*

*

Ads

FB

Senin, 20 Juni 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 007

Setelah tertawa lagi, tiga orang manusia iblis itu bergerak. Berbarengan dengan gerakan mereka, masing-masing mengarah tiga orang lawan terdekat. Rambut kepala Ang-bin Kwi-bo menyambar ke depan, berlumba cepat dengan rantai tengkorak dan hudtim di tangan kedua orang kawannya.

Sembilan orang yang sudah lemah itu maklum bahwa kali ini nyawa mereka tidak berdaya menghadapi kehebatan tiga orang lawan ini, apalagi sekarang setelah mereka terluka dan lemah. Betapapun juga mereka menggerakkan tangan untuk mempertahankan diri.

Tiba-tiba terdengar suara mencicit keras dan nyaring sekali, berbarengan berkelebat sinar hijau yang panjang dan tebal, disusul bunyi "Cring-cring-tranggg....!" dan tiga orang manusia iblis itu mencelat mundur sambil mengeluarkan seruan kaget.

Tangkisan sinar hijau tadi membuat sebagian rambut kepala Ang-bin Kwi-ong rontok, kedua tengkorak Pak-san Kwi-ong berputaran dan kebutan hudtim di tangan Pat-jiu Sian-ong bodol tiga helai!

Peristiwa ini bagi tiga orang manusia iblis merupakan hal yang amat hebatnya, karena tak pernah mereka mengira ada orang yang mampu sekali tangkis menolak mundur mereka. Karena kaget dan heran mereka mencelat mundur dan kini mereka memandang denga mata terbelalak penuh dengan kemarahan.

Kiranya di depan mereka telah berdiri Sin-jiu Kiam-ong yang tersenyum-senyum dan pedang Siang-bhok-kiam yang diperebutkan itu berada di tangan kanannya. Kakek ini tenang-tenang saja menoleh ke belakang dan berkata kepada sembilan orang tokoh kang-ouw yang memandang dengan mata terbelalak kagum.

"Harap Kiu-wi (kalian sembilan orang) suka mundur. Biarlah aku menghadapi mereka karena tiga iblis ini adalah tandinganku!"

Biarpun angkuh dan menjunjung kegagahan, sembilan orang ini pun merupakan orang-orang yang mengenal keadaan. Maka sambil menghela napas panjang mereka lalu melangkah mundur dan hanya menonton dari pinggiran.

"Sin-jiu Kiam-ong!" Kini Pak-san Kwi-ong membentak dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka kakek tua renta itu. "Kabarnya engkau telah mengundurkan diri dan tidak mau mencampuri urusan dunia ramai. Bahkan tadi kami mendengar bahwa engkau telah menyerahkan nyawa, tidak hendak melakukan perlawanan. Mengapa sekarang engkau menentang kami? Apakah engkau sudah melupakan kegagahanmu dan hendak melakukan perlawanan. Mengapa sekarang engkau menentang kami? Apakah engkau sudah melupakan kegagahanmu dan hendak mampus sebagai seorang pengecut rendah yang menarik kembali ucapannya yang masih terdengar gemanya?"

Sin-jiu Kiam-ong tertawa, kemudian menjawab,
"Hemmm, kalian Bu-tek Sam-kwi dengarlah baik-baik! Aku sama sekali tidak pernah berjanji kepada kalian bertiga! Aku berjanji kepada sembilan orang yang mewakili partai-partai yang pernah ku ganggu. Aku berhutang kepada mereka, maka kini aku bersedia membayar dengan nyawaku. Pedang Siang-bhok-kiam ini sama harganya dengan nyawaku, maka kalau kalian bertiga datang hendak memperoleh Siang-bhok-kiam, harus lebih dulu dapat merampas nyawaku!"





"Bagus! Sin-jiu Kiam-ong manusia sombong yang sudah hampir mampus! Kami masih suka bicara denganmu karena mengingat bahwa engkau setingkat dengan kami. Jangan sekali-kali mengira bahwa kami takut kepadamu!" bentak Ang-bin Kwi-bo marah.

"Heh-heh-heh, Kwi-bo, dahulu, setengah abad yang lalu, engkau cantik jelita dan memiliki kesukaan yang sama dengan aku, yaitu berenang dalam lautan asmara. Akan tetapi sekarang, heh-heh-heh, engkau buruk sekali.......!"

"Gila....!"

Ang-bin Kwi-bo menerjang dengan kedua tangannya dan sepuluh buah kuku runcing mengandung racun dahsyat itu sudah mencakar ke arah Sin-jiu Kiam-ong. Kakek ini menggoyang pergelangan tangannya, sinar hijau berkelebat dan si nenek memekik keras dan cepat menarik kembali kedua tangannya yang dari kedudukan menyerang berbalik terancam dibabat buntung oleh Siang-bhok-kiam!

Dua orang kawannya tidak tinggal diam. Mereka sudah menerjang maju dan terjadilah pertempuran yang lebih dahsyat lagi daripada tadi. Sembilan orang sakti yang menonton, hampir berbarengan mengeluarkan seruan-seruan kagum. Mereka adalah orang-orang sakti maka dengan pandang mata mereka yang terlatih, mereka dapat menikmati dan mengagumi permainan pedang Sin-jiu Kiam-ong yang benar-benar belum pernah mereka saksikan keduanya di dunia ini. Juga mereka merasa ngeri karena setelah kini mereka dapat mengikuti sepak terjang tiga orang iblis itu yang benar-benar luar biasa dan amat berbahaya.

Bagi Keng Hong, tentu saja penglihatan pada saat itu lain lagi. Ia tidak melihat lagi Sin-jiu Kiam-ong dan tiga orang iblis. Bayangan mereka sudah lenyap. Yang tampak olehnya hanyalah segulung sinar hijau seperti seekor naga bermain-main diantar mega-mega yang beraneka warna, ada mega hitam, ada yang putih dan ada yang kemerahan. Pandang matanya berkunang dan kepalanya menjadi pening sehingga Keng Hong terpaksa harus memejamkan matanya. Kalau dia membuka matanya, dia menjadi silau dan berkunang lagi. Terpaksa dia meramkan terus matanya, dan hanya mendengarkan dengan telinganya. Yang terdengar hanya lengking dan suara bercuitan, tidak tahu dia bagaimana jalannya pertandingan itu, siapa yang menang dan siapa yang kalah.

Jangankan bagi mata Keng Hong yang tidak terlatih, bahkan sembilan orang sakti yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya itu pun menjadi silau dan pening. Makin lama gerakan Sin-jiu Kiam-ong dan tiga orang lawannya, terutama sekali gerakan Raja Dewa Lengan Delapan, makin cepat sehingga sukar diikuti pandangan mata lagi.

Sinar pedang Siang-bhok-kiam yang hijau itu mendadak menjadi lebar sekali ketika terdengar Sin-jiu Kiam-ong membentak, dan tampaklah sinar hijau mencuat ke tiga jurusan seperti bercabang, disusul pekik kesakitan tiga orang iblis. Namun tampak jelas oleh sembilan orang itu betapa ujung pedang Siang-bhok-kiam berhasil melukai dada ketiga orang iblis, dan sebaliknya, pipi kanan Sin-jiu Kiam-ong terkena guratan kuku tangan Ang-bin Kwi-bo dan punggungnya terkena gebukan sebuah tengkorak yang terbang membalik dan seolah-olah mencium punggung kakek itu. Sin-jiu Kiam-ong terhuyung ke belakang, akan tetapi tiga orang lawannya juga mencelat sampai tiga tombak jauhnya

Mereka kini berdiri saling pandang, tak bergerak. Tiga orang iblis itu terengah-engah, pandang mata mereka beringas, mulut menyeringai. Tiga orang iblis ini diam-diam merasa girang sekali. Sin-jiu Kiam-ong telah terkena luka beracun. Racun-racun di kuku Ang-bin Kwi-bo amat hebatnya, dan racun di tengkorak Pak-san Kwi-ong juga tak kalah ampuhnya. Kalau mereka bertanding lagi, amatlah sukar mengalahkan kakek itu yang benar-benar patut berjuluk Raja Pedang karena permainan pedangnya memang hebat di samping pedang itu sendiri amat ampuh.

Akan tetapi kalau mereka mengadu sinkang pengerahan tenaga sakti akan membuat racun itu menjalar hebat dan akan membunuh Sin-jiu Kiam-ong! Dada mereka terkena tusukan ujung pedang Siang-bhok-kiam, namun karena tubuh mereka kebal dan luka itu tidak terlalu dalam, juga tidak mengandung racun, mereka tidak khawatir untuk mengerahkan seluruh sinkang di tubuh mereka.

"Sin-jiu Kiam-ong, bersiaplah untuk mampus!" bentak Pak-san Kwi-ong, yang sudah menekuk kedua lututnya, berdiri setengah jongkok, kemudian setelah dia melibatkan senjata rantai di pinggangnya raksasa hitam ini mendorongkan kedua lengan sambil mengerahkan tenaga sinkang. Itulah pukulan jarak jauh yang mengandalkan Iweekang yang sudah sempurna, dikendalikan oleh sinking (hawa sakti) untuk memukul lawan dari jarak jauh.

Pada saat yang bersamaan, Ang-bin Kwi-bo yang tadi memutar-mutar kedua lengannya hingga terdengar suara berkerotokan, kedua lengannya menggigil kini mendorong lengan kanan ke depan sedangkan lengan kirinya diangkat lurus ke atas dengan telapak tangan menghadap ke atas. Pat-jiu Sian-ong sudah menancapkan hudtimnya di pinggang, kemudian kedua tangannya bergerak-gerak mendorong ke depan. Berbeda dengan kedua kawannya yang mendorong dan mengerahkan sinkang tanpa menggerakkan lengan, kakek kate ini terus-menerus menggerak-gerakkan kedua lengan dengan telapak tangan menghadap ke arah Sin-jiu Kiam-ong dan melakukan gerakan-gerakan memukul dengan telapak tangan. Terdengar bunyi "wut-wut-wut" dari kedua telapak tangan itu.

Sin-jiu Kiam-ong masih tersenyum. Ia maklum bahwa lawan-lawannya hendak mengadu sinkang. Dia berjuluk Sin-jiu (Tangan Sakti) di samping Kiam-ong (Raja Pedang). Ia maklum bahwa lukanya yang mengandung racun itu merugikannya dalam mengadu sinkang , namun karena tiga orang lawannya sudah siap menantang, dia sebagai seorang yang berjuluk Sin-jiu, bagaimana mungkin akan menolak? Penolakan mengadu singkang berarti memperlihatkan rasa jerih, maka sambil tersenyum dia pun lalu duduk bersila dan begitu tiga orang lawan itu menggerakkan lengan, dia pun lalu mendorong ke depan dengan kedua lengannya, menghadapi lawan.

Segera terasa olehnya tenaga gabungan lawan menyerangnya. Ia mengerahkan sinkang, disalurkan ke dalam kedua lengannya, berkumpul di kedua telapak tangannya dan ketika dia mendorong, serangkum tenaga dahsyat menerjang ke depan dan menahan angin pukulan tiga orang lawannya.

Kalau sembilan orang tokoh kang-ouw itu memandang dengan hati penuh ketegangan, Keng Hong memandang dengan melongo dan hati penuh keheranan. Apakah yang mereka lakukan, pikirnya. Sungguh lucu. Mengapa mereka itu diam tak bergerak seperti patung dengan lengan diluruskan ke arah lawan, hanya kakek kate itu saja yang menggerak-gerakkan kedua lengan, mendorong-dorong angin kosong? Apakah mereka itu sedang bermain-main? Ataukah mereka sudah sedemikian tuanya sehingga menjadi pikun atau kehabisan tenaga setelah pertandingan yang serba cepat tadi?

Tiba-tiba terdengar suara "trik-trik-trik!" terus-menerus, makin lama makin nyaring. Kiranya suara itu keluar dari kuku-kuku jari tangan Ang-bin Kwi-bo yang sengaja sambil mendorong menyentil-nyentil antara kuku-kukunya sendiri. Sehingga mengeluarkan bunyi seperti itu.

Beberapa detik kemudian suara itu disusul oleh suara menggereng keras yang keluar dari kerongkongan mulut Pat-san Kwi-ong yang terbuka. Suara gerengan yang rendah, namun tiada hentinya, sambung-menyambung dan mengandung getaran hebat. Segera dua suara ini disusul pula dengan suara duk-creng-duk-creng seperti tambur dan gembreng. Kiranya suara ini keluar dari sebuah tambur kecil yang pinggirannya dipasangi kelenengan.

Dengan tangan kirinya Pat-jiu Sian-ong memegang tambur ini, sedangkan tangan kanan masih didorong-dorongkan ke arah Sin-jiu Kiam-ong. Tambur itu oleh kakek pendek ini dipukul-pukulkan kepada paha dan lututnya, sekali pukul pada kulit tambur kemudian pada lingkaran sehingga menimbulkan suara duk-creng-duk-creng nyaring sekali.

Sembilan orang itu tiba-tiba duduk bersila dan memejamkan mata. Keng-Hong menjadi heran sekali dan lebih kagetlah dia ketika tiba-tiba kedua kakinya gemetar dan dia pun jatuh terduduk. Jantungnya berdebar aneh dan telinganya seperti ditusuk-tusuk rasanya. Ia melihat betapa Sin-jiu Kiam-ong menjadi pucat wajahnya, tubuhnya menggigil, dahinya penuh keringat dan tubuh kakek yang bersila itu pun mulai gemetar, kedua lengan yang dilonjorkan ke depan bergoyang-goyang!

Dia tidak mengerti dan sama sekali tidak tahu bahwa suara-suara yang dikeluarkan oleh tiga orang manusia iblis itu adalah suara mujijat yang mengandung tenaga getaran hebat yang dapat melumpuhkan, bahkan membinasakan lawan! Untung bahwa Keng Hong belum pernah mempelajari Iweekang karena kalau dia sudah mempelajarinya dan mengerti akan pengaruh suara ini, tentu dia sudah roboh binasa. Memang suara-suara mujijat tidaklah begitu hebat pengaruhnya terhadap mereka yang tidak mengerti sama sekali, hanya menimbulkan suara tidak enak yang menusuk-nusuk telinga, dan getaran itu hanya membuat kaki menggigil dan lemas.

"Dasar manusia-manusia iblis!"

Keng Hong menjadi marah karena rasa tidak enak pada telinganya hampir tak tertahankan olehnya. Ia teringat akan sulingnya maka dengna gemas dan marah dia lalu meniup sulingnya. Suara-suara itu begitu bising dan tak enak didengar, pikirnya. Lebih baik aku memperdengarkan suara suling yang merdu untuk mengusir suara tidak enak! Pendapat secara ngawur ini segera dilaksanakan dan tak lama kemudian, suara-suara bising tidak enak itu bercampur dengan suara tiupan sulingnya.

Bocah ini memang seorang ahli meniup suling yang berbakat. Karena tidak ada yang membimbing, maka dia merupakan peniup murid alam! Ia dapat menirukan suara-suara yang didengarnya. Kalau hatinya senang, tiupannya mengandung suara yagn gembira ria dan tentu terasa oleh siapapun juga yang mendengarnya. Kalau dia berduka atau marah, suara sulingnya tentu membawa getaran perasaannya ini tanpa disadarinya.

Kini dia sedang marah, maka suara sulingnya juga penuh kemarahan, bergelora dan membubung tinggi, melengking-lengking seperti bocah rewel menangis. Akan tetapi karena terpengaruh oleh suara lain, kepandaiannya yang timbul dari bakatnya membuat dia meniru suara-suara itu sehingga terdengarlah suara suling yang amat aneh. Kadang-kadang meniru suara berkeritik kuku-kuku Ang-bin Kui-bo kadang-kadang seperti menggerengnya tenggorokan Pak-san Kwi-ong dan sering kali mengarah suara tambur di tangan Pat-jiu Sian-ong! Hiruk-pikuk tidak karuan, namun justru kekacauan inilah yang mengacau pula daya tekun dan daya serang rangkaian tiga suara yang dikeluarkan oleh Bu-tek Sam-kwi!

Setelah meniup sulingnya untuk menyatakan kemarahannya terhadap suara-suara bising yang tak sedap didengar itu Keng Hong merasa kekuatannya pulih kembali. Ia mengangkat muka memandang dan melihat betapa kakek tua renta yang duduk bersila itu kini tidak lagi menggigil sungguhpun wajahnya masih pucat. Sepasang mata kakek itu ditujukan kepadanya, hanya sekilas pandang, namun Keng Hong dapat merasa betapa pandang mata kepadanya itu penuh kagum, rasa syukur dan gembira!

Hal ini menimbulkan kegembiraan di dalam hatinya. Keng Hong bukan seorang anak bodoh. Tidak, sebaliknya malah. Dia amat cerdik dan biarpun dia tidak mengerti mengapa demikian, namun dia dapat menduga bahwa suara sulingnya telah membantu kakek ini! Kegembiraannya membuat dia bertekad untuk mengacau terus suara-suara bising yang keluar dari tiga orang manusia iblis itu.






Tidak ada komentar: