*

*

Ads

FB

Selasa, 06 Desember 2016

Petualang Asmara Jilid 225

“Suci Hong Ing...! Liong-twako...!”

Sepasang muda mudi yang sedang berpelukan itu cepat melepaskan diri masing-masing dan meloncat berdiri. Sambil tersenyum mereka memandang tubuh Bun Houw yang berlari-larian mendaki lereng itu dari bawah.

Cia Bun How, putera pendekar Cia Keng Hong ini masih berada di Tibet. Kok Beng Lama menuntut kepada Ketua Cin-ling-pai itu agar dia boleh menurunkan ilmu-ilmunya kepada Cia Bun Houw yang sudah menjadi muridnya.

Tadinya, Biauw Eng merasa keberatan, akan tetapi karena suaminya merasa bahwa Bun Houw berhutang nyawa kepada kakek itu, pula melihat bahwa kakek itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, terpaksa meluluskan. Untuk menyenangkan hati isterinya, Cia Keng Hong menjanjikan kepada Kok Beng Lama untuk kelak mengirim Bun Houw ke Tibet dan berguru kepadanya setelah puteranya itu berusia lima belas tahun.

Kok Beng Lama maklum bahwa suami isteri pendekar yang lihai itu ingin menanamkan dasar-dasar kepandaian mereka kepada putera mereka lebih dulu, maka dia pun setuju, hanya minta agar anak itu diperbolehkan tinggal di situ dan kelak kembali ke Cin-ling-san bersama Kun Liong.

Demikianlah, Cia Keng Hong dan isterinya kembali ke Cin-ling-san dan meninggalkan Bun How di tempat itu. Pada pagi hari itu, Bun Houw berlari-lari dan memanggil-manggil Kun Liong dan Hong Ing yang sedang duduk bercakap-cakap di lereng bukit.

“Eh, Sute, ada apakah engkau berlari-lari menyusul kami?” Hong Ing bertanya setelah anak itu tiba di depannya.

“Suhu memanggil Suci dan Twako.”

Mereka bertiga lalu menuruni lereng kembali ke markas yang sedang dibangun kembali itu. Kok Beng Lama sudah menanti mereka di bangunan samping yang masih utuh, setelah mereka menghadap, dia menyuruh Bun Houw untuk keluar dari ruangan dan bermain-main di luar.

“Kun Liong dan Hong Ing,” katanya ramah, “pinceng telah mengetahui akan hubungan kalian dan pinceng merasa gembira sekali serta memberi restu. Akan tetapi, mengingat bahwa Hong Ing sudah cukup umurnya, pinceng minta kepadamu mengirim pinangan agar hari pernikahan dapat ditetapkan dengan segera.”

Mendengar ini, wajah Hong Ing menjadi merah sekali.
“Ihh... Ayah...!” katanya sambil berlari keluar!

Kok Beng Lama tertawa.
“Engkau tentu mengerti, Kun Liong, bahwa penghargaan yang terutama bagi seorang gadis adalah pinangan, karena hanya pinangan saja yang merupakan bukti bagi seorang pemuda bahwa dia mencinta gadis itu dan menghendakinya sebagai isterinya. Pinceng tahu bahwa selain kalian berdua saling mencinta dengan penuh kesetiaan, juga bahwa engkau sudah tidak ada ayah bunda, dan pinceng pun sudah setuju, akan tetapi demi menghargai diri Hong Ing, engkau harus mengajukan pinangan secara resmi.”






Kun Liong menunduk.
“Hal itu sudah kami bicarakan tadi, Locianpwe. Dan saya akan pergi ke Cin-ling-san, mengajak Adik Bun Houw pulang ke sana, sekalian minta pertolongan Supek dan Supek-bo untuk mengajukan pinangan secara resmi serta menetapkan hari pernikahan itu. Akan tetapi... saya hanyalah seorang pemuda sebatang kara yang... yang miskin dan...”

“Hushhh! Apa kau kira bahwa pinceng hendak menjodohkan anak pinceng dengan harta benda?”

“Maaf, Locianpwe.”

“Sudahlah, kau berangkat hari ini juga dan ajaklah Bun Houw. Sampaikan salamku kepada Cia Keng Hong Tai-hiap dan isterinya.”

“Maaf, saya tidak dapat berangkat hari ini karena ada suatu urusan yang harus saya selesaikan lebih dulu.”

“Huh, apa lagi?” kakek itu membentak.

Pada saat itu, Hong Ing datang berlari. Tadi dia tidak pergi jauh, hanya bersembunyi di balik pintu dan mendengarkan percakapan antara kekasihnya dan ayahnya maka kini mendengar ucapan Kun Liong, dia cepat lari masuk.

“Ayah, aku dan dia mau pergi ke Kuil Kwan-im-bio di rumah mendiang Gak-taihiap untuk mengambil seorang anak yang dititipkan di kuil itu.”

“Huh? Apa? Anak siapa?”

Hong Ing yang khawatir kalau-kalau kekasihnya yang jujur itu akan menceritakan rahasianya bersama mendiang Hwi Sian, cepat mendahului Kun Liong dan berkata,

“Tahukah Ayah tentang suami isteri yang tewas di sini ketika mereka membela kami berdua? Mereka itu adalah murid-murid Gak-taihiap di Secuan, sahabat-sahabat dari Kun Liong. Mereka telah mengorbankan diri demi kami berdua, dan pada saat terakhir mereka minta kepada Kun Liong agar kami berdua suka merawat anak mereka yang ditinggalkan di kuil itu. Bagaimana menurut pendapat Ayah? Setelah ayah bundanya tewas demi membela kami, apakah kami tidak seharusnya memenuhi permintaan mereka itu?”

Kok Beng Lama termenung, mengerutkan alisnya lalu mengangguk-angguk.
“Tentu... tentu saja! Aku akan membencimu kalau kau tidak memenuhi permintaan mereka itu. Nah, cepat ambil anak yang ditinggalkan itu. Kasihan dia!”

“Ayah, aku bersama Kun Liong akan ke Secuan menjemput anak itu dan selain itu...”

“Apa lagi?” Ayahnya membentak.

“Kami berhutang budi kepada orang tuanya, maka, kami berdua telah bersepakat untuk mengambil anak itu sebagai anak kami.”

“Huh! Belum menikah sudah mempunyai anak! Tapi... aku akan benci kalian kalau kalian tidak melakukan itu!”

Hong Ing dan Kun Liong berlari ke luar dan setelah tiba di luar bangunan itu, Kun Liong merangkul kekasihnya dengan hati penuh keharuan.

“Hong Ing, engkau..., engkau seorang dewi yang berhati mulia...”

Hong Ing membalas pelukan Kun Liong, melingkarkan lengannya di pinggang pemuda itu dan berkata lirih manja,

“Ah, aku hanyalah calon isterimu yang bodoh...”

Maka berangkatlah Kun Liong dan Hong Ing ke Secuan. Setelah bertemu dengan Poa Su It yang berduka sekali mendengar tentang kematian sute dan sumoinya, mereka lalu diajak oleh Poa Su It mengunjungi Kuil Kwan-im-bio dan dari ketua nikouw (pendeta wanita) mereka menerima seorang anak perempuan yang baru berusia tiga empat bulan! Seorang anak perempuan yang mungil dan sehat karena sejak kecil, juga setelah ditinggalkan ibunya, dia dipelihara dengan baik oleh para nikouw di Kwan-im-bio yang memanggilkan seorang inang pengasuh, dibesarkan dengan air susu sapi.

Kun Liong memandang anak itu dengan jantung seperti ditusuk-tusuk rasanya. Anaknya! Keturunan dan darah dagingnya! Dia terharu sekali, apa pula ketika melihat betapa Hong Ing meraih dan memondong anak itu dengan penuh kasih sayang!

Poa Su It merasa girang sekali dan berkali-kali menghaturkan terima kasih bahwa Kun Liong dan Hong Ing, calon suami isteri itu, suka mengambil Mei Lan, demikian nama anak itu, sebagai anak mereka! Tentu saja dia tidak pernah tahu bahwa anak itu sebetulnya adalah anak Kun Liong! Disangkanya bahwa anak itu adalah anak Hwi Sian dan Tan Swi Bu, hasil dari hubungan mereka sebagai suami isteri!

“Harap Poa-toako suka merahasiakan pemungutan anak ini agar anak ini kelak tidak mengetahui bahwa dia hanyalah anak pungut,” Kun Liong berkata.

“Tentu saja!” Poa Su it menjawab. “Sejak hari ini namanya menjadi Yap Mei Lan, anak Ji-wi berdua. Saya sudah merasa bingung sekali mendengar akan kematian ayah bundanya, tidak tahu apa yang harus saya lakukan dengan anak ini. Syukur bahwa Ji-wi sudi mengambilnya sebagai anak memenuhi pesan terakhir mereka.”

Kun Liong dan Hong Ing lalu berpamit kembali ke Tibet membawa Mei Lan bersama inang pengasuhnya yang juga diajak untuk merawat anak itu, karena Hong Ing belum berpengalaman merawat anak kecil dan merasa khawatir dan tidak berani.

Setelah tiba kembali di Tibet, Kun Liong lalu meninggalkan anak itu bersama Hong Ing dan mengajak Bun Houw untuk meninggalkan Tibet, kembali ke Cin-ling-san.

Kok Beng Lama dan Hong Ing mengantar keberangkatan mereka sampai di ujung lereng pertama dan Kun Liong didesak sampai berkali-kali mengucapkan janji bahwa dia tidak akan lama pergi dan akan cepat mengajak Cia Keng Hong dan isterinya untuk datang mengajukan pinangan yang dinanti-nanti itu.

**** 225 ****
Petualang Asmara







Tidak ada komentar: