*

*

Ads

FB

Senin, 24 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 083

“Toat-beng Hoat-su, engkau adalah datuk nomor satu yang terkenal, bahkan Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang memiliki ilmu kepandaian dahsyat itu pun sama sekali bukan tandinganmu. Akan tetapi, mengapa kau sekarang membawaku dengan kedua tanganku terbelenggu?”

Akhirnya Kun Liong tidak mampu menahan diri untuk berdiam lagi karena melakukan perjalanan ada kawannya akan tetapi bersunyi seperti ini amat melelahkan tubuh dan mengesalkan hati.

Kakek itu melirik kepadanya, akan tetapi tidak menjawab, dan mempercepat langkahnya. Terpaksa Kun Liong juga mempercepat langkahnya, karena dia tidak mau ditampar lagi kepalanya seperti kemarin dulu ketika dia mogok berjalan, kepalanya ditampar dua kali. Tamparan itu tidak terlalu menyakitkan, akan tetapi batinnya yang sakit. Apalagi kalau dia mengingat betapa kepalanya itu pernah diciumi oleh seorang gadis! Kepalanya amat berharga, tentu dia tidak rela kalau sekarang dijadikan sasaran tamparan!

“Toat-beng Hoat-su,” katanya lagi degan nekat, “Engkau mengingatkan aku akan Kongkongku (Kakekku).”

Kembali kakek itu melirik tanpa menjawab.

“Aku tidak pernah mengenal kakekku, baik kakek dalam (ayah dari ayah) atau kakek luar (ayah dari ibu), akan tetapi kalau mereka itu masih hidup, tentu setua engkau. Berjalan denganmu, aku merasa seperti berjalan dengan seorang kakekku.”

Karena Toat-beng Hoat-su sama sekali tidak menjawab, akan tetapi kelihatannya memperhatikan, Kun Liong bertanya lagi,

“Apakah engkau tidak mempunyai cucu? Anak? Atau keluarga seorang pun? Apakah engkau hidup seorang diri, sebatang kara di dunia yang ramai penuh manusia ini?”

Tiba-tiba kakek itu berhenti dan membalikkan tubuh memandang Kun Liong. Pemuda itu siap untuk mengelak dan akan melawan kalau dia ditampar lagi. Biarpun kedua pergelangannya dibelenggu menjadi satu, akan tetapi kalau hanya untuk membela diri saja dia masih sanggup. Adanya dia tidak lari dan tidak menyerang kakek itu karena memang dia sudah berjanji membawa kakek itu ke tempat dia menyimpan bokor!

“Duduk!” Kakek itu berkata dengan nada memerintah.

Kun Liong mengangkat kedua alisnya, menggerakkan pundak dan duduk di atas sebuah batu besar. Kakek itu pun duduk di depannya, menghapus peluh karena hari amat panas, kemudian berkata,

“Kau ingin sekali mendangar riwayatku? Nah, dangarlah baik-baik.”

Dengan suara lambat dan parau berceritalah kakek itu,
“Dahulu aku pun seorang yang mempunyai nama, mempunyai tiga orang anak, seorang isteri yang tercinta, hidup terhormat sebagai seorang pedagang ikan di sebuah kota nelayan di tepi Sungai Huang-ho. Kepandaian silatku, biarpun tidak amat tinggi, membuat aku sekeluarga hidup aman tenteram. Akan tetapi, banjir besar melanda kotaku, dan aku kehilangan semua keluargaku! Aku melihat dengan mata kepala sendiri betapa tiga orang anak-anakku dan isteriku dihanyutkan air, dihempaskan, aku mendangar mereka menjerit-jerit minta tolong, melihat mereka mengangkat tangan hendak meraihku. Akan tetapi aku sendiri tidak berdaya sama sekali menghadapi kekuatan air bah yang dahsyat. Aku kehilangan segala-galanya. Kehilangan kebahagiaanku, yang lenyap bersama hilangnya keluarga dan seluruh milikku. Aku kehilangan pula kepercayaan kepada Thian, kepada keadilan, dan aku dalam usia tiga puluh tahun menjadi gila. Aku merantau sampai ke luar negeri, mempelajari berbagai ilmu, dan aku membenci semua manusia.”






Kun Liong mendangarkan dengan mata terbelalak. Timbul rasa iba di dalam hatinya terhadap kakek tua renta ini.

“Akan tetapi, Locianpwe, mengapa membenci semua manusia? Tidak ada seorang pun manusia bersalah dalam malapetaka yang menghancurkan kebahagiaanmu itu. Yang bersalah adalah air banjir, mengapa kau membenci manusia?”

“Habis, apakah aku harus membenci dan membasmi air banjir? Mana aku bisa melawan alam? Aku benci setiap manusia, membenci kebahagiaan mereka, membenci keadaan mereka. Aku membenci mereka tanpa pilih bulu, seperti bencinya air banjir kepada manusia, siapa pun diterjangnya. Maka siapa pun yang menghalang di depanku, kuterjang dan kubunuh!”

Kun Liong bergidik. Jelas bahwa malapetaka itu telah merusak jiwa orang ini, membuatnya menjadi gila dan sampai sekarang pun masih gila, biarpun ilmu kepandaiannya sama sekali tidak boleh dipandang ringan.

“Jadi kau juga benci kepadaku, Locianpwe?”

“Kau juga manusia!”

“Karena bencimu itukah maka kedua tanganku kau belenggu?”

“Hemmm, ketika malam itu kau menangkisku, kau memiliki kepandaian lumayan. Kalau kulepaskan belenggu, tentu kau membikin repot aku, tentu kau hendak melarikan diri sehingga aku harus lebih memperhatikanmu. Aku tidak mau repot!”

Kun Liong bangkit berdiri dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak penuh kemarahan.

“Locianpwe, kau menganggap aku ini orang macam apa? Aku sudah berjanji membawamu ke tempat bokor yang kusembunyikan, dan kau sudah membebaskan Bi Kiok. Lebih baik mati bagiku daripada melanggar janjiku. Mengerti? Sekarang tak peduli kau membelenggu aku atau tidak, mau membunuh aku atau tidak, bagiku sama saja karena ternyata engkau seorang yang tidak mengenal artinya kemurnian sebuah janji!”

Kakek itu memandang penuh heran, lalu menggeleng-geleng kepalanya.
“Kau memang aneh, orang muda yang aneh sekali, aneh dan berbahaya. Kalau sudah selesai urusan bokor ini, aku harus membunuhmu!”

Kun Liong menggerakkan hidungnya.
“Huh, kau kira begitu mudah, Toat-beng Hoat-su? Biarpun kedua tanganku terbelenggu, belum tentu kau akan dapat membunuhku dengan mudah saja!”

Kembali kakek itu terbelalak dan tangan kanannya sudah bergerak hendak menampar. Akan tetapi melihat pemuda itu berdiri tegak memandangnya dengan sepasang mata tak berkedip, dengan sikap menantang, dia menurunkan kembali tangannya dan menggeleng-geleng kepalanya.

“Aneh...! Luar biasa...! Biar disambar geledek aku kalau pernah bertemu dengan orang muda seperti engkau!”

“Dan aku pun belum pernah melihat seorang kakek yang amat patut dikasihani seperti engkau! Kedukaan membuat kau menjadi gila dan jahat, masih engkau murka akan harta benda ingin memperebutkan bokor. Hemm, kau lupa diri, lupa usia, untuk apakah semua kepandaianmu, nama besarmu, dan segala macam pusaka? Tentu takkan dapat mencegah kematian karena usia tua!”

“Cerewet, hayo jalan lagi!”

Mereka berjalan lagi tanpa berkata-kata dan Kun Liong terbenam dalam lamunan. Percakapan tadi amat berguna baginya, membuka matanya melihat sesuatu yang ganjil dalam hidup manusia. Mengapa manusia menderita begitu hebat setelah ditinggal oleh semua miliknya, keluarganya, dan semua yang dicintanya di dunia ini? Demikian hebat deritanya sampai gila seperti kakek ini, dan lebih celaka lagi, kegilaan karena duka kehilangan itu membuatnya menjadi jahat, pembenci manusia dan menjadikannya datuk nomor satu di dunia?

Dia juga sebatang kara. Andaikata dia benar-benar kehilangan ayah bundanya, kehilangan segala-galanya, apakah dia pun akan merasa demikian berduka dan menderita seperti kakek ini? Mengapa mesti demikian? Jelas sekarang tampak olehnya bahwa ketergantungan akan sesuatu, menimbulkan derita kalau sesuatu itu direnggutkan darinya.

Dalam hidup, tidak boleh mengikatkan diri kepada sesuatu, baik itu orang lain berupa orang tua, keluarga, kekasih dan lain-lain maupun kepada benda, nama, kedudukan dan lain-lain. Karena mengikatkan diri berarti membiarkan sesuatu itu, keluarga, benda, dan lain-lain, berakar di dalam dirinya. Dan apabila tiba saatnya setuatu yang berakar itu tercabut, akar itu akan menimbulkan kerusakan dan penderitaan! Jelas!

Mengapa sampai kita terikat oleh sesuatu? Karena kesenangan! Keluarga kita, harta benda kita, nama baik dan kedudukan, kemuliaan kita, semua mendatangkan kesenangan, kenikmatan, kepuasan dan kita ingin agar semua itu tetap kekal bersama dengan kita! Karena itu kita mengikatkan diri jiwa raga kepada semua yang menimbulkan kesenangan kita, baik jasmaniah maupun batiniah.

Dan sekali terikat, sekali yang kita senangi itu berakar di hati, apabila tiba saatnya dipisahkan dari kita, dan ini pasti terjadi karena tiada yang kekal dalam setiap keadaan, selalu berubah, maka perpisahan itu akan menimbulkan penderitaan karena yang direnggutkan itu menimbulkan luka-luka di hati!

Lalu apa yang harus kita lakukan? Kalau kita melakukan sesuatu untuk membebaskan diri dari ikatan, berarti kita tidak akan bebas karena tindakan itu merupakan paksaan, merupakan perbuatan pura-pura dan munafik.

Akan tetapi kalau persoalan derita yang timbul karena ikatan ini kita sadari benar-benar, kita mengerti pokok pangkalnya, pengertian ini sendiri akan bertindak membebaskan kita. Bukankah demikian?

Pada suatu pagi, mereka tiba di daerah Sungai Huang-ho yang merupakan daerah tandus penuh dengan pasir. Pasir-pasir ini tadinya terbawa oleh air banjir, dan karena banyaknya dan seringnya, membuat lembah sungai itu seperti sebuah padang pasir yang tandus! Selagi mereka berdua berjalan dengan kepala tunduk, menuju ke utara, ke arah Sungai Huang-ho untuk melanjutkan perjalanan dengan perahu seperti yang diusulkan Kun Liong karena dia hanya akan dapat mengenal tempat itu kalau melakukan perjalanan dengan perahu, tiba-tiba di tempat sunyi itu muncul Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci dan Giok-hong-cu Yo Bi Kiok.

Kakek tua itu menyeringai dan mengejek,
"Wah, nyawamu ulet juga!"

"Toat-Beng Hoat-su," Bu Leng Ci membentak sambil mencabut samurainya. Ternyata wanita ini sudah sembuh sama sekali, pikir Kun Liong yang menonton dengan hati tertarik. "Bocah ini akulah yang menemukannya. Bagaimana mungkin aku membiarkan engkau membawanya pergi begitu saja? Serahkan dia kepadaku!"

"Heh-heh, kalau tidak kuberikan?"

"Aku akan memaksamu dengan samuraiku!"

"Hemm, boleh coba!" kata kakek itu sambil melepaskan kancing-kancing jubahnya yang berarti bahwa dia telah siap dengan "senjatanya".

Bu Leng Ci cepat menggerakkan samurainya dan dua orang datuk ini sudah bertanding dengan hebat dan dahsyatnya. Sekarang barulah Bu Leng Ci dapat mengadakan perlawanan setelah luka dalam di tubuhnya sembuh dan ternyata oleh kakek itu bahwa kepandaian wanita ini benar-benar dahsyat, pantas menjadi saingannya dalam kedudukannya sebagai datuk.

Bu Leng Ci sekarang benar-benar mengeluarkan kepandaiannya, dan serangannya tidak hanya terbatas pada pedang samurainya, akan tetapi juga dibantu oleh sambaran rambutnya dan kadang-kadang tangan kirinya menyambitkan Siang-tok-soa, pasir berwarna hijau yang berbau harum akan tetapi mengandung racun jahat itu!

"Kun Liong, mari lari bersamaku!" Bi Kiok meloncat dekat Kun Liong.

Kun Liong berseru kepada kakek yang tengah bertanding itu.
"Toat-beng Hoat-su, karena keadaan, terpaksa kita berpisah di sini! Bukan berarti aku melanggar janji!"

"Kalau begitu mampuslah!"

Ketika itu, Bi Kiok sudah menarik lengan Kun Liong dan tiba-tiba tubuh kakek itu menerjang Bu Leng Ci dan langsung meloncat tinggi ke atas ketika lawannya mundur oleh terjangan jubah yang dahsyat itu, kemudian dari atas dia melayang ke arah Bi Kiok.

"Desss! Desss!"

Bi Kiok terhuyung oleh angin sambaran jubah, akan tetapi jubah itu membalik ketika Kun Liong mengangkat kedua lengannya yang terbelengu itu untuk menangkis.

Bu Leng Ci sudah menyerangnya lagi dengan hebat, memaksa Toat-beng Hoat-su melayaninya sedangkan Bi Kiok sudah menggandang tangan Kun Liong dan mereka berdua lari dari situ ke arah yang ditunjukkan oleh gadis itu. Kun Liong hanya menurut saja. Mereka lari ke pantai Huang-ho, daerah yang berbatu karang, kemudian Bi Kiok membawanya masuk ke sebuah guha di antara batu-batu karang.

“Kita menanti di sini...”

Gadis itu berbisik sambil terengah-engah. Hatinya masih tegang karena tadi hampir saja dia celaka oleh jubah Toat-beng Hoat-su, kalau Kun Liong tidak menangkis jubah itu.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: