*

*

Ads

FB

Jumat, 28 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 096

Kun Liong berjalan seorang diri memasuki hutan besar itu. Berkali-kali dia menghela napas panjang kalau dia mengenangkan semua pengalamannya. Mengapa nasibnya demikian sial? Semenjak sepuluh tahun lebih yang lalu dia meninggalkan rumah orang tuanya di Leng-kok, dia selalu mengalami bermacam kesialan dalam hidupnya.

Akhir-akhir ini pun tidak pernah ada hasil baik dalam setiap usahanya. Mencari ayah bundanya masih belum ada hasilnya sama sekali. Mencari dua buah benda pusaka Siauw-lim-pai juga masih belum berhasil. Bahkan bokor emas yang sudah berada di tangannya, terpaksa harus dia serahkan kepada Kwi-eng Niocu!

Sekali ini dia tidak mau gagal lagi. Dia akan pergi ke Kwi-ouw, memasuki pulau yang menjadi sarang Kwi-eng-pang dan terang-terangan dia akan menemui Kwi-eng Niocu minta dua benda pusaka Siauw-lim-pai, bokor emas milik Panglima The Hoo, dan bertanya siapa yang membunuh Thian Lee, sekalian menegur Kwi-eng-pang yang telah mengacau di Siauw-lim-si! Setelah itu, baru dia akan mencurahkan semua perhatiannya untuk mencari ayah bundanya.

Ketika dia tiba di tengah hutan, tiba-tiba Kun Liong mendengar suara ribut-ribut banyak orang. Cepat dia menuju ke tempat suara itu dan sebuah tikungan tampaklah olehnya seorang kakek tua duduk bersila di atas sebuah batu besar dikurung oleh dua puluh orang lebih yang mengeluarkan suara ribut-ribut tadi.

Kun Liong menyelinap di balik sebuah pohon tak jauh dari tempat itu dan memandang penuh perhatian. Kakek itu sudah tua sekali, pakaiannya sederhana dan rambutnya yang sudah putih digelung ke atas. Melihat cara dia berpakaian dan melihat sanggul rambutnya, tentu dia seorang pertapa atau seorang pendeta To. Di punggung kakek itu tergantung sebuah buntalan kain kuning besar. Kakek itu duduk bersila diam seperti orang tidur, duduk tegak dengan kedua tangan di atas pangkuannya, agaknya sama sekali tidak mendengar suara ribut-ribut dari orang-orang yang mengurungnya.

“Hee, Kakek tua bangka! Apa kau sudah mampus?”

“Tosu hidung kerbau! Serahkan buntalan di punggungmu!”

“Kita ambil bungkusannya dan pakaian yang dipakainya!”

“Benar! Kita tinggalkan dia telanjang bulat di sini, ha-ha!”

Tingkah dua puluh orang itu seperti segerombolan anjing liar dalam pandangan Kun Liong yang sudah menjadi marah sekali.

“Dia diam saja, berarti menghina kita! Biar kuhantam kepalanya!” Seorang di antara mereka berteriak, tangannya bergerak memukul kepala kakek itu.

“Desss...! Auuduhhh... tanganku...”

Orang itu meringis dan mengaduh-aduh memegangi kepalan tangan kanannya yang tadi menghantam kepala itu dan menjadi bengkak.

“Dia melawan! Bunuh saja!”






Orang-orang kasar itu adalah perampok-perampok rendahan yang biasa mengganggu orang lewat di hutan yang lebat dan sunyi itu. Kini mereka sudah mencabut senjata, masing-masing ada golok, pedang dan toya, dan beramai-ramai mereka menerjang kakek yang duduk bersila tanpa bergerak itu.

“Heiii...! Kalian jahat...!”

Kun Liong keluar dari tempat persembunyiannya namun dia terlambat, karena senjata-senjata itu telah menyambar ke arah tubuh si kakek tua seperti hujan. Akibatnya, orang-orang itu mundur ketakutan karena semua bacokan yang mengenai tubuh kakek itu membuat senjata mereka terpental sedangkan tubuh kakek itu sedikit pun tidak terluka, seolah-olah mereka menyerang sebuah arca baja yang amat kuat. Hanya pakaian kakek itu yang terobek di sana-sini.

“Siluman... dia siluman...!”

“Wah, golokku malah rompal...”

“Toyaku bengkok!”

“Celaka...! Dia setan...”

Orang-orang kasar itu ketakutan dan tiba-tiba mereka mendengar bentakan Kun Liong yang sudah melompat dekat,

“Kalian ini manusia-manusia kejam!”

Ketika mereka menoleh dan melihat Kun Liong mereka makin kaget.

“Wah ini tentu temannya!”

“Setan gundul...!”

“Lari kawan-kawan...!”

Maka larilah dua puluh orang lebih itu tunggang-langgang karena kesaktian kakek itu telah membuat mereka benar-benar menyangka bahwa Si Kakek adalah sebangsa setan, dan pemuda gundul yang muncul itu adalah setan gundul.

Kun Liong menjadi geli menyaksikan tingkah mereka itu dan dia tertawa. Akan tetapi dia segera menghentikan suara ketawanya ketika mendengar suara halus di belakangnya,

“Mereka itu patut dikasihani, bukan ditertawakan.”

Kiranya kakek itu telah membuka matanya akan tetapi masih tetap duduk bersila di atas batu. Sejenak mereka berpandangan dan diam-diam Kun Liong terkejut melihat sinar mata kakek itu. Biarpun orangnya sudah amat tua, akan tetapi sinar matanya tajam bukan main.

“Totiang, pakaianmu robek-robek...”

Kakek itu menunduk dan memandangi bajunya yang robek di sana-sini, kemudian dia tersenyum dan menjawab,

“Pakaian rusak dan robek bisa dijahit, orang muda. Akan tetapi kalau watak yang rusak...”

“Maaf, Totiang. Kurasa watak yang rusak pun dapat diperbaiki oleh dirinya sendiri. Saya kira tidak benar kalau dikatakan bahwa sekali rusak watak orang, selamanya akan tetap rusak.”

Kakek itu membelalakkan matanya dan mengangguk-angguk.
“Kau benar, orang muda. Sungguh engkau aneh. Engkau bukan hwesio akan tetapi kepalamu tidak berambut, agaknya engkau telah keracunan.”

Tahulah Kun Liong bahwa kakek ini seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bukan hanya karena tadi kebal terhadap senjata orang-orang kasar itu, akan tetapi sekali pandang dapat menduga bahwa dia keracunan, hal ini membutuhkan pandangan seorang yang ahli. Maka dia lalu duduk di atas batu di depan kakek itu, juga bersila karena dia ingin sekali bercakap-cakap dengan kakek aneh itu.

“Totiang, mengapa Totiang tadi mengatakan bahwa orang-orang jahat tadi patut dikasihani?”

“Orang muda, dahulu aku memang seorang tosu, akan tetapi semenjak aku menyadari bahwa ikatan terhadap sesuatu agama merampas kebebasanku, aku bukanlah seorang tosu lagi. Namun tidak mengapa kalau kau menyebutku Totiang karena sebutan adalah kosong, dan nama bukankah menunjukkan keadaan yang dinamainya. Aku merasa kasihan kepada mereka karena mereka itu buta karena nafsu keinginan mereka. Kita hidup biasanya menjadi boneka permainan nafsu keinginan kita sendiri, tidak menyadari bahwa nafsu keinginan, betapapun baiknya menurut pendapat orang, tetap saja merupakan penyeret ke arah kesesatan dan kepalsuan, maka akhirnya hanya akan mendorong kita ke dalam lembah kesengsaraan.”

“Akan tetapi, Totiang. Apakah semua perbuatan yang mengandung keinginan itu buruk? Bagaimana kalau keinginan yang terkandung dalam perbuatan itu merupakan keinginan yang baik?”

“Baik dan buruknya keinginan hanya tergantung Si Penilai, padahal sebetulnya sama saja. Keinginan tetap keinginan, merupakan hasrat dari seorang untuk memperoleh sesuatu. Keinginan yang bersembmyi di balik sebuah perbuatan dinamakan pamrih dan perbuatan itu akan menjadi perbuatan palsu kalau berpamrih.”

“Mengapa palsu, Totiang?”

“Kalau kita melakukan suatu perbuatan dan ada pamrihnya, bukankah si pamrih itu yang penting, bukan si perbuatan? Padahal kita harus tahu apa pamrih itu! Apakah sebenarnya pamrih itu? Bukankah pamrih itu adalah keinginan untuk menguntungkan diri sendiri, baik lahiriah maupun batiniah? Dengan pamrih, maka perbuatan itu adalah munafik, pura-pura, hanya dijadikan jembatan untuk memperoleh yang diinginkannya. Katakanlah perbuatan menolong. Kalau menolong dengan ada pamrih, apakah itu menolong namanya? Kalau yang dipamrihkan, yang diinginkan untuk didapat itu tidak ada, apakah masih mau menolong?

Hati-hati orang muda, jangan kita tertipu oleh pikiran kita yang pandai sekali memabokkan kita dengan segala macam ujar-ujar dan pelajaran yang kita kenal dari kitab-kitab. Bukalah mata dan mengenal dirimu sendiri, mengenal segala gerak hati dan pikiranmu, bukan hanya mengenal wajahmu, dan engkau akan dapat melihat betapa segala macam kepalsuan diciptakan oleh pikiran. Pikiran memperkuat si aku, dan sekali kita dikuasai oleh ini, segala macam gerakan dalam hidup ini ditujukan demi keuntungan si aku, sehingga seperti perbuatan mereka tadi, seringkali menimbulkan kekerasan dan pertentangan.”

Kun Liong mengangguk-angguk. Biarpun belum jelas benar, namun dia merasa dapat melihat dan mengerti isi pembicaraan itu.

“Jadi untuk menguasai pengaruh nafsu keinginan, maka orang-orang seperti Totiang ini lalu bertapa, dan menekan segala macam nafsu?”

Kakek itu menggeleng kepalanya.
“Bertapa menjauhkan diri dari dunia ramai, kalau hal itu dilakukan untuk menghindarkan nafsu keinginan, adalah perbuatan yang sama sekali salah. Nafsu keinginan timbul dari pikiran sendiri, penciptanya adalah diri sendiri. Betapa mungkin kita melarikan diri dari nafsu keinginan? Biarpun kita melarikan diri ke puncak Himalaya, nafsu keinginan takkan pernah dapat kita tinggalkan, bahkan melarikan diri ke puncak Himalaya itu pun sudah merupakan pelaksanaan keinginan kita, bukan? Keinginan untuk menghindar dari nafsu keinginan!”

“Jadi harus ditekan setiap kali nafsu keinginan timbul, Totiang?”

Kembali kakek itu menggelengkan kepalanya.
“Sekali kita mengalahkan nafsu, maka nafsu itu harus setiap kali kita kalahkan. Sekali kita menekan, harus setiap kali kita menekannya kembali. Nafsu yang ditekan, seperti kuda yang dipasangi kendali, harus selalu dikendalikan. Nafsu yang ditekan, seperti api dalam sekam, setiap kali dapat berkobar kembali. Tidak ada gunanya melarikan diri dari nafsu, tiada gunanya pula menekannya. Yang penting kita menghadapinya, mengawasinya, dan mengerti akan nafsu keinginan kita, mengawasinya tanpa menyetujui, tanpa menentang, hanya mengawasi saja tanpa memikirkannya. Karena sekali pikiran masuk, sekali kita menyetujui, menentang atau mengambil kesimpulan maka terciptalah si aku yang mengawasi si nafsu dan timbul pertentangan! Akan tetapi tanpa adanya si aku dan si nafsu, yang ada hanya pengawasan itu sendiri dan di sana tidak akan ada lagi nafsu keinginan!”

Kun Liong mengerutkan alisnya. Baru sekali ini dia mendengar itu. Dia mencari ke dalam dirinya sendiri berdasarkan keterangan kakek itu. Kemudian dia hertanya,

“Akan tetapi, Totiang. Biasanya setiap gerak perbuatan kita didorong oteh suatu keinginan tertentu. Kalau nafsu keinginan tidak ada, habis apa yang menjadi dasar dan pendorong perbuatan kita?”

“Lakukanlah dan engkau akan menyatakan sendiri, orang muda! Engkau akan melihat perbuatan yang wajar, bersih tanpa pamrih karena perbuatan itu hanya bergerak dalam kasih.”

“Kalau begitu, Kasih adalah kebalikan atau lawan dari Nafsu Keinginan, Totiang?”

“Kukira tidak demikian, orang muda. Kasih bukanlah lawan Nafsu, akan tetapi untuk mengenal kasih, nafsu haruslah pergi. Nafsu keinginan menimbulkan iri, dengki, benci dan kecewa. Untuk mengenal nafsu, maka iri-dengki-benci-kecewa ini harus tidak ada. Akan tetapi bukan berarti bahwa Cinta Kasih adalah kebalikan dari semua itu.”

Hening sejenak. Kun Liong memejamkan matanya. Tiba-tiba dia mengangkat muka memandang kakek itu yang juga memandangnya dengan senyum halus penuh keagungan.

“Totlang siapakah?”

“Dahulu, orang memanggilku Kiang Tojin, Ketua dari Kun-lun-pai, tetapi sekarang aku hanyalah seorang pengembara yang menikmati hidup dalam alam yang amat indah ini.”

Kun Liong terkejut sekali dan serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut.
“Harap Locianpwe sudi memaafkan teecu yang bersikap kurang hormat kepada Locianpwe.”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: