*

*

Ads

FB

Selasa, 16 Agustus 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 105

Biauw Eng bersama Lai Sek tiba di kota raja, sesuai dengan permintaan Lai Sek yang mengajak Biauw Eng mengunjungi sahabatnya yang menjadi orang berpangkat di kota raja untuk minta bantuan sahabatnya agar mereka berdua dapat menjadi suami isteri dan dapat bekerja di kota raja, hidup dengan tenteram.

Atas petunjuk Lai Sek yang sudah tak dapat melihat lagi itu, dengan mudah Biauw Eng menemukan sahabat yang dicari. Sahabat Lai Sek ini ternyata telah menduduki pangkat tinggi, mendapat pangkat mengepalai pembangunan istana-istana di kota raja. Pangkat ini amat tinggi dan juga menjadi sumber korupsi karena semenjak jaman itu pun, pembangunan atau usaha pemerintah apa saja yang ada hubungannya dengan keuangan, baik penerimaan maupun pengeluaran uang, selalu menjadi sumber perbuatan korupsi.

Ang Joan Ti, sahabat Sim Lai Sek itu, kini disebut orang Ang-taijin (pembesar Ang) dan menjadi bahan penjilatan dari lidah banyak orang yang menginginkan rejeki dalam usaha pembangunan besar-besaran di kota raja.

Dahulu Ang Joan Ti adalah seorang sahabat ayah Sim Lai Sek, dan masih menjadi pelajar kesusastraan yang tekun dari kota Liok-keng. Setelah dia menjadi pembesar yang selalu naik pengkat berkat ketekunan dan kecerdikannya, mulailah terjadi perubahan besar pada pribadi dan watak Ang Joan Ti. Dahulu, sebagai seorang pelajar miskin yang semenjak kecil selalu menderita kekurangan, Joan Ti berwatak sederhana, tidak banyak keinginan kecuali memperdalam pelajarannya dan kelak dapat menduduki pangkat sebagaimana dicita-citakan semua orang pada waktu itu.

Memang, pada waktu itu, hidup yang terhormat, kaya raya atau setidaknya layak, hanya dapat dicapai oleh orang yang menjadi pegawai pemerimtah. Kecuali beberapa orang tuan tanah dan pedagang yang sudah terlahir kaya, maka seluruh rakyat yang tidak menjadi pegawai pemerintah hanyalah petani-petani miskin.

Setelah Joan Ti lulus ujian dan mendapat pangkat, yang mula-mula kecil di kota raja namun berkat kecerdikannya makin meningkat sampai sekarang ini. Ang Joan Ti menjadi mabuk kekayaan, mabuk kemuliaan dan mabuk kemewahan.

Karena disanjung banyak orang dan pejabat rendahan yang menjilat-jilatnya agar kebagian rejeki, diangkat-angkat dan dipuji-puji, timbullah sifat sombong pada diri bekas orang dusun miskin yang tadinya amat sederhana dan rendah hati ini. Puji-pujian membuat dia seperti sebuah balon melayang-layang ke atas tiada puas dan batas, tidak sadar bahwa sewaktu-waktu dapat meletus dan lenyap.

Kedudukan yang mulia, kemewahan yang berlebihan membuat dia terikat lebih kuat kepada kesenangan dunia, membuat dia lupa bahwa kesenangan dunia tidak ada yang bertahan lama.

Yang paling cepat menjerumuskan Joan Ti sehingga menjadi berubah batinnya terutama sekali adalah pejabat bawahannya. Dalam usaha mereka menjilat dan menyenangkan hati Ang-taijin ini, bermacam-macamlah akal mereka untuk dipergunakan sebagai sogokan atau suapan. Karena pembesar ini sendiri sudah kaya raya sehingga penyuapan-penyuapan berupa harta benda takkan mengguncangkan hatinya, maka mulailah mereka itu mempergunakan alat lain, dan di antaranya adalah wanita-wanita cantik!






Di waktu mudanya, Joan Ti bukan tergolong seorang yang mata keranjang atau gila wanita, akan tetapi semenjak dia "dilolohi" wanita-wanita cantik oleh para penjilatnya, maka hal ini merupakan kesenanagn baru yang segera mencengkeramnya. Nafsu harus dikekang, kalau dituruti akan menjadi binal seperti kuda liar, dan akan menyeret manusia ke dalam jurang.

Mula-mula Ang-taijin hanya menerima penyuapan berupa gadis cantik ini sebagai iseng-iseng belaka, akan tetapi dia lupa bahwa segala maksiat di dunia ini dimulai dengan iseng-iseng seperti juga api dimulai dengna bunga api yang akan menyala menjadi kebakaran besar.

Iseng-iseng yang makin lama akan menjadi "hobby", akan menjadi ketagihan dan pada waktu itu, Ang-taijin terkenal sebagai seorang yang haus akan wanita cantik! Dan bagi seorang berkedudukan seperti dia, cadangan untuk korbannya tidak pernah surut, para penjilatnya dengan senang hati akan selalu menyediakan cadangan baru!

Ang-taijin tinggal menunjuk saja kalau melihat wanita cantik dan para penjilat serta kaki tangannya akan berusaha sekuat tenaga, secara halus maupun kasar, untuk mendapatkan wanita cantik itu, baik dia bersuami atau masih gadis. Dan seorang yang sudah menjadi hamba nafsu berahi tidak lagi memiliki perasaan cinta kasih yang murni. Rasa cinta kasihnya sudah hambar dan setiap orang wanita yang berhasil didapatkan, dalam waktu satu dua bulan saja sudah membosankan baginya dan harus diganti yang baru. Wanita bagi seorang penghamba nafsu seperti Ang Joan Ti tiada lebih hanya sebagai benda yang akan membosankan setelah dipakai dan perlu diganti yang baru.

Dalam keadaan seperti itulah Ang Joan Ti menerima kunjungan Sim Lai Sek dan Biauw Eng di gedungnya yang megah. Pria berusia empat puluh tahun lebih ini tadinya menerima Lai Sek denga kening berkerut, tidak senang hatinya harus bertemu dengan putera kawan sekampung, mengingatkan dia akan keadaannya dahulu yang miskin dan rendah.

Akan tetapi begitu melihat Biauw Eng, kemuraman wajahnya sirna seketika, terganti seri dan senyum, kerling mata menyambar penuh gairah karena harus dia akui bahwa selama petualangannya dengan banyak sekali wanita belum pernah dia bertemu dengan seorang yang secantik Biauw Eng, apalagi tampak menonjol kecantikan asli gadis berpakaian sederhana ini, pakaian yang menutupi bentuk tubuh yang padat dan membayangkan kehangatan dan kekuatan!

"Aihhh, kiranya Sim Lai Sek! Hampir aku tidak mengenalmu, Hiante! Karena mata... Eh, mengapa matamu....?"

Sim Lai Sek tersenyum setelah mengangkat kedua tangan memberi hormat,
"Saya tidak lagi dapat melihat Paman Ang, akan tetapi saya masih ingat akan suara Paman. Mata saya menjadi buta karena serangan penyakit.... dan karena keadaan saya inilah maka saya sengaja datang menghadap Paman dengan harapan, sudilah Paman mengingat akan hubungan antara Paman dan mendiang orang tuaku, untuk menolong saya."

Di dalam hatinya Ang-taijin memaki, bukan hanya karena kedatangan orang yang tidak diharapkan dan tidak akan mendatangkan untung baginya ini, akan tetapi juga karena sikap pemuda buta ini kepadanya seperti sikap keluarga sekampung, sikap yang sudah terlupa olehnya karena setiap hari semua orang yang berhadapan dengannya bersikap sebagai orang bawahan terhadap atasannya! Pemuda buta ini agaknya lupa bahwa dia bukan lagi Ang Joan Ti si sastrawan miskin, melainkan Ang-taijin yang terhormat, berkuasa dan kaya raya! Akan tetapi, sambil mengerling ke wajah manis Biauw Eng yang menundukkan muka, dia tersenyum dan berkata, suaranya penuh keramahan,

"Sim-hiante, mengapa engkau begini sungkan? Kita seperti keluarga sendiri, dan setelah sekarang aku menjadi seorang pembesar, tentu saja aku akan membantu engkau dan... Eh, siapakah adik ini?"

Suaranya terdengar mesra sekali ketika dia menyebut "siauw moi",. Menyebut adik padahal Biauw Eng lebih patut menjadi anaknya.

Biauw Eng adalah seorang dara remaja yang belum banyak pengalamannya menghadapi pria dengan akal bulus mereka merayu wanita, akan tetapi perasaan kewanitaannya membisikkan bahwa laki-laki ini tidaklah sejujur seperti yang hendak diperlihatkannya, maka diam-diam dia merasa tidak suka akan tetapi demi Lai Sek, ia diam saja.

"Maaf, Paman Ang, saya lupa meperkenalkan. Dia ini adalah Sie Biauw Eng, tunangan saya."

"Tun... Tunanganmu...?"

Ang-taijin tidak dapat menahan seruannya karena dia benar-benar merasa kaget dan heran.

"Benar, Paman. Dia adalah calon isteri saya."

"Ah, kionghi (selamat), Sim-hiante! Engkau beruntung sekali mendapatkan seorang calon isteri yang begini cantik jelita!"

Lai Sek tersenyum, hatinya girang sekali dan dia menoleh ke arah Biauw Eng sambil berkata,

"Eng-moi, haturkan terima kasih kepada Paman Ang."

Biauw Eng menjura kepada pembesar itu dan berkata lirih,
"Saya mengucapkan terima kasih atas pujian Ang-taijin."

"Ah, nona muda yang baik, di antara orang sendiri, perlu apa sungkan-sungkan? Nah, Sim-hiante, aku akan merasa girang sekali kalau dapat menolong engkau dan adik ini. Bantuan apakah yang kau perlukan?"

Biarpun mulutnya bicara kepada Lai Sek, akan tetapi pandang mata pembesar itu tak pernah meninggalkan wajah dan tubuh Biauw Eng yang makin dipandang makin menggairahkan hatinya dan membangkitkan nafsunya itu.

"Kami berdua mohon pertolongan Paman agar kami berdua dapat membangun rumah tangga di kota raja, dan bisa mendapatkan sekedar usaha untuk menyambung hidup, terutama sekali agar Paman sudi mewakilli kedua orang tua kami yang sudah tidak ada untuk menikahkan kami."

“Eh, jadi kalian belum menikah, jadi..... eh, belum.... belum berhubungan sebagai suami isteri?" tanya pembesar itu dengan hati girang sekali sungguhpun mata jalangnya sebagai seorang laki-laki yang banyak pengalamannya tentang wanita dapat menduga bahwa Biauw Eng adalah seorang yang masih gadis.

Pertanyaan ini membuat wajah Lai Sek menjadi merah saking malu dan wajah Biauw Eng merah karena marah. Akan tetapi gadis ini tetap menunduk dan diam saja, menekan perasaan marahnya. Adapun Lai Sek lalu menjawab malu,

"Belum, Paman. Kami belum menikah..."

"Bagus! Memang begitulah seharusnya sebagai seorang calon suami yang baik. Jangan khawatir, Lai Sek, aku akan membantu kalian. Akan kusuruh carikan sebuah rumah yang layak untuk kalian tinggal sebagai suami isteri, dan tentang pekerjaan nanti kita pikirkan perlahan-lahan. Sekarang lebih baik kalian tinggal lebih dulu di sini untuk beristirahat sambil menanti didapatkannya rumah. Tentu saja kalau sudah mendapatkan rumah, baru aku akan mewakili orang tuamu merayakan pernikahan kalian."

"Ah, Paman Ang baik sekali! Sudah kusangka Paman akan menolong kami! Terima kasih, Paman!"

Lai Sek menjatuhkan diri berlutut, akan tetapi pembesar itu segera membangunkan pemuda buta ini sambil mengerling ke arah Biauw Eng.

Biauw Eng mengangkat mukanya dan bertemulah pandang mata mereka. Ang-taijin terkejut dan kagum menyaksikan pandang mata yang demikian tajam seperti ujung pedang, demikian indah seperti mata burung hong. Sedangkan Biauw Eng merasa makin yakin hatinya bahwa di balik segala keramahan dan pelepasan budi pembesar ini terkandung maksud yang hina dan keji terhadap dirinya. Tentu saja ia tidak menjadi gentar dan mengingat betapa pembesar ini merupakan ancaman bagi dirinya, ia tersenyum dingin. Orang macam itu bisa berbuat apakah terhadap dirinya?

Hati Ang-taijin berdebar saking girangnya melihat gadis cantik jelita itu tersenyum. Ia menganggap bahwa senyum itu merupakan "janji" dan "kode" dari si gadis bahwa dia telah dapat menangkap hasrat hati si pembesar dan sudah siap melayaninya! Dengan hati girang Ang-taijin lalu memanggil pelayan yang tidak ada yang hadir karena maklum bahwa Ang-taijin sedang bicara dengan tamu urusan pribadi. Dua orang pelayan wanita datang berlari dan Ang-taijin segera berkata,

"Antarkan Sim-kongcu dan Sie-siocia ke dalam. Berikan sebuah kamar tamu untuk Sim-kongcu, dan ajak Sie-siocia bermalam di sebuah di antara kamar merah!"

"Baik, Taijin," jawab dua orang wanita pelayan itu sambil tersenyum maklum mendengar bahwa gadis cantik itu diberi sebuah kamar merah!

Di bagian dalam gedung itu terdapat tidak kurang dari sepuluh buah kamar-kamar yang indah dan kecil mungil berwarna merah. Di dalam kamar-kamar inilah Ang-taijin menerima wanita-wanita suguhan yang siap untuk melayaninya. Sebagai seorang pembosan, penghuni kamar-kamar merah ini sering kali berganti orang, hanya sebuah kamar yang besar yang tidak pernah berganti penghuni, yaitu kamar Ang-hujin (nyonya Ang) yang jarang pula menerima kunjungan Ang-taijin, apalagi di waktu malam.

Namun nyonya Ang sudah kebal akan kebiasaan suaminya, maka tidak lagi merasa cemburu atau marah, bahkan menganggap kebiasaan suainya itu adalah "biasa" bagi seorang pembesar.

Dengan hati tidak enak namun tabah, Biauw Eng menggandeng tangan Lai Sek dan mengantarkan pemuda ini sampai ke kamar yang disediakan untuknya, dan baru meninggalkan pemuda ini setelah pelayan meyakinkan hatinya bahwa seorang pelayan yang khusus disediakan untuk melayani segala keperluan pemuda buta itu. Ia pun lalu mengikuti pelayan dan diam-diam ia kagum sekalli menyaksikan kamar merah yang disediakan untuknya.

Untuk beberapa hari lamanya, baik Lai Sek maupun Biauw Eng mendapatkan pelayanan istimewa sehingga setiap kali mereka bertemu, Lai Sek tentu memuji-muji kebaikan hati pamannya. Akan tetapi diam-diam hati Biauw Eng tetap tidak enak dan dia mendesak agar Lai Sek suka bersama dia keluar saja dari gedung itu dan mencari tempat sendiri.

"Ah, mana boleh, Moi-moi? Paman Ang telah begitu baik terhadap kita. Biarlah kita bersabar sampai dia mendapatkan rumah untuk kita."

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: