*

*

Ads

FB

Senin, 20 Juni 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 009

Sin-jiu Kiam-ong lalu berkata kepada Kiang Tojin yang sudah menyimpan kembali pedangnya ditiru oleh saudara-saudaranya yang tetap berdiri menjauh karena mereka itu kesemuanya merupakan tokoh-tokoh yang menghormati si raja pedang yang pernah melepas budi kepada Kun-lun-pai. Hal itu terjadi belasan tahun yang lalu ketika Kun-lun-pai diserbu oleh kaum sesat yang dipimpin oleh seorang datuk kaum sesat yang berilmu tinggi, sehingga Kun-lun-pai mengalami bencana hebat dan terancam kedudukannya.

Semua tokoh Kun-lun-pai, termasuk Thian Seng Cinjin, terdesak dan hanya setelah Sin-jiu Kiam-ong yang secara kebetulan mendengar akan serbuan ini lalu datang membantu, maka pihak musuh dapat dihalau dan si datuk sesat tewas di tangan Sin-jiu Kiam-ong dan Thian Seng Cinjin. Sin-jiu Kiam-ong lalu dianggap sebagai penolong dan diperbolehkan menggunakan Kiam-kok-san, tempat yang tadinya dianggap keramat oleh golongan Kun-lun-pai karena dahulu menjadi tempat bertapa sucouw mereka.

"Kiang-toyu, harap sampaikan kepada Thian seng Cinjin guru kalian bahwa aku minta perkenannya untuk memperpanjang penggunaan Kiam-kok-san sampai beberapa tahun lagi, atau lebih jelas sampai matiku karena aku ingin menggunakan sisa usiaku untuk menggembleng muridku ini."

Sin-jiu Kiam-ong meraba kepala Keng Hong yang sudah berlutut ketika melihat Kiang Tojin dan saudara-saudaranya muncul tadi. Kiang Tojin dan saudara-saudaranya tercengang dan terdengar seruan-seruan kaget dan heran.

"Siancai....sungguh luar biasa sekali nasib anak ini.....! Akan tetapi, Taihiap, menyesal bahwa hal itu tidak mungkin dapat dilakukan karena..... karena anak ini adalah orang Kun-lun-pai....!”

Sin-jiu Kiam-ong mengerutkan alisnya dan pandang matanya berubah kecewa. Selama hidupnya dia selalu membawa kehendak sendiri dan tidak mempedulikan peraturan orang lain, akan tetapi terhadap Kun-lun-pai dia merasa sungkan dan dia tahu benar bahwa kalau memang anak ini seorang murid Kun-lun-pai, amat tidak baik kalau dia memaksa dan mengambilnya sebagai murid, betapapun sukanya dia terhadap anak ini. Ia lalu menunduk dan bertanya kepada Keng Hong.

"Hong-ji (anak Hong), benarkah engkau seorang anak murid Kun-lun-pai?”

Keng Hong tadinya terheran, bingung dan juga diam-diam merasa tegang ketika secara tiba-tiba dia diangkat murid Sin-jiu Kiam-ong, dijadikan ahli waris kakek yang luar biasa itu. Namun, perasaan yang aneh sekali membuat hatinya menjadi besar dan bahagia dan timbul tekad di hatinya bahwa dia harus menjadi murid kakek ini, harus menjadi seorang pandai untuk menghadapi manusia-manusia jahat, terutama sekali manusia-manusia munafik yang banyak terdapat memenuhi jagat ini. Kini mendengar prcakapan antara tosu penolongnya dan Sin-jiu Kiam-ong, dia cepat berkata.

"Bukan! aku bukan murid Kun-lun-pai! memang aku bekerja menjadi kacung di Kun-lun-pai, akan tetapi aku sama sekali bukan anak muridnya dan sama sekali tidak pernah mempelajari ilmu silat di Kun-lun-pai!”





"Kiang Tojin! apa artinya keterangan yang bertentangan ini?" Sin-jiu Kiam-ong menoleh kepada tosu itu dengan pandang mata penuh teguran.

"Maaf, harap Taihiap suka mendengarkan penjelasan pinto. Tadi pinto sama sekali tidak mengatakan bahwa Keng Hong adalah anak murid Kun-lun-pai hanya mengatakan bahwa dia adalah orang Kun-lun-pai. Hendaknya Taihiap ketahui bahwa anak ini berasal dari sebuah dusun yang dilanda bencana perampokan, seluruh keluarganya musnah dan secara kebetulan pinto dapat menyelamatkannya dan membawanya ke Kun-lun-pai. Semula kami hendak menjadikannya murid Kun-lun-pai, akan tetapi kami terbentur oleh peraturan baru.

Belum lama ini suhu membuat peraturan baru bahwa setiap orang anak murid dari Kun-lun-pai haruslah seorang penganut agama To. Karena Keng Hong tidak mau menjadi calon tosu, maka sampai kini dia berada di Kun-lun-pai selama dua tahun dan bekerja sebagai pembantu. Namun, kami telah menganggapnya sebagai orang sendiri.”

"Hemmm, begitukah? kalau begitu, dia bukan anak murid Kun-lun-pai, hanya kacung! tiada halangan bagiku untuk mengambilnya sebagai murid. Eh, Kiang-toyu, apakah engkau berkeberatan kalau dia kuambil murid?”

"Mana pinto berani, Taihiap? Hanya saja, hal ini tergantung kepada si bocah sendiri. Keng Hong, pinto telah menyelamatkanmu daripada bencana. Apakah sekarang kau begitu tak ingat budi dan hendak meninggalkan pinto? Apakah benar-benar engkau suka menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong?”

Keng Hong bangkit berdiri, setelah dia menyaksikan sepak terjang tiga orang manusia iblis dan sembilan orang yang mengaku sebagai tokoh-tokoh kang-ouw, hatinya menjadi dingin terhadap Kun-lun-pai yang tadinya dia junjung tinggi sebagai pusat orang-orang sakti yang budiman. Ia memandang tajam kepada Kiang Tojin lalu berkata.

"Totiang, sampai matipun saya tidak akan menyangkal bahwa Totiang telah menolong nyawa saya dan sampai matipun saya akan selalu ingat dan akan berusaha membalas budi Totiang itu. Akan tetapi, apakah budi yang totiang lepas itu mengandung pamrih agar selama hidup saya harus ikut dan menurut segala kehendak Totiang? Apakah totiang hendak merampas kebebasan saya? Totiang, pernah saya membaca ujar-ujar dalam kitab kuno bahwa budi disertai pamrih bukanlah pelepasan budi namanya, melainkan pemberian hutang yang harus di bayar kembali beserta bunga-bunganya! Apakah Totiang menghutangkan budi kepada saya!?”

"Ha-ha-ha-ha-ha....!" Sin-jiu Kiam-ong tertawa terpingkal-pingkal dan dia mengelus-elus kepala anak itu. "Bocah, engkau penuh dengan semangat menggelora! Eh, Kiang-toyu, maafkan saya, ya. Agaknya bocah ini sudah ketularan watakku! Sekarang engkau hendak bilang apa lagi, Toyu?”

Wajah Kiang Tojin menjadi merah, ia menjadi gemas kepada anak itu karena sesungguhnya tidak ada sedikit pun pamrih di hatinya minta dibalas budi oleh anak itu. Dia tadi berusaha memisahkan Keng Hong dari Sin-jiu Kiam-ong karena sesungguhnya di dalam hatinya dia tidak rela dan tidak suka melihat Keng Hong menjadi murid kakek luar biasa ini. Perasaan ini semata-mata tinmbul karena rasa sayang kepada Keng Hong.

Dia mengenal orang macam apa adanya Sin-jiu Kiam-ong, seorang yang semenjak mudanya hanya mengandalkan kepandaian malang melintang, seorang petualang yang tidak segan-segan melakukan segala macam kemaksiatan, pengejar kesenangan pemuas nafsu. Ia ingin melihat Keng Hong menjadi seorang yang baik dan dia mengerti bahwa kalau anak ini menjadi murid si raja pedang, tentu akan mewarisi pula wataknya yang liar dan jiwa petualangnya. Ia menghela nafas dan berkata,

"Siancai....hanya Tuhan yang mengetahui isi hati manusia! Taihiap, tidak sekali-kali saya ingin mempengaruhi Keng Hong dan terserahlah kalau memang dia sendiri suka menjadi murid Taihiap. Hanya ada satu hal yang hendaknya diketahui baik oleh Taihiap dan terutama oleh Keng Hong sendiri. Karena dia bukan anak murid Kun-lun-pai, dan tidak ada sangkut pautnya dengan Kun-lun-pai, maka di kelak kemudian hari segala sepak terjangnya tidak ada hubungannya dengan Kun-lun-pai.

Taihiap dipersilahkan menempati Kiam-kok-san karena Taihiap merupakan seorang penolong Kun-lun-pai, akan tetapi kelak, kalau Taihiap tidak lagi berada di Kiam-kok-san, tentu saja kami akan melarang Keng Hong berada di wilayah kami. Nah, selamat berpisah, Taihiap, semoga Thian selalu melindungi dan melimpahkan berkahNya.”

Tosu itu memberi isyarat kepada saudara-saudaranya dan setelah menjura ke arah Sin-jiu Kiam-ong lalu meninggalkan tempat itu untuk kembali ke puncak dan memberi laporan kepada Thian seng Cinjin.

Sin-jiu Kiam-ong tertawa dan memegang tangan Keng Hong diajak mendaki puncak Kiam-kok-san sambil berkata,

"Jangan menganggap semua omongan tosu itu, Hong-ji. Mereka itu adalah orang-orang yang terikat, terbelenggu kaki tangannya oleh agamanya, kasihan....! Segala peraturan yang dibuat manusia merupakan belenggu-belenggu yang akan mengikat kaki tangannya sendiri. Eh, namamu memakai huruf Hong, sama dengan namaku. Memang kita berjodoh....auggghhh....!" Kakek itu memegangi dadanya dan kakinya terhuyung.

"Eh...kenapa? Suhu..... Suhu terluka...?"

Wajah yang menyeringai menahan nyeri itu berseri kembali.
"Ah, tidak seberapa hebat. Tahukah engkau bahwa ketika engkau menyebut Kong-kong kepadaku, aku merasa seolah-olah engkau ini cucuku sendiri? Ha-ha-ha! Alangkah lucunya, kawin pun belum pernah, bagaimana bisa punya cucu? Kau lebih tepat menjadi muridku. Hemmm...., akan kuberikan seluruh milikku kepadamu, muridku. Mudah-mudahan saja tidak terlambat. Mari kita naik ke Kiam-kok-san dan engkau harus rajin belajar karena waktunya tidak banyak. Aku...setan laknat tiga iblis itu.... aku terluka, kalau hanya racun saja sudah di punahkan Siang-bhok-kiam, akan tetapi...ah, pukulan mereka merusak isi dadaku yang sudah kurang kuat...! Mudah-mudahan tidak terlambat...."

Keng Hong tidak mengerti apa yang dimaksudkan suhunya, namun dengan patuh dia lalu mengikuti suhunya mendaki puncak. Ketika mereka tiba di bawah batu pedang, Sin-jiu Kiam-ong mengempitnya dan merayap ke atas. Keng Hong merasa ngeri, akan tetapi dia menguatkan hatinya dan sedikit pun tidak menyatakan rasa ngerinya!

Ketika mereka memasuki halimun tebal yang menutup bagian puncak batu pedang, Keng Hong hampir menjadi kaku oleh rasa dingin. Seluruh tubuhnya menggigil, sampai gigi atas beradu dengan gigi bawah namun dia tetap bertahan, tidak mau mengeluh sama sekali. Ketika suhunya melepaskannya dan Keng Hong memandang sekelilingnya, dia melihat bahwa kini dia berada di puncak batu pedang, dan bahwa puncaknya tidak meruncing seperti tampaknya dari bawah dan halimun tebal itu pun tidak mencapai puncak, melainkan mengambang di bawah.

Puncak itu sendiri tersinar cahaya matahari yang amat indah dan puncak itu lebar berbentuk segi empat seolah-olah tadinya puncak itu meruncing kemudian patah. Lebarnya lebih dari lima puluh meter dan di situ terdapat sebuah pondok kecil, dan tanah atau batu di situ ditumbuhi rumput dan lumut hijau muda.

Sekeliling puncak itu hanya tampak halimun belaka, seolah-olah tempat itu bukan bagian dunia lagi, melainkan di dunia lain, di tengah-tengah langit antara awan-awan putih! Akan tetapi Keng Hong tidak kuat lagi karena tiba-tiba perutnya menjadi kejang-kejang saking dinginnya dan dia roboh pingsan di dekat kaki gurunnya!

Keng Hong sadar di dekat api unggun, ketika dia bangkit dan duduk, dia melihat gurunya bersila di dekatnya dan guru ini menempelkan telapak tangan pada punggungnya.

"Duduklah bersila, Keng Hong, dan atur napas perlahan-lahan. Dengan bantuan api yang panas, tekankan dalam hati dan pikiranmu bahwa hawa sama sekali tidak dingin, bahkan agak panas. Jangan ragu-ragu, kubantu engkau.”

Betapa mungkin, bantah hati anak itu. Hawa amat dinginnya, bahkan panasnya api tidak terasa sama sekali olehnya. Kalau tidak ada telapak tangan gurunya menempel di punggungnya, telapak tangannya yang seolah-olah memasukkan hawa panas yang menjalar ke seluruh tubuhnya, tentu dia takkan kuat menahan.

Akan tetapi dia mematuhi perintah suhunya, duduk bersila dan bernapas dalam-dalam, panjang-panjang, sambil menekankan keyakinan bahwa hawa sesungguhnya tidaklah sedingin yang dianggapnya semula. Memang tadinya agak sukar, akan tetapi makin hening dia memusatkan perhatian, makin terasa bahwa memang dia keliru menduga. Memang hawa tidaklah amat dingin. Makin lama makin panas sampai mulailah keluar peluh di lehernya!

"Tubuh kita hanya merupakan alat, muridku. Kalau kuat batin kita, kita akan dapat menguasai alat yang akan melakukan segala perintah otak dan kemauan kita. Engkau harus berlatih seperti ini, memperkuat kemauan sehingga seluruh anggota tubuhmu tunduk dan taat kepadamu. Kalau hatimu bilang panas, kalau menyatakan dingin, tubuhmu harus merasa dingin pula.” Demikian kakek itu memberi pelajaran pertama.

Guru dan murid itu amat tekunnya. Sukar dikatakan siapa di antara mereka yang lebih tekun, si guru yang mengajar ataukah si murid yang belajar. Keng Hong belajar ilmu dan berlatih tanpa mengenal waktu. Tidak ada perbedaan antara siang atau malam baginya, baik puncak batu pedang itu sedang terang ataukah sedang gelap. Baginya kini tidak ada bedanya karena dia dapat melihat di dalam gelap saking hebatnya gemblengan yang diberikan gurunya.

Ia mengaso kalau tubuhnya sudah tidak kuat lagi, hanya tidur kalau matanya sudah tidak kuat menahan kantuk, hanya makan kalau perutnya sudah tidak dapat menahan lapar dan minum kalau kerongkongannya sudah tidak dapat menahan haus. Dalam beberapa bulan saja dia sudah dapat turun dari batu pedang untuk mencari bahan makanan menggantikan pekerjaan gurunya.

Sin-jiu Kiam-ong menggembleng muridnya dengan cara yang luar biasa, segala pengertian dasar ilmu silat dia berikan dengan cara kilat. Latihan lweekang dan ginkang dia berikan dan tekankan agar dilatih terus-menerus oleh muridnya. Latihan samadhi dan mengatur pernapasan untuk mengumpulkan sinkang (hawa sakti) di dalam tubuh, sambil sedikit demi sedikit "memindahkan" sinkangnya sendiri melalui telapak tangan yang dia tempelkan di punggung muridnya.

Luar biasa sekali kemajuan yang diperoleh Keng Hong. Cepat dan memang anak ini amat cerdik, setiap pelajaran yang diberikan selalu menempel di dalam ingatannya. Akan tetapi sebaliknya, kalau Keng Hong memperoleh kemajuan yang hebat dan cepat, adalah Sin-jiu Kiam-ong makin lama makin lemah dan pucat. Makin sering kakek ini terbatuk-batuk, kadang-kadang batuknya mengeluarkan darah.

Kakek ini menderita luka di sebelah dalam tubuhnya akibat pertandingan melawan Bu-tek Sam-kwi dahulu dan kini karena terlampau rajin dan memaksa tenaga, dia menjadi berpenyakitan dan lemah. Namun hal ini tidak mengurangi semangatnya dan terus melatih muridnya secara teliti dan tekun karena dia merasa yakin bahwa hal ini merupakan kewajiban terakhir dalam hidupnya yang tidak berapa lama lagi itu.






Tidak ada komentar: