Kun Liong terkejut mendangar ini dan cepat menyerahkan dayung. Ketika menerima dayung, tiba-tiba jari tangan wanita itu bergerak menotok jalan darah di bawah pangkal lengan Kun Liong. Pemuda ini kaget akan tetapi pura-pura tidak tahu.
Wanita itu hampir menjerit ketika ujung jari tangannya bertemu dangan ketiak yang berbulu dan totokannya tepat sekali, tetapi pemuda gundul itu tidak apa-apa! Dayung sudah diambil dan tiba-tiba dia membalikkan dayung, gagangnya dipergunakan untuk menghantam kepala yang gundul itu. Kun Liong mengangkat lengan ke atas, menangkis.
“Krakkk!” Ujung dayung itu patah!
“Ihhhh...!!” Wanita itu berseru kaget lalu tiba-tiba dia meloncat ke air membawa dayungnya.
“Eihhh. Toanio, kau mengapa...?”
Kun Liong berseru kaget. Akan tetapi tiba-tiba perahu itu terbalik dan tentu saja tubuhnya juga ikut terlempar ke dalam air. Dia masih dapat melihat betapa tiga orang wanita di pantai itu mendayung sebuah perahu yang meluncur cepat sekali.
“Byuurrr...!”
Kun Liong gelagapan, menahan napas dan cepat menggerakkan kaki tangan untuk berenang. Dia bukan seorang ahli, akan tetapi kalau hanya berenang sekedar mencegah tubuhnya tenggelam saja, dia bisa. Akan tetapi tiba-tiba kakinya dipegang orang, dan tubuhnya diseret ke bawah.
“Ahhhauuupppp!”
Dia lupa dan hendak berteriak, tentu saja air telaga membanjiri mulutnya dan terus mengalir ke perutnya! Dia menggerakkan kakinya dan berhasil membebaskan kakinya yang terpegang dari bawah. Tubuhnya meluncur ke atas setelah dia menjejak dasar telaga. Baru saja kepalanya yang gundul tersembul di atas permukaan air dan dia mengambil napas, tiba-tiba kedua kakinya terlibat sesuatu dan dia ditarik lagi ke bawah!
Biarpun dia meronta-ronta, tetap saja kedua kakinya tidak dapat terlepas dari libatan sehelai tali yang kuat. Kun Liong menjadi panik. Dia menahan napas, akan tetapi lama-lama dia terpaksa harus minum air juga dan ketika tubuhnya terasa lemas, dadanya seperti hendak meledak dan kepalanya pening, dia merasa betapa ada banyak tangan memeganginya, dan betapa kedua tangannya juga diikat kuat-kuat, kemudian tubuhnya diseret.
Dangan perut kembung penuh air dan setengah pingsan, napas terengah-engah hampir putus, Kun Liong masih dapat melihat dirinya diseret keluar dari telaga dan ke daratan pulau. Yang menyeretnya adalah seorang wanita yang cantik juga, dan di belakangnya masih ada tiga orang wanita lagi, yang seorang adalah wanita yang membawanya tadi, kini berdiri di atas perahu memegang dayung yang sudah patah gagangnya, sedang yang dua orang wanita lagi tadinya berenang dan kini sudah mendarat sambil tertawa-tawa dan bersendau-gurau.
“Hi-hi-hik, sekali ini pancinganmu berhasil, Adik Biauw! Kau mendapat seekor ikan yang gemuk!” Seorang di antara mereka berkata kepada wanita yang menyeret Kun Liong.
“Bukan dapat mengail, akan tetapi Enci Kun yang mendapat dari pasar!”
“Wah, ikan apa ini kepalanya gundul dan bersih sekali tidak ada rambutnya selembar pun!”
“Malah enak, tinggal mengupas kulitnya saja, tentu gurih. Hi-hi-hik!”
“Sayang Pangcu benci laki-laki, tentu dia dibunuh.”
Wanita yang menyeret berkata,
“Aku akan mohon kepada Pangcu, sebelum dibunuh biar dia tidur bersamaku satu malam!”
“Enaknya! Apa kau lupa kepadaku, Adik Biauw? Aku yang menemukannya, tahu?”
“Sudah jangan ribut, itu Enci Siu datang, biar kita minta Pangcu agar dia diberikan kepada kita berlima sampai dia mati kehabisan.”
“Kehabisan apa?”
“Ih, tanya-tanya. Seperti tidak tahu saja. Hi-hi-hik!”
Mereka berlima tertawa-tawa. Kun Liong yang setengah pingsan masih dapat mendengar percakapan mereka tadi dan dia benar-benar merasa kecelik dan tertipu oleh sikap wanita tadi! Kiranya mereka ini tiada ubahnya seperti serombongan siluman seperti yang terdapat dalam dongeng. Cantik-cantik, genit-genit, cabul dan kejam!
Ketika tubuhnya diseret tiba di bawah sebatang pohon, wanita cantik yang bernama Biauw tadi tiba-tiba menggerakkan tangannya dan tubuh Kun Liong terlempar naik melalui sebatang dahan pohon dan tentu saja tubuhnya tergantung dengan kepala di bawah!
Wanita pelayan pertama yang namanya disebut Kun tadi meloncat, menggerakkan tangan memukul perut Kun Liong. Tak dapat ditahan lagi Kun Liong muntahkan air yang membanjir keluar dari dalam perutnya melalui mulut dan hidung. Kemudian dia ditotok pingsan dan sama sekali tidak dapat melawan karena tubuhnya terasa lemas semua dan oleh lima orang pelayan itu dia dilemparkan ke dalam kamar tahanan!
Lima orang wanita itu memang pelayan-pelayan dari Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio sendiri! Pada waktu itu, Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio tidak berada di pulau dan lima orang pelayan ini memiliki kekuasaan yang besar juga sehingga para anggauta dan para murid Kwi-eng pang tidak ada yang berani turut campur ketika melihat mereka itu menangkap Kun Liong.
Murid-murid kepala dari Si Bayangan Hantu Ang Hwi Nio ada belasan orang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Tentu saja kedudukan mereka lebih tinggi daripada lima orang pelayan itu, akan tetapi karena lima orang itu adalah kepercayaan subo mereka, apalagi mereka berlima itu adalah orang-orang dalam, mereka pun hanya bertanya.
Ketika mendengar bahwa Si Gundul itu katanya hendak bertemu dan sikapnya mencurigakan, mereka membenarkan tindakan lima orang pelayan itu dan memutuskan bahwa pemuda itu ditahan sampai ketua mereka pulang.
Akan tetapi, mereka tidak tahu bahwa peristiwa itu menarik perhatian seorang gadis yang mereka segani, yaitu Yo Bi Kiok, murid Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang tinggal di pulau kecil! Yo Bi Kiok kini telah menjadi seorang dara yang cantik sekali akan tetapi sikapnya pendiam dan dingin, dan ilmu kepandaiannya tinggi.
Memang dara ini memiliki bakat yang amat baik sehingga Bu Leng Ci yang merasa sayang kepadanya telah menggemblengnya sampai tingkat kepandaian gadis itu tidak berselisih banyak dari tingkat gurunya, dan tentu saja jauh lebih lihai daripada murid-murid kepala Si Bayangan Hantu.
Bagi penghuni Pulau Telaga Setan itu, dara ini lebih dikenal dengan julukannya, yaitu Giok-hong-cu (Burung Hong Kemala) yang diambil dari mainan burung hong dari kemala yang dahulu dia terima sebagai hadiah dari Si Bayangan Hantu dan yang selalu dipakai di rambutnya.
Ketika Yo Bi Kiok atau Giok-hong-cu mendengar bahwa para pelayan Si Bayangan Hantu berhasil menawan seorang laki-laki gundul yang bukan hwesio, yang didengarnya dari para anak murid Kwi-eng-pang perempuan, dia merasa tertarik sekali. Maka dia lalu menemui lima pelayan itu dan menyatakan keinginannya untuk melihat Si Tawanan dari lubang rahasia.
“Hi-hi-hik, mau apa kau melihatnya, Nona? Dia tampan sekali, akan tetapi sayang kepalanya telanjang!”
“Telanjang...?” Giok-hong-cu Yo Bi Kiok berseru heran.
“Hi-hik, maksudku tidak ada selembar rambut pun menutupi kepalanya. Bersih dan bagus sekali kepalanya!”
Bi Kiok mengerutkan alisnya. Para pelayan ini adalah wanita-wanita yang genit dan tak tahu malu. Akan tetapi karena dia ingin membuktikan apakah tawanan ini benar orang yang disangkanya, dia mendesak dan akhirnya dia diperbolehkan mengintai dari lubang rahasia.
“Kun Liong...!”
Hati Bi Kiok berseru kaget ketika dia mengintai dan mengenal pemuda gundul yang rebah telentang kelihatannya lemas dan lemah itu.
Bi Kiok maklum bahwa di pulau itu, biarpun bibi gurunya, Si Bayangan Hantu tidak ada, amatlah sukar dan berbahaya untuk menolong Kun Liong seperti yang pernah dia lakukan dahulu. Kalau ketahuan tentu terjadi ribut dan kalau sampai gurunya mendengar tentu dia akan dimarahi dan tentu Kun Liong takkan tertolong lagi. Sebaiknya menggunakan akal. Setelah memutar otak, Bi Kiok bergegas mendayung perahunya kembali ke pulaunya sendiri di mana dia tinggal bersama Bu Leng Ci dan hanya ditemani oleh beberapa orang pelayan wanita.
“Subo, ada kabar penting sekali dan kalau Subo tidak cepat-cepat turun tangan selagi Ang-su-i (Bibi Guru Ang) tidak ada, tentu kita didahului orang.”
“Hemm, ceritakanlah.”
“Akan tetapi, sebelumnya teecu minta supaya Subo suka mengampunkan kesalahan teecu yang pernah teecu lakukan kepada Subo.”
“Bi Kiok, engkau tidak pernah berbuat salah kepadaku, muridku.”
“Memang sesudah itu teecu menyesal sekali, apalagi mengingat akan segala kebaikan Subo. Hal itu lalu menjadi ganjalan hati teecu dan sekarang tiba saatnya teecu menebus kesalahan itu. Sesungguhnya, dahulu ketika Subo membunuh orang-orang Pek-lian-kauw dan mengalahkan Kiang-pangcu murid Ang-su-i, Subo bertemu dengan seorang anak laki-laki yang berkepala gundul. Ingatkah Subo?”
Bu Leng Ci mengerutkan alisnya. Sudah terlalu banyak orang dibunuhnya, dan peristiwa itu baginya biasa saja, maka dia tidak dapat mengingat lagi. Dia menggeleng kepalanya.
“Aku sudah tidak ingat lagi, muridku.”
“Biarpun begitu, teecu mengakui kesalahan teecu yang amat besar kepada Subo. Ketahuilah bahwa bocah gundul dahulu itu adalah Yap Kun Liong yang dahulu menemukan bokor emas.”
Bu Leng Ci meloncat bangun.
“Mengapa baru kau ceritakan sekarang? Dimana dia?” Siluman betina itu membentak.
“Teecu memang merasa bersalah, karena dahulu teecu diam-diam menginginkan bokor itu sendiri. Setelah melihat betapa Subo amat sayang kepada teecu, amat baik kepada teecu, maka teecu tahu bahwa tiada bedanya kalau bokor itu terjatuh ke tangan Subo atau teecu sendiri. Maka teecu merasa menyesal bukan main. Dan sekarang... sekarang Yap Kun Liong itu telah berada di Pulau Telaga Setan, menjadi tawanan para pelayan Bibi Guru Ang!”
“Apa?”
“Subo, teecu merasa bersyukur sekali bahwa Subo tidak marah kepada teecu. Sekarang sebaiknya kalau Subo pergi ke sana dan minta tawanan itu dengan alasan bahwa tawanan itu amat penting dan khawatir kalau-kalau dirampas orang karena Ang-su-i tidak berada di pulau. Kalau sudah berada di tangan kita, akan kubujuk agar dia suka memberi tahu di mana adanya bokor emas itu.”
“Bagus! Dan kalau dia tidak bisa dibujuk, dapat saja kupaksa dia! Mari kita pergi sekarang juga, Bi Kiok!”
Kegirangan hati Bu Leng Ci dengan timbulnya harapan akan mendapatkan bokor emas membuat hatinya ringan dan dia tidak marah kepada muridnya yang pernah menyembunyikan adanya pemuda penemu bokor itu.
Ketika Bu Leng Ci dan muridnya tiba di Pulau Telaga Setan itu, mereka terkejut melihat keadaan yang ribut di situ, bahkan ada pertempuran terjadi di depan rumah Kwi-eng-pangcu. Kelihatan tiga orang laki-laki tua sedang dikeroyok oleh anak buah Kwi-eng-pang dan mereka itu lihai sekali, terutama orang tua yang tubuhnya tinggi kurus. Anak buah Kwi-eng-pang laki perempuan seperti puluhan ekor semut mengeroyok tiga ekor jangkerik saja, kadang-kadang tampak tubuh beberapa orang pengeroyok terlempar atau terbanting roboh.
“Mundur semua!”
Bu Leng Ci berteriak. Karena kakak angkatnya tidak ada, maka boleh dibilang dialah yang mewakilinya. Melihat ada orang-orang luar datang mengacau Kwi-eng-pang, tentu saja dia marah. Para anak buah Kwi-eng-pang segera mundur ketika melihat munculnya Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci dan Giok-hong-cu dan timbul kembali harapan mereka karena tadi mereka benar-benar dibikin repot oleh tiga orang tamu yang lihai itu.
Sekali menggerakkan kakinya, Bu Leng Ci sudah berkelebat dan berdiri di depan tiga orang itu. Si Kakek tinggi kurus dan yang mukanya seperti orang mengantuk saking sipitnya kedua matanya, sejenak memandang wanita itu penuh selidik dan melihat pedang panjang melengkung yang tergantung di pinggang Bu Leng Ci, dia menjura sambil bertanya,
“Apakah aku berhadapan dengan Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci?”
“Kalau sudah tahu mengapa kalian berani main gila dan mengacau di sini? Apakah kalian sudah bosan hidup?”
Bu Leng Ci tidak segera turun tangan karena dia tadi telah melihat gerakan mereka, terutama Si Tinggi Kurus ini dan maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai.
“Maaf, aku tidak mempunyai urusan denganmu, Siang-tok Mo-li. Aku bernama Tio Hok Gwan dan ini kedua orang temanku Song Kin dan Kwi Siang Han, kami hanya melaksanaken tugas mencari sesuatu, maka kami datang untuk menemui Kwi-eng-pangcu dan menanyakan tentang benda yang kami cari itu. Sayang bahwa Kwi-eng-pangcu tidak berada di sini dan anak buahnya agaknya ingin mencoba-coba kami!”
“Kalian utusan siapa?”
“Utusan Panglima Besar The Hoo...”
Wanita itu hampir menjerit ketika ujung jari tangannya bertemu dangan ketiak yang berbulu dan totokannya tepat sekali, tetapi pemuda gundul itu tidak apa-apa! Dayung sudah diambil dan tiba-tiba dia membalikkan dayung, gagangnya dipergunakan untuk menghantam kepala yang gundul itu. Kun Liong mengangkat lengan ke atas, menangkis.
“Krakkk!” Ujung dayung itu patah!
“Ihhhh...!!” Wanita itu berseru kaget lalu tiba-tiba dia meloncat ke air membawa dayungnya.
“Eihhh. Toanio, kau mengapa...?”
Kun Liong berseru kaget. Akan tetapi tiba-tiba perahu itu terbalik dan tentu saja tubuhnya juga ikut terlempar ke dalam air. Dia masih dapat melihat betapa tiga orang wanita di pantai itu mendayung sebuah perahu yang meluncur cepat sekali.
“Byuurrr...!”
Kun Liong gelagapan, menahan napas dan cepat menggerakkan kaki tangan untuk berenang. Dia bukan seorang ahli, akan tetapi kalau hanya berenang sekedar mencegah tubuhnya tenggelam saja, dia bisa. Akan tetapi tiba-tiba kakinya dipegang orang, dan tubuhnya diseret ke bawah.
“Ahhhauuupppp!”
Dia lupa dan hendak berteriak, tentu saja air telaga membanjiri mulutnya dan terus mengalir ke perutnya! Dia menggerakkan kakinya dan berhasil membebaskan kakinya yang terpegang dari bawah. Tubuhnya meluncur ke atas setelah dia menjejak dasar telaga. Baru saja kepalanya yang gundul tersembul di atas permukaan air dan dia mengambil napas, tiba-tiba kedua kakinya terlibat sesuatu dan dia ditarik lagi ke bawah!
Biarpun dia meronta-ronta, tetap saja kedua kakinya tidak dapat terlepas dari libatan sehelai tali yang kuat. Kun Liong menjadi panik. Dia menahan napas, akan tetapi lama-lama dia terpaksa harus minum air juga dan ketika tubuhnya terasa lemas, dadanya seperti hendak meledak dan kepalanya pening, dia merasa betapa ada banyak tangan memeganginya, dan betapa kedua tangannya juga diikat kuat-kuat, kemudian tubuhnya diseret.
Dangan perut kembung penuh air dan setengah pingsan, napas terengah-engah hampir putus, Kun Liong masih dapat melihat dirinya diseret keluar dari telaga dan ke daratan pulau. Yang menyeretnya adalah seorang wanita yang cantik juga, dan di belakangnya masih ada tiga orang wanita lagi, yang seorang adalah wanita yang membawanya tadi, kini berdiri di atas perahu memegang dayung yang sudah patah gagangnya, sedang yang dua orang wanita lagi tadinya berenang dan kini sudah mendarat sambil tertawa-tawa dan bersendau-gurau.
“Hi-hi-hik, sekali ini pancinganmu berhasil, Adik Biauw! Kau mendapat seekor ikan yang gemuk!” Seorang di antara mereka berkata kepada wanita yang menyeret Kun Liong.
“Bukan dapat mengail, akan tetapi Enci Kun yang mendapat dari pasar!”
“Wah, ikan apa ini kepalanya gundul dan bersih sekali tidak ada rambutnya selembar pun!”
“Malah enak, tinggal mengupas kulitnya saja, tentu gurih. Hi-hi-hik!”
“Sayang Pangcu benci laki-laki, tentu dia dibunuh.”
Wanita yang menyeret berkata,
“Aku akan mohon kepada Pangcu, sebelum dibunuh biar dia tidur bersamaku satu malam!”
“Enaknya! Apa kau lupa kepadaku, Adik Biauw? Aku yang menemukannya, tahu?”
“Sudah jangan ribut, itu Enci Siu datang, biar kita minta Pangcu agar dia diberikan kepada kita berlima sampai dia mati kehabisan.”
“Kehabisan apa?”
“Ih, tanya-tanya. Seperti tidak tahu saja. Hi-hi-hik!”
Mereka berlima tertawa-tawa. Kun Liong yang setengah pingsan masih dapat mendengar percakapan mereka tadi dan dia benar-benar merasa kecelik dan tertipu oleh sikap wanita tadi! Kiranya mereka ini tiada ubahnya seperti serombongan siluman seperti yang terdapat dalam dongeng. Cantik-cantik, genit-genit, cabul dan kejam!
Ketika tubuhnya diseret tiba di bawah sebatang pohon, wanita cantik yang bernama Biauw tadi tiba-tiba menggerakkan tangannya dan tubuh Kun Liong terlempar naik melalui sebatang dahan pohon dan tentu saja tubuhnya tergantung dengan kepala di bawah!
Wanita pelayan pertama yang namanya disebut Kun tadi meloncat, menggerakkan tangan memukul perut Kun Liong. Tak dapat ditahan lagi Kun Liong muntahkan air yang membanjir keluar dari dalam perutnya melalui mulut dan hidung. Kemudian dia ditotok pingsan dan sama sekali tidak dapat melawan karena tubuhnya terasa lemas semua dan oleh lima orang pelayan itu dia dilemparkan ke dalam kamar tahanan!
Lima orang wanita itu memang pelayan-pelayan dari Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio sendiri! Pada waktu itu, Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio tidak berada di pulau dan lima orang pelayan ini memiliki kekuasaan yang besar juga sehingga para anggauta dan para murid Kwi-eng pang tidak ada yang berani turut campur ketika melihat mereka itu menangkap Kun Liong.
Murid-murid kepala dari Si Bayangan Hantu Ang Hwi Nio ada belasan orang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Tentu saja kedudukan mereka lebih tinggi daripada lima orang pelayan itu, akan tetapi karena lima orang itu adalah kepercayaan subo mereka, apalagi mereka berlima itu adalah orang-orang dalam, mereka pun hanya bertanya.
Ketika mendengar bahwa Si Gundul itu katanya hendak bertemu dan sikapnya mencurigakan, mereka membenarkan tindakan lima orang pelayan itu dan memutuskan bahwa pemuda itu ditahan sampai ketua mereka pulang.
Akan tetapi, mereka tidak tahu bahwa peristiwa itu menarik perhatian seorang gadis yang mereka segani, yaitu Yo Bi Kiok, murid Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang tinggal di pulau kecil! Yo Bi Kiok kini telah menjadi seorang dara yang cantik sekali akan tetapi sikapnya pendiam dan dingin, dan ilmu kepandaiannya tinggi.
Memang dara ini memiliki bakat yang amat baik sehingga Bu Leng Ci yang merasa sayang kepadanya telah menggemblengnya sampai tingkat kepandaian gadis itu tidak berselisih banyak dari tingkat gurunya, dan tentu saja jauh lebih lihai daripada murid-murid kepala Si Bayangan Hantu.
Bagi penghuni Pulau Telaga Setan itu, dara ini lebih dikenal dengan julukannya, yaitu Giok-hong-cu (Burung Hong Kemala) yang diambil dari mainan burung hong dari kemala yang dahulu dia terima sebagai hadiah dari Si Bayangan Hantu dan yang selalu dipakai di rambutnya.
Ketika Yo Bi Kiok atau Giok-hong-cu mendengar bahwa para pelayan Si Bayangan Hantu berhasil menawan seorang laki-laki gundul yang bukan hwesio, yang didengarnya dari para anak murid Kwi-eng-pang perempuan, dia merasa tertarik sekali. Maka dia lalu menemui lima pelayan itu dan menyatakan keinginannya untuk melihat Si Tawanan dari lubang rahasia.
“Hi-hi-hik, mau apa kau melihatnya, Nona? Dia tampan sekali, akan tetapi sayang kepalanya telanjang!”
“Telanjang...?” Giok-hong-cu Yo Bi Kiok berseru heran.
“Hi-hik, maksudku tidak ada selembar rambut pun menutupi kepalanya. Bersih dan bagus sekali kepalanya!”
Bi Kiok mengerutkan alisnya. Para pelayan ini adalah wanita-wanita yang genit dan tak tahu malu. Akan tetapi karena dia ingin membuktikan apakah tawanan ini benar orang yang disangkanya, dia mendesak dan akhirnya dia diperbolehkan mengintai dari lubang rahasia.
“Kun Liong...!”
Hati Bi Kiok berseru kaget ketika dia mengintai dan mengenal pemuda gundul yang rebah telentang kelihatannya lemas dan lemah itu.
Bi Kiok maklum bahwa di pulau itu, biarpun bibi gurunya, Si Bayangan Hantu tidak ada, amatlah sukar dan berbahaya untuk menolong Kun Liong seperti yang pernah dia lakukan dahulu. Kalau ketahuan tentu terjadi ribut dan kalau sampai gurunya mendengar tentu dia akan dimarahi dan tentu Kun Liong takkan tertolong lagi. Sebaiknya menggunakan akal. Setelah memutar otak, Bi Kiok bergegas mendayung perahunya kembali ke pulaunya sendiri di mana dia tinggal bersama Bu Leng Ci dan hanya ditemani oleh beberapa orang pelayan wanita.
“Subo, ada kabar penting sekali dan kalau Subo tidak cepat-cepat turun tangan selagi Ang-su-i (Bibi Guru Ang) tidak ada, tentu kita didahului orang.”
“Hemm, ceritakanlah.”
“Akan tetapi, sebelumnya teecu minta supaya Subo suka mengampunkan kesalahan teecu yang pernah teecu lakukan kepada Subo.”
“Bi Kiok, engkau tidak pernah berbuat salah kepadaku, muridku.”
“Memang sesudah itu teecu menyesal sekali, apalagi mengingat akan segala kebaikan Subo. Hal itu lalu menjadi ganjalan hati teecu dan sekarang tiba saatnya teecu menebus kesalahan itu. Sesungguhnya, dahulu ketika Subo membunuh orang-orang Pek-lian-kauw dan mengalahkan Kiang-pangcu murid Ang-su-i, Subo bertemu dengan seorang anak laki-laki yang berkepala gundul. Ingatkah Subo?”
Bu Leng Ci mengerutkan alisnya. Sudah terlalu banyak orang dibunuhnya, dan peristiwa itu baginya biasa saja, maka dia tidak dapat mengingat lagi. Dia menggeleng kepalanya.
“Aku sudah tidak ingat lagi, muridku.”
“Biarpun begitu, teecu mengakui kesalahan teecu yang amat besar kepada Subo. Ketahuilah bahwa bocah gundul dahulu itu adalah Yap Kun Liong yang dahulu menemukan bokor emas.”
Bu Leng Ci meloncat bangun.
“Mengapa baru kau ceritakan sekarang? Dimana dia?” Siluman betina itu membentak.
“Teecu memang merasa bersalah, karena dahulu teecu diam-diam menginginkan bokor itu sendiri. Setelah melihat betapa Subo amat sayang kepada teecu, amat baik kepada teecu, maka teecu tahu bahwa tiada bedanya kalau bokor itu terjatuh ke tangan Subo atau teecu sendiri. Maka teecu merasa menyesal bukan main. Dan sekarang... sekarang Yap Kun Liong itu telah berada di Pulau Telaga Setan, menjadi tawanan para pelayan Bibi Guru Ang!”
“Apa?”
“Subo, teecu merasa bersyukur sekali bahwa Subo tidak marah kepada teecu. Sekarang sebaiknya kalau Subo pergi ke sana dan minta tawanan itu dengan alasan bahwa tawanan itu amat penting dan khawatir kalau-kalau dirampas orang karena Ang-su-i tidak berada di pulau. Kalau sudah berada di tangan kita, akan kubujuk agar dia suka memberi tahu di mana adanya bokor emas itu.”
“Bagus! Dan kalau dia tidak bisa dibujuk, dapat saja kupaksa dia! Mari kita pergi sekarang juga, Bi Kiok!”
Kegirangan hati Bu Leng Ci dengan timbulnya harapan akan mendapatkan bokor emas membuat hatinya ringan dan dia tidak marah kepada muridnya yang pernah menyembunyikan adanya pemuda penemu bokor itu.
Ketika Bu Leng Ci dan muridnya tiba di Pulau Telaga Setan itu, mereka terkejut melihat keadaan yang ribut di situ, bahkan ada pertempuran terjadi di depan rumah Kwi-eng-pangcu. Kelihatan tiga orang laki-laki tua sedang dikeroyok oleh anak buah Kwi-eng-pang dan mereka itu lihai sekali, terutama orang tua yang tubuhnya tinggi kurus. Anak buah Kwi-eng-pang laki perempuan seperti puluhan ekor semut mengeroyok tiga ekor jangkerik saja, kadang-kadang tampak tubuh beberapa orang pengeroyok terlempar atau terbanting roboh.
“Mundur semua!”
Bu Leng Ci berteriak. Karena kakak angkatnya tidak ada, maka boleh dibilang dialah yang mewakilinya. Melihat ada orang-orang luar datang mengacau Kwi-eng-pang, tentu saja dia marah. Para anak buah Kwi-eng-pang segera mundur ketika melihat munculnya Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci dan Giok-hong-cu dan timbul kembali harapan mereka karena tadi mereka benar-benar dibikin repot oleh tiga orang tamu yang lihai itu.
Sekali menggerakkan kakinya, Bu Leng Ci sudah berkelebat dan berdiri di depan tiga orang itu. Si Kakek tinggi kurus dan yang mukanya seperti orang mengantuk saking sipitnya kedua matanya, sejenak memandang wanita itu penuh selidik dan melihat pedang panjang melengkung yang tergantung di pinggang Bu Leng Ci, dia menjura sambil bertanya,
“Apakah aku berhadapan dengan Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci?”
“Kalau sudah tahu mengapa kalian berani main gila dan mengacau di sini? Apakah kalian sudah bosan hidup?”
Bu Leng Ci tidak segera turun tangan karena dia tadi telah melihat gerakan mereka, terutama Si Tinggi Kurus ini dan maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai.
“Maaf, aku tidak mempunyai urusan denganmu, Siang-tok Mo-li. Aku bernama Tio Hok Gwan dan ini kedua orang temanku Song Kin dan Kwi Siang Han, kami hanya melaksanaken tugas mencari sesuatu, maka kami datang untuk menemui Kwi-eng-pangcu dan menanyakan tentang benda yang kami cari itu. Sayang bahwa Kwi-eng-pangcu tidak berada di sini dan anak buahnya agaknya ingin mencoba-coba kami!”
“Kalian utusan siapa?”
“Utusan Panglima Besar The Hoo...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar