*

*

Ads

FB

Jumat, 08 Juli 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 033

"Tidak hanya menentang, bahkan aku.... membunuhnya...."

"Ibu.....!!"

"Ya! Aku telah membunuhnya! Membunuhnya karena cinta! Apakah engkau tadi juga tidak ingin membunuhku, Eng-ji?"

"Ibu.....!" Dan Biauw Eng menangis lagi sambil merangkul ibunya.

"Cinta memang membuat manusia, terutama wanita seperti kita, menjadi gila, eng-ji." Lam-hai Sin-ni menghelus-elus kepala puterinya. "Tadi aku amat marah kepadamu. Sakit hatiku melihat betapa engkau mencinta seorang pemuda sehingga rela kau melawanku, rela menyerangku untuk menyelamatkannya, menyerang untuk membunuh ibunya sendiri. Akan tetapi aku teringat akan keadaan diriku di waktu muda, dan aku dapat memaklumi perasaanmu, anakku.

Aku tahu betapa cinta membuat mata kita seperti buta. Aku dahulu pun mencita, Sie Cun Hong. padahal aku seorang puteri terhormat, ayahku seorang yang amat berkuasa dan berpengaruh di selatan, seolah-olah menjadi seorang raja muda, dan..... dan Sie Cun Hong terkenal sebagai seorang pria mata keranjang yang mempunyai ratusan, bahkan ribuan orang kekasih! Akan tetapi aku nekat, bahkan ketika ayahku melarang aku melawannya. Aku sudah menerima beberapa macam ilmu pukulan sakti dari Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong, sehingga dalam pertempuran yang didorong oleh marah itu, aku kelepasan tangan, membunuh ayahku sendiri.....!"

"Ah, Ibu....."

Biauw Eng menjadi kasihan sekali kepada ibunya. Dalam keadaan seperti itu, ibu dan anak ini benar-benar amat berbeda dengan keadaan biasanya. Andaikata Cui Im tidak diam-diam pergi meninggalkan mereka, gadis itu tentu akan bengong terheran-heran menyaksikan ibu dan anak itu bercakap-cakap dengan penuh kemesraan dan keharuan seperti itu. Biasanya, ibu dan anak itu seperti dua buah arca es yang dapat bergerak!

"Kemudian, Sie Cun Hong laki-laki tak setia itu tidak mau menikah denganku, seperti yang ia lakukan terhadap ribuan orang wanita lain. Sedangkan aku telah mengandung engkau, Eng-ji. Kami bertengkar, atau lebih tepat, aku memusuhinya, akan tetapi dia terlampau sakti. Sampai belasan tahun aku belajar ilmu, puluhan tahun aku menggembleng diri sehingga menjadi tokoh utama di selatan, namun tetap saja aku belum pernah dapat menangkan dia. Karena itu, aku ikut pula berusaha mendapatkan pusaka-pusakanya. Kini dia sudah mati, dan pusakanya itu seharusnya jatuh ketanganmu, karena engkau keturunannya, engkau puterinya.






Itulah sebabnya aku hendak memaksa muridnya tadi menyerahkan Siang-bhok-kiam! Ketika mendengar pedang itu terjatuh ke tangan para tosu Kun-lun-pai, aku menjadi mendongkol dan marah, apalagi melihat bahwa Sie Cun Hong agaknya telah menurunkan Ilmu Thi-khi-i-beng kepadanya, padahal aku dahulu hanya menerima petunjuk sedikit saja.... aku menjadi benci kepada muridnya. Juga kulihat pandang mata dan gerak bibir bocah itu sama benar dengan keadaan Sie Cun Hong di waktu muda. Dia pun seorang laki-laki yang tidak setia. Akan tetapi.... kau.... kau jatuh cinta kepadanya!"

Biauw Eng menarik napas panjang. Hebat riwayat ibunya itu.
"Ibu, aku sendiri hanya menduga saja bahwa aku mencinta dia, karena perasaan hatiku aneh, aku ingin membelanya, aku tidak suka melihat dia terbunuh. Hal ini timbul dalam hatiku ketika dia menyelamatkan aku daripada ancaman Ang-bin Kwi-bo. Sejak detik itu aku..... aku suka kepadanya, aku tidak ingin terpisah darinya..... ah, benarkah ini cinta, Ibu?"

"Hukum karma..... hukum karma.....! Aku sendiri dahulu pun mencinta Sie Cun Hong karena pertama-tama dia menolongku daripada perkosaan Tujuh Orang Setan Go-bi (Go-bi Jit-kwi)."

"Ibu, kalau begitu aku benar-benar mencintainya. Perasaanku membisikkan bahwa dialah satu-satunya pria yang kucinta karena aku agaknya rela untuk mengorbankan nyawaku untuknya." Gadis itu berhenti sebentar dan pandang matanya jelas membayangkan cinta kasih besar ketika ia mengingat pemuda itu. "Ibu, sekarang juga aku akan mengejarnya, aku harus berada didekatnya....."

"Pergilah, akan tetapi jangan hanya mendapatkan dia, melainkan mendapatkan pula peninggalan pusaka ayahmu."

Sepasang mata itu terbelalak penuh gembira, wajahnya menjadi kemerahan dan Biauw Eng yang kini bukan lagi seorang gadis berwajah dingin karena salju itu agaknya sudah mencair oleh panasnya api cinta, berkata.

"Ibu, terima kasih. Aku pergi sekarang....!!"

Lam-hai Sin-ni memegang tangan puterinya dan berkata,
"Hanya satu hal yang kuminta agar engkau suka berjanji kepadaku, anakku."

"Apakah itu, Ibu?"

"Berjanjilah, bersumpahlah bahwa engkau tidak akan melakukan kesalahan yang sama dengan ibumu dulu. Engkau tidak akan menyerahkan dirmu kepada bocah itu di luar pernikahan! Kalian harus menjadi suami istri yang syah! Nah, kalau begitu, barulah ibumu akan memberi ijin dan doa restu. Kalau tidak, aku akan mengutukmu, Biauw Eng!"

Gadis itu memeluk ibunya dan berbisik,
"Aku bersumpah, Ibu."

Kemudian ia melepaskan ibunya dan cepat melesat pergi setelah menyambar sabuk sutera putih yang tadi dirampas dan dilemparkan ibunya. Lam-hai Sin-ni, tokoh nomer satu dari Bu-tek Su-kwi, "ratu" tak bermahkota dari daerah pantai laut selatan, masih duduk bersila, tubuhnya tak bergerak, wajahnya tetap dingin, akan tetapi dari sepasang matanya keluar dua butir air mata yang perlahan-lahan menetes turun ke atas sepasang pipinya yang putih.

Sementara itu, semenjak Kun-lun-pai menerima Siang-bhok Kiam dari tangan Keng Hong, perkumpulan besar ini tidak pernah mengalami hari-hari aman tenteram lagi. Baru beberapa hari semenjak Kenghong meninggalkan Pedang Kayu Harum itu, Kun-lun-pai diserbu orang-orang kang-ouw dari bermacam partai. Cara penyerbuan mereka pun berbeda-beda, tergantung dari sifat perkumpulan atau partai mereka.

Golongan bersih yang merasa “mengutangkan sesuatu” kepada Sin-jiu Kiam-ong dan karenanya berhak untuk mendapatkan bagian dari pusaka penginggalan pendekar itu, menyerbu Kum-lun-pai secara berterang, melalui pintu depan dan terang-terangan menyatakan “minta bagian” karena dengan diserahkannya Siang-bhok-kiam kepada Kun-lun-pai, mereka ini telah menganggap Kun-lun-pai telah mewarisi semua pusaka peninggalan Sin-jiu-Kiam-ong.

Akan tetapi golongan sesat mempunyai cara yang lain lagi. Mereka ini datang dengan bermacam cara, ada yang sembunyi-sembunyi seperti pencuri, ada pula yang datang dengan melontarkan tuduhan-tuduhan dan menantang pibu.

Namun, partai persilatan Kun-lun-pai adalah sebuah partai besar yang memiliki tokoh-tokoh yang berilmu tinggi. Di samping ini, juga para tosu anak murid kun-lun-pai rata-rata memiliki kepandaian yang lihai, jumlahnya banyak pula sehingga semua usaha para tokoh kang-ouw yang hendak merampas Siang-bhok-kiam dapat digagalkan.

Karena munculnya gangguan-gangguan ini, para tokoh Kun-lun-pai menjadi sibuk sekali dan tahulah mereka bahwa keputusan yang diambil oleh Kiang Tojin sebagai wakil suhunya, yaitu Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai, biarpun merupakan keputusan amat baik demi menjunjung tinggi kedaulatan dan nama besar Kun-lun-pai, namun merupakan keputusan yang amat berbahaya.

Dengan mencegah Keng Hong membawa pergi Siang-bhok-kiam dan merampas pedang itu, menyimpannya di Kun-lun-pai, maka kini perhatian semua orang kang-ouw kepada Kun-lun-pai. Kalau dahulu para tokoh kang-ouw mengejar-ngejar Sin-jiu Kiam-ong, kini mereka menyerbu Kun-lun-pai untuk merampas pedang Siang-bhok-kiam!

Biarpun fihak Kun-lun-pai selalu berhasil menghalau para penyerbu yang hendak merampas Siang-bhok-kiam, namun dalam pertandingan-prtandingan yang terjadi selama pedang itu berada di situ, telah jatuh korban di fihak mereka sebanyak empat orang murid yang tewas dalam pertempuran. Hal ini ditambah lagi dengan perasaan gelisah, selalu harus berjaga-jaga sehingga para tosu itu tak dapat tidur nyenyak.

Mulailah timbul perasaan tak senang mereka terhadap keputusan Kiang Tojin yang mereka anggap tidak tepat dan hanya menyusahkan Kun-lun-pai saja. Murid-murid Thian Seng Cinjin yang lain mulai mengomel dan menyatakan ketidak senangan mereka di depan ketua Kun-lun-pai itu sehingga kakek ini yang melihat adanya bahaya perpecahan, pada suatu pagi mengumpulkan murid-murid untuk diajak berunding mengenai pedang Siang-bhok-kiam!

Jumlah murid-murid Thian Seng Cinjin ada tujuh orang. Kiang Tojin merupakan murid kepala, bahkan dialah merupakan calon ketua kelak kalau Thian Seng cinjin meninggal dunia atau mengundurkan diri. Segala urusan mengenai Kun-lun-pai juga telah banyak diserahkan kepadanya oleh kakek yang sudah amat tua itu.

Karena Kiang Tojin adalah seorang yang luas pandangannya, berpengalaman dan berwatak teguh dan adil, disamping kelihaiannya yang hanya berada di bawah tingkat gurunya, maka segala urusan berjalan lancar apabila dia yang mengatur penyelesaiannya. Hal ini saja sudah membuat beberapa orang sutenya diam-diam merasa iri hati.

Pagi hari itu, di dalam ruang yang diberi nama Ruangan Ketenangan yang letaknya di bagian belakang asrama Kun-lun-pai, ketua Kun-lun-pai itu duduk di atas lantai yang ditilami kasur bundar, bersila dihadap oleh tujuh orang murid-muridnya yang juga duduk bersila dalam bentuk setengah lingkaran menghadap guru mereka.

Suasana di ruangan itu memang amat hening, bersih dan nyaman. Angin pegunungan bersilir masuk karena ruangan itu memang tidak tertutup dinding sehingga dari situ dapat tampak tamasya pegunungan yang amat indah. Memang tepat sekali nama ruangan ini karena suasana di situ benar-benar tenang dan menimbulkan ketenangan di hati, cocok untuk bersamadhi atau untuk bertukar pikiran.

Untuk kepentingan perundingan ini, Thian Seng Cinjin sengaja membawa serta pedang Siang-bhok-kiam yang dia letakan di depannya, di atas lantai. Kemudian, setelah sejenak delapan orang tosu ini mengheningkan cipta membersihkan pikiran, kakek itu menggerakkan tangan menghelus jenggot panjangnya dan berkata dengan suara halus.

"Sekarang kita telah berkumpul dengan pikiran jernih. Pinto tahu bahwa pedang peninggalan Sin-jiu Kiam-ong ini telah menimbulkan banyak keributan yang biasanya aman tentram dan tenang. Akan tetapi, keributan itu ditimbulkan oleh orang-orang luar yang hendak merampas pedang dan sudah seharusnya kita mempertahankannya dan menghalau para penyerbu, hal itu tidaklah menyusahkan hati. Yang membuat pinto prihatin dan kini mengumpulkan kalian untuk berunding adalah karena pinto melihat adanya ketidak tenangan yang timbul di antara kita karena getaran bentrokan ketidak cocokan itu dan mencari jalan keluar dengan musyawarah. Keluarkan semua isi hati dan pendapat kalian untuk kita telaah dan pelajari."

Hening sejenak menyusul ucapan kakek ini yang dikeluarkan dengan suara halus, namun mengandung penuh teguran. Jelas terasa oleh mereka yang hadir bahwa suhu mereka ini merasa tidak senang dengan adanya pertentangan diam-diam di kalangan mereka sendiri. karena sekarang tiba saatnya dan mendapatkan kesempatan untuk mengeluarkan semua ketidakpuasan hati, mereka pun mengambil keputusan untuk menekan Kiang Tojin.

Di antara para adik seperguruan Kiang Tojin, hanya dua orang yang merasa iri hati dan diam-diam menentang kakek seperguruan ini, yaitu murid ke dua bernama Sian Ti Tojin, dan murid ke lima lian Ci Tojin. Adapun murid yang lain ada yang berfihak kepada Kiang Tojin, ada pula yang tidak mau mencampuri pertentangan pendapat antara saudara sendiri itu.

"Tepat sekali seperti yang dikatakan suhu tadi," kata Sian Ti Tojin. "Setelah Siang-bhok-kiam berada di sini, kita menjadi tidak tenang lagi dan mendapatkan banyak musuh. Teecu anggap keliru sekali keputusan Twa-suheng untuk menahan pedang itu di sini. Pedang itu menjadi bahan perebutan orang-orang Kang-ouw, kalau sekarang disimpan di sini tentu saja semua resikonya tertimpa ke pundak kita. Apakah keuntungannya bagi kita mencari permusuhan dengan sahabat-sahabat di dunia kang-ouw? Empat orang anak murid telah mengorbankan nyawa, hanya untuk mempertahankan pedang kayu peninggalan Sin-jiu Kiam-ong!"

"Benar sekali omongan Ji-suheng," sambung Lian Ci Tojin cepat-cepat. "Menurut pendapat teecu, Twa-suheng mengambil keputusan menahan pedang itu pun hanya untuk melindungi Cia Keng Hong!"

Sunyi di ruangan itu setelah Lian Ci Tojin mengucapkan kata-kata ini, dan hati mereka mulai menjadi tegang. Ucapan Sian Ti Tojin hanya mengeluarkan pernyataan yang memang nyata terjadi, akan tetapi ucapan Lian Ci Tojin ini lebih condong kepada ucapan menuduh Kiang Tojin. Thian Seng Cinjin maklum akan gawatnya urusan dengan diucapkannya tuduhan ini, maka dengan pandang mata tajam dia berkata kepada muridnya yang ke lima itu dengan suara tetap halus.

"Lian Ci, tuduhan tanpa alasan kuat dan tanpa bukti dapat menjerumuskan kepada fitnah, dan engkau tentu mengerti betapa jahatnya fitnah. Bicaralah dengan terbuka sesuai dengan sifat kejujuran dan keadilan yang kita junjung tinggi."

"Memang teecu junjung tinggi pendapat suhu. Teecu sendiri pun tidak suka akan perbuatan yang berpura-pura dan mengandung rahasia. Teecu mengatakan bahwa Twa-suheng menahan pedang untuk melindungi Keng Hong tanpa alasan. Pertama, Cia Keng Hong adalah anak yang dibebaskan dari maut oleh Twa-suheng dan bukan rahasia lagi betapa besar kasih sayang Twa-suheng kepada Keng Hong sehingga tidak mengherankan kalau Twa-suheng melindunginya.






Tidak ada komentar: