*

*

Ads

FB

Minggu, 20 November 2016

Petualang Asmara Jilid 156

“Kejar!”

“Tangkap!”

Empat orang kang-ouw yang kebetulan berada di sebelah kiri sudah menyambit Kun Liong, akan tetapi tangan pemuda ini menggerakkan rantingnya dan berturut-turut robohlah empat orang kang-ouw itu sebelum mereka tahu bagaimana mereka dapat dirobohkan. Gerakan ranting itu hebat bukan main dan memang Kun Liong telah mainkan Ilmu Tongkat Siang-liong-pang yang amat luar biasa.

Setelah berhasil merobohkan empat orang itu, cepat Kun Liong melarikan diri dan setelah agak jauh barulah dia melepaskan tubuh Hong Ing, memegang tangan dara itu dan mengajaknya berlari terus menuju ke timur. Di belakang mereka terdengar teriakan-teriakan orang dan derap kaki kuda. Mereka dikejar terus oleh rombongan itu!

Sehari semalam mereka terus melarikan diri dan pada sore harinya, mereka tiba di pantai Teluk Pohai! Jalan buntu! Di depan mereka membentang luas air laut dan di belakang mereka rombongan itu masih mengejar terus! Melihat keadaan ini, Hong Ing memegang lengan Kun Liong dan berkata,

“Kun Liong, kau larilah selagi masih ada kesempatan! Tak ada gunanya lagi kau mati-matian melindungiku, Kun Liong, sampai mati aku akan berterima kasih kepadamu, akan tetapi jangan kau mengorbankan diri untukku. Pergilah dan tinggalkan aku di sini. Aku dapat menghadapi mereka.”

Kun Liong mengerutkan alisnya.
“Kau dapat menghadapi mereka? Bagaimana? Kau tentu akan ditangkap oleh gurumu dan akan dipaksa menikah dengan pangeran itu kalau tidak dibunuh.”

“Aku tidak takut! Aku akan melawan dan kalau aku kalah sebelum ditawan aku dapat membunuh diri.”

“Tidak!” Kun Liong mencengkeram lengan dara itu sampai Hong Ing merintih, baru dia teringat dan melepaskannya. “Aku tidak akan pergi meninggalkanmu selama aku masih hidup. Aku tidak bisa membiarkan engkau ditawan atau membunuh diri. Hong Ing, jangan bicara yang bukan-bukan, mari kita lawan mereka. Kita bukanlah orang-orang lemah dan lebih baik mati sebagai harimau daripada mati seperti babi, mati konyol!”

Hong Ing menggigit bibir dan dua titik air matanya jatuh, dia tidak mampu menjawab, hanya mengangguk-angguk. Sementara itu, dari jauh sudah tampak debu mengebul dan tak lama kemudian kelihatan rombongan pengejar itu mendekati pantai.

“Hong Ing, jangan kau bergerak dulu, kau berdiri sajalah di belakangku.”

Sambil berkata demikian, Kun Liong memegang tangan dara itu dan meloncat ke atas sebuah batu karang besar yang berada di pinggir laut itu. Dengan sikap gagah dia berdiri tegak. Hong Ing di bebelakangnya seolah-olah dia hendak melindungi dara itu dari segala mara bahaya.

Rombongan pengejar itu berhenti di depannya. Mereka turun dari atas kuda dan memandang pemuda itu, tidak berani sembarangan turun tangan melihat sikap pemuda itu yang sama sekali tidak kelihatan gentar. Kemudian terdengar suara Kun Liong lantang bergema.






“Pangeran Han Wi Ong sebagai seorang pembesar tinggi, seorang bangsawan agung, ternyata tingkah lakumu sama sekali tidak patut menjadi tauladan rakyat! Engkau hendak mempergunakan pengaruh kedudukan dan kekuasanmu untuk memaksa seorang dara menjadi isterimu! Engkau tidak bercermin. Lihatlah mukamu sendiri dalam cermin. Engkau juga hanya seorang manusia biasa, tiada bedanya dengan aku atau Hong Ing, mengapa engkau hendak memaksa dia menjadi isterimu? Kalau seorang pembesar sebejat engkau wataknya, bagaimana pula dengan bawahanmu yang akan mencontoh perbuatanmu?”

Muka pangeran itu sebentar merah sebentar pucat mendengar ini. Dia marah sekali, karena menganggap pemuda itu terlalu kurang ajar, tidak tahu apa yang dideritanya selama ini, dia benar-benar cinta kepada Pek Hong Ing, dara perkasa yang dikaguminya. Dia mengajukan lamaran dengan baik-baik dan sudah diterima oleh Go-bi Sin-kouw sebagai wali dara itu! Bagaimana dia dimaki-maki seperti itu? Adalah pemuda itu yang kurang ajar dan tidak patut, melarikan calon isteri orang!

“Kim Seng Siocia, engkau juga seorang wanita yang berakhlak bejat! Tidak malukah engkau hendak memaksa seorang pria seperti aku menjadi suamimu? Engkau ini sepatutnya berjodoh dengan Pangeran Han Wi Ong, karena sama-sama hendak memaksa orang menjadi jodohnya!”

Kim Seng Siocia tertawa lebar.
“Bocah lucu, kalau sudah tertawan, aku akan menjewer telingamu biar kau bertaubat, hi-hik!”

“Dan engkau, Go-bi Sin-kouw. Guru macam engkau ini pun bukan merupakan seorang guru yang baik! Mana ada guru yang katanya mencinta muridnya hendak menjerumuskan murid sendiri? Jelas bahwa muridmu, Pek Hong Ing, tidak suka menjadi isteri Pangeran Han Wi Ong, akan tetapi kau hendak memaksanya. Aku tahu hal ini adalah karena kau ingin mendapatkan kehormatan dan harta. Engkau tidak patut menjadi guru, pantasnya sikapmu itu sikap seorang biang pelacur!”

“Dan kalian orang-orang kang-ouw dan para perajurit! Percuma saja hidup seperti kalian ini, mencari uang dan kedudukan dengan jalan membunuh orang lain, kalian adalah boneka-boneka sial yang mau saja ditipu dan diperalat oleh segelintir manusia macam Pangeran Han Wi Ong yang mengejar kedudukan! Betapa murah harga diri dan nyawa kalian!”

“Serbu! Bunuh saja keparat itu!” Tiba-tiba terdengar perintah yang keluar dari mulut Pangeran Han Wi Ong. “Dan tangkap nona itu!”

“Tidak! Jangan bunuh calon suamiku!” Kim Seng Siocia membantah.

Menyerbulah semua orang itu ke batu karang dan terpaksa Kun Liong meloncat turun lalu mengamuk dengan sepasang ranting di tangannya. Dia mainkan Siang-liong-pang dan berturut-turut robohlah beberapa orang perajurit yang terdekat.

Akan tetapi betapapun juga, Kun Liong tetap tidak mau membunuh orang dan selalu mengatur gerakan kedua ranting di tangannya sehingga yang roboh olehnya hanya menderita tertotok, luka ringan atau patah tulang saja. Dalam waktu singkat Kun Liong sudah dikeroyok seperti seekor jangkerik dikeroyok banyak sekali semut yang nekat.

Melihat betapa Kun Liong dengan nekat menghadapi pengeroyokan dan semua itu dilakukan demi melindunginya, Hong Ing segera meloncat turun pula dan mengamuk. Dia ingin mati di samping pemuda ini!

Seru dan hebat sekali pertandingan yang berat sebelah itu berlangsung di tepi pantai yang berhutan. Hong Ing sudah berhasil merampas sebatang pedang milik seorang pengeroyok dan kini dia mengamuk seperti seekor singa betina.

Hanya subonya saja yang diseganinya dan dia sama sekali tidak mau melawan subonya, maka setiap kali gurunya ini menerjang, dia selalu lari ke lain bagian untuk mengamuk di antara para pengeroyoknya.

Melihat ini Kun Liong mengerti bahwa kalau Go-bi Sian-kouw mendesak dan memaksa Hong Ing melayaninya, dara itu tentu akan mengalah dan mudah tertawan. Maka dia menggerakkan sepasang rantingnya selalu menghadang dan mendesak Go-bi Sin-kouw sehingga nenek ini tidak sempat lagi mengejar Hong Ing.

Biarpun dia sudah memiliki tingkat kepandaian silat yang tinggi sekali, namun menghadapi pengeroyokan orang-orang pandai itu, Kun Liong merasa kewalahan juga. Apalagi dia tidak mau membunuh orang!

Kim Seng Siocia dengan cambuk hitamnya, Go-bi Sin-kouw dengan tongkat bututnya, dan tujuh orang kang-ouw yang memegang bermacam senjata dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi, membuat Kun Liong repot sekali. Namun dia terheran-heran mengapa di antara mereka ini tidak terdapat orang sakti yang telah mengganggunya dengan suara ketawa itu dan hal ini melegakan hatinya. Kalau ada orang itu, agaknya dia tidak akan dapat lama bertahan.

Namun sekarang dia makin terdesak juga karena untuk menggunakan Thi-khi-i-beng yang diandalkannya, tidak ada kesempatan baginya. Berulang kali Kim Seng Siocia memperingatkan kawan-kawannya dengan teriakan agar jangan sampai menjadi korban Thi-khi-i-beng.

“Awas!” teriaknya. “Dia pandai Ilmu Mujijat Thi-khi-i-beng! Jangan biarkan tubuhmu menyentuhnya, gunakan saja ujung senjata untuk mendesak! Tangkap dia!”

Memang dengan peringatan ini, para pengeroyok hanya mengurung saja, tidak berani terlalu mendesak sehingga dia tidak terancam bahaya senjata lawan, namun dengan dikurung ketat seperti itu, dia takkan dapat meloloskan diri dan pula dia tentu akan kehabisan tenaga. Di samping ini, yang menggelisahkan hatinya adalah bahwa dia tidak dapat menolong Hong Ing dan hanya melihat dengan hati gelisah betapa dara itu pun dikeroyok oleh banyak sekali panglima dan perajurit.

Selagi Kun Liong merasa bingung sekali, tiba-tiba dia melihat bayangan seorang gadis yang membuatnya girang dan jantungnya berdebar. Akan tetapi hatinya yang girang itu segera berubah heran dan bingung, juga kecewa ketika melihat bahwa gadis itu yang bukan lain adalah Cia Giok Keng, datang bersama dengan Liong Bu Kong, putera dari Ketua Kwi-eng-pang! Saking herannya, dia tidak jadi berteriak memanggil dan dia melihat betapa dara itu bercakap-cakap dengan Pangeran Han Wi Ong.

Tak lama kemudian terjadilah hal yang sama sekali tidak diduganya akan tetapi yang segera dapat dimengertinya. Cia Giok Keng dan Liong Bu Kong sudah menyerbu ke medan pertandingan dan ikut pula mengeroyoknya! Tanpa menegur pun tahulah dia mengapa Giok Keng membantu Pangeran Han Wi Ong. Ayah dara itu, supeknya Si Pendekar Sakti Cia Keng Hong, adalah seorang yang terkenal sering membantu pemerintah. Maka kini puterinya tentu saja membantu pasukan pemerintah, apalagi karena agaknya pangeran itu sudah memutar-balikkan kenyataan ketika bicara dengan Giok Keng tadi. Benar saja dugaannya, sambil menudingkan pedangnya Giok Keng memaki,

“Yap Kun Liong! Mengapa kau menjadi begini tersesat? Lebih baik kau menyerah agar mendapatkan pengadilan yang resmi! Kau telah melarikan isteri orang? Sungguh terlalu kau!”

“Jangan dengarkan obrolan pangeran konyol itu, Giok Keng!” teriak Kun Liong penasaran. “Gadis ini mau dipaksanya menjadi isterinya, aku hanya menolong...!”

“Aku tahu watak mata keranjangmu!”.

Giok Keng membentak dan kini pedangnya ikut bicara. Juga Liong Bu Kong yang diam-diam tersenyum girang ikut pula menerjang maju. Tentu saja Kun Liong menjadi makin kewalahan. Baru menghadapi pengeroyokan tadi saja dia sudah repot, kini ditambah dua orang yang memiliki kepandaian begini tinggi, tentu saja dia menjadi makin sibuk.

Seperti diceritakan di bagian depan, Giok Keng dan Bu Kong sedang meninggalkan Pantai Pohai, baru saja mereka mengambil pusaka-pusaka yang disembunyikan pemuda itu dan hendak berangkat ke Siauw-lim-si.

Di tepi pantai ini, dekat muara karena mereka bermaksud menggunakan perahu, mereka melihat ramai-ramai dan ternyata Yap Kun Liong si pemuda gundul yang dikeroyok oleh pasukan tentara. Tepat seperti diduga oleh Kun Liong, Giok Keng yang bicara dengan Pangeran Han Wi Ong menanyakan peristiwa itu mendengar bahwa Kun Liong melarikan gadis yang menjadi isteri pangeran itu. Tentu saja Giok Keng menjadi marah dan terus menyerbu bersama Bu Kong.

Tubuh Kun Liong sudah basah semua oleh peluh, seperti juga tubuh Hong Ing yang membela diri mati-matian. Hanya bedanya, kalau orang-orang yang dirobohkan oleh Kun Liong hanya menderita tulang patah atau tertotok lumpuh, mereka yang roboh oleh pedang Hong Ing tak dapat bangkit lagi, bahkan banyak yang tewas seketika!

Namun Hong Ing sendiri juga sudah menderita beberapa luka-luka ringan di lengan dan pahanya. Betapapun juga, dara ini mengamuk terus, mengambil keputusan untuk mempertahankan diri sampai titik darah terakhir!

Diam-diam Cia Giok Keng heran bukan main, juga kagum. Baru sekarang dia menyaksikan dengan matanya sendiri betapa lihainya pemuda gundul itu. Ilmu tongkatnya yang dimainkan oleh kedua tenaga Kun Liong yang menggunakan sepasang ranting benar-benar amat luar biasa, aneh dan juga tangguh sekali. Belum pernah Giok Keng menyaksikan ilmu tongkat sehebat itu. Kemana pun tongkat berkelebat, tentu ada pengeroyok yang terdesak hebat, dan dari manapun datangnya hujan senjata tentu dapat ditangkis oleh sebatang di antara dua ranting itu! Dan kekebalan tubuh Kun Liong juga mengagumkan sekali.

Beberapa kali tubuh pemuda itu terkena bacokan, namun hanya bajunya saja yang robek sedangkan kulit tubuhnya sama sekali tidak terluka. Tentu saja bacokan dan gebukan itu hanya dilakukan dengan senjata biasa. Buktinya, pemuda itu sama sekali tidak pernah berani menerima sambaran pedangnya, Gim-hwa-kiam, dan pedang Lui-kong-kiam di tangan Bu Kong dengan tubuhnya. Jelas bahwa kekebalan tubuh Kun Liong masih belum dapat menahan pedang pusaka!

Dan sekali ini Giok Keng yang cerdik ternyata salah duga. Ketika tubuh Kun Liong terkena hantaman golok, pedang atau tombak, bukan sekali-kali dia menerima senjata itu dengan sengaja, melainkan karena terlalu banyaknya senjata yang datang menyerangnya membuat dia tidak sempat mengelak atau menangkis lagi. Maka terpaksa dia mengerahkan sin-kang melindungi tubuhnya sehingga kulitnya menjadi kebal. Dan kalau dia menghendaki, belum tentu pedang pusaka itu dapat pula melukainya! Tentu saja Kun Liong tidak mau mencoba-coba, karena selain berbahaya, juga dia tidak menghendaki kalau puteri supeknya ini merasa terhina.

Maklumlah Kun Liong bahwa dia dan Hong Ing tidak akan tertolong lagi. Pihak pengeroyok terlampau kuat. Karena dia tahu bahwa tidak mungkin bagi Hong Ing untuk menyerah yang berarti dia harus mau menjadi isteri pangeran itu, maka tidak akan ada gunanya untuk membujuk dara itu menyudahi perlawanan.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: