*

*

Ads

FB

Selasa, 25 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 088

Ketika ada seorang anak buahnya yang disebar untuk mencari Hendrik datang kepadanya dan berbisik-bisik sambil tersenyum menyeringai, Yuan de Gama memukul telapak tangan kirinya sendiri dan memaki gemas,

“Terkutuk! Dia selalu merusak tugas dengan kesenangan pribadi yang kotor!”

Setelah berkata demikian Yuan de Gama lalu berjalan cepat pergi ke ujung perkampungan itu, bekas hutan yang telah dibabat, akan tetapi masih menjadi tempat sunyi dimana terdapat sebuah pondok kecil yang di depannya terpasang sebuah lampu.

Sunyi bukan main di situ. Yuan de Gama menghampiri pondok dari belakang dan ketika dia menyelinap dari balik pohon dan memandang ke samping pondok, dia menahan makiannya. Dia melihat seorang gadis cantik yang tadi dikenalnya sebagai pemimpin pasukan pemerintah, terbelenggu dengan rantai besi di tihang pondok, dan di dekat gadis itu bernyala api unggun yang makin lama makin mendekati sebungkus mesiu yang ditaruh di dekat kaki Si Gadis!

Gadis itu bukan lain adalah Souw Li Hwa! Bagaimana dia dapat terbelenggu di situ? Ketika dia meloncat ke dalam pondok mengejar Hendrik, pemuda asing yang cerdik itu telah meledakkan mesiu dengan pistolnya. Ledakan dahsyat itu secara aneh sekali tidak menewaskan Li Hwa, karena dia telah terlempar oleh hawa ledakan dan terbanting jatuh pingsan. Dalam keadaan pingsan ini, Hendrik yang kagum dan tergila-gila melihat kecantikannya, lalu menyambarnya dan memondongnya pergi ke dalam pondok sunyi itu.

Ketika dia siuman, Li Hwa mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan dengan kaki tangan terbelenggu dan dia melihat bekas lawannya, pemuda asing tadi, duduk di pinggir pembaringan sambil tersenyum-senyum.

“He, kau sudah sadar, manis?”

Sejenak Li Hwa bingung, kemudian dia teringat akan semua pengalamannya dan membentak,

“Anjing biadab! Hayo bunuh aku, atau lepaskan aku dan melanjutkan pertandingan kalau kau memang jantan!”

“Aihhh... mengapa begitu keras hati, manis? Aku cinta padamu, Nona. Kau begini cantik... rambutmu begini indah...”

Hendrik membelai rambut yang halus dan panjang itu. Li Hwa mengggerakkan kepalanya merenggutkan rambut.

“Dan matamu seperti sepasang bintang... kau cantik jelita... daripada bermusuh, bukankah lebih baik kalau kita bersahabat? Kau akan kubawa ke negeriku, sayang...”

“Phuhhh! Manusia biadab, lebih baik aku mati!” Li Hwa berteriak lagi.

“Wah, sayang kalau kau mati. Aku sungguh cinta padamu! Jangan kau berpura-pura, benarkah kau tidak suka kepadaku? Sudah banyak sekali wanita yang menyatakan cinta kepadaku, yang ingin menjadi kekasihku, akan tetapi engkau yang benar-benar menjatuhkan hatiku... eh, sayang, siapakah namamu?”






“Persetan dengan kamu!” Li Hwa memalingkan mukanya.

“Heran! Engkau bertambah manis kalau marah, tak tahan aku untuk tidak menciummu!”

Hendrik segera memeluk tubuh yang terbelenggu kaki tangannya itu dan bibirnya yang rakus itu mengecup bibir Li Hwa.

Li Hwa terbelalak, sejenak seperti akan pingsan mengalami hal yang sama sekali tidak diduganya dan yang belum pernah dialaminya biarpun dalam mimpi. Karena dia hendak memaki, mulutnya terbuka dan hal ini oleh Hendrik dianggap bahwa wanita itu membalas ciumannya, maka dia mencium makin ganas.

“Auuuughhh... aduuuhhh...”

Hendrik meloncat ke belakang dan mengaduh-aduh, bibir bawahnya pecah oleh gigitan Li Hwa tadi. Gadis yang saking ngeri dan muaknya tak dapat berbuat apa-apa untuk menyerang itu, telah menggigit bibir yang mengecup-ngecup mulutnya secara mengerikan!

Hendrik mengangkat tinjunya hendak memukul muka yang menantangnya dengan penuh keberanian itu. Biarpun maklum bahwa dia akan dipukul, mungkin dibunuh, Li Hwa memandang dengan mata tidak berkedip. Melihat sikap ini, memandang wajah yang cantik manis itu, Hendrik menjadi lemas dan menurunkan lagi kepalan tangannya.

“Bedebah! Setan betina! Hendak kulihat apakah engkau masih berkeras tidak mau melayani cintaku!”

Hendrik sudah benar-benar tergila-gila kepada Li Hwa. Kalau menghadapi wanita lain yang menolak cintanya, seperti biasanya, tentu dia akan menggunakan kekerasan, memperkosa gadis yang sudah terbelenggu itu.

Akan tetapi aneh sekali, dia merasa berat untuk melakukan hal ini terhadap Li Hwa. Dia tahu bahwa gadis perkasa ini merupakan seorang dara pilihan, dan alangkah akan senang hatinya kalau dia dapat memperolehnya dengan cara yang baik, dengan sukarela. Betapa akan bahagianya kalau gadis ini membalas cintanya, bukan menyerahkan diri karena terpaksa dan karena diperkosa.

Dipondongnya tubuh gadis itu keluar pondok, diletakkan dan dirantai pada tihang sebelah rumah. Kemudian dia membuat api unggun dan meletakkan sebungkus mesiu di dekat kaki Li Hwa yang terbelenggu.

“Kau lihat ini? Mesiu yang akan meledak begitu api itu menjalar sampai ke dekatnya. Kau lihat tadi. Rumah dan batu itu hancur oleh ledakan, dan kalau kau tidak menurut, bungkusan mesiu ini cukup untuk menghancurkan tubuhmu menjadi berkeping-keping. Kalau berubah pikiranmu, sebelum terlambat, kau terimalah pinanganku, Nona.”

“Huh, biarkan aku mati!”

“Baik, aku akan menanti di dalam. Kau berteriak saja panggil aku kalau pikiranmu berubah, kalau kau memilih bersenang-senang denganku dan hidup bahagia daripada mati dengan tubuh hancur oleh ledakan obat mesiu ini.”

“Jahanam kotor! Seribu kali lebih baik mati daripada menyerah kepadamu!” Li Hwa membentak.

Hendrik tersenyum akan tetapi menyeringai karena bibirnya yang digerakkan terasa perih. Diusapnya bibir yang pecah oleh gigitan dara tawanannya itu, kemudian dia bangkit dan membalikkan tubuh, melangkah lebar menuju ke pondok, menaiki anak tangga depan pondok dan lenyap ke dalam pondok itu.

Li Hwa ditinggalkan seorang diri dalam keadaan tidak berdaya. Rantai besi yang membelenggu kaki tangannya amat kuat, tidak dapat dipatahkannya dan dia pun tidak dapat mencegah api unggun yang bernyala makin besar, dan lidah api makin mendekati bungkusan mesiu di dekat kakinya.

Dalam keadaan seperti itulah gadis itu ketika Yuan de Gama menghampiri pondok dan melihatnya. Dengan hati-hati Yuan lalu menghampiri gadis itu. Li Hwa yang berpendengaran tajam tahu bahwa ada orang mendekatinya dari belakang. Dia menoleh dan melihat Yuan, dia mengira pemuda asing itu adalah Hendrik yang menawannya. Dalam pandangannya, orang-orang asing itu seperti sama semua! Maka dia lalu menghardik,

“Jangan harap aku mau menyerah, manusia hina! Bunuhlah kalau kau mau membunuhku...”

“Sssttt...!”

Melihat pemuda itu menaruh telunjuk di depan bibir dan mengeluarkan seruan tanda agar dia tidak mengeluarkan suara, Li Hwa terheran dan memandang lebih teliti kepada pemuda itu. Sekarang setelah sinar api unggun menerangi wajah itu, barulah dia sadar bahwa bukanlah pemuda asing yang tadi menawannya. Tubuh pemuda itu lebih jangkung, perutnya tidak gendut dan pada wajah yang tampan ini tidak terdapat sinar mata yang penuh nafsu. Tidak, bahkan sinar mata yang berwarna biru itu amat lembutnya, kini memandangnya dengan penuh iba.

“Nona, aku datang untuk menolongmu...” Pemuda itu berbisik dan berjongkok di belakangnya.

Namun, di dalam hati Li Hwa sudah terdapat bibit kebencian terhadap orang-orang asing. Pertama karena kenyataan bahwa orang-orang itu bersekutu dengan para pemberontak. Kedua kalinya, dia mengalami penghinaan dari Hendrik yang menawannya. Maka terhadap pemuda yang hendak menolongnya ini pun dia bersikap angkuh dan tidak bersahabat.

“Aku tidak minta pertolonganmu!”

Pemuda itu menghela napas panjang.
“Aku tahu, dan engkau memang seorang dara perkasa yang hebat, Nona. Seorang berjiwa panglima yang patut dihormati. Dan karena itulah maka aku harus menolongmu.”

Sambil berkata demikian, Yuan de Gama mulai berusaha membuka belenggu itu dari kedua tangan Li Hwa.

Karena gembok yang dipakai mematikan mata rantai belenggu itu cukup kuat, maka tidaklah mudah bagi Yuan untuk membukanya sehingga dia harus mengerahkan seluruh tenaganya.

“Mengapa kau menolongku?”

Melihat usaha pemuda itu, Li Hwa tak dapat menahan diri untuk tidak bertanya karena bukankah di antara mereka terdapat permusuhan?

“Aku kagum akan kegagahanmu, Nona. Dan aku muak melihat perbuatan Hendrik yang menyimpang dari tugasnya, hanya mementingkan kesenangan pribadi.”

Akhirnya, setelah lebih dahulu menjauhkan bungkusan mesiu dari api, Yuan de Gama berhasil melepaskan belenggu pada kaki dan tangan Li Hwa. Gadis itu melompat berdiri, akan tetapi karena kepalanya masih nanar oleh hantaman ledakan tadi, dan kakinya juga kaku karena lama dibelenggu, dia terhuyung dan tentu terguling kalau tidak cepat-cepat dia dipeluk oleh Yuan de Gama.

“Lepaskan aku!” Li Hwa meronta. “Apa kau kira setelah menolongku, kau boleh memangku sesuka hatimu?”

Yuan cepat melepaskan pelukannya dan melangkah mundur, alisnya berkerut dan pandang matanya tajam menusuk.

“Nona, harap jangan menyamaratakan orang begitu saja. Kalau tidak melihat engkau hendak jatuh, tentu aku tidak berani menyentuhmu.”

Sejenak mereka berpandangan dan Li Hwa menunduk, kedua pipinya menjadi merah. Dia tahu bahwa betapa sikapnya tadi memang amat buruk. Akan tetapi, bukankah pemuda asing ini juga musuhnya? Musuh negaranya? Ingatan itu mengeraskan hatinya dan dia mendengus, melempar muka ke samping, membalikkan tubuh lalu melangkah hendak pergi.

“Tahan dulu, Nona...!” Yuan de Gama cepat mengejar. “Nona, kau masih amat lelah dan pasukanmu telah melarikan diri keluar dari tempat ini. Kalau kau pergi begitu saja, tentu kau akan tertangkap kembali. Di mana-mana terdapat penjaga...”

“Haiii... Nona yang manis, apakah engkau belum merobah pikiranmu?” Tiba-tiba terdengar teriakan Hendrik dari dalam pondok.

Yuan de Gama terkejut, cepat ia menyambar tangan Li Hwa dan berkata,
“Mari ikut dengan aku. Cepat...!”

Kini mengertilah Li Hwa bahwa pemuda ini benar-benar hendak menolongnya dan agaknya tidak mempunyai niat buruk di balik itu, maka dia membiarkan dirinya ditarik dan dibawa pergi menyelinap di antara pohon-pohon dan kegelapan malam sampai mereka berada jauh dari pondok terpencil itu.

Akan tetapi kembali mereka terpaksa harus berhenti dan bersembunyi di balik pohon-pohon ketika mereka melihat belasan orang perajurit meronda tak jauh dari situ. Setelah para peronda itu lewat, Yuan berbisik,

“Nona sungguh berbahaya untukmu keluar dari perkampungan ini. Ketahuilah, setelah terjadi perang siang tadi, seluruh perkampungan diadakan perondaan dan sekitar perkampungan dijaga ketat. Dan malam ini juga engkau harus dapat lolos dari sini, karena kalau sampai besok engkau tak dapat keluar, tentu tidak mungkin lagi menyembunyikan diri.”

“Aku tidak takut! Aku akan melawan sampai titik darah terakhir!”

Yuan memandang kagum sekali sungguhpun wajah dara itu tidak kelihatan jelas di dalam gelap,

“Selama aku hidup, baru sekarang aku bertemu dengan seorang wanita gagah seperti engkau, Nona. Banyak sudah kubaca dalam kitab tentang pendekar-pendekar wanita yang gagah perkasa di negerimu yang aneh ini, akan tetapi aku masih belum percaya. Sekarang baru aku percaya, dan aku kagum sekali kepadamu, aku harus menolongmu keluar dari tempat ini, malam ini juga.”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: