*

*

Ads

FB

Kamis, 10 November 2016

Petualang Asmara Jilid 130

“Kau mau menjaga di sini untuk kami? Ah, A-hwi kau baik sekali.”

“Pergi dan bersenanglah,” kata A-hwi yang bopeng.

Dua orang pelayan cepat berdandan, menambah bedak dan gincu di muka dan bibir, memakai beberapa tetes minyak wangi, membereskan rambut dan pakaian, kemudian sambil tersenyum-senyum dan tertawa-tawa genit mereka menuju ke kamar Liong Bu Kong yang memang sudah menjadikan mereka berdua sebagai kekasihnya dan kadang-kadang memanggil mereka ke kamarnya untuk melayaninya bersenang-senang.

Setelah dua orang pelayan itu pergi, A-hwi yang mukanya bopeng itu cepat meloncat keluar dari kamar, tangannya mengusap mukanya dan... selaput tipis terlepas atau terkupas dari kulit mukanya yang halus dan sedikit pun tidak ada totol hitamnya. Dara ini sama sekali bukan bopeng, melainkan memiliki wajah yang cantik jelita dan tidak ada cacat bopengnya sebuah pun! Gerakannya berubah lincah sekali ketika dia berkelebat lenyap dalam gelap.

Siapakah dara jelita ini? Dia bukan lain adalah Lim Hwi Sian, dara cantik murid Gak Liong di Secuan, atau masih terhitung cucu keponakan murid dari Panglima The Hoo karena Gak Liong adalah murid keponakan panglima besar itu. Telah sebulan lebih Hwi Sian menyelundup ke Kwi-ouw dan diterima sebagai pelayan. Dia dapat melindungi dirinya dari Bu Kong yang mata keranjang itu dengan jalan menyelaputi mukanya dengan selaput tipis sehingga mukanya yang cantik jelita itu menjadi bopeng. Dan semua ini dikerjakan memenuhi rencana dan siasat Cia Giok Keng, puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong!

Setelah menyelinap di tempat gelap agak jauh dari kelompok bangunan, terdengar suara burung malam. Hwi Sian cepat menghampiri dan ternyata Giok Keng telah berada di situ, tepat seperti telah mereka janjikan. Giok Keng telah mendengar dari ayahnya tentang ayah bunda Kun Liong yang dibunuh oleh lima datuk, juga tentang bokor yang dipalsukan dan yang diduga dilakukan oleh Kwi-eng Niocu. Karena merasa marah mendengar kematian bibi gurunya Gui Yan Cu dan suaminya, Giok Keng lalu minggat untuk menyelidiki Kwi-ouw dan di jalan dia bertemu dengan Hwi Sian yang tentu saja sudah dikenalnya.

“Bagaimana, Hwi Sian? Sudah dapatkah kau menyelidiki tentang bokor...”

“Sssttt... Cia-lihiap,” Hwi Sian menyebut lihiap kepada Giok Keng mengingat bahwa nona ini adalah puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan yang ia tahu memiliki tingkat ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada tingkatnya sendiri. “Ada berita hebat sekali...”

Dengan suara bisik-bisik Hwi Sian lalu menuturkan tentang munculnya Yap Kun Liong yang hendak merampas kembali dua benda pusaka Siauw-lim-pai.

“Dia sudah berhasil mengalahkan Liong Bu Kong dan merampas pusaka, akan tetapi dia dikeroyok oleh Kwi-eng Niocu dan Thian-ong Lo-mo, tertawan dan dijebloskan di dalam kamar tahanan bawah tanah.”

Giok Keng membanting-banting kakinya dengan gemas.
“Si tolol itu! Sungguh tak tahu diri, berani mendatangi guha harimau. Biar dirasakan kelancangannya sendiri itu!”






“Tapi... Li-hiap... dia itu orang baik. Kita harus menolongnya. Dengan adanya dia membantu kita, agaknya pekerjaan kita akan lebih ringan. Pula, bukankah dia pun berhak untuk membalas kematian orang tuanya?”

Karena suara ini dilakukan dalam bisik-bisik, maka Giok Keng tidak dapat menangkap getaran aneh dalam suara Hwi Sian ini. Akhirnya, mengingat bahwa betapapun juga dia harus menolong Kun Liong, dia mengangguk dan keduanya lalu berindap mendekati kelompok bangunan.

Tidak percuma Hwi Sian menjadi pelayan di situ selama sebulan. Selama itu dia telah menyelidiki semua tempat rahasia, dan tahu dimana Kun Liong disekap. Dengan hati-hati dua orang dara perkasa ini mmyelinap, Hwi Sian di depan dan Giok Keng di belakang. Giok Keng telah menyerahkan sebatang pedang kepada Hwi Sian, sedang dia sendiri memegang pedang Gin-hwa-kiam yang berkilauan, sebatang pedang pusaka perak yang ampuh.

Ketika kedua orang dara itu menuruni anak tangga menuju ke kamar tahanan di bawah tanah, mereka bengong melihat betapa pintu menembus ke anak tangga itu telah terbuka dan dua orang penjaga pintu telah menggeletak dan “tidur” alias pingsan tanpa luka. Lebih besar lagi keheranan mereka ketika mereka melihat dua belas orang penjaga di luar kamar tahanan sudah rebah malang-melintang, kesemuanya pingsan dan kamar tahanan itu sendiri sudah kosong! Tampak “kolor” hitam terbuat dari otot yang dibanggakan oleh Thian-ong Lo-mo itu menggeletak di kamar tahanan akan tetapi Kun Liong si Pemuda Gundul sudah tidak berada di tempat itu!

“Kemana dia?” Giok Keng bertanya heran.

“Entah, tapi itu tadi tali pengikatnya..., tentu dia telah dapat mololoskan diri, atau mungkin ada yang menolongnya. Mari kita cepat keluar sebelum ada penjaga yang melihatnya.” Dua orang dara itu bergegas keluar dari kamar tahanan bawah tanah.

Ke manakah perginya Kun Liong? Dugaan Hwi Sian memang benar. Pemuda itu dapat meloloskan diri, akan tetapi bukan karena pertolongan orang lain. Thian-ong Lo-mo terlalu memandang rendah pemuda ini, tidak tahu bahwa pemuda ini adalah murid gemblengan dari tokoh sakti Siauw-lim-pai Tiang Pek Hosiang dan tentu saja sebagai murid Siauw-lim-pai, dia telah mempelajari Ilmu Jiu-kut-kang, yaitu ilmu melemaskan tulang dan tubuh dari Siauw-lim-pai, bahkan dia telah mempelajari ilmu ini bagian tingkat tinggi karena digembleng oleh Tiang Pek Hosiang sendiri.

Oleh karena itu, ketika dia dimasukkan ke dalam kamar tahanan, sebentar saja dia sudah dapat meloloskan kaki tangannya dari belenggu otot hitam itu tanpa mematahkan belenggu karena untuk mematahkan belenggu yang ulet dan mulur itu memang tidak mungkin.

Ketika melihat malam tiba dan para penjaga sudah mengantuk, dengan gerakan secepat kilat Kun Liong lalu mematahkan pintu besi kamar tahanan dan sebelum dua belas orang penjaga yang sebagian besar sudah setengah pulas itu dapat berteriak, tubuhnya menyambar ke sana-sini dan totokan-totokannya membuat selosin orang penjaga itu malang melintang dan tumpang tindih dalam keadaan “ngorok” akan tetapi bukan tertidur pulas melainkan pingsan!

Cepat dia lari ke pintu di atas anak tangga yang menuju ke jalan keluar. Di sini terdapat pula dua orang penjaga, mereka ini pun dibikin “pulas” sebelum sempat berteriak. Kun Liong kini mengerti bahwa kalau dia hanya menggunakan “cengli” (aturan) saja terhadap Ketua Kwi-eng-pang akan percuma. Terpaksa dia harus menggunakan kekerasan, yaitu dengan paksa dia akan berusaha mencuri kembali pusaka-pusaka Siauw-lim-pai itu, kemudian dia akan berusaha membunuh orang terakhir yang menjadi pembunuh ayah bundanya.

Gerakannya ringan dan cepat sekali dan tak lama kemudian dia telah mengintai di luar jendela sebuah kamar. Kamar Kwi-eng Niocu! Kun Liong tidak dapat melihat ke dalam, namun telinganya yang berpendengaran tajam dapat menangkap suara Kwi-eng Niocu dan Kakek Thian-ong Lo-mo yang bercakap-cakap di dalam kamar itu.

“Ahhh, Ang Hwi Nio, sungguh aku tidak menyangka bahwa engkau yang terkenal sebagai seorang gadis itu ternyata hanya kabar kosong belaka!” Suara kakek itu penuh kecewa dan penyesalan.

“Cih, tua bangka tak tahu malu! Bagimu apa sih bedanya? Engkau tergila-gila kepadaku dan karena engkau sudah membantu dan aku sudah berjanji, aku menyerahkan diriku kepadamu dan kau masih berani mengomel!”

“Aku tidak mengomel. Engkau hebat dan aku cinta kepadamu, Niocu, akan tetapi aku hanya heran bahwa kenyataannya...”

“Bodoh! Aku terkenal sebagai seorang perawan karena aku tidak pernah menikah, bukan berarti bahwa aku tidak pernah berhubungan dengan pria. Bahkan aku telah menjadi seorang ibu...”

“Hehhh...?”

“Engkau kuanggap sebagai seorang sahabat baik, Lo-mo, dan kuharap selanjutnya kita dapat bekerja sama untuk memperoleh bokor pusaka itu. Maka biarlah kubuka rahasiaku kepadamu seorang. Ketahuilah bahwa dulu, aku berhubungan dengan seorang pemuda she Liong. Hubungan kami akrab dan karena bujuk rayunya aku tidak dapat mempertahankan diri sampai aku mengandung. Akan tetapi apa yang dilakukan pemuda
keparat itu? Dia tidak mau mengakui kandunganku karena dia merasa malu menjadi suami seorang anggauta kaum sesat, katanya. Nah, aku membunuhnya dan setelah anak itu terlahir, kuangkat dia menjadi anakku. Padahal dia anakku sendiri, darl hubunganku dengan pemuda she Liong itu, anak terlahir tidak sah...”

“Liong Bu Kong...?”

“Benar. Nah, kau sudah mendengar dan kuharap saja engkau menyimpan rahasia ini baik-baik.”

“Tentu saja selama engkau suka melayaniku, manis.”

“Aku akan melayanimu sepuasmu asal engkau selalu suka membantuku.”

Kun Liong yang mendengarkan penuturan wanita itu menjadi bengong dan tanpa disadarinya timbul rasa kasihan di dalam hatinya terhadap Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio! Kembali ada seorang manusia menjadi korban apa yang tadinya dianggapnya “cinta”! Benarkah cinta itu selalu mendatangkan malapeta? Betapa banyaknya peristiwa yang disaksikannya sendiri, peristiwa menyedihkan akibat perasaan yang terkenal dinamakan cinta.

Hwi Sian mencintanya dan karena dia tidak dapat membalasnya, dara itu merana. Demikian pula Yuanita. Dan Li Hwa, demi cintanya dengan Yuan, keduanya menjadi korban dan binasa. Sekarang, ternyata Kwi-eng Niocu, seorang di antara datuk kaum sesat yang namanya terkenal di seluruh dunia kang-ouw dan ditakuti, yang terkenal sebagai seorang gadis tua, kiranya hanyalah seorang wanita korban cinta sehingga melahirkan seorang anak yang terpaksa dianggap sebagai anak angkat!

Tiba-tiba terdengar bentakan keras di sebelah belakangnya.
“Keparat, jadi engkau dapat meloloskan diri? Kalau begitu engkau memang layak mampus!”

Ucapan ini disusul menyambarnya sebatang pedang kilat yang mengejutkan Kun Liong. Namun pemuda gundul ini sudah dapat menghindarkan diri dan mengelak dengan loncatan kiri dan dia berhadapan dengan Liong Bu Kong yang sudah memegang pedang Lui-cong-kiam.

Terdengar bentakan-bentakan dan sebentar saja Kun Liong telah dikurung, bahkan kini Kwi-eng Niocu sendiri dengan rambut masih kusut dan muka masih kemerahan, telah datang pula bersama Thian-ong Lo-mo, kakek raksasa yang mulai malam itu telah menjadi kekasihnya itu!

“Kepung! Tangkap dia! Jangan biarkan dia lolos!” teriak Kwi-eng Niocu yang merasa terkejut sekali melihat tawanan penting itu telah dapat lolos.

Akan tetapi karena semua anggauta Kwi-eng-pang maklum betapa lihainya pemuda gundul ini, mereka hanya mengepung dari jarak jauh dengan membentuk lingkaran dan memegang obor sehingga tempat itu menjadi terang sekali, sedangkan yang maju menyerang Kun Liong tentu saja adalah Kwi-eng Niocu sendiri yang kini menggunakan sebuah kebutan bulu panjang berwarna kuning di samping cengkeraman kukunya yang beracun, adapun Thian-ong Lo-mo sudah pula mengeluarkan senjatanya yang luar biasa dan mengerikan, yaitu sehelai sabuk terbuat dari baja lemas berbentuk runcing tajam penuh dengan gigi seperti gergaji.

Sebuah senjata yang mengerikan, apalagi dimainkan oleh seorang yang bertenaga gajah seperti kakek itu, senjata aneh ini lenyap bentuknya dan hanya terdengar suara mengaung dan tampak sinar bergulung-gulung seperti seekor naga bermain di angkasa! Selain kedua orang tokoh sakti ini, Liong Bu Kong juga ikut pula mengeroyok dengan pedang pusakanya yang ampuh.

Karena maklum bahwa dia menghadapi orang-orang pandai dan nyawanya terancam bahaya, maka sekali ini Kun Liong tidaklah hanya menjaga diri seperti pertama kali dia dikeroyok, melainkan tubuhnya mencelat ke sana ke mari mengerahkan gin-kangnya dan dia sudah membalas dengan pukulan-pukulan tak kalah berbahayanya pula kepada tiga orang pengeroyoknya.

Namun, karena tiga orang itu masing-masing menggunakan senjata ampuh dan hebat, tentu saja Kun Liong tidak mendapatkan kesempatan untuk mempergunakan Thi-khi-i-beng, hanya terpaksa mengerahkan dan mengandalkan kecepatan gerakannya. Tubuhnya berkelebatan seperti seekor burung walet yang beterbangan di antara sinar-sinar senjata lawan yang bergulung-gulung.

Tiba-tiba timbul kekacauan di bagian kiri para pengepung karena beberapa orang anggauta Kwi-eng-pang roboh dan berkelebatlah bayangan dua orang gadis yang keduanya memegang sebatang pedang dan yang gerakannya gesit sekali, terutama sekali gadis yang pedangnya mengeluarkan sinar perak.

Mereka ini bukan lain adalah Cia Giok Keng dengan pedang Gin-hwa-kiam dan Lim Hwi Sian yang memegang sebatang pedang yang baik pula. Keduanya sudah menerjang memasuki kepungan dan tanpa banyak cakap lagi mereka sudah menyerbu ke medan pertandingan membantu Kun Liong!

“Kun Liong, mari kita basmi ibils-iblis ini!” kata Hwi Sian sambil memutar pedangnya menyerang Thian-ong Lo-mo.

“Hwi Sian!” Kun Liong berseru kaget dan girang, kemudian dia melihat pula Giok Keng dan berseru, ”Nona Cia...!”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: