*

*

Ads

FB

Rabu, 29 Juni 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 015

Keng Hong mengangkat sepasang alisnya yang hitam tebal. selamanya baru sekali ini dia bicara dengan gadis, apalagi gadis yang begini lincah. Ia tertarik sekali, akan tetapi juga merasa canggung. Kemudian teringat dia akan watak suhunya, maka dia lalu tersenyum lebar dan melangkah menghampiri gadis itu, menjatuhkan diri duduk di atas rumput di hadapan gadis itu.

Dalam beberapa detik, pandang matanya yang tajam sudah meneliti gadis yang duduk makan paha ayam panggang di hadapannya itu. Wajah yang berkulit halus kemerahan, cantik jelita dengan bentuk tubuh bulat telur. Rambut hitam gemuk yang kacau tak tersisir, menutup sebagian pipi kirinya karena kepala itu agak dimiringkan ke kanan. Alis yang panjang kecil dan hitam. Sepasang mata yang jeli, lebar dan jernih sekali, dengan kerling yang amat tajam, mata yang aneh karena dia seperti dapat melihat bayangan gembira, berani, menantang dan merenung di dalamnya. Hidung kecil mancung di atas sepasang bibir yang dianggapnya merupakan bibir terindah yang pernah dilihatnya. Penuh dan berkulit halus seolah-olah sepasang bibir itu dapat mudah pecah, warnanya kemerahan dan basah berminyak. Dagunya kecil agak meruncing menambah kemanisan.

Pakaiannya terbuat dari sutera halus dan mewah, namun potongannya ketat sehingga membayangkan dada yang penuh menonjol, pinggang kecil dan pinggul yang lebar. Kulit yang mengintai dari balik leher baju, dari lengan, tampak halus dan putih sekali. Beginikah wanita cantik yang suka disebut-sebut suhunya dan diumpamakan setangkai bunga yang harum? Dia kini dapat merasakan persamaannya. Memang seperti bunga sehingga membuat hati ini kepingin menyentuh, kepingin mencium, kepingin memandang dan menikmati keindahannya.

"Mungkin aku seperti monyet, akan tetapi saat ini aku tidak mencium bau ikan asin, melainkan mencium bau sedap gurih daging panggang!"

"Kau kepingin?"

Gadis itu menghentikan gigitannya dan mulutnya yang penuh dengan daging itu mengunyah perlahan, matanya mengerling Keng Hong. Pemuda remaja ini memandang mulut yang mengunyah itu, dan tak terasa lagi dia menelan ludah dan perutnya mendadak berkeruyuk. Dia mengangguk dan kembali menelan ludah.

"Kalau kepingin, ambillah. Tunggu apalagi? Jangan malu-malu kucing, kalau kepingin mengapa tidak ambil dan makan sejak tadi?"

"Ah, tapi daging itu punyamu...."

"Siapa bilang punyaku? Ayam itu berkeliaran di hutan, entah punya siapa!"





"Tapi kau yang menangkap dan memanggangnya...."

"Sudahlah! cerewet bener sih engkau ini! ambil saja dan ganyang, habis perkara. Bicara saja mana bisa kenyang?"

Biarpun ditegur, Keng Hong menjadi geli dan tertawa. Gadis ini benar-benar menimbulkan rasa gembira di hatinya. Cocok benar dengan watak suhunya. Bagaimana kalau suhunya yang bertemu dengan gadis seperti ini? Ia lalu menyambar daging ayam panggang, merobek bagian dada lalu mulai makan daging itu. Benar lezat sekali, gurih dan manis, lagi hangat dan perutnya memang amat lapar.

Setelah habis semua makan, gadis itu mengeluarkan seguci air dingin dan minum dengan cara menggelogoknya dari mulut guci. air memasuki mulut yang kecil itu, ada yang tumpah membasahi pipi dan tercecer memasuki celah-celah bajunya di leher. Setelah itu, dia menurunkan guci dan menyerahkannya kepada Keng Hong.

Pemuda yang mulai mengenal watak polos dan terbuka gadis itu, menerima guci akan tetapi dia merasa ragu-ragu juga untuk menggelogok air itu begitu saja. Bibir guci itu masih berlepotan minyak gajih, tentu ketika bibir guci tadi bertemu dengan bibir si gadis.

"Mana cawannya? Kupinjam sebentar untuk minum!"

"Tidak punya cawan!"

"Habis bagaimana minumnya?"

"Tuang saja, seperti aku "

“Tapi... tapi... bekasmu...."

Gadis itu meloncat bangun, lalu bertolak pinggang dan membungkuk memandang Keng Hong dengan mata terbelalak.

"Kau.... kau menghina aku, ya? Tolol kurang ajar!"

Keng Hong juga membelalakkan matanya, bukan karena marah melainkan karena heran. Ia benar-benar merasa tolol berhadapan dengan nona ini.

"Menghina...? Aku.... aku tidak.... eh, apa sih maksudmu?"

"Kau jijik ya minum secara menggelogok seperti aku? Kau tidak sudi ya karena bibir guci itu berbekas mulutku? Kau kira aku ini penderita sakit paru-paru atau batuk kering? kau jijik?"

"Wah-wah-wah, harap jangan salah paham dan mengamuk tidak karuan. Bukan....bukan begitu, hanya....aku tadi khawatir kau tidak suka...."

"Tidak suka apa? kau benar-benar laki-laki cerewet. Sudah tolol, cerewet lagi! Sialan bertemu laki-laki sepertimu!"

Keng Hong tidak mempedulikannya lagi. Celaka, pikirnya. Kalau dilayani wanita ini, bisa habis dia di maki-maki. Ia lalu tidak mau mendengarkan lebih jauh melainkan menuangkan air ke dalam mulutnya, tidak peduli bibirnya bertemu dengan bekas bibir wanita itu. Air yang jernih dan sejuk.

"Terima Kasih,” katanya sambil mengembalikan guci air.

"Kenapa sedikit amat minumnya? Apakah kau takut minuman ini kucampuri racun?"

Sambil berkata demikian, gadis itu kembali minum dengan cara menempelkan bibirnya pada bibir guci tanpa memilih-milih lagi. Heran sekali hati Keng Hong, mengapa menyaksikan bibir wanita itu menjepit bibir guci yang tadi diminumnya, hatinya berdebar dan mukanya terasa panas. Namun dia merasa mendongkol juga mendengar ucapan itu. Benar-benar wanita yang wataknya mau menang sendiri saja. Masa apa yang dia kerjakan selalu disalahkan? Tidak mau minum salah, sekarang sudah minum masih di sangka yang bukan-bukan. Ia menjadi gemas dan andaikata wanita ini adik perempuannya, tentu sudah dia jewer telinganya!

"Aku tidak takut kau beri racun,” jawabnya jengkel, dan dia lalu membuang muka sambil melanjutkan, "Sebetulnya, kau menghentikan perjalananku ada urusan apakah?"

Sampai lama gadis itu tidak berkata-kata, melainkan memandang wajah Keng Hong penuh perhatian. Pemuda itu tahu akan hal ini karena dia mengerling dari sudut matanya. Melihat gadis itu memperhatikannya, kembali dia mengalihkan pandang matanya. Kemudian terdengar gadis itu bertanya.

"Namamu siapa tadi? Dan berapa usiamu?"

"Cia Keng Hong.... Kalau tidak salah usiaku tujuh belas tahun.”

"Hemmm..., dan engkau murid Sin-jiu Kiam-ong? Heran benar aku....."

"Mengapa heran?"

"Seorang tokoh sakti seperti Sin-jiu Kiam-ong mengapa mempunyai seorang murid tolol seperti engkau?"

Makin panas rasa perut Keng Hong. Terlalu benar perempuan ini, pikirnya.
"Kalau sudah tahu aku tolol, kenapa engkau menghentikan aku?"

Sampai lama wanita itu tidak berkata-kata, kemudian terdengar dia tertawa merdu, cekikikan.

"Eh, kau marah?"

Hemmm, benar-benar tukang menggelitik hati orang, pikir Keng Hong. Gemas dia. Kalau tidak ingat bahwa dia itu wanita tentu sudah ditamparnya. Ia tidak menjawab, hanya menggeleng kepalanya.

"Ah, kau marah. Bilang saja kau marah. Ingin aku melihat bagaimana kalau kau marah!"

Digoda terus-menerus, Keng Hong menjadi merah mukanya dan dia memandang dengan niat untuk balas memaki. akan tetapi melihat mata yang bening indah itu, mulut yang manis tersenyum, dia menjadi tidak tega untuk memaki, maka dia menundukkan muka lagi.

"Kau memang tolol. Kalau tidak tolol, tentu tidak kau berikan Siang-bhok-kiam kepada tosu-tosu bau itu.”

"Itu hak mereka dan aku tidak mau membantah permintaan mereka. Mereka adalah tosu-tosu yang bijaksana dan baik, patut dipatuhi permintaan mereka. Pula, menggunakan kekerasan menentang, tak mungkin. Mereka amat lihai, terutama sekali Kiang Tojin dan ketua Kun-lun-pai.”

"Kau penakut dan bodoh! Heran aku mengapa Sin-jiu Kiam-ong mempunyai murid seperti engkau! Padahal menurut pendengaranku Sin-jiu Kiam-ong gagah perkasa tidak mengenal takut terhadap siapapun juga dan amat cerdik.”

Keng Hong menarik nafas panjang. Gurunya memang seorang yang selalu gembira dan tidak pernah mengenal takut.

“Terserah wawasanmu. Aku tidak takut terhadap siapapun juga, dan tentang kebodohan..... hemmmm, tentu saja aku tidak secerdik suhu.”

Sunyi yang agak lama. Keng Hong menunduk karena teringat akan suhunya dan mulailah hilang kegembiraannya. Dalam hari-hari pertama semenjak dia sendirian di dunia ini, sudah terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya. Kalau begini terus nasibnya, bertemu seorang wanita saja selalu mengejek dan memakinya, mana mungkin dia dapat meniru watak suhunya yang menghadapi segala sesuatu dengan gembira. Betapa mungkin dapat bergembira rasa hati ini kalau seorang wanita cantik jelita mencemoohkan dan memaki-makinya?”

"Keng Hong...."

Pemuda itu terkejut. Benarkah wanita itu memanggilnya? Suaranya begitu halus dan dipanggil secara tiba-tiba setelah lama berdiam diri, dia terkejut juga.

"Hemmmm.....?"

Ia menengok dan makin gugup melihat betapa sepasang mata itu memandangnya tajam-tajam dan mulut itu tersenyum manis akan tetapi hanya sebentar saja karena segera bibir yang merah itu cemberut lagi.

"Kau memanggilku?"

"Kau laki-laki, canggung benar...."

"Sudahlah, Nona. Kalau engkau menghentikan aku hanya untuk mencela, untuk apa....."

"Engkau marah?"

"Tidak"

"Engkau memang canggung, tidak seperti gurumu yang khabarnya..... ah, apakah kau tidak ingin tahu siapa aku, siapa namaku dan mengapa aku datang ke Kun-lun-pai?"

Baru Keng Hong teringat dan dia merasa bahwa dia memang kurang perhatian,
"Siapakah nama Nona?"

Gadis itu menahan kekehnya. Sikap Keng Hong benar-benar canggung dan gugup sehingga kelihatan lucu.

"Namaku Bhe Cui Im. Bagus tidak namaku?"

"Bagus.... bagus...." jawab Keng Hong cepat-cepat dengan pandang mata mendesak agar nona itu terus bercerita.

"Hi-hi-hik, kau ternyata pandai juga memuji...."

"Eh...., aku..... ah, teruskanlah, Nona.”

"Aku mendengar akan keramaian yang khabarnya akan terjadi di puncak Kun-lun-san yang disebut Kiam-kok-san, bahwa kabarnya tokoh-tokoh besar hitam dan putih hendak menjemput turunnya murid Sin-jiu Kiam-ong yang mewarisi Siang-bhok-kiam yang amat diinginkan seluruh tokoh Kang-ouw.”

"Termasuk engkau sendiri, nona.”

**** 011 ****





Tidak ada komentar: