*

*

Ads

FB

Kamis, 24 November 2016

Petualang Asmara Jilid 174

“Sudahlah, Keng-moi... sudahlah kekasihku yang tercinta. Perlu apa menangis lagi? Tangismu menghancurkan hatiku, Keng-moi. Bukankah aku berada di sini, di sampingmu selalu?”

“Liong-koko...!” Giok Keng makin terisak menangis, menyandarkan kepalanya di atas dada Liong Bu Kong yang mengelus-elus rambutnya dengan penuh kemesraan. “Engkau tidak merasakan betapa sakit hatiku... betapa sengsaranya hati orang yang diusir dan tidak diakui lagi oleh ayah bundanya... hu-hu-huuk...”

“Aku mengerti, Moi-moi... aku mengerti... dan memang tidak semestinya engkau mengorbankan diri sedemikian rupa hanya untuk seorang seperti aku... maka sekarang belum terlambat, kalau kau tinggalkan aku dan pulang, minta ampun kepada ayah bundamu, Moi-moi...”

Cia Giok Keng mengangkat mukanya yang basah air mata dan matanya yang agak merah karena tangis itu memandang wajah yang tampan dari Bu Kong. Malam itu bulan telah muncul dan di bawah sinar bulan wajah itu kelihatan tampan sekali.

“Apa... apa maksudmu...? Meninggalkanmu...?”

Bu Kong menundukkan mukanya dan berkata, suaranya halus menggetar,
“Keng-moi, aku cinta kepadamu, aku cinta padamu dengan seluruh jiwa ragaku... dan demi cinta kasihku yang murni, aku tidak ingin melihat kau menderita. Tidak! Aku hanya ingin melihat engkau berbahagia, maka melihat engkau menangis dan bersengsara seperti ini... ah, biarlah aku yang menderita, Moi-moi, kau kembalilah kepada orang tuamu...”

“Koko...!” Giok Keng menangis lagi sambil merangkul leher pemuda itu. Hatinya merasa perih dan terharu, juga bahagia sekali karena ucapan pemuda itu meyakinkan hatinya akan cinta kasih yang murni dari pemuda itu kepada dirinya. “Aku rela berkorban apa pun, Koko... biarlah aku tidak diakui anak lagi oleh ayah bundaku asal engkau benar-benar mencintaku...”

“Moi-moi...!” Bu Kong mendekap tubuh itu dan mencium pipinya, “Aku bersumpah demi bumi dan langit bahwa aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku. Biarlah aku bersumpah, kalau ternyata aku berhati palsu kepadamu, kelak Thian akan menghukumku dengan...?”

“Husshh, tidak perlu bersumpah, aku percaya kepadamu, Koko...” Giok Keng menutup mulut pemuda itu dengan telapak tangan kanannya.

“Moi-moi... ah, Moi-moi tersayang...”

Bu Kong memegang dan menciumi tangan itu, kemudian ciumannya berpindah-pindah, dari tangan ke leher dan akhirnya dia menciumi bibir Giok Keng dengan penuh nafsu.

Mula-mula Giok Keng membalas ciuman pemuda itu dengan sepenuh hatinya karena cinta kasihnya, penub penyerahan dan kemesraan. Akan tetapi ketika ciuman-ciuman penuh nafsu yang membuat dia terengah-engah itu disusul dengan gerakan jari-jari tangan Bu Kong yang nakal, dia terkejut.

“Moi-moi... ahhh... Moi-moi tercinta...!”






Bu Kong berkata dengan napas mendengus-dengus, kemudian dengan gerakan halus dia mendorong kedua pundak dara itu sehingga Giok Keng rebah terlentang di atas tanah berumput. Giok Keng merangkulnya, menciumnya, dan jari-jari tangannya meraba-raba dan hendak membuka pakaian Giok Keng.

“Koko... jangan...!” Glok Keng mendadak bangkit duduk dan menolak kedua tangan pemuda itu yang meraba dada dan pahanya. ”Jangan begitu, Koko...!” suaranya penuh permohonan dan nafasnya masih terengah-engah dibakar nafsu berahi.

“Mengapa Moi-moi? Bukankah kita saling mencinta?”

Bu Kong mengecup pipi yang kemerahan dan halus serta panas karena terbakar darah muda yang menggelora tadi.

“Memang aku cinta padamu, Koko, dan aku yakin bahwa engkau pun mencintaku akan tetapi kita... kita... tidak boleh begini... sebelum kita menikah dengan sah!”

Bu Kong melepasken kedua tangannya dan usahanya membelai dan memegang kedua pundak dara itu, memandang wajah yang jelita itu dengan mata tajam dan suaranya terdengar mencela,

“Aihh, mengapa pendirianmu begini kuno, Moi-moi? Dimana ada cinta, di situ tidak ada pelanggaran apa-apa lagi, apa pun boleh kita lakukan jika kita saling mencinta! Bahkan tidak selalu cinta harus dihubungkan dengan pernikahan! Cinta dan pernikahan itu adalah dua hal yang berlainan, Moi-moi!”

Giok Keng cemberut dan menggerakkan pundaknya sehingga pegangan Bu Kong itu terlepas. Dia menggeser duduknya agak menjauhi pemuda itu, lalu berkata, suaranya juga sungguh-sungguh,

“Liong-koko, memang enak saja berkata demikian karena engkau adalah seorang laki-laki! Kau bilang bahwa cinta dan pernikahan adalah dua hal yang berlainan, dan biarpun anggapanmu ini ada benarnya, namun lebih benar lagi adalah bahwa cinta dan bermain cinta adalah dua hal yang lebih berlainan lagi! Bermain cinta hanyalah permainan nafsu berahi, dan seperti juga pernikahan, hanya merupakan pelengkap dari cinta kasih belaka.”

“Moi-moi, kita saling mencinta, kita berdua seakan-akan sudah tidak mempunyai lagi orang tua, perlu apa urusan pernikahan direpotkan lagi? Kita saling mencinta, sehidup semati, dan kalau aku ingin memiliki dirimu, demi cinta kita, apa salahnya itu?”

“Karena engkau seorang laki-laki, maka pendapatmu menjadi demikian mudah tentang hal ini, Koko. Bagi pria, memang tidak ada cacad celanya melakukan hubungan di luar nikah, akan tetapi demikiankah bagi wanita? Memang dunia ini kejam, terutama sekali kejam terhadap wanita! Kalau sepasang muda-mudi, karena cinta mereka, karena dorongan nafsu berahi mereka, melakukan hubungan dan bermain cinta di luar nikah, selalu si wanita yang menjadi korban. Diejek, diolok-olok, dianggap manusia rendah. Sebaliknya, si pria tidak apa-apa, bahkan perbuatannya itu akan dijadikan kebanggaan diantara kawannya, dipamerkan sebagai suatu bukti kejantanan! Sekali saja seorang wanita terpeleset dan bermain cinta di luar nikah, kehormatannya akan cemar, namanya akan buruk. Sebaliknya, biarpun seorang pria melakukan hubungan itu di luar nikah sampai seribu kali, tidak akan berbekas apa-apa! Apalagi kalau hubungan itu sampai menghasilkan kandungan. Maka celakalah si wanita!”

“Ahh, Moi-moi, kau berpikir terlampau jauh dan mengkhawatirkan hal yang bukan-bukan. Apakah kau kira aku yang mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku akan meninggalkanmu begitu saja? Kita sudah sehidup semati, Moi-moi!”

“Bukan aku tidak percaya kepadamu, Koko. Hanya aku tidak ingin kehilangan harga diriku yang merupakan kehormatan bagi seorang wanita, biarpun hanya kita berdua saja yang mengetahui. Aku akan merasa rendah dan murah! Pula, kalau engkau memang mencintaku, mengapa kau tidak mau menaruh hormat akan pendirianku ini? Mengapa engkau tidak mau menjaga agar kehormatanku tetap terjunjung tinggi dan kita dapat benar-benar menikmati masa pengantin baru? Koko, aku hanya mau menyerahkan diriku kepadamu setelah kita menikah, sungguhpun hatiku sudah kuserahkan kepadamu.”

“Keng-moi... kau mengecewakan hatiku... akan tetapi demi cintaku yang mumi, biarlah aku akan menahan diri dan akan mentaati permintaanmu itu.”

“Koko, engkau memang baik sekali!”

Giok Keng merangkul dan mereka saling berciuman dengan penuh kemesraan, akan tetapi api nafsu berahi yang tadinya hampir membakar mereka berdua itu kini dapat dipadamkan atau setidaknya diperkecil sehingga tidak akan timbul bahaya kebakaran.

Bu Kong duduk di atas tanah bersandar pohon, Giok Keng duduk dan menyandarkan tubuh di atas dada pemuda itu. Sampai lama keduanya tidak berkata-kata, hanya duduk seperti itu dengan hati tenang, masing-masing tenggelam dalam lamunan.

Tak lama kemudian terdengar Bu Kong berkata,
“Moi-moi, aku heran sekali bagaimana seorang dara remaja seperti engkau ini dapat mempunyai pandangan sedemikian mendalam tentang hubungan antara pemuda dan pemudi seperti yang kita bicarakan tadi.”

“Ibu yang telah bicara kepadaku tentang semua itu, Koko. Dan Ibu adalah seorang wanita yang keras hati, seorang wanita yang telah mempunyai banyak pengalaman hidup, tahu akan pahit getirnya hidup sebagai seorang wanita. Semua yang dikatakannya memang tepat dan benar, menurut kenyataan. Betapa banyak kenyataannya bahwa wanita selalu terancam dalam hidupnya, banyak sekali bahaya menghadang, di depan langkah hidup kaki wanita. Telah menjadi kembang bibir sebutan-sebutan yang merendahkan kaum wanita. Ada gadis kehilangan keperawanannya akan tetapi tidak ada sebutan perjaka kehilangan keperjakaannya. Ada sebutan isteri tidak setia, akan tetapi suami yang tidak setia tak disebut-sebut. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang saja suami, namun seorang pria boleh saja mempunyai seratus orang isteri! Sebagai akibat hubungan, wanitalah yang harus mengandung, melahirkan dengan segala penderitaannya, sedangkan pria hanya tahu enaknya saja. Ada makian pelacur dan sampah masyarakat bagi wanita, akan tetapi laki-laki hidung belang tukang melacur tetap dianggap sebagai manusia terhormat.”

Liong Bu Kong mengangguk-angguk dan mengelus rambut kekasihnya dengan mesra.
“Engkau memang hebat dan pantas menjadi puteri suami isteri pendekar seperti ayah bundamu itu. Sayang sekali ayahmu keras dan tidak suka kepadaku, Moi-moi, sehingga aku menjadi bingung seka memikirkan hubungan kita ini. Aku sendiri sudah tidak mempunyai orang tua, lalu bagaimanakah dengan perjodohan antara kita?”

“Kau sebagai seorang laki-laki harus dapat mencari jalan, Koko. Betapa pun besarnya cintaku kepadamu, hubungan kita ini harus dilanjutkan dengan pernikahan, barulah aku dengan syah menjadi isterimu dan aku takkan mengingkari lagi kewajibanku sebagai seorang isteri yang mencinta. Kita akan membentuk keluarga bersama, maka pertama-tama kita harus dapat menjaga kehormatan diri kita sendiri. Kita harus dapat menjaga nama baik keturunan kita kelak, karena engkau tentu mengerti sendiri apa namanya keturunan orang di luar nikah. Hanya penderitaan batin yang akan kita rasakan sebagai akibatnya.”

Karena Giok Keng duduk bersandar kepada Bu Kong, dia tidak tahu betapa ucapannya tadi, pertama tentang anak yang lahir di luar nikah, membuat wajah Bu Kong menjadi pucat dan pemuda ini memejamkan matanya. Dia teringat akan keadaan dirinya sendiri dan ucapan dara itu seolah-olah menyindir dan mengejeknya! Dia sendiri pun tidak pernah mengenal ayah kandungnya, dan biarpun dia diaku sebagai anak angkat oleh Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, namun sesungguhnya dia adalah anak kandung Ketua Kwi-eng-pang itu, anak yang terlahir tanpa ayah yang syah! Seorang anak haram!

Pandang mata Bu Kong melirik ke arah jalan darah di tengkuk dan pundak kekasihnya. Betapa akan mudah kalau pada saat itu dia menotok jalan darah dan membuat Giok Keng lemas tak berdaya. Betapa mudahnya kalau dia hendak menikmati tubuh kekasihnya ini dengan kekerasan.

Akan tetapi tidak, dia tidak ingin berbuat demikian. Dia tergila-gila kepada Giok Keng, dia harus memiliki tubuh dara ini, akan tetapi Giok Keng harus menyerahkan diri secara sukarela. Dia terlalu mencinta dara ini dan ingin memiliki selamanya, bukan hanya memenangkannya dengan kekerasan yang pasti berakibat dengan permusuhan.

“Engkau benar sekali, Moi-moi. Dan karena aku sudah tiada ayah bunda lagi, sedangkan orang tuamu tidak mau menikahkan kita, maka jalan satu-satunya kita harus minta pertolongan sebuah perkumpulan besar agar menikahkan kita secara syah.”

“Terserah kepadamu, Koko. Bagiku, soal ikatan jodoh antara kita disyahkan dalam pernikahan dan disaksikan umum, cukuplah. Akan tetapi perkumpulan manakah yang akan mau menikahkan kita, Koko?”

“Perkumpulan besar sekali yang tentu akan mengatur pernikahan kita dengan meriah dan mengundang seluruh tokoh dunia kang-ouw sehingga pemikahan kita akan menjadi syah benar-benar.”

“Bagus sekali, perkumpulan manakah itu, Koko?”

“Perkumpulan terbesar saat ini, yaitu Pek-lian-kauw.”

“Heh...?” Giok Keng meloncat bangun, membalikkan tubuhnya dan memandang kekasihnya dengan mata terbelalak kaget. “Pek-lian-kauw...? Perkumpulan pemberontak itu?”

“Keng-moi, tenanglah dan duduklah. Mari kita bicara dengan tenang dan berpikir secara wajar.”

Setelah Giok Keng duduk di depan kekasihnya, Bu Kong berkata.
“Engkau jangan memandang dari satu pihak saja. Ketahuilah bahwa kalau pemerintah menganggap Pek-lian-kauw sebagai pemberontak, banyak rakyat menganggapnya sebagai pejuang melawan pemerintah yang lalim. Kita jangan menjerumuskan diri dalam pertikaian yang sebetulnya hanyalah perebutan kekuasaan antara orang-orang kalangan atas saja. Permusuhan antara Pek-lian-kauw dan pemerintah sama sekali tidak ada hubungannya dengan pernikahan kita bukan? Dan aku yakin hanya Pek-lian-kauw yang akan sanggup menikahkan kita, karena kalau kita memilih perkumpulan yang menjadi sahabat orang tuamu mereka tentu akan menolak tanpa ijin orang tuamu. Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang besar dan diakui, maka jika perkumpulan ini yang menikahkan kita, yang diundang tentulah orang-orang besar dan yang akan menyaksikan pernikahan kita adalah tokoh-tokoh kang-ouw, sehingga pernikahan itu akan menjadi syah sama sekali!”

“Tapi... tapi... apakah kita lalu menjadi anggauta Pek-lian-kauw?”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: