*

*

Ads

FB

Minggu, 13 November 2016

Petualang Asmara Jilid 139

Dengan pura-pura tak berdaya Hong Ing masih berlutut, ditertawakan oleh semua gadis itu. Kemudian, setelah lututnya tidak kesemutan, dia bangkit berdiri dengan tubuh terbelenggu seperti seekor domba hendak disembelih dan memandang kepada Amoi dan tiga belas orang gadis yang tertawa dengan mulut terbuka lebar, bebas lepas ketawa mereka, seperti segerombolan laki-laki kasar saja.

Hemmm, tunggu saja kalian, pikir Hong Ing dengan gemas. Diam-diam dia mengerahkan sin-kangnya dan tiba-tiba dia menggerakkan kaki tangannya sambil menjerit dengan suara melengking nyaring

“Haaaiiittt!”

“Hi-hi-hik!”

“Heh-heh-hi-hik!”

Belasan orang gadis itu cekikikan tertawa dan merahlah muka Hong Ing. Beberapa kali dia mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya dan mencoba lagi, namun sia-sia saja dan akhirnya dia maklum, bahwa tidak akan mungkin baginya untuk membebaskan diri dari ikatan tali-tali yang ujungnya masih dipegangi oleh para gadis yang mengurungnya itu.

Betapa mungkin memutuskan tali yang sifatnya seperti karet, dapat mulur ketika dia mengerahkan sin-kang akan tetapi segera mengkeret dengan ketat lagi setelah itu? Tenaga hanya dapat menghancurkan atau mematahkan benda keras, betapa mungkin dapat melawan benda lunak yang sifatnya mulur akan tetapi yang mempunyai keuletan luar biasa?

Seperti menerima komando tak bersuara, tiba-tiba tiga belas orang gadis itu menyendal ujung tali dan tubuh Hong Ing melayang ke atas! Ketika tubuhnya yang sudah tak dapat bergerak itu meluncur turun, beberapa buah lengan menyambutnya dan sambil tertawa-tawa para gadis itu menggotong tubuh Hong Ing yang sudah ditelikung seperti ayam itu.

Hong Ing bergidik melihat wajah muda-muda dan cantik-cantik yang tertawa-tawa seperti siluman-siluman ini. Dia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi dengan dirinya di tangan orang-orang seperti ini. Segala bisa terjadi dengan dirinya di tangan mereka. Apakah dia akan dipanggang seperti seekor anak babi (babi guling?) sampai kulitnya menjadi kering kemerahan untuk kemudian mereka makan bersama arak wangi dan dagingnya dikerat-kerat dan dicocolkan kecap?

Hong Ing membelalakkan matanya penuh kengerian, apalagi ketika Amoi Si Gadis Baju Merah yang lihai itu di tengah perjalanan mengelus kepalanya yang gundul sambil tertawa dan berkata,

“Hi-hik, kepalanya gundul pelontos. Haluuuusss... hi-hi-hik!”

Hong Ing bergidik. Celaka. Mereka ini adalah orang-orang yang gila atau setidaknya adalah orang-orang yang sudah terasing dari dunia ramai sehingga menjadi seperti orang-orang biadab. Tiba-tiba dia teringat. Gila? Subonya, Go-bi Sin-kouw, pernah menceritakan bahwa dahulu, dua tiga puluh tahun lalu, di Go-bi-san terdapat seorang nenek yang saktinya seperti siluman. Kalau dia tidak salah ingat, julukan nenek yang disebut-sebut oleh gurunya itu adalah Go-bi Thai-houw (Ratu Pegunungan Go-bi-san).






Ketika Go-bi Thai-houw masih berada di daerah Pegunungan Go-bi, tidak ada tokoh lain yang berani tinggal di situ, bahkan gurunya sendiri dahulu tidak berani mendekati Go-bi-san. Akan tetapi menurut gurunya, Go-bi Thai-houw dikabarkan sudan tewas di tangan Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang amat terkenal pula sebagai ketua Cin-ling-pai. Jangan-jangan nenek sakti yang menurut gurunya adalah seorang gila itu belum mati dan yang menangkapnya ini anak buahnya! Dia bergidik lagi.

Akan tetapi matanya terbelalak kaget ketika rombongan itu tiba di sebuah puncak yang dikelilingi hutan gelap, karena dari tempat dia digotong tergantung dengan kepala di bawah itu dia melihat sebuah bangunan besar dan megah di tempat sunyi itu! Pantas kalau dinamakan sebuah istana dan dugaannya makin tebal bahwa nenek siluman Go-bi Thai-houw agaknya benar-benar belum mati seperti yang diceritakan gurunya.

Dia digotong masuk, melalui lorong yang panjang dan dengan dinding yang terhias lukisan-lukisan indah dan kain sutra bergantungan di mana-mana. Akhirnya, Amoi mengempit tubuh Hong Ing dan meninggalkan tiga belas orang anak buah yang agaknya tidak diperbolehkan memasuki sebuah ruangan besar di tengah rumah itu. Amoi mengempitnya dengan ringan dan masuklah gadis berbaju merah itu ke dalam ruangan yang amat mewahnya. Begitu masuk, hidung Hong Ing mencium bau dupa wangi yang dibakar orang di dalam raungan itu.

”Brukkk!”

Tubuhnya dilempar ke atas lantai yang terbuat dari batu marmer putih, begitu bersih sampai mengkilap. Mata Hong Ing memandang ke sekeliling dengan menggerakkan lehernya. Dia melihat Amoi berlari menghampiri seorang wanita gemuk yang duduk setengah rebah setengah terlentang di atas kursi yang lebih patut disebut pembaringan saking lebarnya, kemudian Amoi berlutut dan mencium kaki yang tertutup sepatu kain sutera itu.

“Siocia...”

“Hemm, Amoi. Kau baru datang? Agaknya engkau membawa seorang tawanan.” kata wanita gemuk itu.

Hampir saja Hong Ing tertawa. Itukah yang menjadi nona majikan istana ini dan yang disebut Siocia? Ataukah Si Gendut ini puteri dari Go-bi Thai-houw? Dia memperhatikan wanita itu. Usianya kurang lebih tiga puluh tahun. Tubuhnya amat subur, gemuk dan sehat sehingga wajahnya menjadi seperti buah masak, kemerahan. Perutnya yang gendut tak dapat disembunyikan di balik jubah yang indah dan mewah, demikian pula buah dadanya yang amat besar. Wajahnya biasa saja, cantik tidak akan tetapi juga tidak terlalu buruk, bahkan kulit mukanya putih bersih dan halus.

Ketika tertawa, mulutnya yang lebar terbuka memperlihatkan gigi besar-besar akan tetapi putih bersih dan ketika tertawa kepalanya agak diangkat sehingga tampak jelas gerakan lehernya dan dagunya yang bersusun empat! Telinganya dihias anting-anting besar dan memang pantas dan sesuai dengan dirinya. Wajahnya kelihatan ramah, tersenyum selalu akan tetapi dari matanya yang lebar itu keluar wibawa yang kuat.

Seorang gadis lain yang juga berpakaian merah seperti Amoi, yang lebih cantik malah dari Amoi dan lebih tinggi tubuhnya, segera menyusul pertanyaan Siocia itu.

“Moi-moi, siapakah tawanan itu? Kelihatannya seperti seorang nikouw?”

Amoi tersenyum dan duduk di dekat majikannya, bersanding dangan gadis yang menegurnya. Hong Ing dapat menduga bahwa tentu gadis itu yang disebut oleh Amoi sebagai Acui.

“Siocia, dia adalah seorang nikouw yang bernama Pek Nikouw. Dia melanggar wilayah kita dan ketika hendak ditangkap, dia melawan. Ilmu kepandaiannya boleh juga, Siocia. Hampir saya kalah olehnya,” kata Amoi.

“Ahhh, begitukah? Sungguh kebetulan sekali kalau begitu! Nikouw muda bangunlah!”

Wanita gendut itu berkata dan suaranya ramah sekali, tangannya dengan telapak terbuka bergerak ke depan. Angin pukulan yang dahsyat menyambar, mendorong sebuah tusuk sanggul emas yang menyambar seperti kilat, menembus putus tali pengikat tubuh Hong Ing dan seperti hidup, tusuk sanggul emas itu melayang kembali ke tangan wanita gendut itu yang mengenakannya kembali ke atas sanggulnya sambil tersenyum.

Menyaksikan kepandaian yang seperti sulapan Hong Ing menelan ludah. Bukan main! Maklumlah dia bahwa dia tidak akan mampu menandingi wanita gendut itu maka begitu dia meloloskan tali yang telah putus itu dari tubuhnya, dia lalu berdiri dan menjura dengan sikap penghormatan seorang pendeta, kedua tangannya dirangkap di depan dada.

“Harap maafkan pinni karena pinni telah tanpa sengaja melanggar wilayah Siocia,” katanya.

“Tidak apa, Pek Nikouw. Engkau datang dari kuil apakah, Pek Nikouw?” tanya wanita gendut itu dengan suara ramah.

“Pinni datang dari kuil Kwan-im-bio.”

“Aihhh... sungguh kebetulan sekali. Agaknya Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan In) sendiri yang mengutusmu untuk menolongku! Di sini aku telah mempunyai segala sesuatu dengan lengkap, kecuali satu, seorang yang berhati suci, seorang nikouw seperti engkau inilah. Apalagi kalau memiliki kepandaian yang baik, tidak akan memalukan istanaku. Hi-hi-hik! Lihat, setiap saat aku berdoa, setiap saat aku membakar dupa untuk menyenangkan para dewa, akan tetapi agaknya para dewa tidak berhasil menyampaikan doaku kepada Thian! Maka aku membutuhkan seorang nikouw untuk berdoa dan kebetulan engkau datang, dan engkau adalah murid Kwan Im Pouwsat, Dewi Welas Asih yang agaknya menaruh iba kepadaku. Pek Nikouw, demi Dewi Kwan Im yang welas asih, engkau tentu mau berdoa untukku, tentu mau menolongku agar Thian mengabulkan permintaanku, bukan?”

Diam-diam Hong Ing bergidik. Wanita ini dengan begitu saja menyebut-nyebut nama segala dewa. Kwan Im Pouwsat, bahkan Thian, seolah-olah semua itu diadakan hanya untuk memenuhi kebutuhan dan keperluan wanita gendut ini! Biarpun kata-katanya terdengar ramah dan lembut, namun di balik itu terdapat sesuatu yang tidak normal dan membuat Hong Ing menduga bahwa juga Siocia ini tidak bisa dibilang waras otaknya!

“Siocia, sebagai seorang nikouw, tentu saja pinni bertugas untuk berdoa bagi kesejahteraan manusia dan sedapat mungkin menolong manusia terhindar dari kesengsaraan. Doa apakah yang harus pinni lakukan untuk Siocia?”

“Ada dua hal yang bertahun-tahun mengganggu hatiku, Pek Nikouw, dan setiap hari aku berdoa kepada Thian agar mengabulkan permohonanku ini, pertama-tama adalah agar aku dapat menemukan jodohku...”

Suara wanita gendut itu menjadi gemetar oleh keharuan sehingga diam-diam Hong Ing harus menahan geli hatinya mendengar ini.

Wanita gendut itu berhenti bicara dan menggunakan lengan bajunya yang lebar untuk mengusap air matanya! Kemudian dia melanjutkan,

“Adapun hal yang ke dua adalah agar supaya aku dapat segera membalas dendam kepada musuh besarku.”

“Maaf , Siocia. Untuk berdoa, pinni harus mengetahui siapakah musuh besar Siocia, dan mengapa orang itu menjadi musuh besarmu.” kata Hong Ing memancing karena dia ingin sekali mendengar riwayat wanita aneh ini.

“Siapa lagi kalau bukan Cia Keng Hong, Ketua Cin-ling-pai! Dia telah membunuh majikanku. Kematian Go-bi Thai-houw harus dibalas dan siapa lagi kalau bukan aku sebagai ahli warisnya yang dapat membalaskan kematiannya?”

Diam-diam Hong Ing terkejut sekali. Tak salah dugaamya, atau setidaknya tidak meleset terlalu jauh. Wanita ini, tempat ini, pasukan wanita gila itu, ada hubungannya dengan Go-bi Thai-hou seperti yang diberitakan subonya. Pantas saja mereka begitu lihai. Kiranya wanita ini adalah keturunan nenek iblis itu.

“Namaku Kim Seng Siocia (Nona Bintang Emas),” wanita gendut itu menerangkan. “dahulu ketika Thai-houw masih hidup, aku adalah seorang pelayannya yang paling kecil. Aku baru berusia delepan tahun. Akan tetapi sebelum beliau pergi, beliau meninggalkan semua pusaka dan kitab-kitabnya kepadaku, maka akulah yang berhak mewarisi semua peninggalannya, termasuk ilmu kepandaiannya dan juga istananya ini yang sudah kuubah menurut seleraku. Nah, kau sudah mendengar, Pek Nikouw, sekarang kau harus tinggal di sini untuk berdoa sampai terkabul kedua permintaanku itu. Aku harus menemukan jodohku, seorang laki-laki yang memiliki ilmu kepandaian tinggi agar dapat membantuku membunuh Cia Keng Hong. Kalau kau menolak, kau akan kubunuh dan kalau kau menerima, kau akan menjadi tamu kehormatan kami, dan hidup terhormat dan mulia di istana ini.”

Hong Ing tidak dapat menjawab, mukanya agak berubah. Bagaimana mungkin dia berani menolak? Sekali menolak dan wanita itu turun tangan, tentu dia akan tewas. Akan tetapi bagaimana pula dia dapat menerima diharuskan tinggal di tempat ini bercampur dengan orang-orang yang miring otaknya?

“Baiklah, Siocia. Pinni akan berdoa untukmu dan tinggal sementara di sini. Semoga saja segera terkabul pormohonanmu itu.”

Wanita itu tertawa dan mukanya berseri gembira.
“Yahuuuu...! Sediakan hidangan yang paling lezat untuk Pek Nikouw!”

Hong Ing memang bukan seorang nikouw tulen, maka tentu saja dia tidak keberatan makan daging dan minum arak yang disuguhkan. Sambil makan minum, Kim Seng Siocia lalu memerintahkan anak buahnya menabuh musik dan menari-nari. Hong Ing makin mengenal keadaan di situ dan tahulah dia bahwa Kim Seng Siocia memang merupakan seorang “ratu” di tempat ini, dengan anak buahnya yang berjumlah lima puluh orang lebih, rata-rata pandai ilmu silat seperti pasukan yang menawannya. Adapun dua orang pembantunya yang paling dipercaya dan yang paling lihai pula adalah Acui dan Amoi itulah, yang bukan hanya merupakan pelayan pribadinya, akan tetapi juga wakil-wakilnya dan murid-muridnya!

Benar saja seperti yang dijanjikan Kim Seng Siocia, Hong Ing diperlakukan dangan penuh hormat oleh semua orang, mendapatkan sebuah kamar yang bersih dan indah di dalam istana, diberi pakaian pendeta yang serba indah dan makanan yang lezat.

Pekerjaan Hong Ing sehari-hari hanyalah membaca Jiam-keng (doa) dan tentu saja doa yang keluar dari hatinya bukanlah untuk Si Gendut itu, melainkan dia berdoa untuk keselamatan sucinya, Lauw Kim In yang mengorbankan dirinya menjadi isteri pemuda iblis Ouwyang Bouw, kemudian doa untuk keselamatan dirinya sendiri agar dia dapat segera membebaskan diri dari tempat yang mengerikan ini, dan kadang-kadang kalau dia terbayang wajah Kun Liong yang sukar untuk dapat dilupakannya itu, dia berdoa agar mendapat kesempatan lagi bertemu dangan pemuda gundul itu! Sedikit pun tidak ada doa di dalam hatinya untuk permintaan Kim Seng Siocia!

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: