*

*

Ads

FB

Minggu, 04 Desember 2016

Petualang Asmara Jilid 217

Mulai hari itu, Bun Houw menjadi murid Kok Beng Lama dan setiap hari anak itu berada didalam kamar hukuman untuk menerima petunjuk dan gemblengan kakek aneh itu.

Kok Beng Lama memang berwatak luar biasa. Dia sama sekali tidak peduli dan tidak ingin tahu mengapa putera Ketua Cin-ling-pai itu bisa berada di tempat itu. Dia tidak mau mempedulikan lagi urusan dunia, maka dia tidak pernah bertanya kepada Hong Ing maupun kepada Bun Houw. Dia setiap hari hanya mengajar ilmu kepada puterinya dan muridnya itu, tanpa membicarakan urusan lain lagi. Pekerjaannya setiap hari hanya mengajar dan bersamadhi, lain tidak.

Tentu saja setiap gerak-gerik Pek Hong Ing dan Cia Bun Houw tidak pernah terlepas dari penyelidikan tiga orang pendeta Lama, namun mereka tidak menghalangi ketika melihat bahwa Bun Houw menjadi murid suheng mereka yang menjalani hukuman itu. Mereka percaya penuh akan janji Kok Beng Lama, dan mereka sudah mengenal betul watak suheng mereka itu yang mungkin dapat mengamuk dan memusuhi mereka mengenai urusan pribadi, namun akan membela dengan pertaruhan nyawa apabila perkumpulan agama mereka diserang musuh dari luar.

Selain itu, Hong Ing juga tidak memperlihatkan sikap mencurigakan, bahkan dara ini menurut dan mempelajari dengan teliti semua pelajaran keagamaan mereka sehubungan akan menjadi korban untuk dewa kelak, setelah permintaannya dipenuhi, yaitu hadirnya Yap Kun Liong di situ.

Bahkan dia menurut pula ketika diharuskan melakukan puasa dan pantang makan barang berjiwa agar dirinya tetap bersih apabila saatnya tiba dia mengorbankan diri kepada dewa sebagai penebus “dosa” ibunya dabulu.

Melihat sikap dara ini, Sin Beng Lama dan dua orang sutenya tidak menjadi curiga, dan mereka hanya menanti-nanti kedatangan Yap Kun Liong untuk ditukar dengan Cia Bun Houw, agar pelaksanaan korban suci untuk dewa dapat segera dilaksanakan. Dalam hal ini, para pendeta Lama mempunyai keyakinan bahwa pengorbanan suci seorang dara kepada dewa akan mendatangkan berkah yang amat hebat, akan mendatangkan keajaiban yang membawa kejayaan kepada perkumpulan mereka.

Mereka percaya bahwa dengan bantuan dan perlindungan dewa yang tentu akan membantu mereka setelah menerima pengorbanan istimewa, yaitu puteri mendiang Pek Cu Sian yang mengecewakan dan membikin marah dewa, tentu Kerajaan Tibet akan dapat mereka tumbangkan dan mereka rampas!

Mereka berkeyakinan bahwa kalau selama ini mereka belum juga berhasil adalah karena dewa marah kepada mereka berhubung dengan peristiwa kedosaan yang dilakukan oleh Pek Cu Sian, gadis calon mempelai dewa yang melarikan diri! Sekarang, begitu Pek Hong Ing berada pada mereka, sudah nampak tanda-tanda bahwa mereka akan berhasil, terutama sekali dengan adanya kenyataan bahwa hubungan mereka dengan Pek-lian-kauw menjadi erat dan saling membantu.

Memang perkumpulan Lama Jubah Merah mulai membuat persiapan untuk memberontak dan menyerang Pemerintah Tibet. Semua Lama Jubah Merah telah dikumpulkan dan jumlah mereka ternyata hampir dua ratus orang. Selain melatih semua Lama Jubah Merah ini menjadi pasukan istimewa yang amat kuat, juga kini telah dikumpulkan banyak bantuan dari luar, bantuan yang terdapat dari berbagai cara.

Ada yang karena percaya kepada keampuhan Kelenteng Lama Jubah Merah, yaitu para penduduk di sekitar daerah itu yang pernah menerima “berkah” dari kelenteng, ada pula yang karena terpaksa atau dipaksa oleh pengaruh para pimpinan Lama, ada pula yang “dibeli” dengan uang!






Betapapun juga, Sin Beng Lama telah berhasil menghimpun ratusan orang perajurit “sukarelawan”, yang dilatih di luar markas mereka, dilatih ilmu perang dan barisan, juga kontak langsung telah diadakan dengan Pek-lian-kauw yang sudah siap membantu para Lama untuk menyerbu Tibet dengan janji bahwa kelak, para Lama yang telah menguasai Tibet akan mengerahkan kekuatan pula untuk membantu mereka menumbangkan Pemerintah Beng-tiauw!

Kini, para Lama hanya menanti tibanya saat yang suci itu, ialah pengorbanan seorang dara kepada dewa untuk memberkahi mereka. Semua orang sudah tahu bahwa perawan yang cantik jelita dan yang kini berada di markas, keponakan murid dari Sin Beng Lama sendiri, dara jelita Pek Hong Ing yang akan menebus dosa ibunya mengorbankan diri kepada dewa dengan cara seperti biasa, yaitu dibakar hidup-hidup!

Akan tetapi gadis itu baru mau menjalani upacara pengorbanan diri kalau musuhnya sudah berlutut di bawah kakinya! Dan kini semua orang menanti datangnya saat itu.

Bukan hanya Sin Beng Lama, Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama saja yang setiap hari menanti-nanti munculnya Cia Keng Hong yang membawa Yap Kun Liong untuk ditukar dengan Cia Bun Houw. Juga Hong Ing dan Bun Houw setiap hari menanti-nanti dengan penuh harap. Bagi Hong Ing, saat kedatangan Kun Liong akan merupakan saat penentuan mati hidupnya!

Sin Beng Lama memang cerdik sekali. Untuk melakukan suatu pemberontakan terhadap pemerintah, terutama sekali lebih dulu haruslah mencari kesan baik dari rakyat jelata, agar dalam hati rakyat terkandung simpati terhadap “perjuangan” mereka. Dan untuk ini, dia hampir setiap hari mengadakan sembahyangan besar di kelentengnya yang amat luas, tentu saja disertai jamuan tanpa bayar bagi rakyat yang berkunjung dan yang bersembahyang.

Mendengar bahwa di Kelenteng Lama Jubah Merah diadakan sembahyangan besar, berbondong-bondong rakyat dari berbagai jurusan di sekitar daerah itu datang berkunjung. Bahkan banyak pula di antara para pengunjung yang bermalam di halaman kelenteng untuk dapat mendengarkan khotbah Sin Beng Lama atau kedua orang sutenya yang diadakan setiap hari, khotbah tentang kebatinan dan sekaligus khotbah yang memburuk-burukkan Pemerintah Tibet dan bujukan-bujukan untuk memberontak!

Pada suatu pagi, ketika para pengunjung kelenteng sedang berkumpul di halaman mendengarkan khotbah yang dilakukan sendiri oleh Sin Beng Lama, tiba-tiba terdengar suara berisik di dalam markas. Sin Beng Lama menyuruh kedua orang sutenya untuk memeriksa apa yang terjadi sedangkan dia sendiri melanjutkan khotbahnya. Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama cepat berlari melalui pintu belakang kelenteng, langsung memasuki markas dari mana terdengar suara ribut-ribut.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dua orang tokoh Lama Jubah Merah itu melihat beberapa orang anak buah mereka bergelimpangan dan di tengah-tengah kepungan para pendeta Lama berdirilah seorang pemuda yang tampan dan gagah. Lak Beng Lama yang berwatak agak keras dan kasar segera berseru,

“Minggir semua!” lalu dia memasuki kepungan bersama suhengnya, Hun Beng Lama.

Kini mereka berhadapan dengan pemuda itu yang bukan lain adalah Yap Kun Liong! Melihat datangnya dua orang pendeta Lama ini, Kun Liong segera mengenal mereka.

“Hemm, kebetulan sekali Ji-wi Losuhu (Kedua Bapak Pendeta) datang!” tegurnya dengan nada suara tegas. “Aku datang untuk menemui tiga orang pemimpin Lama Jubah Merah, akan tetapi tahu-tahu para pendeta disini menyerbu dan mengeroyokku.”

Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama tidak mengenal Kun Liong karena ketika mereka dahulu menculik Hong Ing di pulau kosong, pemuda ini berkepala gundul dan pakaiannya hanya sehelai cawat. Kini pemuda itu sudah berambut panjang dan hitam, dan biarpun pakaiannya sederhana, namun lengkap.

“Orang muda yang lancang, siapakah kau dan apa keperluanmu mencari kami?”

“Aku bernama Yap Kun Liong dan kedatanganku adalah untuk minta kepada para pimpinan Lama Jubah Merah agar suka membebaskan Nona Pek Hong Ing!”

Mendengar Ini, terkejutlah dua orang pendeta Lama itu dan mereka memandang lebih teliti, kemudian saling pandang dan Lak Beng Lama berseru kepada para anak buahnya.

“Tangkap pemuda ini!”

Belasan orang pendeta Lama menyerbu dengan tangan kosong. Mereka mendengar perintah “tangkap”, maka tentu saja mereka tidak mau menggunakan senjata tajam yang dapat membunuh pemuda ini. Namun, untuk kedua kalinya Kun Liong menggerakkan tubuh seperti tadi ketika dia diserbu, tubuhnya berkelebatan dan berputaran dengan kaki tangan bergerak dan berturut-turut robohlah belasan orang pengeroyok itu!

Hal ini tentu saja menimbulkan kemarahan para pendeta yang lain. Segera mereka menyerbu dan Kun Liong dikepung dan dikeroyok oleh banyak pendeta, bahkan kini Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama yang maklum akan kelihaian pemuda itu, sudah bergerak menyerbu pula.

Majunya dua orang pendeta Lama yang amat sakti ini membuat Kun Liong terdesak. Dia memang hanya bermaksud membela diri dan hanya merobohkan lawan sedapat mungkin tanpa melakukan pembunuhan. Tentu saja menghadapi serangan dua orang pendeta Lama yang berilmu tinggi itu, dia bersikap hati-hati sekali, lebih-lebih karena masih ada puluhan orang anggauta perkumpulan Lama Jubah Merah itu yang membantu Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama.

Mendengar suara ribut-ribut di halaman depan markas itu, Pek Hong Ing cepat lari keluar dan dapat dibayangkan betapa tegang rasa hatinya ketika dia melihat Yap Kun Liong sedang dikepung dan dikeroyok banyak pendeta. Sejenak dia seperti terpesona melihat pemuda yang menjadi kekasih pujaan hatinya itu, yang setiap saat dirindukannya dan diharap-harapkan kedatangannya.

Kini pemuda itu telah muncul, akan tetapi dikepung dan dikeroyok. Menurutkan perasaannya, ingin dia ikut mengamuk dan membantu kekasihnya. Namun dia teringat betapa liciknya para pendeta Lama itu. Kalau dia maju, tentu mereka akan menangkap dia dan menggunakan dia untuk memaksa Kun Liong menyerahkan diri. Teringat akan ini, dia lalu cepat-cepat masuk lari ke dalam dan langsung dia memasuki kamar hukuman ayahnya.

“Ayah... tolonglah aku...!” Dia berlutut memeluk ayahnya dengan muka pucat dan napas terengah-engah.

Bun Houw yang sedang duduk bersila melatih diri bersamadhi seperti yang diajarkan gurunya, membuka mata dan terkejut melihat keadaan sucinya. Akan tetapi dia tidak berani membuka suara, hanya memandang kepada gurunya.

Kok Beng Lama juga membuka matanya, sejenak memandang heran kepada puterinya, lalu bertanya,

“Hong Ing, apakah yang terjadi?”

“Ayah...” dengan suara terisak Hong Ing berkata. “Lekas Ayah menolongnya...! Yap Kun Liong telah datang dan dikeroyok oleh kedua orang Susiok dan puluhan orang pendeta...! Lekaslah Ayah...!”

Namun Kok Beng Lama tidak bergerak.
“Hemmm... salahnya sendiri kalau datang ke sini dan dikeroyok, tidak ada urusannya dengan pinceng.”

“Ayah, akulah yang salah! Akulah yang menyebabkan semua itu. Ayah, aku mencinta Kun Liong dan dia mencintaku. Kami saling mencinta, karena itu... aku telah mencari akal untuk memancing Kun Liong ke sini. Aku membohongi para Susiok, aku bilang bahwa aku bersedia mengorbankan diri kepada dewa untuk menebus dosa ibuku, asal mereka dapat mendatangkan Yap Kun Liong. Karena tidak bertemu dengan Kun Liong, para Susiok membawa Adik Bun Houw ke sini dengan pesan agar orang tua anak ini mengantarkan Kun Liong ke sini untuk ditukar dengan Bun Houw. Ayah... semua itu kulakukan demi cintaku kepada Kun Liong. Aku ingin pergi dari sini, ingin ikut dia, hidup bersama dia. Tapi dia... dia dikeroyok di luar. Ayah, tolonglah aku, bantulah dia... hu-huuuuh!”

Hong Ing menangis, penuh kekhawatiran terhadap keselamatan kekasihnya. Dia tahu akan kelihaian kekasihnya itu, namun membayangkan kesaktian para susioknya dan banyaknya para pendeta yang mengeroyok, tentu saja hatinya gelisah sekali.

“Hemmm...!”

Kok Beng Lama mengeluarkan suara dari dalam rongga perutnya yang tertahan di kerongkongan, sampai lama dia diam saja. Setelah Hong Ing sambil menangis berkali-kali membujuknya, akhirnya dia mendorong tubuh puterinya sehingga tubuh Hong Ing terpental ke belakang.

“Tidak! Kau minta agar ayahmu menjadi seorang hina dina yang melanggar janji? Tidak, lebih baik kau menyuruh aku mati! Anak tidak berbakti, kau berani minta ayahmu melakukan hal yang hina itu?”

Setelah membentak demikian, kakek ini sudah memejamkan matanya kembali dengan alis berkerut.

“Ayaaaahhh...!” Hong Ing menjerit dan pada saat itu, diluar terdengar suara makin berisik, tanda bahwa jumlah para pengeroyok bertambah banyak dan makin gelisah hati Hong Ing. Dia menubruk lagi ayahnya dengan nekat sambil menangis. “Ayah, aku tidak minta Ayah melanggar janji. Hanya tolonglah dia, tolonglah Kun Liong yang dikeroyok... kalau sampai dia mati, aku pun akan mati di depan kakimu, Ayah!”

Sampai berkali-kali Hong Ing mengulangi kata-katanya sambil menangis, dan akhirnya kakek itu membuka mata dan mengangguk.

“Memang lebih baik mati daripada hidup dalam hina melanggar janji. Pergilah!”

**** 217 ****
Petualang Asmara







Tidak ada komentar: