*

*

Ads

FB

Minggu, 04 Desember 2016

Petualang Asmara Jilid 219

“Aku akan mati... dan kau pelihara baik-baik anak itu... kutitipkan di Kuil Kwan-im-bio di kaki bukit, tanya Suheng Poa Su It...”

“Plak-plakk...!”

Tanpa menoleh Kun Liong mengangkat tangan kirinya dan dua kali dia menangkis datangnya dua batang golok yang menyambarnya dari belakang. Golok-golok itu terpental dari tangan pemegangnya dan dua orang pendeta Lama meloncat ke belakang, memegangi tangan yang terasa panas!

“Anakmu...?” Kun Liong bertanya.

Mata itu bersinar-sinar memandang wajahnya, dan bibir yang masih merah membasah itu tersenyum sehingga nampak sebagian gigi berkilat putih.

“Kini aku... dapat membuka rahasia... dia... dia anak kita, Kun Liong... rawatlah dan... selamat tinggal...”

Keduanya menjadi lemas seketika. Hwi Sian lemas karena tubuhnya tak bernyawa lagi, sedangkan Kun Liong lemas lunglai mendengar pengakuan yang hebat dan di luar dugaannya itu. Hwi Sian meninggalkan seorang anak, anak mereka! Anak Hwi Slan dan dia! Betapa mungkin ini? Hubungan yang dahulu itu... di kuil tua itu... menghasilkan keturunan?

“Tidak mungkin!” Dia meletakkan tubuh Hwi Sian ke atas tanah dan meloncat berdiri, matanya merah.

“Wuttt-wuuuttt...desss! Aughhh...!”

Lak Beng Lama berteriak keras karena kini tongkatnya yang menyambar bertemu dengan tangkisan yang dilakukan dengan tenaga mujijat sedemikian dahsyatnya sehingga tidak hanya tongkatnya yang terpental, juga tubuhnya terasa seperti disambar petir!

Sin Beng Lama dan Hun Beng Lama cepat menyerang dan kembali Kun Liong dikeroyok dan didesak hebat. Pemuda ini melawan dengan pandang mata masih termenung, dan dengan dua butir air mata membasahi pipinya. Pikirannya masih penuh dengan pengakuan Hwi Sian. Anak Hwi Sian, anaknya!

“Siuttt... cussss... dukk!”

Dia terhuyung ke belakang. Ketika nyaris lehernya tertusuk hio membara dan dia mengelak sambil membuang diri ke belakang tadi, tasbih di tangan Hun Beng Lama menyambar lambungnya dengan tepat, membuat dia terpelanting ke belakang.

Tentu saja kedua orang pendeta Lama itu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, terus mendesak maju, Kun Liong menggoyangkan kepalanya untuk mengusir suara Hwi Sian yang masih mengiang-ngiang mengikuti telinganya, agar dia dapat memusatkan perhatian menghadapi pengeroyokan dua orang lawan tangguh itu.

“Kun Liong...!”

Untuk kedua kalinya selama beberapa menit itu jantung Kun Liong terguncang hebat. Dia cepat meloncat ke belakang dan melihat dara yang dirindukannya selama ini, Pek Hong Ing, meronta-ronta dalam pegangan Lak Beng Lama! Cepat dia mengerahkan tenaganya dan tubuhnya melayang ke arah Lak Beng Lama.






“Mundur! Kalau tidak, kubunuh dia!” Lak Beng Lama berseru, tongkatnya menempel di ubun-ubun kepala Hong Ing.

Kun Liong mundur dengan muka pucat.
“Hong Ing... Hong Ing...!” bibirnya berbisik.

“Kun Liong, lawanlah! Lawan dan bunuhlah mereka yang keji dan jahat! Jangan pedulikan diriku!” Hong Ing berkata sambil menangis.

“Tidak! Sam-wi Lo-suhu (Tiga Bapak Pendeta), dengarlah! Aku menyerah asal Sam-wi Lo-suhu tidak mengganggu Hong Ing!”

“Omitohud, bagus kalau begitu. Berlututlah!” Sin Beng Lama berseru sambil menghampiri Kun Liong.

“Kun Liong, jangan...!”

Hong Ing menjerit akan tetapi karena mengkhawatirkan keadaan kekasihnya, Kun Liong sudah maju berlutut di depan Sin Beng Lama. Kakek ini mengeluarkan segulung tali hitam, lalu dibantu oleh Hun Beng Lama dia membelenggu kedua pergelangan tangan Kun Liong di belakang tubuhnya.

Tali hitam itu bukanlah sembarang tali, melainkan terbuat dari bulu biruang hitam yang hanya terdapat di pegunungan yang sunyi dari daerah Tibet. Bulu binatang ini amat kuat, tidak mungkin dibacok putus oleh senjata pusaka yang mana pun. Orang hanya dapat membunuh biruang hitam itu dengan jalan menusuknya, sehingga senjata runcing menyusup di antara bulu kuat itu melukai tubuh.

Kalau dibacok, jangan harap dapat melukai binatang itu. Akan tetapi tentu saja ada kelemahan bulu itu bagi yang mengerti. Kun Liong membiarkan kedua tangannya dibelenggu tanpa mengadakan perlawanan.

“Hong Ing, jangan melawan, menurutlah saja. Kurasa para Losuhu ini tidak akan berniat buruk.”

“Omitohud, sama sekali tidak, Yap-taihiap. Engkau sungguh gagah dan kami bukanlah orang-orang yang tidak menghargai orang pandai. Kami ingin sekali bersahabat dengan Taihiap.” Sin Beng Lama berkata dan halus penuh bujukan.

Akan tetapi dengan sinar mata tajam dan suara tegas, Kun Liong kepada ketua para Lama Jubah Merah itu dan berkata,

“Losuhu, aku menyerah bukan karena ingin bersahabat dengan Losuhu sekalian, melainkan karena Losuhu berjanji tidak akan mengganggu Hong Ing. Sekarang, setelah aku menyerah, harap lekas bebaskan Hong Ing dan lakukan apa saja yang Losuhu sukai terhadap diriku.”

“Kun Liong...!”

Hong Ing yang sudah dilepas oleh Lak Beng Lama karena pemuda lihai itu telah dibelenggu, cepat lari menubruk pemuda itu, merangkulnya sambil menangis.

“Kun Liong... oh, Kun Liong...!”

Hong Ing hanya dapat meratap karena hatinya menyesak oleh perasaan terharu. Seluruh kerinduan hatinya menyesak di dada, kegirangan melihat pemuda ini kembali bercampur dengan kekhawatiran melihat kekasihnya menyerah dan dibelenggu. Dia merangkul memeluk, mendekapkan mukanya yang basah oleh air mata itu di pipi, leher, dan dada Kun Liong yang menunduk dan mencoba meredakan hati kekasihnya.

“Tenanglah, Hong Ing. tenanglah...”

Akan tetapi mana mungkin hati Hong Ing dapat ditenangkan kalau dia teringat bahwa dia akan dikorbankan kepada dewa di depan mata Kun Liong seperti yang telah dijanjikannya kepada Sin Beng Lama? Siasatnya memang berhasil membawa Kun Liong menyusulnya ke tempat ini, akan tetapi kesudahannya sama sekali berbeda dengan yang dikehendakinya.

Dia mengharapkan kedatangan Kun Liong bersama Cia Keng Hong untuk melawan para pendeta Lama itu dan membebaskan dia dan ayahnya, akan tetapi hasilnya jauh berlainan. Ayahnya tidak mau membantu, dan Kun Liong menyerah untuk melindunginya! Bagaimana dia dapat tenang menghadapi malapetaka ini?

“Mundurlah kau!”

Lak Beng Lama menarik lengan Hong Ing sehingga terlepas dari rangkulan pada leher Kun Liong.

“Hong Ing, sekarang Yap-taihiap sudah datang, kau harus memenuhi janjimu.”

Sin Beng Lama berkata, suaranya halus akan tetapi nadanya mengandung paksaan dan ancaman.

Dengan kedua mata masih basah Hong Ing memandang kepada Kun Liong yang masih berdiri tegak dengan lengan terikat ke belakang. Pemuda itu memandangnya dengan tenang dan bibirnya tersenyum seperti hendak menghibur dan membesarkan hatinya.

Maklumlah dara ini bahwa siasatnya telah gagal sama sekali, bahkan dia telah menyeret Kun Liong ke dalam bahaya maut. Dia tahu pula akan kepalsuan hati para paman gurunya, maka dia khawatir sekali akan keselamatan kekasihnya itu.

“Susiok, aku hanya mau berkorban diri kalau Susiok bertiga suka berjanji takkan membunuh Yap Kun Liong.”

“Hong Ing, apa maksudmu berkorban diri?” Kun Liong bertanya dengan tiba-tiba dan hatinya berdebar tegang.

Akan tetapi Hong Ing menundukkan mukanya tidak berani menjawab. Kalau dia bicara terus terang, tentu Kun Liong akan marah-marah kepada para pendeta dan memberontak. Dalam keadaan sudah terbelenggu seperti itu, hasilnya tentu akan sia-sia, bahkan akan membahayakan keselamatannya, maka dia diam saja, bahkan mendesak Sin Beng Lama.

“Sin Beng Susiok, bagaimana? Tanpa janji Sam-wi untuk membebaskan Kun Liong segera setelah saya berkorban, saya tidak akan mau dan saya akan membunuh diri kalau dipaksa!”

Tanpa ragu-ragu lagi Sin Beng Lama berkata,
“Kami berjanji! Kami akan segera membebaskan Yap Kun Liong setelah kau selesai berkorban diri untuk dewa.”

Hong Ing menoleh kepada Kun Liong, menarik napas panjang dan terisak, lalu menunduk dan berkata,

“Kalau begitu, saya bersedia.”

Sin Beng Lama merasa girang sekali.
“Hayo kau ikut denganku untuk menghafal doa penyeberangan ke kahyangan! Sute berdua, harap bawa Yap-taihiap ke kamar tamu dan menjaganya baik-baik.”

Kakek ini lalu menggandeng lengan Hong Ing, dituntunnya gadis ini pergi dari situ masuk ke dalam.

“Hong Ing...! Losuhu, nanti dulu! Hong Ing, jelaskan kepadaku apa artinya ini semua! Apa artinya pengorbanan itu!” teriak Kun Liong.

Akan tetapi Hong Ing yang memandang kepadanya, hanya menggeleng kepala dan air matanya bercucuran, kemudian dengan cepat dia mengikuti Sin Beng Lama berjalan masuk.

Kun Liong hendak mengejar, akan tetapi Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama memegang kedua lengannya dari kanan kiri, Hun Beng Lama berkata,

“Harap kau tidak memberontak. Kau lihat sendiri bahwa kami tidak melakukan paksaan kepada Pek Hong Ing. Dia melakukan segala sesuatu dengan suka rela atas kehendaknya sendiri, semoga para dewa melindunginya.”

Kun Liong terpaksa menahan kemarahannya. Ketika dia digiring masuk, dia melirik ke arah mayat-mayat di sekeliling tempat itu dan melihat mayat Hwi Sian dan suaminya, dia memejamkan kedua matanya.

“Hwi Sian, kau ampunkan aku...” bisik hatinya.

Betapa hidupnya yang lalu bergelimang kepalsuan dan dosa, dan bahkan saat ini pun dia tidak berdaya menolong Hong Ing. Ingin dia meronta dan memberontak, namun dia menekan kemarahannya. Hal ini tidak mungkin ia lakukan selama Hong Ing masih berada di tangan mereka. Dia harus bersabar dan melihat perkembangan selanjutnya untuk menentukan sikap.

Sementara itu, dengan hati penuh harapan, penuh kegirangan, karena dia merasa yakin bahwa kalau Pek Hong Ing, keturunan Pek Cu Sian yang pernah membikin murka dan kecewa kepada dewa itu dengan suka rela mengorbankan diri menjadi “mempelai dewa” tentu para dewa akan memberkahi dan melindungi Lama Jubah Merah dan membantu mereka dalam “perjuangan” mereka yang suci, Sin Beng Lama menuntun Pek Hong ing ke dalam ruangan sembahyang untuk mengajarkan doa-doa yang harus diucapkannya ketika pengorbanan dilaksanakan.

Sebagai seorang dara yang sedikit banyak sudah kemasukan kepercayaan agama itu, kepercayaan tradisi, diam-diam Hong Ing menerima nasib, bahkan dia pun mengharapkan bahwa pengorbanan dirinya selain akan menebus dosa mendiang ibunya, juga akan dapat membebaskan orang yang dicintanya, yaitu Yap Kun Liong, dan membebaskan pula ayahnya dari segala dosa!

Dia benar-benar hendak berkorban secara suka rela, demi mereka bertiga itu, terutama sekali demi kebebasan Kun Liong. Maka dia pun menahan kedukaan hatinya dan menghafalkan doa-doa itu dengan tekun tanpa banyak membantah lagi. Hal ini makin menggirangkan hati Sin Beng Lama yang menganggap bahwa dewa telah memilih dara ini maka telah menurunkan kegaiban dan mempengaruhi hati dara itu!

**** 219 ****
Petualang Asmara







Tidak ada komentar: