*

*

Ads

FB

Jumat, 28 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 097

Kakek itu tertawa, menyentuh pundak pemuda itu dan menyuruhnya bangkit.
“Duduklah kembali seperti tadi, orang muda. Lihat, betapa palsunya segala perbuatan kita dalam hidup, karena kita telah menjadi boneka yang digerakkan oleh segala tradisi dan pengetahuan mati. Engkau tadi bersikap biasa kepadaku, kemudian setelah mengetahui bahwa aku Kiang Tojin dari Kun-lun-pai, engkau lalu merobah sikap dan menghormatiku berlebih-lebihan! Kepada kakek biasa engkau bersikap biasa, kepada kakek Ketua Kun-lun-pal engkau bersikap menghormat. Mengapa ada perbedaan ini?

Mengapa kita selalu memandang rendah kepada orang biasa dan memandang tinggi kepada orang yang dianggap pandai atau berkedudukan tinggi? Bukankah kenyataan hidup yang membelenggu cara hidup kita ini merupakan pelajaran yang membuka mata dan berharga sekali untuk dimengerti? Kalau kita membuka mata, orang muda, maka setiap lembar daun kering yang rontok, setiap ekor burung, hembusan angin, senyum seorang anak-anak, setitik air mata seorang wanita, semua itu dapat merupakan guru bagi kita! Hidup berarti berhubungan dengan sesuatu, baik mahluk hidup maupun benda mati. Kalau membuka mata terhadap hubungan kita dengan semua yang kita hadapi setiap hari, dan kita membuka mata terhadap tanggapan kita akan hubungan kita dengan semua itu setiap saat, maka kita akan mengenal diri sendiri. Dan mengenal diri sendiri merupakan langkah pertama kepada kebijaksanaan, orang muda.”

“Teecu menghaturkan terima kasih atas segala wejangan Locianpwe yang amat berharga.”

Kakek itu tersenyum lebar.
“Tidak ada yang mewejang dan tidak ada yang diwejang, orang muda. Engkau adalah muridnya dan engkau pula gurunya, dan seluruh isi alam ini adalah guru yang dapat memberi petunjuk. Sudah terlampau lama aku duduk di sini, mari kita bejalan-jalan menikmati keindahan alam, orang muda. Coba engkau membuka mata melihat segala keindahan itu tanpa penilaian dan tanpa perbandingan. Belajarlah menggunakan mata sebagaimana sewajarnya dan jangan biarkan pikiran mengaduk dan mengacaunya dan engkau akan melihat.”

Mereka kini berjalan perlahan-lahan di dalam hutan itu. Kun Liong menggunakan matanya memandang dan tampaklah olehnya keindahan alam yang menyejukkan hati dan yang serba baru, lain daripada sebelumnya!

Pohon-pohon besar dengan daun-daun yang hijau segar, seperti bernapas ketika angin menghembus, daun-daun kering yang membusuk di bawah pohon, menjadi pupuk bagi pertumbuhan pohon. Pohon berbunga, bunga berbuah, buah akan tua dan jatuh, membusuk di atas tanah kemudian berseri dan tumbuh menjadi pohon!

Tidak ada yang baik tidak ada yang buruk, semua indah, semua berguna, semua hidup menurut kewajaran masing-masing, akan tetapi semua merupakan kesatuan yang tak terpisahkan, semua itu, pohon, rumput, burung, awan, dia sendiri, kakek itu, semua itu merupakan kesatuan. Hanya pikiran yang memisah-misahkan sehingga timbullah pertentangan dan bentrokan yang dimulai dari dalam diri sendiri lalu tercetus ke luar menjadi pertentangan antara manusia, antara golongan, antara bangsa dan antara ras!

“Locianpwe, teecu Yap Kun Liong selama hidup baru sekarang ini mengalami seperti di pagi ini!” Kun Liong tak dapat menahan dirinya berseru.

Kakek itu menoleh dan tersenyum, akan tetapi senyumnya mengandung keheranan.

“Namamu Yap Kun Liong? Mengingatkan aku akan seorang she Yap... kalau tidak salah dia adalah sahabat baik Cia Keng Hong-taihiap...”






“Aihh! Dia adalah ayah teecu, Locianpwe. Ayah teecu bemama Yap Cong San.”

“Haiii, sungguh kebetulan sekali. Kiranya engkau adalah puteranya? Bagaimana dengan ayahmu sekarang?”

Kun Liong menghela napas.
“Sudah sepuluh tahun lebih teecu tidak pernah bertemu dengan Ayah dan Ibu.” Kemudian dengan singkat dia menceritakan riwayatnya yang penting-penting saja.

Setelah mendengar penuturan itu Kiang Tojin berkata,
“Memang demikianlah. Hidup diombang-ambingkan antara suka duka. Semua adalah karena diri sendiri, akan tetapi orang menyalahkannya kepada nasib.”

“Memang banyak suka duka yang teecu alami dan teecu merasa bahwa semua kesukaan itu bukanlah kebahagiaan. Apakah Locianwe seorang yang berbahagia?”

Kakek itu tertawa.
“Kalau kau maksudkan apakah aku seorang yang tidak sengsara, maka aku dapat mengatakan bahwa aku bukan seorang yang sengsara.”

“Loclaripwe, mohon petunjuk Locianpwe. Bagaimanakah caranya agar teecu dapat berbahagia?”

“Ha-ha-ha, orang muda. Bahagia, seperti juga cinta, tidak mempunyai jalan atau cara! Bahagia tidak dapat dikejar. Pengejaran bahagia menciptakan bermacam jalan atau cara ini, dan pengejaran adalah kelanjutan dari nafsu keinginan memiliki sesuatu, dalam hal ini memiliki kebahagiaan! Dan seperti telah kita bicarakan tadi, nafsu keinginan menimbulkan iri-dengki-kecewa-benci! Kalau kita mengejar kebahagiaan, berarti kita menggunakan nafsu untuk mengenal bahagia. Mungkinkah ini? Jangan kau menanyakan cara untuk berbahagia, sebaiknya kau cari dalam dirimu sendiri, apa yang membuat engkau tidak berbahagia. Setelah mengerti apa yang membuat engkau terbebas dari penyebab tidak berbahagia, maka perlukah kau mencari lagi kebahagiaan?”

Kun Liong tercengang dan tak mampu bicara lagi. Segala sesuatu telah dibentangkan oleh kakek itu, persoalan-persoalan telah ditelanjangi dan dia hanya tinggal membuka mata untuk melihat!

Tiba-tiba dari depan datang serombongan Nikouw (pendeta wanita). Empat orang memanggul sebuah joli (tandu) dan tiga orang lagi berjalan mengiringkan joli yang tertutup sutera kuning itu. Para nikouw ini mengerudungi kepala gundul mereka dengan kain kuning dan wajah mereka kelihatan muram. Mereka itu terdiri dari wanita-wanita antara usia tiga puluh dan empat puluh tahun, dan sikap mereka pendiam dan serius.

Ketika rombongan itu tiba dekat, Kiang Tojin dan Kun Liong mendengar suara rintihan dari dalam joli. Kiang Tojin lalu menghadang di tengah jalan, menjura dan bertanya,

“Cu-wi, harap tahan dulu dan perkenankan saya menerima penderita sakit yang Cuwi angkat, siapa tahu saya akan dapat menolongnya.”

Dengan gerakan yang cepat bukan main sehingga mengejutkan Kun Liong, tiga orang pengiring tandu itu meloncat ke depan, sejenak mereka memandang tajam kepada Kiang Tojin, kemudian seorang di antara mereka menjura dan berkata.

“Omitohud...! Bukankah pinni (saya) berhadapan dengan Kiang Tojin dari Kun-lun-pai?”

Kiang Tojin tersenyum.
“Sekarang saya bukan Ketua Kun-lun-pai lagi, telah mengundurkan diri dan hanya menjadi seorang kakek biasa saja.”

Para nikouw itu segera memberi hormat dan menyuruh teman-teman mereka menurunkan tandu. Nikouw pertama memberi hormat lagi dan berkata,

“Terima kasih banyak atas kebaikan hati Locianpwe. Memang Twa-suci (Kakak Seperguruan Pertama) kami menderita luka cukup parah. Akan kami tanyakan dulu kepadanya apakah dia mau menerima pertolongan Locianpwe.”

Nikouw itu lalu menghampiri tandu, menyingkap tenda sutera sedikit dan berbisik-bisik. Terdengar jawaban suara halus dari dalam tandu,

“Persilakan dia untuk memeriksa nadi tanganku.” Dan sebuah lengan yang kecil dan berkulit putih halus diulur dari balik tenda sutera.

Melihat ini, Kiang Tojin tersenyum, melangkah ke dekat tandu kemudian berkata,
“Maafkan saya...”

Dipegangnya pergelangan tangan itu dan tak lama kemudian dilepaskannya kembali. Dia melangkah mundur tiga tindak, menggeleng kepala dan berkata,

“Sungguh menyesal sekali. Luka itu diakibatkan oleh racun ular yang amat jahat dan berbahaya, kalau tidak salah, racun dan ular yang hanya terdapat di Pegunungan Himalaya, namanya Ngo-tok-coa (Ular Lima Racun). Bukankah di sekitar luka itu terdapat warna-warna hitam, merah, biru, kuning dan hijau?”

“Benar demikian...!” Terdengar suara halus dari balik tirai sutera.

“Ahhhh, seperti telah kuduga,” kata Kiang Tojin. “Sayang sekali, saya tidak dapat mengobati luka beracun dari Ngo-tok-coa dan saya kira agak sukar untuk mencari obat penawarnya di sini. Obat penawarnya hanyalah berburu akar pohon ular hijau yang terdapat di Himalaya, dan ke dua adalah darah ular beracun lainnya yang cukup kuat...”

Tujuh orang nikouw itu mengeluh, akan tetapi terdengar teguran dari dalam tandu,
“Sumoi sekalian mengapa mengeluh? Kalau ada obat penyembuhnya sukur. Kalau tidak ada, ya sudah. Apa bedanya?”

Mendengar ini, wajah Kiang Tojin berseri.
“Perkataan yang hebat...!”

“Terima kasih atas kebaikan Locianpwe. Sumoi, mari kita berangkat!” terdengar lagi ucapan halus dari dalam tandu. Empat orang nikouw sudah menggotong lagi joli itu dan hendak melangkah pergi.

“Tahan dulu...!” Kun Liong meloncat ke depan. “Mendengar keterangan Locianpwe tadi, aku yakin akan dapat mengobatinya!”

Mendengar ini, para nikouw itu berhenti dan memandang kepada Kun Liong dengan penuh keraguan. Kalau kakek bekas Ketua Kun-lun-pai yang amat sakti itu saja menyatakan tidak sanggup, bagaimana hwesio muda itu menyanggupi untuk mengobati twa-suci mereka?

Kiang Tojin juga merasa heran dan bertanya,
“Yap-sicu, benarkah Sicu dapat mengobatinya? Racun Ngo-tok-coa amat lihai dan racun itu tidak dapat disedot keluar dengan mulut karena hal itu membahayakan nyawa si penyedot...”

“Locianpwe, sedikit-sedikit teecu pernah menerima pelajaran ilmu pengobatan dari ayah bunda teecu, terutama mengenai racun ular. Teecu akan mengeluarkan racun itu dengan tangan, kemudian akan memberi catatan obat yang tidak begitu sukar didapat, bisa dibeli di toko obat.”

Nikouw pertama yang mengawal tandu itu sudah menjura kepada Kun Liong sambil berkata,

“Kalau Siauw-suhu dapat mengobati Twa-suci, kami sebelumnya menghaturkan banyak terima kasih dan semoga Sang Buddha mengangkat Siauw-suhu ke tingkat yang lebih bersih dan sempurna.”

Kun Liong meringis. Lagi-lagi dia disangka hwesio, dan sekali ini yang menyangkanya adalah seorang Nikouw! Saking gemasnya dia lalu nekat bersikap seperti hwesio, merangkap kedua tangan di depan dada sambil berkata,

“Omitohud, semoga saja Sang Buddha akan membantu pinceng (saya) untuk mengobati suci kalian.”

Kiang Tojin melongo, kemudian menahan senyum dan mengerutkan alisnya mendengar kata-kata dan melihat sikap Kun Liong ini. Pemuda putera Yap Cong San ini ternyata aneh dan ugal-ugalan sungguhpun sikap itu hanya dipergunakan untuk melucu, atau mungkin karena mendongkol disangka hwesio! Betapapun juga, Kiang Tojin ingin sekali untuk melihat bagaimana caranya pemuda gundul aneh ini mengobati luka akibat Racun Ngo-tok-coa yang dia tahu amat hebat dan sukar disembuhkan itu. Kalau pemuda yang sikapnya ugal-ugalan ini ternyata mempermainkan orang sakit, mengingat pemuda itu putera Yap Cong San, dia patut menegur pemuda itu!

“Harap buka tirai ini dan biarkan saya memeriksa Si Sakit,” kata Kun Liong sambil menggerakkan tangan hendak menyentuh tirai.

“Ohhh, jangan buka...!” Terdengar seruan halus dari dalam, dan nikouw pertama segera berkata kepada Kun Liong, “Harap Siauw-suhu melakukan pemeriksaan nadi seperti yang dilakukan oleh Locianpwe tadi. Twa-suci adalah seorang wanita, bagaimana mungkin membiarkan lengannya disentuh sambil memperlihatkan diri? Biarpun Siauw-suhu seorang hwesio, akan tetapi tetap saja Siauw-suhu seorang laki-laki.”

Lengan yang kecil mungil dengan kulit halus putih itu sudah dijulurkan ke luar lagi dari balik tirai. Akan tetapi Kun Liong hanya memandang saja tangan itu dan tidak menyentuhnya. Dia mengomel,

“Tadi Locianpwe telah memeriksa nadi dan saya telah mendengar keterangan hasil pemeriksaannya. Untuk mengobati luka terkena racun, saya harus memeriksa lukanya lebih dulu, kemudian mengeluarkan racun dari luka itu dan menentukan obatnya.”

“Aihhhh... tak mungkin...!” Terdengar jerit tertahan dari dalam tandu.

Kun Liong sudah melangkah mundur tiga tindak.
“Sungguh aku tidak mengerti sama sekali sikap Si Sakit” katanya dengan alis berkerut. “Memang benar aku seorang laki-laki dan Si Sakit seorang wanita, akan tetapi Si Sakit adalah seorang nikouw, dan aku seorang... hemm, katakanlah hwesio. Pula Si Sakit adalah penderita dan aku adalah yang berusaha menolongnya. Mengapa hanya bertemu muka saja diharamkan?”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: