya pernah dari suara Keng Hong.... Akan tetapi, pemuda itu hanya menjual madu di bibir!
Merasa betapa ia seolah-olah mendapat seorang kakak, ia lalu merangkul leher Hun Bwee dan menangis terisak-isak di dada gadis itu. Hun Bwee mengelus-elus rambut yang hitam berombak itu dan gadis itu pun menangis. Keduanya bertangisan, tangis karena terharu, tangis yang wajar dan tulen, tidak seperti tangis ketika mereka berdua menari-nari tadi.
"Kalau berat hatimu, tak usah kau ceritakan, Sumoi."
"Tidak, Suci... Engkau kuanggap enciku sendiri.. akan tetapi karena janjimu tadi, biarlah kuceritakan tanpa menyebut nama. Namaku memang Sie Biauw Eng, Ayahku telah meninggal dunia dan ibuku dibunuh secara keji sekali oleh suciku sendiri, murid ibuku! Aku telah mencarinya, akan tetapi dia telah memperdalam ilmunya dan kini menjadi seorang yang amat lihai, aku bukan tandingannya sehingga aku hampir putus harapan untuk dapat mengalahkannya. Selain itu aku... aku, ah... aku mencinta seorang pemuda, akan tetapi dia ternyata berhati palsu, hanya mencinta jasmaniku dan aku tidak sudi... Ahhh...."
"Sudahlah, Sumoi. Aku dapat mengerti kesengsaraan hatimu. Aku pun mencinta seorang pria, cinta yang baru bersemi karena melihat dia tampan dan gagah perkasa, akan tetapi dia.. dialah yang memperkosa aku..."
Kedua orang gadis itu menjadi akrab, merasa senasib sependeritaan, terutama sekali sependeritaan dalam menyesuaikan diri di tempat itu, di antara sekumpulan orang gila!
"Suci, siapakah sebenarnya subo? Benarkah dia amat lihai?"
"Untik masa sekarang agaknya sukar dicari orang yang lebih lihai dari dia. Engkau tahu, itu Go-bi Chit-kwi yang disohorkan amat lihai, pernah dihajar mati-matian oleh subo sehingga mereka bertujuh merangkak-rangkak minta ampun, baru dibebaskan oleh subo. Kiraku hanya ada satu orang yang mungkin dapat menandinginya, yaitu laki-laki yang pernah mematahkan hatinya, Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong!"
"Ohhhhh....!" Biauw Eng terkejut.
"Kenapa, Sumoi? Pernahkah engkau mendengar nama Sin-jiu Kiam-ong?"
"Tentu saja. siapakah yang tidak mendengar namanya?"
Diam-diam Biauw Eng merasa lega bahwa sucinya tidak pernah mendengar nama julukannya sehingga tidak tahu bahwa dia adalah puteri Lam-hai Sin-ni, sungguhpun andaikata tahu sekalipun, tidak ada halangannya.
Demikianlah, sejak hari itu Biauw Eng menjadi murid nenek itu yang tidak ada orang mengenal namanya. Bahkan Tan Hun Bwee pun hanya mengenalnya sebagai Go-bi Thai-houw (Ratu Go-bi).
Biauw Eng dilatih bersama Hun Bwee, akan tetapi tidak sama latihan mereka. Hal ini adalah karena dasar ilmu silat yang mereka miliki jauh berbeda. Nenek itu mempunyai cara mengajar yang amat lucu dan aneh, disesuaikan dengan dasar kepandaian mereka, akan tetapi tampaknya ilmu silat murid-muridnya itu malah "dirusak" karena semua diubah variasinya, diisi gerakan-gerakan seperti orang gila, sungguhpun dasarnya tetap tidak diubah.
Dan Biauw Eng mendapat penjelasan dari sucinya yang membuat ia mulai mengerti mengapa pelajaran nenek itu dapat mendatangkan kemajuan yang cepat luar biasa. Kiranya, keadaan nenek yang gila ini serba terbalik dari orang waras, sehingga kalau bergembira ia menangis, sebaliknya kalau berduka ia tertawa. Justeru orang yang dapat menguasai perasaan ini menimbulkan kekuatan batin yang hebat, yaitu dapat tertawa dalam duka dan dapat menangis dalam suka!
Sikap seperti ini biasa saja bagi orang gila, akan tetapi kalau dilaksanakan oleh orang waras, merupakan latihan batin yang amat berat dan hasilnya pun bukan main besarnya, karena orang yang dapat melakukannya, berarti dapat mengatasi perasaan dan nafsu-nafsunya.
Orang yang tidak dikuasai oleh nafsu, berati selalu dalam keadaan "tiong-yong" (lurus, tegak, tidak berat sebelah). Kalau datang nafsu-nafsu seperti suka-duka marah dan lain-lain, maka perimbangannya menjadi tidak lurus lagi, menjadi miring dan tentu saja hal ini membayangkan kelemahan batin yang dapat mendorong orang lupa diri dan melakukan hal-hal yang menyeleweng.
Dalam ilmu silat pun perlu sekali orang dapat mengatasi semua nafsu, karena ia akan menjadi kuat batinnya dan dengan cepat tenaga sakti (sinkang) di tubuh yang terbenam dalam pusar akan menjadi makin kuat.
Karena pada dasarnya ilmu kepandaian Biauw Eng memang lebih tinggi daripada tingkat Hun Bwee, setelah belajar selama setahun saja, tingkat kepandaian Biauw Eng sudah melampaui tingkat Hun Bwee.
Melihat ini, diam-diam Hun Bwee menjadi kagum dan menduga-duga siapakah tadinya guru sumoinya ini. Akan tetapi ia tidak menjadi iri hati karena selama setahun ini ia mendapat kenyataan bahwa Biauw Eng seorang dara yang amat baik budi sehingga hubungan di antara mereka seperti kakak beradik saja. mereka berdua tekun belajar dan berlatih terus di bawah pengawasan Go-bo Thai-houw yang biarpun gila, akan tetapi ternyata amat tekun mengajar dan banyak macam ilmu aneh ia turunkan kepada kedua muridnya.
Nenek itu mencela melihat Biauw Eng tertawa dan... Dia lalu menangis tersedu-sedu sambil menari. Biauw Eng terbelalak heran, lebih lagi kaget dan herannya melihat Hun Bwee juga menangis sambil menari. Juga tiga belas pelayan wanita itu menangis semua, ada yang merauang-raung, ada yang sesunggukan, ada yang mengguguk, ada yang terisak-isak. Mereka menangis sambil menari, menggoyangkan pinggul, meliak-liukkan pinggang yang ramping! Benar-benar lucu dan aneh dan.... Gila!
Terpaksa Biauw Eng juga ikut menangis dan karena ia teringat akan nasibnya, betapa ia sampai tersesat ke dunia gila dan terpaksa ikut-ikutan gila, tangisnya paling menyedihkan! Hal ini menyenangkan hati nenek itu. Ia menepuk-nepuk pundak biauw Eng sambil menangis tersedu-sedu dan berkata dengan suara terputus-putus,
"Aahhh... Muridku yang baik.... engkau paling gembira... Ah, hu-hu-huuu, bagus... Engkau menikmati pesta ini... Hu-hu-huuukkk!"
Biauw Eng merasa pening kepalanya, tidak tahu apakah ia harus tertawa atau menangis. Akan tetapi hatinya penuh duka, dan ia sengaja mengenangkan ibunya, mengenangkan Keng Hong sehingga hatinya seperti diremas-remas dan tangisnya makin menggukguk.
Akhirnya pesta berakhir dan Biauw Eng disuruh mengaso, tidur bersama Hun Bwee. Kamar tidurnya juga membuat ia menarik napas panjang. Bukan dipan dengan kasur empuk, melainkan dipan kasar dengan "kasur" batu-batu karang yang runcing dan tajam. Ini bukan beristirahat namanya, melainkan menyiksa diri!
Melihat wajah sumoinya muram Hun Bwee berbisik.
"Sumoi, kau harus pandai menyesuaikan diri. Pilihlah, tidur di atas dipan, atau tidur bersila di lantai atau tidur... Berdiri."
Biauw Eng kehilangan kesabarannya. Disambarnya tangan sucinya dan ia berkata,
"Suci, apa artinya ini semua? Aku tahu betul, engkau tidak gila!"
"Sssttttt....!" Hun Bwee menarik tangan sumoinya, diajak duduk di atas lantai dan ia berbisik lirih sekali di dekat telinga sumoinya. "Kalau subo tahu, kita tentu akan dibunuhnya. Engkau ingin memperdalam ilmu silat, bukan?"
Biauw Eng mengangguk.
"Sudah kuduga, maka engkau mau menjadi muridnya. Aku pun begitu hanya subolah yang akan dapat menggembleng kita. Aku baru setahun di sini akan tetapi ilmuku maju pesat secara luar biasa. Demi tercapainya cita-cita kita harus berani berkorban dan di sini kita hanya berkorban menyesuaikan diri dalam dunia yang tidak normal. Akan tetapi kau tunggu saja, hal ini bahkan akan dapat memberi kemajuan kepada ilmu silatmu. Setahun yang lalu, ketika aku tiba di sini, kepandaianku masih jauh di bawah tingkatmu sekarang."
Biauw Eng terkejut. Kalau begitu jelas bahwa kemajuan yang diperoleh sucinya memang hebat sekali.
"Suci, siapakah subo itu.."
"Mari kita berbaring di atas dipan batu-batu karang itu. Baik sekali untuk latihan ginkang. Aku dapat menempelkan mulut ke telingamu dan kita dapat mengobrol dengan leluasa tanpa khawatir terdengar orang lain."
Hati Biauw Eng girang sekali. Kenyataan bahwa sucinya bukanlah orang gila seperti guru mereka dan para pelayan, memberi hiburan yang amat besar dan berpengaruh sehingga rasa mual di perutnya seketika lenyap. Kalau dia harus berpura-pura gila dan makan masakan yang menjijikan itu, kini ia tahu bahwa dia tidak menderita sendirian, ada Hun Bwee yang juga sama dengan dia nasibnya!
Kedua dara ini lalu membaringkan diri di atas dipan berkasur batu karang dan melihat betapa sucinya dapat berbaring dengan enak Biauw Eng menjadi kagum akan ginkang sucinya.
Ia pun lalu mengerahkan ginkangnya dan berbaring di sebelah sucinya yang kini ia tahu sengaja mengajak dia untuk dijadikan teman agar penderitaaannya menjadi ringan. Tahulah ia mengapa sucinya ini tadi sengaja memaki-maki dia gila akan tetapi dapat disembuhkan. Diam-diam ia berterima kasih kepada Hun Bwee dan merasa suka kepada sucinya ini.
Mereka berbisik-bisik dan Hun Bwee menceritakan pengalamannya lebih dulu. Kini mereka bicara sewajarnya seperti orang waras dan Hun Bwee kelihatan berduka sekali, bercerita sambil bercucuran aiar mata.
"Namaku Tan Hun Bwee, orang tuaku meninggal dunia karena tekanan batin, tidak berhasil membalas dendam kepada musuh besarnya. Aku berusaha melanjutkan cita-cita mereka membalas dendam, akan tetapi musuh besar itu telah tewas. Aku bertemu dengan murid musuh itu, hendak kubalas dendam kepada muridnya, akan tetapi .... aku.... Aku.... Malah diperkosanya...!" Gadis itu menutupi mukanya dan menangis tanpa suara.
Biauw Eng memeluknya.
"Aduh, sungguh buruk nasibmu, Suci. Siapakah jahanam itu? Biar kelak aku membantumu menghancurkan kepalanya!"
Hun Bwee menggeleng kepala.
"Marilah kita berjanji Sumoi. Kita tidak akan mencampuri urursan kita masing-masing. Urusan pribadi kita harus kita selesaikan sendiri dan marilah kita disini saling melatih agar dapat cepat memperoleh hasil, yaitu kepandaian tinggi untuk membalas dendam."
Biauw Eng menarik napas panjang. Ada benarnya kata-kata sucinya ini. Urusan pribadi memang tidak baik kalau dicampuri orang lain, biarpun yang mencampuri itu saudara seperguruan sendiri.
"Baiklah, Suci."
Tentu saja Biauw Eng sama sekali tidak pernah mimpi bahwa musuh besar yang dimaksudkan oleh Hun Bwee adalah ayahnya sendiri. Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong, dan bahwa murid musuh besar yang dikatakan memperkosa dirinya itu bukan lain adalah...Keng Hong.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, Tan Hun Bwee, puteri mendiang Hek-houw Tan Kai Sek atau Tan-piauwsu yang bersama isterinya mati karena tekanan batin tak mampu membalas dendam kepada Sin-jiu Kiam-ong, telah bertemu dengan Keng Hong dan betapa dia telah diperkosa oleh Lian Ci Tojin tokoh Kun-lun-pai yang menyeleweng dan menjadi hamba nafsu berahi, kemudian betapa Hun Bwee ditolong oleh Keng Hong akan tetapi menyangka pemuda itu telah memperkosanya.
"Sumoi, sekarang ceritakanlah pengalamanmu. Tentu pengalamanmu hebat pula, tidak kalah sengsara dari pengalamanku, maka engkau kelihatan seperti orang yang putus asa. Kalau kau tidak keberatan, ceritakanlah pengalamanmu kepadaku, Sumoi."
Diam-diam Biauw Eng merasa terharu mendengar ucapan Hun Bwee yang terdengar penuh kasih sayang. Suara seperti ini belum pernah ia dengar, dari mulut ibunya yang bersuara dingin pun belum pernah. Hanya pernah dari suara Keng Hong.... Akan tetapi, pemuda itu hanya menjual madu di bibir!
Merasa betapa ia seolah-olah mendapat seorang kakak, ia lalu merangkul leher Hun Bwee dan menangis terisak-isak di dada gadis itu. Hun Bwee mengelus-elus rambut yang hitam berombak itu dan gadis itu pun menangis. Keduanya bertangisan, tangis karena terharu, tangis yang wajar dan tulen, tidak seperti tangis ketika mereka berdua menari-nari tadi.
"Kalau berat hatimu, tak usah kau ceritakan, Sumoi."
"Tidak, Suci... Engkau kuanggap enciku sendiri.. akan tetapi karena janjimu tadi, biarlah kuceritakan tanpa menyebut nama. Namaku memang Sie Biauw Eng, Ayahku telah meninggal dunia dan ibuku dibunuh secara keji sekali oleh suciku sendiri, murid ibuku! Aku telah mencarinya, akan tetapi dia telah memperdalam ilmunya dan kini menjadi seorang yang amat lihai, aku bukan tandingannya sehingga aku hampir putus harapan untuk dapat mengalahkannya. Selain itu aku... aku, ah... aku mencinta seorang pemuda, akan tetapi dia ternyata berhati palsu, hanya mencinta jasmaniku dan aku tidak sudi... Ahhh...."
"Sudahlah, Sumoi. Aku dapat mengerti kesengsaraan hatimu. Aku pun mencinta seorang pria, cinta yang baru bersemi karena melihat dia tampan dan gagah perkasa, akan tetapi dia.. dialah yang memperkosa aku..."
Kedua orang gadis itu menjadi akrab, merasa senasib sependeritaan, terutama sekali sependeritaan dalam menyesuaikan diri di tempat itu, di antara sekumpulan orang gila!
"Suci, siapakah sebenarnya subo? Benarkah dia amat lihai?"
"Untik masa sekarang agaknya sukar dicari orang yang lebih lihai dari dia. Engkau tahu, itu Go-bi Chit-kwi yang disohorkan amat lihai, pernah dihajar mati-matian oleh subo sehingga mereka bertujuh merangkak-rangkak minta ampun, baru dibebaskan oleh subo. Kiraku hanya ada satu orang yang mungkin dapat menandinginya, yaitu laki-laki yang pernah mematahkan hatinya, Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong!"
"Ohhhhh....!" Biauw Eng terkejut.
"Kenapa, Sumoi? Pernahkah engkau mendengar nama Sin-jiu Kiam-ong?"
"Tentu saja. siapakah yang tidak mendengar namanya?"
Diam-diam Biauw Eng merasa lega bahwa sucinya tidak pernah mendengar nama julukannya sehingga tidak tahu bahwa dia adalah puteri Lam-hai Sin-ni, sungguhpun andaikata tahu sekalipun, tidak ada halangannya.
Demikianlah, sejak hari itu Biauw Eng menjadi murid nenek itu yang tidak ada orang mengenal namanya. Bahkan Tan Hun Bwee pun hanya mengenalnya sebagai Go-bi Thai-houw (Ratu Go-bi).
Biauw Eng dilatih bersama Hun Bwee, akan tetapi tidak sama latihan mereka. Hal ini adalah karena dasar ilmu silat yang mereka miliki jauh berbeda. Nenek itu mempunyai cara mengajar yang amat lucu dan aneh, disesuaikan dengan dasar kepandaian mereka, akan tetapi tampaknya ilmu silat murid-muridnya itu malah "dirusak" karena semua diubah variasinya, diisi gerakan-gerakan seperti orang gila, sungguhpun dasarnya tetap tidak diubah.
Dan Biauw Eng mendapat penjelasan dari sucinya yang membuat ia mulai mengerti mengapa pelajaran nenek itu dapat mendatangkan kemajuan yang cepat luar biasa. Kiranya, keadaan nenek yang gila ini serba terbalik dari orang waras, sehingga kalau bergembira ia menangis, sebaliknya kalau berduka ia tertawa. Justeru orang yang dapat menguasai perasaan ini menimbulkan kekuatan batin yang hebat, yaitu dapat tertawa dalam duka dan dapat menangis dalam suka!
Sikap seperti ini biasa saja bagi orang gila, akan tetapi kalau dilaksanakan oleh orang waras, merupakan latihan batin yang amat berat dan hasilnya pun bukan main besarnya, karena orang yang dapat melakukannya, berarti dapat mengatasi perasaan dan nafsu-nafsunya.
Orang yang tidak dikuasai oleh nafsu, berati selalu dalam keadaan "tiong-yong" (lurus, tegak, tidak berat sebelah). Kalau datang nafsu-nafsu seperti suka-duka marah dan lain-lain, maka perimbangannya menjadi tidak lurus lagi, menjadi miring dan tentu saja hal ini membayangkan kelemahan batin yang dapat mendorong orang lupa diri dan melakukan hal-hal yang menyeleweng.
Dalam ilmu silat pun perlu sekali orang dapat mengatasi semua nafsu, karena ia akan menjadi kuat batinnya dan dengan cepat tenaga sakti (sinkang) di tubuh yang terbenam dalam pusar akan menjadi makin kuat.
Karena pada dasarnya ilmu kepandaian Biauw Eng memang lebih tinggi daripada tingkat Hun Bwee, setelah belajar selama setahun saja, tingkat kepandaian Biauw Eng sudah melampaui tingkat Hun Bwee.
Melihat ini, diam-diam Hun Bwee menjadi kagum dan menduga-duga siapakah tadinya guru sumoinya ini. Akan tetapi ia tidak menjadi iri hati karena selama setahun ini ia mendapat kenyataan bahwa Biauw Eng seorang dara yang amat baik budi sehingga hubungan di antara mereka seperti kakak beradik saja. mereka berdua tekun belajar dan berlatih terus di bawah pengawasan Go-bo Thai-houw yang biarpun gila, akan tetapi ternyata amat tekun mengajar dan banyak macam ilmu aneh ia turunkan kepada kedua muridnya.
**** 119 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar