*

*

Ads

FB

Kamis, 10 November 2016

Petualang Asmara Jilid 129

Biarpun Kun Liong tidak memegang senjata apa-apa, namun karena dia telah mengeluarkan ilmu silatnya yang sakti, yaitu Pat-hong-sin-kun, andaikata dia harus menjaga diri dengan elakan dan tangkisan saja, kiranya dia akan dapat bertahan sampai ratusan jurus tanpa membalas.

Namun, yang menjadi pokok perhatiannya bukanlah mengalahkan pemuda ini. Dia tidak mempunyai urusan atau permusuhan dengan Bu Kong, maka perlu apa mengalahkannya, apalagi melukainya? Yang penting baginya adalah merampas kembali dua benda pusaka Siauw-lim-pai, kemudian baru dia akan menandingi Kwi-eng Niocu menuntut balas atas kematian ayah bundanya.

Oleh karena pikiran ini, sambil mengelak ke sana-sini sehingga dia kelihatan repot terdesak hebat, dia melirik ke arah pelayan yang membawa baki terisi dua benda pusaka. Dia sengaja mpngelak dan membiarkan dirinya terdesak mundur-mundur mendekati pelayan dan tiba-tiba, bagaikan gerakan seekor burung walet, tangannya menyambar dan di lain detik dua buah benda pusaka itu telah dapat dirampasnya!

“Eeiiihhh...!”

Pelayan itu menjerit dan terjengkang pingsan, buru-buru ditolong oleh pelayan bopeng dan temannya yang seorang lagi, kemudian digotong masuk ke dalam.

Liong Bu Kong marah bukan main.
“Kurang ajar! Kembalikan benda itu!”

Teriaknya dan pedangnya menusuk dada Kun Liong. Pemuda gundul ini membiarkan pedang meluncur, menggoyang sedikit tubuhnya sehingga pedang itu menusuk tempat kosong di bawah lengannya dan sekali lengannya dirapatkan, pedang terjepit dan kakinya menendang perlahan ke arah lutut Bu Kong.

“Auhhh...!”

Seketika kaki Bu Kong lumpuh dan pemuda ini jatuh berlutut, pedangnya masih dikempit oleh Kun Liong. Setelah menyimpan dua benda itu dengan mengikatkan kain kuning yang membungkusnya ke belakang pundak, Kun Liong lalu mengambil pedang Lui-kong-kiam, melempar pedang itu ke bawah dan pedang menancap di depan kaki Bu Kong, amblas sampai hampir ke gagangnya!

Dapat dibayangkan betapa kaget dan marahnya hati Kwi-eng Niocu menyaksikan kekalahan puteranya yang memalukan itu. Melawan pemuda gundul bertangan kosong yang sama sekali tidak balas menyerang saja, sampai puluhan jurus puteranya tak mampu menang, bahkan akhirnya dua benda pusaka dapat dirampas, juga pedang Lui-kong-kiam dan puteranya roboh berlutut! Betapa memalukan hal ini!

Betapapun juga, sebagai seorang Ketua Kwi-eng-pang yang berkuasa, dia harus malu kalau harus menarik kembali janjinya, maka dia membentak,

“Serahkan dulu bokor emas yang tulen, baru boleh pergi!”

Setelah berkata demikian, dengan gerakannya yang amat dahsyat Kwi-eng Niocu sudah menyerang Kun Liong dengan cengkeraman kuku tangannya yang panjang.

“Wussss... brettt!”

Kun Liong terpekik kaget. Dia sudah mengelak cepat namun tetap saja kuku itu masih merobek pinggir bajunya dekat pundak. Padahal tadi pedang di tangan Liong Bu Kong sampai puluhan jurus tak pernah mampu menyentuhnya, dan sekarang ibu pemuda ini, begitu menyerang telah merobek bajunya! Dari bukti ini saja sudah dapat diketahui betapa lihainya Ketua Kwi-eng-pang ini. Tidaklah percuma nenek ini mendapat julukan Si Bayangan Hantu karena memang ilmu kepandaiannya hebat.






Kun Liong kini siap siaga dan melawan mati-matian. Berbeda dengan tadi ketika menghadapi Bu Kong, dia tadi tidak mau melukai berat apalagi membunuh pemuda itu, akan tetapi sekarang, maklum bahwa nenek ini merupakan orang terakhir yang membunuh ayah bundanya, dia tidak hanya mengelak dan menangkis, namun juga balas menyerang!

“Siuuuuttt...!”

Kedua lengan Kwi-eng Niocu bergerak, yang kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Kun Liong, yang kiri mencengkeram ke arah bawah pusar. Dua serangan sekaligus yang merupakan cengkeraman maut dan yang datangnya amat cepat.

Kun Liong menggerakkan kedua lengannya ke atas dan ke bawah menangkis.
“Duk! Dukkk!” tangkisan yang amat kuat sehingga kedua lengan lawan terpental, namun dengan amat cepatnya Kwi-eng Niocu sudah menyerang lagi dengan cakar ke arah mata dan dada.

“Plak! Dukkk...! Haittt...!”

Kun Liong menangkis dua kali dan melanjutkan dalam detik berikutnya dengan hantaman tangan kiri dengan tangan terbuka, tangan kirinya mengeluarkan uap putih dan itulah pukulan Pek-in-ciang yang amat ampuh, yang dia pelajari dari manusia sakti Tiang Pek Hosiang.

Kwi-eng Niocu cepat menangkis dengan kedua tangan sambil melempar tubuh ke kiri, namun tetap saja hawa pukulan membuat dia terjengkang dan bergulingan. Dia tidak terluka parah, namun mengalami kekagetan hebat sekali. Tak disangkanya bahwa pemuda itu benar-benar amat lihai! Dia sudah meloncat bangun lagi, dan berseru

“Lo-mo, kenapa kau diam saja? Bantulah aku!”

Kakek raksasa itu tertawa bergelak.
“Huah-ha-ha, Niocu. Menghadapi seorang bocah gundul saja mengapa harus minta bantuanku? Kau sendiri tidak mau memenuhi permintaanku, bagaimana aku bisa memenuhi permintaanmu sekali ini?”

Kwi-eng Niocu sudah menyambut lagi serangan Kun Liong. Sekali ini, Kun Liong yang menyerang dan serangannya itu adalah pukulan dari jurus Im-yang Sin-kun dan masih menggunakan tenaga Pek-in-ciang. Dia mengambil keputusan untuk menggunakan ilmu yang didapatnya dari Tiang Pek Hosiang tokoh besar Siauw-lim-pai itu untuk mempertahankan dan merampas kembali benda pusaka Siauw-lim-pai.

“Plak-plak...!!”

Kwi-eng Niocu masih dapat menangkis, akan tetapi kembali dia terhuyung. Dia masih sempat mengirim cakar mautnya dan melihat kuku-kuku meruncing itu menyambar dekat mukanya, dengan gemas Kun Liong menyentil dengan jari telunjuknya.

“Krakkk!” Dan patahlah sebuah kuku runcing dari ibu jari tangan kiri Kwi-eng Niocu.

“Aihhhh... Lo-mo, bantulah aku, dan aku akan melayanimu semalam nanti. Keparat!”

“Ha-ha-ha-ha! Begitu baru sepadan, namanya!”

Kini raksasa itu sudah bergerak maju, kedua lengannya yang sebesar paha orang dan panjang berbulu itu sudah menyambar dari kanan kiri dengan membawa angin pukulan yang dahsyat.

“Aihh!”

Kun Liong kaget bukan main. Cepat dia mengelak ke belakang, kemudian tangannya menampar ke arah leher lawan. Raksasa itu tidak mengelak, hanya mengangkat bahunya ke atas menerima tamparan itu.

“Desss!”

Tamparan yang amat hebat yang dilakukan oleh Kun Liong itu akibatnya membuat pemuda ini terpelanting sendiri seolah-olah dia tadi menampar sehuah gunung baja!

“Huah-ha-ha-hah!”

Kakek itu tertawa dan dengan cepatnya menubruk seperti sikap seekor harimau menubruk seekor domba. Dengan menggunakan kedua tangan menekan bumi, Kun Liong mencelat ke atas untuk menghindarkan, namun lengan kakek raksasa itu terlalu panjang sehingga tetap saja dia dapat dirangkul dan dipeluk erat-erat.

Dua lengan panjang besar itu seperti dua ekor ular membelit tubuhnya, melingkari leher dan pinggangnya dengan kekuatan belalai seekor gajah! Terpaksa Kun Liong menggunakan Thi-khi-i-beng karena kalau tidak, dia tentu takkan dapat bernapas dan jangan-jangan tulang-tulang iganya akan remuk!

“Aduhhh... auuuggghhh...!”

Raksasa itu berteriak-teriak dengan mata melotot ketika merasa betapa tenaganya memberobot keluar disedot oleh tubuh pemuda yang dipeluknya itu.

Melihat ini, Kwi-eng Niocu cepat melolos saputangannya dan sekali dia menggerakkan tangan, saputangan itu meluncur ke arah leher Kun Liong.

“Prattt!”

Tubuh Kun Liong menjadi lemas karena jalan darahnya telah tertotok secara tepat sekali. Andaikata Kwi-eng Niocu menggunakan tangannya, tentu nenek ini pun akan ikut tersedot tenaga sin-kangnya oleh Thi-khi-i-beng. Akan tetapi sebagai Ketua Kwi-eng-pang dan sebagai seorang di antara datuk-datuk kaum sesat yang sudah luas pengetahuannya, melihat halnya raksasa tadi dia sudah dapat menduga, sungguhpun penuh keheranan, maka dia menggunakan saputangannya, sebagai pengganti jari tangan.

Raksasa itu adalah Thia-ong Lo-mo. Dia ini bukan lain adalah guru dari Tok-jiauw Lo-mo, dan dia adalah suheng dari mendiang Thian-te Sam-lo-mo (baca cerita Pedang Kayu Harum). Tempat tinggalnya adalah di kaki Pegunungan Go-bi-san dan pada hari itu dia menjadi tamu Kwi-eng Niocu yang merasa kehilangan teman-teman, sengaja mendekati kakek raksasa yang lihai ini untuk diajak bersekutu mencari bokor emas yang tulen, juga untuk membalas dendamnya kepada Panglima The Hoo.

Thian-ong Lo-mo melepaskan pelukannya dan mengusap keringatnya dari dahi.
“Hebat benar... ilmu apa itu tadi? Seperti setan, tahu-tahu tenagaku disedotnya tanpa dapat kutahan.”

“Hemm, ilmu itu kalau bukan Thi-khi-i-beng apalagi?” kata Kwi-eng Niocu.

“Thi-khi-i-beng?”

Liong Bu Kong menghampiri dan bertanya kaget. Dia pun terheran-heran menyaksikan kelihaian Kun Liong sehingga setelah dikeroyok dua oleh ibunya dan Thian-ong Lo-mo, baru dapat ditangkap.

“Thi-khi-i-beng? Bukankah katanya hanya Pendekar Cia Keng Hong yang memilikinya?” tanya pula Thian-ong Lo-mo.

“Hemm, siapa tahu bocah ini telah mewarisinya. Bocah ini amat penting...”

“Bunuh saja dia, Ibu! Dia berbahaya!” kata Bu Kong.

“Hush! Bodoh kau. Dia penting sekali. Pertama, dialah yang agaknya tahu di mana letaknya bokor yang tulen. Ke dua, kalau dia mengerti Thi-khi-i-beng, hemm, kita bisa siksa dan paksa dia untuk mengajarkannya kepada kami.”

“Ha-ha-ha! Pikiran bagus sekali! Dia harus ditahan dan dibelenggu kuat-kuat. Jangan khawatir, pergunakan ini untuk mengikatnya, dia tidak akan mampu lolos!”

Kakek raksasa itu melepaskan “kolor” celananya yang berwarna hitam. Benda ini terbuat dari otot binatang ajaib di Go-bi, dan uletnya tidak ada yang dapat menandinginya. Kaki tangan Kun Liong lalu dibelenggu dengan tali otot itu, dan dia dilempar ke dalam kamar tahanan, dijaga ketat oleh selosin orang penjaga.

Malam itu sunyi sekali. Tiap dua jam sekali selosin penjaga yang menjaga di luar kamar tahanan Kun Liong diganti dan diantara mereka itu dipilih para anak murid yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya.

Sementara itu, di kamar para pelayan, tak jauh dari kamar Kwi-eng Niocu, tiga orang pelayan wanita muda saling berbisik-bisik,

“Niocu tidak mau diganggu malam ini, kita menganggur...” kata seorang yang paling genit.

“Hemm, mengapa Niocu suka melayani kakek seperti itu? Idihhh, menjijikkan sekali, raksasa seperti itu... bisa mati aku kalau harus melayaninya!” kata yang ke dua sambil terkekeh genit.

“Kalian jangan main-main, kalau terdengar Niocu kalian bisa dibunuh,” kata pelayan ke tiga yang mukanya bopeng.

“Sebaiknya kita pergi saja ke kamar Kongcu, dia tentu membutuhkan kita. Lebih senang melayani dia, biar hanya untuk memijati tubuhnya yang kuat dan gagah...” kata orang pertama.

“Cocok! Mari kita menghadap Kongcu. Sudah lebih sepekan dia tidak mengundang kita.”

“Pergilah kalian. Aku sih tidak dibutuhkan Kongcu,” kata yang bopeng.

“Aihh, A-hwi, kau sebenarnya cantik sekali, lebih manis daripada kami berdua, sayang mukamu banyak totol-totol hitam. Kau sih tidak mau menurut, kalau kau berobat dan totol-totolmu itu bersih, tentu Kongcu akan tergila-gila kepadamu.”

“Huh, aku tidak memikirkan soal itu. Pergilah kalian kepadanya, aku sendiri akan menjaga di kamar ini, kalau-kalau Niocu membutuhkan sesuatu. Kalau dia memanggil dan kita bertiga tidak ada semua, bukankah celaka?”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: