*

*

Ads

FB

Selasa, 25 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 085

“Tapi... tapi... kau telah menciumku!”

Kun Liong tersenyum pahit. Persis seperti Hwi Sian! Seperti inikah anggapan semua wanita yang menentukan bahwa ciuman adalah tanda cinta? Apakah orang yang hanya suka, tanpa cinta yang dimaksudkan itu, tidak boleh mencium? Biarpun yang mencium dan yang dicium sama-sama rela dan suka?

“Bi Kiok, aku suka padamu, dan aku suka menciummu, terutama sekali kedua matamu yang amat indah. Matamu luar biasa sekali, Bi Kiok, seolah-olah aku melihat telaga bening yang amat dalam di situ, seolah-olah aku melihat angkasa biru cerah yang amat tinggi... dan aku melihat keindahan terkandung di dalamnya. Aku suka menciummu, apakah hal ini harus kujadikan alasan membohong bahwa aku cinta kepadamu?”

“Kun Liong...!” Bi Kiok merintih dan dua titik air mata mengalir turun dari matanya.

“Bi Kiok, jangan menangis...!” Kun Liong meraih kepala itu, didekapnya dan kembali dia mencium kedua mata itu, mengisap dua butir air mata yang menetes di pipi. “Aku tidak bisa melihat kau menangis. Maafkan aku kalau aku menyakiti hatimu. Aku lebih suka berterus terang daripada membohongimu.”

Bi Kiok merenggutkan kepalanya, menggeser duduknya agak menjauh, kemudian menarik napas panjang sambil menatap wajah Kun Liong.

“Aku mengerti... dan aku menerima nasib. Mungkin aku cinta kepadamu, mungkin juga tidak. Kau lebih tegas dan jujur. Adapun tentang cium tadi... kau tidak bersalah karena aku pun senang menerimanya, dan...”

“Ssssttt...!”

Kini Kun Liong yang menaruh telunjuk di depan mulutnya. Kini dia yang merasa khawatir kalau-kalau Bi Kiok akan celaka karena dia. Tidak boleh hal ini terjadi. Seribu kali tidak boleh! Kalau seorang di antara dua datuk itu, atau keduanya menemukan mereka, dia akan melindungi Bi Kiok. Kalau perlu dia akan melawan mereka untuk menyelamatkan Bi Kiok.

Akan tetapi yang terdengar adalah suara derap kaki kuda dan ringkik banyak kuda. Suara kaki kuda itu berhenti di depan guha dan terdengarlah bentakan nyaring seorang wanita, jelas bukan suara Bu Leng Ci,

“Pemberontak yang berada di dalam guha! Keluarlah!”

“Ssst...!” Kembali Kun Liong memberi isyarat kepada Bi Kiok untuk tidak bergerak.

“Hayo keluar, kalau tidak kami akan membakar dan mengasapi kamu! Kami sudah tahu bahwa kau berada di dalam guha, ada tapak tangan kakimu di luar!” Kembali suara wanita yang nyaring itu membentak dari luar guha.

“Bi Kiok, biarkan aku keluar. Kau bersembunyi di sini saja, setelah aman kau keluar dan kalau bertemu subomu, bilang saja bahwa kau tidak melihatku atau kau karang cerita lain.”






Bi Kiok menggeleng kepala dan kembali dua titik air matanya menetes. Kun Liong cepat mencium kembali kedua mata itu, lalu berseru keras sambil melangkah keluar.

“Jangan bakar! Aku keluar dan tidak akan melawan!”

Ketika dia tiba di depan guha, Kun Liong melihat banyak sekali tentara pemerintah, memenuhi tempat itu kelihatan gagah, menunggang kuda pilihan dan di belakang masih tampak pasukan berjalan kaki.

Yang berada di depan guha agaknya adalah perwira-perwiranya, akan tetapi semua itu tidak menarik perhatiannya karena segera matanya melekat pada tubuh seorang gadis cantik jelita dan gagah perkasa yang duduk di atas seekor kuda besar, berpakaian indah dan gagah sekali.

Gadis itu takkan lebih dari sembilan belas tahun usianya, tubuhnya ramping dan padat dan jelas mengandung isi tenaga yang kuat. Pakaiannya adalah pakaian seorang pendekar wanita, seorang perantau dan petualang wanita yang membumbui kejelitaannya dengan kegagahan yang membuat orang menjadi segan.

Kedua pergelangan tangannya dilindungi oleh pelindung dari kulit dengan tombol-tombol besi. Mantel berwarna merah jingga membuat bajunya yang kuning tampak gemilang. Rambutnya digelung ke atas, tinggi, dengan hiasan untaian mutiara. Wajah dara ini amat jelita, dan bagi Kun Liong, begitu memandang segera saja dia terpesona oleh kecantikan itu, terutama sekali oleh bentuk dagu yang meruncing dan agak menjulur ke depan seperti menantang, dan leher yang panjang berkulit putih kuning itu.

Ketika dara itu melihat munculnya Kun Liong, dia segera memerintah para perwira yang berada di dekatnya,

“Tangkap dan belenggu dia!”

“Wah, wah, nanti dulu Nona yang cantik jelita! Apa salahku...?”

Sepasang mata dara yang gagah itu terbelalak, terheran-heran mendangar suara dan ucapan Kun Liong yang penuh keberanian itu, kemudian pandang matanya berhenti pada kepalanya yang gundul.

“Jadi engkaukah ini...?”

Dia menegur, alisnya berkerut dan dagunya makin ke depan. Manis bukan main bagi Kun Liong!

“Engkau Kun Liong!”

Kun Liong melebarkan matanya yang sudah besar, alisnya yang tebal berbentuk golok itu bergerak-gerak, otak di dalam kepala gundulnya mengingat-ingat, akan tetapi tetap saja dia tidak dapat mengenal nona yang dagu dan lehernya membuat dia terpesona itu.

“Nona... siapakah...?”

Dara itu merengut.
“Huhh! Sungguh memalukan! Yang tidak berubah hanya kepala gundulmu akan tetapi watakmu sudah berubah seperti bumi dengan langit. Betapa akan malu dan menyesalnya hati Bun Hoat Tosu kalau melihat bahwa pemuda yang diaku murid itu ternyata sekarang telah gulung-gulung dengan segala macam pemberontak dan orang jahat!”

“Eh-eh-eh, nanti dulu, Nona! Enak saja memaki-maki orang!”

“Kau terlihat sebagai sahabat seorang seperti Toat-beng Hoat-su, melakukan perjalanan bersama. Masih hendak kau sangkalkah itu?”

“Memang benar, akan tetapi bukan sahabat. Aku hanya hendak mengantarkannya ke tempat bokor... ehh...”

Kun Liong terkejut. Sikap gadis itu membuat dia penasaran dan marah sehingga dalam memberikan keterangan untuk membela diri, dia sampai lupa dan menyebut-nyebut tentang bokor.

Gadis itu dan para perwira jelas kelihatan terkejut mendangar ini.
“Tangkap dia!” Gadis itu membentak.

Para perwira segera melompat turun dari kuda dan ada lima perwira mengulur tangan mencengkeram pundak dan lengan Kun Liong, seorang yang membawa tali kuat segera mengikat kedua lengan pemuda itu. Akan tetapi Kun Liong membentak,

“Mundurlah kalian!”

Sekali dia menggerakkan kedua lengan, tali itu putus dan lima orang itu terjengkang ke belakang!

“Hemmm, Yap Kun Liong! Kau hendak melawan pasukan pemerintah? Pemberontak rendah!”

“Aku bukan pemberontak dan aku tidak melawan siapa-siapa. Kalau kau betul-betul hendak menawan aku, katakan sebab-sebabnya dan apa kesalanku!”

“Pertama, kau bergaul dengan datuk kaum sesat, berarti kau tentu anak buahnya dan karena kaum sesat menjadi pemberontak, kau pun kucurigai menjadi pemberontak. Kedua, kau mengaku sendiri bahwa kau hendak menunjukkan tempat penyimpanan bokor emas milik Suhu, maka kau harus kutangkap, selain untuk menunjukkan tempat bokor, juga untuk diadili sebagai seorang pembantu pemberontak!”

“Apa...? Bokor emas milik... suhumu...? Aihhh, sekarang aku ingat! Kau adalah anak perempuan yang berani dahulu itu, murid Panglima Besar The Hoo! Kau... kau Souw Li Hwa!”

Gadis itu mencibirkan bibir yang kecil mungil dan di dagunya timbul lesung pipit. Manis sekali!

“Kalau sudah tahu, apakah engkau masih juga hendak melawan?”

“Wah, untungku...! Aku tidak akan melawan, akan tetapi karena engkau yang hendak menangkap aku, harus engkau sendiri pula yang membelengguku. Kalau orang lain, aku tidak mau!”

“Kurang ajar! Hayo, tangkap dia!”

Dia itu memang benar adalah Souw Li Hwa, murid Panglima Besar The Hoo yang kini telah menjadi seorang dara dewasa yang amat lihai. Dia mendapat tugas dari suhunya untuk membantu pemerintah, mengawal sepasukan tentara ikut mengepung para pemberontak yang menurut suhunya berpangkal di Ceng-to dan di sepanjang Sungai Huang-ho dekat muara.

Mendengar perintah nona itu, sepuluh orang tentara dan perwira meloncat turun dari atas kuda masing-masing dan menubruk maju. Akan tetapi berturut-turut sepuluh orang ini terlempar dan Kun Liong masih berdiri tegak di depan guha sambil tersenyum memandang kepada Souw Li Hwa!

Para perwira marah sekali. Seorang perwira tinggi besar yang brewok, sudah menggerakkan goloknya membacok kepala pemuda itu.

“Heii, jangan...!”

Li Hwa terkejut dan membentak ketika melihat betapa pemuda berkepala gundul itu tidak mengelak dan dia melihat betapa golok besar yang tajam berkilau itu menyambar ke arah kepala itu. Namun terlambat seruannya, karena golok itu sudah menyambar, tepat mengenai kepala Kun Liong yang sama sekali tidak bergerak dari tempatnya.

“Krookk!”

Perwira brewok tinggi besar itu melongo memandang goloknya yang telah rompal seolah-olah tadi telah dipakai membacok sebuah bola baja! Tangan Kun Liong mendekap mukanya yang melongo itu dan sekali Kun Liong mendorong, perwira itu terjengkang ke belakang!

“Mundur semua!”

Li Hwa membentak marah bukan main akan tetapi diam-diam dia terkejut juga menyaksikan kelihaian kepala gundul itu. Semua perwira sudah marah dan mencabut senjatanya terpaksa mundur lagi mendangar bentakan Li Hwa dan mereka hanya mengurung dan memandang dengan marah.

Li Hwa meloncat turun dari udara, tangan kanan meraba gagang pedang dan dia menghampiri Kun Liong. Sambil tersenyum Kun Liong merangkap kedua tangannya dan menjulurkan kedua lengan itu ke depan, ke arah Li Hwa!

“Kenapa kalau kepadaku kau tidak melawan, dan kepada orang lain melawan?” Li Hwa tidak dapat menahan keinginan tahunya, bertanya.

“Banyak sebabnya,” kata Kun Liong dan diam-diam merasa bersyukur bahwa Bi Kiok yang berada di dalam guha tidak mengeluarkan suara. “Pertama, karena kita sudah saling mengenal, ke dua karena agaknya aku tidak tega menolak permintaan seorang gadis cantik, dan ke tiga, aku hendak membuktikan bahwa semua tuduhanmu itu kosong.”

“Bawa tali ke sini!” Li Hwa memerintah.

Seorang perwira datang berlari membawa sehelai tali panjang yang kuat! Dengan gerakan cepat Li Hwa membelenggu kedua pergelangan tangan Kun Liong.

“Bawa seekor kuda ke sini!” Kembali dia memerintah.

Setelah seekor kuda dituntun dekat dia berkata kepada Kun Liong,
“Sekarang kau naiklah ke kuda ini.”

“Wah, terima kasih. Seperti tamu agung saja, disediakan kuda untukku!” Kun Liong tersenyum sambil memandang dagu yang manis itu.

“Cerewet kau! Sekarang engkau menjadi tawananku, tahu?”

Li Hwa menggunakan sisa tali untuk mengikat kedua kaki Kun Liong yang berada di kanan kiri perut kuda, kemudian sisanya dia ikatkan di leher pemuda itu, agak kendur lalu melempar ujung tali ke arah perwira brewok yang tadi membacok kepala Kun Liong.

“Kwan-ciangkun, kau tuntun dia!” katanya.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: