*

*

Ads

FB

Jumat, 08 Juli 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 034

Kedua, memang dapat dimengerti bahwa kalau pedang Siang-bhok-kiam itu berada di tangan Keng Hong, bukan kita yang diserbu orang-orang Kang-ouw, melainkan Keng Hong yang akan dikejar-kejar sehingga membahayakan keselamatan anak itu. Akan tetapi, betapa piciknya melindungi bocah yang bukan anak murid perguruan Kun-lun-pai dengan mengorbankan nyawa empat orang murid kita, bahkan mungkin lebih banyak lagi! Twa-suheng harus bertanggung jawab atas keputusannya yang tidak bijaksana itu!"

Semua mata kini ditujukan kepada Kiang Tojin yang masih duduk bersila denga sikap tenang. Juga Thian Seng Cinjin memandang kepadanya dengan sinar mata seolah-olah minta jawaban. Kiang Tojin mendehem perlahan lalu berkata, suaranya halus namun lantang, tidak menyembunyikan perasaan lain daripada apa yang akan dikeluarkan melalui mulutnya.

"Tidak keliru semua ucapan Ji-sute dan Ngo-sute. Siang-bhok-kiam mendatangkan keributan, itu sudah jelas. Juga tuduhan Ngo-sute ada benarnya, memang sedikit banyak ada terkandung di hati teecu ketika menahan pedang bahwa hal itu akan menyelamatkan pula Keng Hong dari ancaman maut."

Ketika Kiang Tojin berhenti sebentar semua tosu memandangnya dengan hati tegang. Akan tetapi Kiang Tojin melanjutkan dengan sikap tetap tenang,

"Akan tetapi sesungguhnya bukan karena keselamatan Keng Hong sematalah maka teecu memutuskan untuk menahan pedang Siang-bhok-kiam, melainkan terutama sekali untuk mengangkat tinggi nama besar dan kehormatan Kun-lun-pai."

"Harap Twa-suheng jelaskan alasannya!" Sian Ti Tojin mendesak.

"Siang-bhok-kiam adalah pedang peninggalan Sin-jiu Kiam-ong dan menjadi perebutan orang-orang kang-ouw. Sedangkan Sin-jiu Kiam-ong meninggal dunia berada di Kiam-kok-san. Kita semua tahu bahwa Kiam-kok-san adalah sebuah tempat keramat bagi Kun-lun-pai, dan termasuk wilayah terdekat Kun-lun-pai. Kalau sampai pedang yang sekian lamanya berada di wilayah Kun-lun-pai itu terjatuh ke tangan orang lain, bukankah ini berarti bahwa Kun-lun-pai merupakan partai persilatan yang amat lemah, tidak mampu mempertahankan benda keramat yang menjadi haknya? Bukankah hal ini akan menjadi buah tutur dunia kang-ouw dan Kun-lun-pai akan ditertawakan sampai tujuh keturunan?

Harus teecu akui bahwa dengan adanya pedang Siang-bhok-kiam di sini, Kun-lun-pai diserbu orang-orang luar dan memang ada empat orang anak murid kita tewas. Akan tetapi apa artinya kematian kalau terjadi dalam membela Kun-lun-pai dari serbuan orang luar? Mati sebagai orang gagah perkasa, adalah menjadi pegangan teecu sesuai yang diajarkan suhu selama ini bahwa jauh lebih baik mati sebagai orang gagah daripada hidup sebagai seorang pengecut. Sekian penjelasan teecu dan selanjutnya tentu saja teecu serahkan kepada keputusan Suhu dalam hal Siang-bhok-kiam ini."






Kecuali dua orang tosu yang menantang, semua sute dari Kiang Tojin diam-diam mengakui kebenaran pendapat suheng mereka. Kalau saja Kiang Tojin tadi menyangkal bahwa dia melindungi Keng Hong, hal itu tentu akan tetap menjadi kecurigaan dan bahan tuduhan. Akan tetapi setelah dengan tenang Kiang Tojin mengakuinya, tuduhan ini menjadi hilang artinya, apalagi setelah ada alasan yang demikian kuatnya.

Thian Seng Cinjin mengelus-elus jenggotnya dan diam-diam kakek ini kagum kepada murid kepala ini dan makin yakin hatinya bahwa kelak yang akan dapat memimpin Kun-lun-pai menuju ke arah kemajuan dan kebesaran nama adalah Kiang Tojin ini. Ia menyapu murid-murid lain dengan pandang matanya lalu berkata.

“Siancai…. Kurasa pendapat suheng kalian ini cukup beralasan dan tepat. Namun betapapun juga, pertemuan ini diadakan untuk bermusyawarah. Pinto tidak akan mengambil keputusan begitu saja sebelum mendengarkan semua isi hati kalian. Tidak boleh ada keputusan diambil tanpa dimufakati semua orang. Pinto tidak ingin melihat pertentangan faham di antara kalian karena hal itu akan melemahkan Kun-lun-pai, justru pada saat Kun-lun-pai dimusuhi banyak orang yang memiliki kepandaian tinggi. Setelah pinto sendiri amat tua dan lemah, seluruh nasib Kun-lun-pai berada di tangan kalian bertujuh. Kalau kalian tidak bersatu, bagaimana mungkin Kun-lun-pai dapat dipertahankan kebesarannya? Karena itu, kalau masih ada yang tidak setuju mengenai Siang-bhok-kiam ini, katakanlah terus terang berikut alasannya.”

Kembali Lian Ci Tojin yang bicara dan nada suaranya mengandung penasaran karena dia mendapat kenyataan betapa mudahnya Kiang Tojin lolos dari tuduhan itu. Lian Ci Tojin ini masih muda kalau dibandingkan dengan para suhengnya. Usianya baru empat puluh lima tahun, akan tetapi karena dia amat berbakat sehingga dapat menguasai ilmu silat tertinggi dari Kun-lun-pai, maka dia termasuk seorang di antara tujuh tokoh besar Kun-lun-pai, muid-murid Thian Seng Cinjin. Kini terdengar suaranya.

"Suhu, teecu berpendapat bahwa kalau toh Siang-bhok-kiam kita tahan di sini, berarti menjadi hak kita, sudah sepatutnya pula kalau susah payah yang kita derita untuk mempertahankannya itu dapat imbalan yang sepadan, yaitu dengan menambah simpanan Kun-lun-pai dengan kitab-kitab pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Bukankah Siang-bhok-kiam dikabarkan menjadi kuci daripada tempat rahasia peninggalan pusaka itu? Hal ini sudah berkali-kali teecu usulkan kepada Twa-suheng, akan tetapi selalu tidak disetujui oleh Twa-suheng. Sekarang, sekali lagi di depan Suhu dan para suheng sute sekalian teecu hendak bertanya lagi kepada Twa-suheng apakah pusaka-pusaka itu tidak akan kita cari untuk perbendaharaan Kun-lun-pai?"

"Tidak! Kita tidak akan mencari pusaka-pusaka itu karena Sin-jiu Kiam-ong tidak mewariskannya kepada kita. Kun-lun-pai sebuah perkumpulan yang besar, bukan sebuah perkumpulan yang biasa merampas hak milik orang lain!" jawab Kiang Tojin dengan suara tegas sehingga para sutenya juga gurunya sendiri, menjadi kagum dan bangga dalam hati.

Akan tetapi tiba-tiba Lian Ci Tojin tertawa.
"Ha-ha-ha, sungguh pintar Twa-suheng dan sungguh bodoh kita yang dapat dikelabui! Kalau sudah berani menahan pedang dengan dalih bahwa pedang berada di wilayah Kun-lun-pai, mengapa tidak berani memiliki pusaka yang juga berada di wilayah Kun-lun-pai? Ahhh, siapakah tokoh di dunia persilatan yang tidak ingin memiliki? Termasuk Twa-suheng tentunya! Kalau pusaka-pusaka itu diambil dan menjadi milik Kun-lun-pai, berarti semua murid Kun-lun-pai dapat mempelajarinya, akan tetapi Kiang Tojin suheng tidak setuju karena Twa-suheng ingin memiliki semua pusaka itu untuk diri sendiri. Bukankah begitu?"

Muka Kiang Tojin menjadi merah dan semua mata memandangnya. Akan tetapi tosu yang berpengalaman ini selain kuat ilmu silatnya, juga kuat sekali batinnya. Dia tidak sudi dikuasai perasaan hatinya, maka sekuat tenaga dia menekan kemarahannya dengan kesadarannya bahwa sute ke lima ini melontarkan tuduhan-tuduhan kepadanya tentu ada latar belakangnya. Maka dia memandang sutenya itu dan mengingat-ingat. Mengapa sutenya yang ke lima ini seolah-olah membencinya? kemudian dia teringat.

Terhadap para sutenya, Kiang Tojin memang selalu bersikap keras dan memimpin, selalu tidak segan menegur kalau mereka itu melakukan kekeliruan sehari-hari. Teringatlah dia betapa seringnya dia menegur Lian Ci Tojin ini yang masih sering kali tampak lemah menghadapi godaan nafsu berahi, sering kali tampak nyata amat tergoda batinnya, kalau bertemu wanita cantik.

Yang terakhir, ketika Kiang Tojin menangkap Ang-kiam Tok-sian-li Bhe Cui Im dan menyuruh sute-sutenya membelenggu gadis cantik itu, dia melihat betapa Lian Ci Tojin cepat-cepat melakukan perintah ini dan pandang matanya yang tajam dapat melihat betapa sinar mata Lian Ci Tojin berkobar oleh nafsu, betapa tangan sutenya itu ketika membelenggu sengaja meraba-raba tubuh gadis itu.

Penyelewengan karena dorongan nafsu ini, biarpun tidak berarti dan kecil, juga tidak terlihat oleh siapapun, namun sudah cukup kuat bagi Kiang Tojin untuk pada keesokan harinya memanggil sutenya ini dan memarahinya dengan keras. Pada saat itu, Lian Ci Tojin hanya menunduk dengan muka sebentar pucat sebentar merah, akan tetapi ketika pandang mata mereka bertemu, sepasang mata sutenya itu memancarkan kebencian seperti yang sekarang terpancar kepadanya dalam bentuk tuduhan-tuduhan itu.

Kiang Tojin menghela napas panjang dan berhasil memadamkan api kemarahannya setelah dia melihat latar belakangnya mengapa sutenya itu seperti membencinya.

"Teecu hanya melaksanakan tugas sebaiknya dan dalam urusan Siang-bhok-kiam, teecu mengambil keputusan setelah dipikirkan masak-masak. Teecu tidak sudi melakukan sesuatu di luar garis peraturan Kun-lun-pai sendiri."

Demikian Kiang Tojin berkata kepada gurunya dan ketika gurunya mengangguk-angguk, Kiang Tojin lalu menoleh ke arah Lian Ci Tojin.

"Ngo-sute, kiranya masih ingat bagaimana bunyi peraturan ke tiga dari perguruan kita? Setiap murid Kun-lun-pai dilarang mempelajari ilmu silat dari lain perguruan dan kalau hal ini dilanggar, berarti si murid telah murtad dan mengkhianati Kun-lun-pai. Dengan adanya peraturan yang sudah jelas ini, bagaimana Ngo-sute dapat mengusulkan agar kita mengambil kitab-kitab pusaka peningalan Sin-jiu Kiam-ong?"

Ditegur begini, Lian CI Tojin menjadi merah mukanya. Diam-diam dia memaki di dalam hati atau kecerdikan twa-suhengnya ini sehingga dari keadaan menuduh dia malah menjadi seorang tertuduh melanggar peraturan perguruan mereka! Namun Lian Ci Tojin cukup cerdik dan dia cepat berkata.

"Twa-suheng harap jangan menuduh yang bukan-bukan. Pinto bukan sekali-kali mengusulkan untuk kita menyeleweng dan mempelajari isi kitab-kitab pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, hanya mengusulkan untuk menguasai kitab-kitab itu, adapun tentang mempelajarinya, tentu terserah kepada suhu, kalau suhu yang mengijinkan kita mempelajarinya untuk menambah kepandaian dan dengan demikian nama besar Kun-lun-pai akan makin meningkat, apakah itu dianggap melanggar peraturan?"

Melihat keadaan mulai "panas" , Thian Seng Cinjin cepat mengangkat tangannya dan berkata, suaranya berpengaruh,

"Cukuplah sudah semua perbantahan yang kosong ini! Pinto setuju akan tindakan yang diambil oleh Twa-suheng kalian! Memang tidak semestinya kalau Kun-lun-pai menguasai kitab-kitab pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Harus kalian ketahui kitab-kitab itu adalah milik perguruan-perguruan tinggi lainnya yang dahulu dicuri atau dirampas Sin-jiu Kiam-ong. Kalau kita menguasainya dan mempelajarinya, tentu kita akan bermusuhan dengan pemilik-pemilik kitab. Pula, hendaknya kalian ingat bahwa kesaktian bukan tergantung kepada kitab atau pelajarannya, juga bukan tergantung pada senjatanya, melainkan kepada si manusianya sendiri. Kalau kalian tekun memperdalam semua ilmu asli dari Kun-lun-pai, kurasa tidak akan kalah saktinya daripada pelajaran-pelajaran lain perguruan. Nah, pinto perintahkan agar mulai detik ini semua pertentangan faham dilenyapkan dari hati masing-masing."

Tujuh orang muridnya itu lalu berlutut dan dengan suara bulat menyatakan ketaatan mereka. Pada saat itu, dua orang anak murid Kun-lun-pai lari tergopoh-gopoh memasuki ruangan ketenangan dan serta-merta menjatuhkan diri berlutut menghadap Thian Sen Cinjin sambil berkata dengan muka pucat dan suara gemetar.

"Teecu berdua datang melaporkan bahwa saat ini puncak Kun-lun terancam dijadikan kancah perang antara pasukan utara dan pasukan selatan! Kita sudah terkurung, dari utara muncul pasukan dari Peking sedangkan dari selatan muncul pasukan dari Nan-king, mereka telah mengurung tempat kita."

Hanya Thian Seng Cinjin dan Kiang Tojin saja yang menerima berita mengagetkan ini dengan sikap tenang. Guru dan murid kepala ini bertukar pandang, kemudian Thian Seng Cinjin mengangguk dan bangkit dari lantai, menyambar tongkatnya lalu berkata.

"Kita harus menghadapi mereka selengkapnya. Perintahkan seluruh anak murid Kun-lun-pai untuk mengatur barisan bersiap-siap!"

Tujuh orang murid itu lalu berpencar menunaikan tugas masing-masing, kemudian kakek tua Kun-lun-pai itu diikuti oleh tujuh orang muridnya melangkah keluar dan menuju ke puncak. Anak murid Kun-lun-pai telah berbaris rapi, dibagi dua bagian, sebagian menghadap selatan sebagian menghadap ke utara. Adapun Thian Seng Cinjin sendiri dengan gerakan riangan lalu melompat ke arah sebuah batu yang tinggi di puncak itu, diikuti tujuh orang muridnya.

Mereka berdiri tegak di atas batu ini dan tampaklah oleh mereka dua pasukan yang mengurung itu, satu di utara, satu lagi di selatan. Pasukan itu tidak besar, paling banyak seratus orang masing-masing fihak, akan tetapi lengkap bersenjata dan kalau dilihat besarnya pasukan, tidak mungkin mereka itu muncul untuk berperang, hal ini melegakan hati Thian Seng Cinjin yang segera mengerahkan khikangnya dan berkata dengan lantangnya.

"Kami dari Kun-lun-pai selamanya tidak pernah melibatkan diri dengan perang saudara. Hari ini pasukan-pasukan kedua fihak datang berkunjung ke Kun-lun-pai, harap para ciangkun (perwira) kedua pasukan sudi menjelaskan apa yang menjadi maksud kedatangan cu-wi!"

Tiba-tiba dari pasukan sebelah utara itu tampak berlari maju seorang berpakaian perwira yang bertubuh kurus tinggi. Larinya cepat dan geraknya gesit sekali, sungguhpun pakaian perang itu kelihatan kaku, namun tidak menghalangi gerakannya yang cekatan sehingga para tokoh Kun-lun-pai menjadi kagum dan maklum bahwa pasukan utara itu dipimpin oleh perwira yang lihai.

Sebentar saja perwira itu telah tiba di bawah batu. Ia berdiri dengan tegak, memandang ke arah tokoh-tokoh Kun-lun-pai yang berada di atas batu, kemudian dia memberi hormat dengan gagah, kedua tangan dirangkap di depan dada, agak membungkuk sehingga pedangnya yang panjang itu ikut bergerak di pinggangnya dan terdengar suaranya lantang namun mengandung sikap hormat dan ramah.

"Kami Han Tek Thai yang memimpin pasukan pengawal melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh junjungan kami, Raja Muda Yung Lo dari utara yang perkasa, calon kaisar yang aseli, untuk menghadap para pimpinan Kun-lun-pai. Raja muda kami menyampaikan rasa terima kasih bahwa Kun-lun-pai selama ini tidak membantu kekuasaan raja penyerobot mahkota di Nan-king, karena hal itu membuktikan bahwa Kun-lun-pai dapat mengerti akan kebenaran dan keadilan yang berada di fihak utara!"






Tidak ada komentar: