*

*

Ads

FB

Senin, 11 Juli 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 047

Keng Hong tersenyum lebar,
"Masih belum, Locianpwe. Kalau kelak sudah gila, akan kuberi tahu kepada Locianpwe. Sekarang aku belum gila!"

"Kita berdebat tentang filsafat, akan tetapi kau selalu mengajukan pertanyaan seperti anak-anak penggembala kerbau bermain teka-teki! Aku tidak sudi menjawab kalau kau hendak mempermainkan aku orang tua!"

"Ah, sungguh mati saya tidak mempermainkan Locianpwe. Pertanyaan saya ini amatlah penting bagi saya. Percayalah, Locianpwe, hanya satu pertanyaan itu lagi saja. Setelah itu, saya akan bertanya kepada Locianpwe tentang filsafat yang amat tinggi dan yang belum tentu bisa dijawab oleh dewa sekalipun, yaitu tentang mati dan hidup dan isinya!"

"Bagus! Nah, pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang seharusnya kudengar! Hayo lekas ajukan pertanyaan-pertanyaan tentang mati atau hidup itu."

"Nanti dulu Locianpwe. Saya minta Locianpwe menjawab lebih dulu pertanyaan saya tadi. Apa kira-kira yang dimaksudkan oleh orang yang merangkai tiga kalimat itu untuk menunjukkan sebuah tempat rahasia?"

Kakek itu meraba-raba dagunya, kemudian menggaruk-garuk botaknya.
"Hemmm, kau keras kepala. Akan tetapi agaknya orang yang meninggalkan tanda seperti itu adalah seorang yang suka bergurau, seorang yang merasa kesepian sehingga melihat air pun lalu timbul pikiran yang bukan-bukan untuk mempermainkan orang lain. Tentu dia maksudkan air yang mengalir. Mungkin tempat yang dia rahasiakan itu dapat dicapai menurutkan air yang mengalir ke bawah. Dan karena dalam kalimat itu tidak terdapat angka-angka, maka mungkin sekali angka-angka sebagai ukuran tempat itu diambil dari nomor-nomor ayat dan bagian dari ketiga ayat suci itu.

Kebijaksanaan tertinggi seperti air, terdapt dalam Too-tik-khing bagian ke delapan. Tulus dan sungguh mengabdi kebajikan adalah sifat-sifat kuncu seperti dinasihatkan dalam kitab Tiong-yong bagian tiga puluh satu ayat dua, adapun yang terakhir tukang saluran mengalirkan airnya ke mana dia suka terdapat dalam kitab Dhammapada pasal enam ayat delapan puluh. Kalau diambil angka-angka dalam ketiga ujar-ujar itu, maka terdapat angka delapan, tiga puluh satu, dua enam, dan delapan puluh. Jika dijumlahkan, menjadi seratus dua puluh tujuh. Mungkin itulah rahasianya, tempatnya mengikuti aliran air, dan jumlah ukurannya seratus dua puluh tujuh!"

Keng Hong hampir berjingkrak-jingkrak dan menari-nari lagi. Itulah agaknya! Tidak ada lain tafsiran dan perhitungan lagi. Itu tentu yang dimaksudkan mendiang suhunyal. Rahasia Siang-bhok-kiam! Rahasia tempat penyimpanan pusaka! Rahasia tiga baris kalimat di Pedang Kayu Harum itu!

"Terima kasih, Locianpwe. Sungguh budi Locianpwe amat besar bagi saya!"






Setelah berkata demikian, Keng Hong membalikkan tubuhnya hendak pergi meninggalkan tempat itu.

"Eh, eh, eh, nanti dulu, orang muda! Seekor kerbau diikat hidungnya, akan tetapi seorang manusia diikat mulutnya yang sudah berjanji! Engkau tadi berjanji akan mengajukan pertanyaan tentang mati atau hidup. Hayo penuhi janji lebih dulu, kemudian aku yang akan balas mengajukan pertanyaan-pertanyaan."

Dalam kegembiraannya, Keng Hong tadi hampir lupa akan janjinya, maka sambil tertawa dia lalu berhenti dan menghadapi kakek itu lagi. Ia mengerutkan alisnya, berpikir dan mengingat-ingat. Banyak filsafat hidup yang dia ketahui, dan di dalam kesempatan itu, dia akan mengajukan pertanyaan yang dia sendiri belum dapat menjawabnya dan yang jawaban kakek itu akan dapat menambah pengertiannya tentang hidup dan mati.

"Pertanyaan pertama, Locinpwe. Untuk apa manusia hidup harus melakukan kebajikan?"

"Heh-heh-heh, baru pertanyaanmu itu saja sudah tidak tepat, orang muda. Pertanyaanmu itu menyatakan bahwa seolah-olah kebajikan harus dilakukan UNTUK sesuatu. Padahal, sesuatu yang dilakukan dengan pamrih, bukanlah kebajikan lagi namanya. Seharusnya pertanyaan itu berbunyi: Mengapa manusia hidup harus melakukan kebajikan? Nah, untuk pertanyaan ini kujawab begini dan dengarlah baik-baik karena setiap orang manusia perlu mengetahui dan sadar akan hal ini."

Keng Hong mengangguk-angguk dan mendengarkan penuh perhatian.

"Kebajikan merupakan kewajiban manusia hidup karena hidup itu sesuai dan selaras dengan alam, maka untuk menyesuaikan diri dengan alam yang memberi manfaat pada setiap benda, manusia pun harus memanfaatkan diri sebagai sebagian daripada alam. Adapun pemanfaatan diri inilah yang mengharuskan manusia berkewajiban untuk mengisi hidupnya dengan kebajikan. Kebajikan berarti segala perbuatan baik yang ditujukan kepada orang lain atau sesama hidup. Perbuatan baik dalam arti kata berbuat demi keuntungan dan kesenangan orang lain. Karena itu harus tanpa pamrih karena dengan begitu barulah kebajikan ini wajar, seperti alam sendiri yang memberi tanpa meminta, tanpa pamrih. Kebajikan yang dilakukan dengan pamrih berarti palsu, hanya merupakan kedok untuk menutupi nafsu sendiri.

Contohnya, kalau engkau menolong seseorang dengan pamrih rahasia dalam hati sendiri yaitu agar supaya engkau memperoleh pujian, maka perbuatanmu menolong itu sesungguhnya bukanlah kebajikan karena dasarnya bukan untuk menolong melainkan melakukan daya upaya agar memperoleh pujian! Andaikata di sana tidak ada harapan untuk memperoleh pujian, tentu saja engaku takkan suka melakukan perbuatan itu.

Kebajikan sejati yang tanpa pamrih, adalah kebajikan yang dilakukan dengan kesadaran bahwa itu adalah sebuah kewajiban mutlak dalam hidup. Kalau manusia sudah membiasakan diri meletakkan kebajikan sebagai kewajiban hidup, maka pamrihnya akan lenyap karena perbuatan itu tidak dianggapnya baik atau buruk lagi, melainkan pelaksanaan tugas kewajiban hidup. Dan sebagaimana biasa, setiap kewajiban jika dilakukan dengan baik, akan mendatangkan rasa lega di hati dan lapang di dada."

Keng Hong mengangguk-angguk. Banyak sudah dia membaca uraian tentang kebajikan yang harus dilaksanakan manusia hidup di dunia ini, ada yang muluk-muluk uraiannya, ada yang berbelit-belit. Uraian kakek ini sederhana sekali dan gamblang, mudah dimengerti dan juga mudah diterima oleh akal. Benda apakah yang tidak ada guna atau manfaatnya di dunia ini? Semua ada manfaatnya bagi makhluk lain, memberi, memberi dan memberi tanpa pamrih. Buah-buahan pada pohon, bunga-bunga indah, tanah dan air, angin dan hujan, matahari dan bulan, binatang-binatang.

Manusia berakal budi, masa kalah oleh yang lain dalam mengusahakan agar dirinya bermanfaat bagi dunia dan isinya? Tentu saja manfaat yang ditimbulkan oleh perbuatan yang berguna dan menguntungkan sesamanya. Tidak melakukan kebajikan berarti sudah mengabaikan kewajiban hidup, apalagi melakukan hal yang menjadi lawannya, yaitu kejahatan!

"Bagus sekali uraian Locinpwe dan sudah membuka mata dan pikiran saya. Sekarang pertanyaan terakhir, Locianpwe. Bagaimanakah sikap manusia selagi hidup dan apa yang harus dilakukan sesudah mati?"

Kakek itu terkekeh.
"Ha-ha-ha, jangan engkau memasukkan dirimu ke dalam kelompok mereka yang merasa ngeri menghadapi kematian, orang muda. Patut dikasihani mereka itu yang takut menghadapi pengalaman yang belum pernah dialaminya itu, ketakutan karena bayangan-bayangan sendiri. Aku lebih condong kepada pelajaran Nabi Khong-cu yang mengingatkan murid-muridnya mengapa ingin mengetahui tentang kematian sedangkan tentang hidupnya sendiri saja belum tahu artinya dan belum dapat mengisinya dengan sempurna? Seperti lahir bukan kehendak manusia, matipun bukan kehendak manusia, oleh karena itu lebih baik tentang kematian kita serahkan saja pada Pengurusnya karena itu bukanlah urusan atau wewenang manusia yang masih hidup.

Yang terpenting sekarang adalah mengisi hidup, mempelajari tentang soal peri kehidupan dan lika-likunya, seluk-beluknya karena kita adalah manusia hidup selaras dan sesuai dengan kehendak-Nya , kita harus dapat MENYESUAIKAN DIRI dengan apa yang ada disekeliling kita. Menyesuaikan diri terhadap manusia lain yang kita hadapi. Menyesuaikan kedalam lingkungan masyarakat dimana kita tinggal. Menyesuaikan diri dengan keadaan. Dengan menyesuaikan diri berarti tidak menentang karena hanya pertentangan yang akan menimbulkan keretakan dan kehancuran. Penyesuaian diri tentu akan menimbulkan kerukunan, kecocokan dan dalam keadaan seperti ini, akan lebih mudah memanfaatkaan diri seperti yang telah kusinggung-singgung tadi tentang kewajiban manusia untuk mengisi hidup dengan kebajikan."

Keng hong yang hatinya masih diliputi ketegangan dan kegembiraan karena marasa dapat memecahkan rahasia Siang-bhok-kiam, menganggap sudah cukup mengobrol tentang hal yang amat tinggi dan sukar itu, maka ia cepat menjura dengan hormat dan berkata.

"Locianpwe, saya menghaturkan banyak terima kasih atas semua wejangan Locianpwe yang amat berharga bagi saya. Harap Locianpwe maafkan bahwa saya tidak dapat melayani Locianpwe lebih lama lagi."

"Eh-eh-eh, nanti dulu, orang muda. Engkau sudah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang semua sudah kujawab. Sekarang tiba giliranku untuk bertanya tentang….."

"Saya mengaku kalah, Locianpwe. Memang Locianpwe hebat sekali dalam soal filsafat dan saya patut menjadi murid Locianpwe, bagaimana saya berani berdebat dengan Locianpwe? Sudahlah, saya mengaku kalah dan kelak kalau kita ada kesempatan bertemu lagi, tentu saya akan menyediakan lebih banyak waktu untuk mendengarkan wejangan-wejangan Locianpwe yang amat berharga. Selamat tinggal!"

Keng Hong tidak memberi kesempatan lagi kepada kakek itu untuk membantah karena dia sudah cepat berkelabat melarikan diri sambil mengerahkan tenaganya. Ia mendengar kakek itu memanggil-manggil, namun dia tidak peduli dan berlari terus secepatnya. Dia kagum akan pengetahuan kakek itu tentang kitab-kitab suci dan ayat-ayatnya, kagum akan pandangan kakek itu tentang hidup.

Akan tetapi dia merasa sangsi apakah kakek itu sudah dapat mengetrapkan semua teori dalam praktek, apakah kakek itu sudah dapat menyesuaikan tiga serangkai yang tak boleh dipisah-pisahkan dalam ilmu kebatinan, yaitu sesuainya hati, kata, perbuatan. Dia belum pernah menyaksikan sepak terjang kakek itu, akan tetapi orang telah berani memakai julukan Kuncu (Budiman Bijaksana) sungguh amat meragukan!

Akan tetapi setelah berlari jauh dan tidak melihat kakek itu mengejarnya, Keng Hong sudah melupakan lagi kakek itu. Pikirannya penuh dengan pemecahan rahasia Siang-bhok-kiam.

Semenjak turun dari Kiam-kok-san, dia selalu bertemu dengan peristiwa-peristiwa hebat, bertemu dengan orang-orang yang berkepandaian tinggi dan beberapa kali terancam bahaya maut. Memang benar seperti pesan suhunya, kepandaiannya sendiri masih jauh daripada mencukupi untuk melindungi dirinya terhadap ancaman orang-orang sakti di dunai kang-ouw yang selalu membayanginya, yang amat tamak hendak merampas pusaka yang tersembunyi di balik rahasia Siang-bhok-kiam.

Dia kini sudah dapat membuka rahasia itu. Dia harus kembali ke Kiam-kok-san mencari pusaka suhunya dan menggembleng diri dengan ilmu-ilmu gurunya. Setelah kepandaiannya cukup, mewarisi ilmu-ilmu gurunya, baru dia akan turun dari Kiam-kok-san dan dia akan dapat menghadapi lawan manapun juga dengan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, seperti sikap gurunya ketika menghadapi begitu banyak lawan.






Tidak ada komentar: