*

*

Ads

FB

Senin, 11 Juli 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 050

"Ah, bocah keras kepala, kau memang pelu dihajar!" bentak Kok Cin Cu yang benar-benar tidak berdaya untuk mebujuk.

Sabuk bajanya menyambar dan meledak-ledak ke atas kepala Keng Hong, lalu meluncur ke bawah mencambuk ke arah leher pemuda itu. Keng Hong cepat mengelak, akan tetapi sabuk itu seolah-olah bermata, karena begitu juga mengejar dan dengan suara keras sabuk telah menghanntam pangkal bahunya.

"Tarrr..!"

Untung Keng Hong cepat sekali mengerahkan lweekangnya sehingga ujung sabuk itu mental kembali dan hanya berhasil menggigit robek baju di bagian bahunya. Betapapun juga, kulit bahu terasa pedas dan panas. Adapun kok Cin Cu yang melihat betapa kulit bahu tidak lecet sedikitpun, diam-diam makin kagum dan harus memuji pemuda ini yang benar-benar telah memiliki tenaga sinkang yang amat hebat. Diam-diam dia harus mengakui pula bahwa jika pemuda itu memiliki ilmu silat yang tinggi dan terlatih, kiranya sukarlah baginya untuk dapat menandingi pemuda ini. Untung baginya, pemuda ini agaknya hanya mewarisi sinkang yang amat dahsyat, namun belum mewarisi ilmu silat Sin-jiu Kiam-ong yang tinggi. Biarpun gerakan serangannya tadi luar bisa anehnya dan dahsyatnya, namun gerakannya masih kaku, tanda bahwa pemuda ini kurang terlatih dalam ilmu silat.

"Tarr.!Tarrr!!! Tarrrrrrrrr!!!"

Sabuk itu melecut-lecut dengan ganasnya, menghujani tubuh Keng Hong dari segala jurusan dan datangnya dari jarak jauh sehingga pemuda itu tidak ada kesempatan untuk balas menyerang. Memang benar bahwa dengan sinkangnya Keng Hong dapat menolak lecutan tiba, sehingga mulaillah darahnya mengalir keluar dari kulit paha dan kulit punggung yang ikut robek bersama pakaiannya.

Melihat darahnya sendiri dan merasa betapa nyeri punggung dan pahanya, Keng Hong bukan menjadi jerih bahkan menjadi makin marah. Ia kini berusaha menerima lecutan cambuk dengan kedua tangannya dan setelah kedua lengannya penuh luka oleh ujung sabuk, akhirnya dia berhasil menangkap ujung sabuk dengan tangan kanannya.

Keng Hong mengerahkan tenaga membetot untuk merampas, Kok Cin Cu mengerahkan dengan susah payah. Untung bagi Tosu ini bahwa Keng Hong memegang ujung cambuk baja itu yang kecil, licin dan keras, berbeda dengan tosu itu yang memegang gagangnya yang tentu saja lebih enak sehingga sampai beberapa lama Keng Hong belum juga berhasil merampasnya.

Sementara itu, anak murid Kong-thong-pai mulai mengurung dengan senjata di tangan, siap menghujankan senjata pada tubuh Keng Hong. Pemuda ini terancam bahaya, terutama sekali dari Kok Cin Cu yang mulai menggerahkan tangan kirinya dengan Ilmu Ang-liong-jiauw-kang sehingga perlahan-lahan tangan kirinya itu berubah merah sekali, tanda bahwa tenaga Ang-liong-jiauw-kang telah terkumpul. Kini tosu itu siap dengan tangan kirinya dan agaknya begitu Keng Hong dapat menang dalam perebutan cambuk, tentu dia akan mengirim pukulan mautnya.






"Suhu, biar teecu serampang kakinya dengan tombak teecu!" seru seorang di antara murid-murid Kok Cin Cu.

"Biar teecu tusuk dari belakang," kata yang lain.

Teriakan-teriakan mereka itu dibarengi dengan pengurungan yang makin ketat dan tangan mereka sudah bergerak-gerak penuh semangat karena begitu ada komando dari guru mereka, tentu mereka itu akan berlumba untuk menyerang Keng Hong.

"Jangan..turun tangan...." terdengar Kok Cin Cu berkata lirih dan cepat kakek ini mengerahkan tenaga lagi karena begitu dia bicara sedikit saja, cambuk terbetot dan hampir dapat terampas oleh Keng Hong.

Pemuda ini pun agak berkurang kemarahannya, bahkan kalau tadi dia bernafsu membunuh kakek ini, sekarang nafsunya hilang dan dia sadar bahwa betapapun juga, kakek ini bukanlah seorang para tokoh kang-ouw lainnya, haus akan pusaka simpanan gurunya. Kakek ini masih mengenal sifat gagah buktinya dia melarang murid-muridnya turun tangan padahal kalau hal itu terjadi, sudah jelas bahwa kakek itu tentu akan dapat mengalahkannya, menangkapnya atau pun membunuhnya.

Pada saat itu terdengar suara melengking tinggi dan suara ini disusul teriakan-teriakan kesakitan dan robohlah empat murid Kong-thong-pai. Mereka roboh bergulingan lalu berkelojotan karena pelipis mereka masing-masing telah tertusuk sebatang tusuk konde berkepala bunga bwee!

Pada saat itu, bayangan putih berkelebat dan Sie Biauw Eng telah meloncat dengan gerakan ringan. Ketika tangannya bergerak, sebuah sinar putih melayang ke depan dan ujungnya menyambar ke arah mata Kok Cin Cu!

"Hayaa....!!"

Tosu itu berseru kaget melihat menyambarnya sabuk sutera putih yang amat cepat seperti ular hidup ini. Terpaksa dia melepaskan cambuknya sehingga tertinggal di tangan Keng Hong sedangkan dengan gerakan cepat kakek itu meraih ke arah ujung sabuk sutera putih dengan cengkeraman tangan kirinya untuk merampas senjata wanita baju putih ini, Sie Biauw Eng sudah menyendal kembali sabuk suteranya karena niatnya hanya hendak menolong Keng Hong daripada bahaya tadi.

Akan tetapi Kok Cin Cu tidak mengerti akan niat wanita cantik yang baru datang ini. Melihat gerakan sabuk sutera putih, Kok Cin Cu yang juga seorang ahli memainkan senjata lemas, maklum bahwa wanita muda ini merupakan seorang lawan lihai yang sama sekali tidak boleh di pandang ringan, maka dia pikir bahwa sebelum di keroyok dua orang muda lihai ini, lebih baik turun tangan dulu membunuh Keng hong, baru menghadapi wanita itu.

Pikiran inilah yang membuat Kok Cin Cu tiba-tiba meloncat ke depan menubruk ke arah Keng Hong dan mengirim serangan dengan ke dua tangannya mencengkeram ke arah kepala dengan Ilmu Ang-liong-jiauw-kang yang luar biasa dahsyatnya!

"Keng Hong ....awas...! "

Sie Biauw Eng menjerit ngeri menyaksikan dahsyatnya serangan tokoh Kong-thong- pai ini dari tangannya meluncur sinar putih.

Keng Hong juga maklum akan kelihaian Ang-liong-jiauw-kang, maka dia pun lalu mengerahkan sinkangnya dan karena dia tidak ingin membunuh kakek ini, dia menggunakan tenaga sinkangnya untuk mendorong agar tubuh kakek itu terpental. Kini dia tidak marah kepada kakek itu, maka otomatis tenaga sedot yang mujijat di tubuhnya pun tidak bekerja!

"Dessss...!"

Dua tenaga raksasa yang tidak tampak bertemu di udara. Tubuh Keng Hong tergetar dan bergoyang-goyang kepalanya pening dan matanya berkunang-kunang. Akan tetapi Kok Cin Cu mengeluarkan keluhan tertahan, tubuhnya terbanting ke belakang dan kakek itu roboh tak berkutik lagi!

"Kau..perempuan keji..!!"

Keng Hong menoleh ke arah Biauw Eng karena dia dapat melihat jelas betapa ujung sabuk sutera Biauw Eng tadi menotok ke arah jalan darah di belakang kepala tosu itu, sebuah totokan maut yang tak mungkin dapat dielakkan oleh tosu yang sedang mengadu tenaga dahsyat dengan dia tadi. Gerakan sabuk sutera di tangan Biauw Eng sedemikian cepatnya sehingga hanya dia yang melihatnya, sedangkan sisa murid Kong-thong-pai tidak ada yang mengetahuinya, mengira bahwa guru mereka itu tewas di tangan Keng Hong.

Biauw Eng memandang heran. Keng Hong ...,
“aku hanya membantumu...!"

"Perempuan rendah! Perempuan tak tahu malu ! Siapa membutuhkan bantuanmu? Pergi, muak perukku melihatmu!"

"Kau... Kau...!"

Biauw Eng terisak dan mukanya pucat sekali, kemudian gadis itu membalikkan tubuhnya lalu berkelebat cepat melarikan diri dari tempat itu meninggalkan isak tertahan. Keng Hong menghela nafas panjang, memandang ke arah mayat Kok Cin Cu dan mayat empat orang murid Kong-thong-pai, kemudian dia berkata, suaranya berat.

"Heh, kalian murid-murid Kong-thong-pai, semua ini salahku. Aku telah membunuh Kok Cin Cu totiang dan empat orang saudara kalian. Nah, tangkaplah aku, belenggu tanganku. Bawa aku ke Kong-thong-pai menghadap para pimpinan kalian agar aku menerima hukumannya secara adil.

Empat orang laki-laki gagah dan dua wanita cantik itu sejenak memandang kepadanya dengan perasaan jerih, benci, marah dan juga heran. Kemudian mereka meloncat maju dan menelikung kedua tangan Keng Hong ke belakang. Seorang di antara mereka mempergunakan cambuk baja milik Kok Cin Cu untuk mengikat kedua lengan pemuda itu ke belakang, kemudian mereka menggiring Keng hong sambil membawa lima jenazah itu.

Mereka menuju ke sebuah dusun dan dengan bantuan penduduk di situ, kelima buah jenazah itu dikubur secara sederhana. Ketika enam orang murid Kong-thong-pai itu berlutut sambil menangis di depan gundukan kuburan itu, Keng Hong yang terbelenggu kedua lengannya ikut pula menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan Kok Cin Cu dan berbisik lirih.

"Totiang tentu mengerti bahwa bukan niatku membunuh Totiang berlima."

Enam orang Kong-thong-pai itu menjadi heran melihat Keng Hong berlutut pula sambil berkemak-kemik di depan kuburan guru mereka, akan tetapi mereka diam saja. Mereka membenci pemuda ini yang telah menewaskan guru mereka, akan tetapi mereka tidak berani bersikap kasar karena mereka tahu diri dan mengerti bahwa pemuda itu dapat mereka belenggu karena pemuda itu sengaja menyerahkan diri.

Kewajiban mereka hanya menggiring pemuda ini ke Kong-thong-pai, menyerahkannya kepada para pimpinan Kong-thong-pai. Mereka tahu bahwa biarpun kedua lengannya dibelenggu, kalau pemuda itu memberontak, agaknya mereka berenam bukanlah lawannya.

Dua orang wanita anak murid Kong-thong-pai itu, disamping rasa benci dan dendam karena kematian gurunya, ada perasaan lain yang amat mengganggu hati mereka dan yang sekaligus menghapus rasa benci dari hati mereka. Mereka berdua merasa kagum kepada Keng Hong. Kagum akan kelihaian pemuda itu, kagum akan sikapnya yang tenang, gagah, kagum pula akan ketampanan wajahnya dan kebagusan bentuk tubuhnya.

Apalagi bagi Kiu Bwee Ceng, wanita cantik baju kuning yang sudah dua kali bertemu dengan Keng Hong, yaitu pertama kalinya ketika ia dan para saudara sepergurunnya dan murid-murid Siauw-liam-pai dan Hoa-san-pai menghadang pemuda ini, bahkan dia pernah mengalami tersedot sinkangnya oleh pemuda yang aneh ini. Dia kagum sekali akan kegagahan Keng Hong.

Kiu Bwee Ceng ini adalah seorang janda muda, usianya mendekati tiga puluh tahun. Suaminya telah meninggal dunia dan dahulu suaminya adalah murid kepala dari Kok Cin Cu, maka tentu saja ilmu kepandaiaanya paling tinggi di antara para suheng-suhengnya. Setelah suaminya tewas dalam pertempuran melawan gerombolan penjahat, Bwee Ceng menjadi janda. Sukar baginya untuk menemukan seorang pria yang dapat menandingi suaminya. Bagaimana hatinya takkan menjadi tertarik? Apalagi karena ia dapat menduga bahwa dua orang gadis cantik jelita murid Lam-hai Sin-ni yang amat lihai itu agaknya tergila-gila pula kepada Keng Hong. Ketika tadi melihat betapa Keng Hong menbentak dan mengusir Song-bun Siu-li yang kelihaiannya terkenal sebagai seorang iblis betina yang mengerikan, ia menjadi makin tertarik.

Adapun wanita kedua yang berpakaian biru adalah Tang Swat Si, sumoinya. Wanita ini masih gadis sungguhpun usianya sudah dua puluh lima tahun. Swat Si memiliki wajah cantik dan bentuk tubuh yang indah sehingga banyak pria yang jatuh cinta kepadanya. Banyak pula datang lamaran, akan tetapi gadis ini selalu menolaknya karena tidak ada seorangpun di antara para pelamar itu yang menggerakkan hatinya.

Kini bertemu dengan Keng Hong, tiba-tiba saja hatinya menjadi tidak karuan rasanya. Berkali-kali gadis ini mencuri pandang, mengerling ke arah tubuh belakang Keng Hong, melihat pinggulnya, punggung dan paha yan telanjang sebagian karena pakainnya robek-robek termakan oleh pecut baja Kok Cin Cu tadi. Kulit putih halus yang membayangkan otot-otot yang kuat, karena dia tadi menyaksikan betapa di balik kulit putih halus itu tersembunyi tenaga sinkang yang sangat hebat sehingga gurunya sendiri pun tidak kuat menghadapinya, hati gadis ini menjadi tegang, mukanya menjadi merah dan pipinya terasa panas, jantungnya berdebar tidak karuan.

Bwee Ceng agaknya maklum akan gerak-gerik sumoinya. Sebagai seorang wanita yang pernah bersuami, dia lebih berpengalaman dan melihat gerak-gerik sumoinya, ia dapat menduga bahwa sumoinya terserang penyakit yang sama dengan dia sendiri. Diam-diam dia mendekati sumoinya sehingga mereka berjalan berendeng, agak jauh dari empat orang suheng mereka.

Bwee Ceng menowel lengan sumoinya dan berbisik-bisik sambil kadang-kadang memandang ke arah tawanan mereka tiu. Kelihatan Swat Si terbelalak memandang sucinya, kemudian menundukkan muka dengan kedua matanya mengerling tajam membayangkan rasa jengah dan malu-malu. Kemudian mereka berbisik-bisik dan tidak ada orang lain yang dapat mendengar mereka , kecuali Keng Hong!






Tidak ada komentar: