*

*

Ads

FB

Minggu, 20 November 2016

Petualang Asmara Jilid 153

Maka dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati pemuda ini ketika dia bersama dengan Giok Keng, tiba di depan sebuah guha di mana dia menyimpan pusaka-pusaka itu, tiba-tiba muncul Thian-ong Lo-mo bersama lima orang anggauta Kwi-eng-pang yang berhasil meloloskan diri! Dia merasa terheran-heran.

Tentu saja bukan hal mengherankan jika kakek itu berada di guha tempat penyimpanan pusaka karena memang yang mengetahui akan tempat itu hanya dia, ibunya, dan kakek sekutu ibunya ini. Yang mengherankan hatinya adalah melihat kakek ini dapat lolos dan masih hidup! Melihat sikap kakek brewok itu seperti orang marah, demikian pula lima orang bekas anak buah ibunya itu bersikap memusuhinya, Bu Kong segera berkata sambil tertawa,

“Aihhh, kiranya Locianpwe masih dapat menyelamatkan diri.”

“Bocah durhaka! Pengkhianat pengecut!”

Thian-ong Lo-mo yang sudah marah sekali itu menerjang maju, menyerang Liong Bu Kong dengan senjatanya yang dahsyat, yaitu sabuk rantai yang bergigi seperti gergaji.

“Cringgg! Trangggg...!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika senjata itu tertangkis oleh dua batang pedang di tangan Bu Kong dan Giok Keng. Kakek itu terkejut bukan main karena tangannya tergetar hebat. Maklumlah dia bahwa dara cantik jelita itu memiliki tenaga dan kepandaian yang hebat pula, maka dia lalu memutar senjatanya dengan ganas sambil mengeluarkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.

Memang tanpa disangka-sangkanya kakek ini bertemu dengan dua orang muda yang amat tangguh. Kalau hanya Bu Kong seorang diri yang melawannya, biarpun pemuda ini juga memiliki kepandaian tinggi dan tidaklah mudah untuk merobohkannya, namun agaknya pemuda ini tidak akan mampu menang melawan kakek yang lihai itu. Demikian pula, biarpun sebagai puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong, dan telah memiliki tingkat ilmu kepandaian tinggi, agaknya Giok Keng juga tidak akan mudah dapat mengalahkan Thian-ong Lo-mo. Akan tetapi kini kedua orang muda yang saling mencinta itu maju berdua! Selain kelihaian ilmu silat mereka, juga keduanya memegang pedang pusaka yang ampuh.

Giok Keng bersenjata Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak) yang berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung, sedangkan Liong Bu Kong memegang pedang Lui-kong-kiam yang mengeluarkan sinar berkilat-kilat.

Baiknya Thian-ong Lo-mo dibantu oleh lima orang anak buah Kwi-eng-pang maka pertandingan berlangsung dengan amat serunya. Sabuk rantai gergaji di tangan Thian-ong Lo-mo menyambar-nyambar dahsyat, bagaikan seekor ular hitam bermain-main di antara dua gulungan sinar pedang dan berkali-kali terdengar suara nyaring ketika tiga senjata bertemu dan tampak bunga api berpijar-pijar menyilaukan mata.

Lima orang bekas anggauta Kwi-eng-pang hanya membantu dari luar dengan senjata mereka. Pertandingan antara tiga orang itu terlatu hebat dan berbahaya bagi mereka sehingga mereka itu hanya membantu untuk mengacaukan perhatian kedua orang muda itu.






“Cringg... trekkk!”

Ujung senjata rantai itu membelit pedang Giok Keng yang menjadi kaget bukan main. Selagi dia bersitegang hendak membetot pedangnya, Bu Kong berteriak nyaring dan pedangnya menyerang kakek itu dengan tusukan ke arah lehernya. Namun Thian-ong Lo-mo benar-benar hebat. Tangan kirinya bergerak dan ujung lengan baju kirinya yang lebar panjang itu merupakan senjata istimewa menangkis tusukan pedang Bu Kong.

“Plakk! Bretttt... dess!”

Bu Kong mengeluh dan terhuyung ke belakang. Pedangnya telah tertangkis ujung lengan baju dan biarpun pedangnya berhasil merobek ujung lengan baju lawan, namun tangan kakek itu masih dilanjutkan dengan tamparan keras yang mengenai pundaknya dan membuat tubuhnya terhuyung ke balakang dan tergetar hebat.

“Ha-ha-ha...”

Kakek itu tertawa dan kini menggunakan tangan kirinya yang ampuh itu mencengkeram ke depan, ke arah kepala Giok Keng!

“Wuuuttt.. plak-plak-plak!”

“Aughhh...!”

Thian-ong Lo-mo terhuyung ke belakang dan hampir roboh. Rantai gergaji yang tadi membelit pedang terlepas karena tubuhnya tergetar oleh tiga kali tamparan sabuk merah muda yang dipegang oleh tangan kiri Giok Keng. Dara ini ketika tadi melihat pedangnya terbelit dan Bu Kong tertampar, cepat melolos sabuk sutera merah muda yang merupakan senjata ke dua yang ampuh, dengan cepat dia menggunakan sabuk itu mendahului tangan lawan yang mencengkeram kepalanya.

Tepat sekali ujung sabuknya menotok tiga jalan darah di tubuh lawan, jalan darah yang mematikan. Akan tetapi betapa kaget dan herannya ketika ia melihat bahwa lawan yang tertotok tepat itu hanya terhuyung saja dan tidak mati!

Kiranya kakek brewok itu selain lihai ilmu silatnya dan amat kuat tenaga sin-kangnya, juga merupakan ahli I-kiong-hoan-hiat (Ilmu Memindahkan Jalan Darah) sehingga biarpun kelihatan dia tertotok tepat, namun sesungguhnya totokan itu tidak mengenai jalan darah kematian dan hanya membuat dia menggigil dan terhuyung saja. Sama sekali dia tidak mati, bahkan sebaliknya, dengan kemarahan meluap-luap karena penasaran dan malu, dia sudah menubruk ke arah Giok Keng sambil mengeluarkan lengking dahsyat dari tenaga khi-kangnya. Matanya yang lebar itu terbelalak merah, lengking suaranya membuat lima orang bekas anggauta Kwi-eng-pang terhuyung ke belakang dengan muka pucat.

Melihat lawan yang menyerang dahsyat dengan rantai gergaji dan tangan kiri dibentuk seperti cakar garuda, Giok Keng cepat menggerakkan pedang dan sabuk suteranya.

“Cringgg... plakkk!”

Pedang dan rantai bertemu di udara, sabuk sutera melibat lengan kiri kakek lihai itu, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Giok Keng ketika lengan kiri lawan itu masih mampu bergerak terus ke depan melanjutkan serangannya, menyambar ke arah lehernya seolah-olah cakar setan yang hendak mencekiknya. Dia cepat miringkan tubuhnya dan mengangkat kakinya menendang.

“Brettt... plakkk!”

Baju di pundak Giok Keng terobek oleh cakar itu dan kulit pundaknya lecet berdarah. Akan tetapi tendangannya membuat lawan terpental ke belakang. Ketika dara ini bersiap kembali setelah mendapat kenyataan bahwa luka di pundaknya tidak berbahaya, ternyata kakek itu telah diserang hebat oleh Bu Kong.

Maka dengan marah Giok Keng lalu menyerbu pula membantu pemuda itu dan kembali terjadi pertandingan dahsyat antara tiga orang itu. Tubuh mereka tidak kelihatan lagi, terbungkus oleh gulungan sinar senjata mereka. Karena cepatnya gerakan mereka bertiga, lima orang bekas anggauta Kwi-eng-pang tidak ada yang berani mendekat apalagi membantu. Suara khi-kang hebat dari kakek itu tadi masih membuat jantung mereka terguncang.

Setelah Giok Keng menambah pedangnya dengan sabuk sutera merah muda, dan kedua orang muda itu melakukan pengeroyokan dengan pengerahan seluruh ilmu kepandaian dan tenaga mereka, lambat laun kakek itu merasa terdesak juga. Seratus jurus telah lewat dan dia sama sekali tidak mampu menjatuhkan seorang pun di antara dua orang pengeroyoknya yang masih muda! Napasnya mulai memburu dan biarpun merasa amat penasaran, Thian-ong Lo-mo harus mengakui bahwa kalau dilanjutkannya juga pertempuran itu, akhirnya dia akan terancam bahaya maut.

Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan pekik dahsyat sekali, senjata rantainya menyambar ke depan menjadi sinar memanjang. Dua orang muda itu terkejut dan cepat menangkis.

“Tranggg... cringgg...!”

Akan tetapi tangan kiri kakek itu mendorong ke depan dan angin dahsyat menyerang kedua orang lawannya. Ternyata dia telah menggunakan pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga sin-kang sekuat-kuatnya. Inilah serangan terakhir kakek itu yang sudah menguras habis ilmu kepandaiannya.

“Wuuuutttt...!”

Giok Keng dan Bu Kong makin kaget, cepat mereka melempar ke belakang, dan bergulingan untuk menghindarkan diri dari serangan dahsyat itu. Ketika keduanya telah meloncat bangun, ternyata lawan mereka telah lenyap dari situ.

Kiranya Thian-ong Lo-mo yang melihat serangan terakhir tadi tidak berhasil, lalu melarikan diri dengan cepat sekali!

“Berhenti...!”

Bu Kong menghardik dan lima orang bekas anggauta Kwi-eng-pang yang mencoba untuk melarikan diri itu tiba-tiba berhenti dan membalikkan tubuh dengan muka pucat.

“Ke sini kalian!”

Bu Kong membentak lagi dan seperti lima ekor anjing yang ketakutan, lima orang itu menghampiri Bu Kong, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu.

“Ampun... Kongcu...!” Mereka mengeluh ketakutan.

Bu Kong tersenyum mengejek,
“Dimana pusaka-pusaka itu?” bentaknya.

“Di... di dalam, Kongcu...”

“Hayo kalian ambil dan keluarkan semua!”

Seperti dikomando lima orang itu tergesa-gesa lari memasuki guha dan tak lama kemudian mereka keluar membawa sebuah buntalan besar. Bu Kong menerima buntalan itu, memeriksa isinya. Ternyata masih lengkap. Dua buah pusaka, yaitu sebatang pedang dan sebuah hiolouw (tempat abu hio) dari Siauw-lim-pai, dan banyak barang perhiasan emas permata yang mahal, juga potongan emas dan perak!

Tiba-tiba pemuda itu menggerakkan tangan kanannya, tampak sinar berkilat menyambar lima kali dan... tubuh lima orang itu tergelimpang roboh dengan leher hampir putus. Tubuh mereka berkelojotan sebentar dan tewas seketika!

“Ahh, mengapa membunuh mereka?”

Giok Keng bergidik ngeri. Dia adalah seorang pendekar wanita muda yang sudah biasa menyaksikan pembunuhan, akan tetapi hal itu terjadi dalam pertempuran. Belum pernah dia menyaksikan pembunuhan yang dilakukan dengan tangan dingin sehingga mengerikan hatinya.

“Mereka adalah orang-orang jahat, dan aku sudah bersumpah untuk menentang orang jahat, bukan? Moi-moi...” Bu Kong berkata melihat kekasihnya mengerutkan alisnya, “Kalau tidak dibunuh, tentu mereka itu akan mendatangkan keributan saja di kemudian hari, dan dengan membunuh mereka berarti kita telah membebaskan rakyat dari ancaman kejahatan mereka, bukan?”

Giok Keng mengangguk-angguk. Tak dapat dibantah ucapan pemuda itu, maka dengan menarik napas panjang dibenarkannya ucapan itu dengan anggukan kepala, mengambil kesimpulan bahwa hatinya sendirilah yang lemah.

Dari tempat itu, kedua orang muda ini lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Siauw-lim-si untuk mengembalikan dua buah benda pusaka Siauw-lim-pai yang dicuri oleh Bu Kong kurang lebih enam tahun yang lalu. Di sepanjang perjalanan, kedua orang ini tampak rukun sekali, penuh kasih sayang, penuh kegembiraan dan seperti sepasang pengantin baru saja.

Namun Giok Keng tetap bersikeras tidak membolehkan kekasihnya menjamahnya, dan dengan hati kecewa sekali Bu Kong terpaksa menahan nafsunya, tidak berani merayu kekasihnya sebelum mereka menikah karena dia maklum betapa kerasnya hati dara itu sehingga besar kemungkinannya cinta kasih dara itu akan berubah menjadi kebencian hebat, kalau dia melanggar janji dan larangan. Betapapun juga, hatinya sudah merasa puas dan lega menyaksikan sikap Giok Keng yang mencintanya, cinta yang juga bersifat keras seperti watak dara itu, cinta yang akan dibelanya dengan nyawa!

**** 153 ****
Petualang Asmara







Tidak ada komentar: