*

*

Ads

FB

Rabu, 19 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 078

“Pergilah cepat!”

Kun Liong meraih ke depan dan menepuk pinggul kuda yang ditunggangi Tan Swi Bu. Kuda itu terkejut, membalap dan sebentar saja pemuda dan sumoinya itu sudah jauh mendahului Kun Liong.

Ketika melihat suheng Hwi Sian itu memasuki sebuah hutan di depan, Kun Liong lalu menahan kudanya, membalikkan kuda, meloncat turun dan menggunakan kedua lengannya mendorong roboh dua batang pohon besar.

Dua batang pohon itu malang melintang di tengah jalan sehingga ketika para pengejar tiba di situ, mereka menahan kuda. Melihat bahwa pemuda gundul lihai itu yang menghadang mereka, Hendrik dan Bhong-ciangkun berteriak keras dan meloncat turun dari kuda, memimpin anak buah mereka untuk mengurung dan mengeroyok Kun Liong!

“Tuan Muda Hendrik, jangan biarkan dia lolos. Aku akan mengejar gadis itu!”

Bhong-ciangkun berseru setelah Kun Liong terkurung dan dia lalu mengajak belasan orang anak buah untuk mengejar ke depan.

Akan tetapi tiba-tiba tubuh Kun Liong yang terkurung tadi berkelebat, dua orang pengeroyok roboh dan hanya Hendrik seorang yang dapat melihat betapa pemuda gundul yang lihai itu sudah melompat melampaui kepala pengeroyok di belakangnya sambil mendorong roboh dua orang, dan langsung menerjang Bhong-ciangkun yang baru saja meloncat ke atas kuda.

Serangannya dahsyat sekali, karena Kun Liong menggunakan Im-yang-sin-kun dari Tiang Pek Hosiang. Biarpun panglima itu menggunakan pedangnya membabat ketika tubuh pemuda itu menerjang dari atas namun ujung kaki Kun Liong dengan tepat menendang pergelangan tangan yang memegang pedang dan jari tangannya menghantam leher!

Bhong-ciangkun berteriak, pedangnya terlempar dan dia cepat secara terpaksa melempar diri dari atas kuda untuk menghindarkan totokan pada lehernya. Biarpun dia berhasil menyelamatkan diri, akan tetapi dia pun gagal melakukan pengejaran dan memang inilah yang dikehendaki oleh Kun Liong ketika menyerangnya.

Kemudian Kun Liong dikurung dan pemuda ini sengaja berlompatan ke sana ke mari sehingga pasukan itu tidak dapat memusatkan pengeroyokan dan keadaan menjadi kacau-balau dan tidak ada kesempatan bagi Bhong-ciangkun dan Hendrik untuk melakukan pengejaran. Hal ini membuat mereka marah sekali dan dua orang itu kini memusatkan semua kekuatan untuk mengeroyok dan membunuh Kun Liong!

Kun Liong melayani mereka hanya untuk memberi kesempatan kepada Tan Swi Bu untuk dapat lari jauh membawa sumoinya. Sebetulnya tidak ada gairah sedikit pun di dalam hatinya untuk berkelahi, maka dia hanya mengelak dan menangkis, dan kalau terpaksa sekali baru dia merobohkan dua tiga orang pengeroyok tanpa melukai berat. Biarpun dia dikeroyok puluhan orang, tetap saja Kun Liong masih memegang pendiriannya bahwa dia tidak akan menggunakan ilmu silat untuk memukul orang, kecuali hanya untuk membela dan mempertahankan diri!

Kini mulailah Kun Liong melarikan diri, akan tetapi bukan lari untuk meninggalkan pertandingan, melainkan lari untuk memancing mereka menjauhi tempat itu dan membawa mereka ke arah yang berlawanan dengan larinya Tan Swi Bu. Dia lari beberapa ratus meter jauhnya, lalu sengaja membiarkan mereka menyusulnya dan dia dikeroyok lagi. Kurang lebih satu jam dia main kucing-kucingan seperti ini kemudian dia meloncat ke belakang dan berkata,






“Aku sudah lelah, lain kali saja kita main-main lagi!”

Kun Liong lalu melarikan diri. Hendrik dan Bhong-ciangkon marah sekali, berusaha mengejar, akan tetapi sebentar saja bayangan pemuda gundul itu sudah lenyap. Mereka merasa marah sekali dan merasa dipermainkan. Pemuda gundul itu memang lihai, akan tetapi mereka berdua, terutama Hendrik, belum mendapat kesempatan untuk mengadu kepandaian sampai mati-matian karena pemuda gundul selalu lari ke sana ke mari, seperti seekor kucing yang mempermainkan pengeroyokan segerombolan tikus!

Hutan di dekat telaga itu amat lebat dan liar, tidak nampak seorang pun manusia kecuali dia sendiri. Celakanya, malam tiba dan sebelum dia memperoleh tempat untuk melewatkan malam itu, hujan turun dari langit seperti dituangkan. Bukan hanya hujan yang mengamuk, akan tetapi juga angin yang membuat air hujan menampar muka seperti jarum-jarum runcing dan membuat pohon-pohon bergerak menggila sambil mengeluarkan suara yang menyeramkan.

Kun Liong memicingkan mata untuk melindungi mata dari hantaman air hujan dan untuk menembus kegelapan malam. Dia telah terjebak ke dalam hutan yang tidak dikenalnya. Ketika sore tadi dia memasuki hutan ini, dari seorang petani dia mendapat keterangan babwa telaga yang dicarinya itu berada di seberang hutan ini. Maka dia berani memasuki hutan karena petani itu mengatakan bahwa hutan ini tidak terlalu besar.

Akan tetapi agaknya dia salah jalan, tersesat dan tidak menyeberangi hutan, melainkan memasuki hutan dan berjalan sepanjang hutan itu yang agaknya tiada habisnya sampai malam tiba dan sampai hujan badai datang menyerang hutan itu. Dia tersaruk-saruk terhuyung dan mencari jalan dengan kedua tangan, kaki dan pandang matanya yang tidak dapat melihat jelas karena diserang terus-menerus oleh air hujan.

Pohon-pohon kecil bergerak menggila, ranting-ranting seperti berubah menjadi tangan-tangan setan yang menjangkau, menyergap dan mencekik! Pohon-pohon besar yang kadang-kadang hanya tampak kalau ada kilat menyambar, seolah-olah iblis-iblis raksasa yang berlumba untuk menerkamnya. Suara air hujan bercampur desis angin melanda daun-daun pohon menimbulkan pendengaran yang mengerikan, seolah-olah semua iblis dari neraka bangkit memasuki hutan itu.

“Desss!!” Sebuah ranting yang agak besar melecut tengkuknya.

“Aduhhh...!”

Kun Liong meraba tengkuknya. Sungguh celaka. Dalam keadaan seperti itu, semua ilmu kepandaian yang dilatihnya selama ini tiada gunanya sama sekali. Betapapun pandainya manusia menghadapi kekuatan dan kebesaran alam benar-benar tak ada artinya. Mana mungkin ketajaman pendengarannya dapat dipergunakan kalau suara air hujan dan angin mengamuk seperti itu? Mana mungkin dia dapat menangkap angin pukulan ranting tadi yang melecut tengkuknya kalau badai mengamuk dan menghembuskan angin yang bergulung-gulung menenggelamkan dirinya seperti itu?

Akhirnya dia menjatuhkan diri duduk di bawah pohon besar. Setidaknya di tempat ini, air hujan tidak begitu buas menyerangnya, terlindung oleh daun-daun yang amat lebat dari pohon itu, juga tetumbuhan di bawah pohon raksasa itu tidak begitu lebat, biarpun tanahnya tertutup rumput tipis yang basah semua sehingga tanah basah itu berlumpur mengotori semua pakaiannya.

Kun Liong menggunakan kedua tangan mengusap air yang membasahi kepala dan mukanya. Bajunya basah kuyup dan hawa dingin membuatnya menggigil. Cepat dia duduk bersila dan menggunakan tenaga dalam untuk melawan dingin. Tenaga yang dia terima dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong benar-benar telah membuat sin-kang yang dikumpulkannya berkat latihan dari Bun Hwat Tosu dan Tiang Pek Hosiang menjadi amat kuat dan sebentar saja tubuhnya terasa hangat.

Hujan tidak selebat tadi turunnya, akan tetapi angin badai masih mengamuk biarpun kini tempatnya bermain agak di atas, membuat pohon-pohon besar masih menari-nari seperti gila. Hanya pohon-pohon kecil yang rendah sudah tidak terlalu keras bergoyang lagi, berdiri miring dan kelelahan, cabang, ranting dan daunnya layu dan kehabisan tenaga.

Suara angin yang mempermainkan daun-daun pohon di atas benar-benar amat berisik dan menyeramkan. Kun Liong merasa seram dan bulu tengkuknya bangun satu-satu karena dia teringat akan dongeng-dongeng tentang hantu. Kalau dia memandang ke atas, di antara sinar kilat seperti tampak olehnya iblis-iblis yang menakutkan, wajah-wajah yang seperti dalam dongeng berada di atasnya dan menyeringai kepadanya dengan bermacam-macam lagak, seolah-olah iblis-iblis itu hanya menanti saatnya saja untuk menerkam dan memperebutkannya.

Kun Liong tersenyum sendiri. Mengapa dia harus takut, pikirnya? Benar-benar adakah hantu seperti yang didengarnya dan dibacanya dari dongeng? Selama hidupnya dia belum pernah melihat hantu dengan matanya sendiri. Dan andaikata malam ini dia melihatnya, apakah yang ditihatnya itu benar-benar hantu dan iblis? Bukankah yang dilihatnya itu, kalau benar dia dapat melihatnya tak lain hanya bayangan pikirannya sendiri yang telah membentuk wajah iblis dari dongeng-dongeng yang didengar dan dibacanya? Andaikata sejak kecil dia tidak pernah mendengar cerita orang, tidak pernah membaca kitab tentang setan dan hantu sehingga dia sama sekali tidak mengenal sebutan iblis dan hantu, apakah dia akan dapat melihat bayangan hantu dan mungkinkah dia akan takut kepada hantu? Tak mungkin!

Karena dia tidak akan dapat mengenal dan mengetahui apakah yang dilihatnya itu bahkan mungkin sekali dalam keadaan tidak pernah mengenal sebutan iblis sama sekali seperti itu, kalau dia kebetulan bertemu sungguh-sungguh dengan iblis, dia akan tertarik sekali seperti orang-orang tertarik melihat sebuah tanaman atau seekor mahluk yang selama hidupnya belum pernah didengar dan dilihat sebelumnya! Hanya karena dia pernah mendengar dongeng tentang iblis, mendengar bahwa iblis itu jahat pengganggu manusia, dan lain-lain dongeng menyeramkan tentang iblis lagi, maka timbullah rasa takut dan timbul pula bayangan-bayangan iblis di antara kegelapan yang samar-samar!

Tolol kalau aku takut! Takut timbul karena tidak mengerti! Takut timbul karena ikatan masa lalu tentang sesuatu yang ditakutkan, atau ikatan pengalaman yang tidak menyenangkan sehingga pikiran merenungkan semua itu dan membayangkan kalau-kalau akan timbul lagi hal-hal itu di masa datang!

“Tidak! Aku tidak takut iblis dan setan! Hai... semua hantu dan iblis yang berada di hutan. Keluarlah bertemu dengan Yap Kun Liong. Mari kita beramah-tamah dan mengobrol!” Pemuda itu berteriak-teriak, akan tetapi suaranya hanyut dalam desau angin dan desau daun-daun pohon.

Badai mereda. Air yang menitik turun bukan air hujan lagi, melainkan air yang jatuh dari daun-daun yang basah kuyup.

Setiap ada angin halus menghembus, butiran-butiran air di ujung daun-daun itu rontok semua ke bawah. Kun Liong berjalan perlahan, kedua tangannya meraba-raba di antara pohon-pohon menuju ke arah suara yang didengarnya tadi. Suara yang mendorongnya untuk meninggalkan tempat berteduh itu biarpun malam masih gelap pekat. Suara itu, arah suara itu, yang menjadi petunjuk jalannya, maka dia melangkah dengan hati-hati, menggunakan tangan untuk meraba ke depan agar dia tidak sampai terjatuh, persis seperti laku seorang buta melangkah melalui jalan yang tidak dikenalnya.

Ketika dia duduk tadi, dia mendengar suara orang bernyanyi! Kalau saja dia belum menyadari sepenuhnya tentang hantu dan rasa takut akan hantu, tentu suara itu akan menimbulkan rasa seram dan takut. Bayangkan saja! Di dalam hutan, sehabis hujan badai seperti itu, ada suara orang bernyanyi!

Suara itu tadinya hanya lapat-lapat, sayup sampai kadang-kadang timbul dan seringkali tenggelam dan lenyap kembali. Akan tetapi kini mulai terdengar jelas, dan Kun Liong menghentikan lang-kahnya untuk dapat menangkap kata-kata yang dinyanyikan dengan suara parau itu.

“Berani hidup mengapa takut mati?
siapa bilang hidup senang
dan mati sengsara?
Lihat mereka semua hidup dan mati!
si bangsawan, si hartawan
si rakyat, si miskin
yang kuat, yang lemah,
yang mulia, yang hina.
Mereka semua telah mati,
sedang mati
dan akan mati,
dalam kematian tiada bedanya
menjadi bangkai kotor membusuk!
Yang hidup, yang mati,
yang lahir silih berganti,
tetapi “aku” tetap berkuasa!
di antara mati dan hidup
aku tetap mempermainkan manusia,
ha-ha-ha-ha!”

Kun Liong melangkah mendekat. Kalau dia belum mengerti akan timbulnya rasa takut terhadap hantu, mungkin dia saat itu akan ketakutan dan menduga bahwa itulah hantu yang dia hadapi sekarang. Bukankah ada dongeng mengatakan bahwa hantu dapat mengambil bentuk seorang kakek-kakek, atau bahkan seorang dara cantik sekalipun?

Dia itu seorang kakek tua, usianya sukar ditaksir berapa, akan tetapi tentu lebih dari enam puluh tahun, pakaiannya bersahaja seperti pakaian orang terlantar rambutnya yang berwama dua itu tidak terpelihara, demikian pula dengan kumis dan jenggotnya yang masih basah dan berjuntai ke bawah. Akan tetapi gambaran kakek ini berkurang kelayuannya karena di depannya bernyala api unggun. Hal ini mengherankan hati Kun Liong. Betapa mungkin orang membuat api unggun di hutan yang baru saja diamuk hujan dan badai?

Kakek itu menengok. Mereka berpandangan sebentar, kakek tua yang duduk dan pemuda gundul yang berdiri.

“Maaf, Kek, kalau aku mengganggumu.” Kun Liong berkata sambil tersenyum ramah.

“Kau mau apa?”

“Aku dingin, api unggunmu dan nyanyianmu menarik hatiku sehingga aku datang ke sini.”

“Kau hwesio?”

“Bukan, Kek, sungguhpun kepalaku gundul. Aku bukan pendeta.”

“Hem, kalau begitu duduklah. Kalau engkau pendeta, tentu engkau sudah mati begitu engkau mengucapkan pengakuanmu. Aku benci hwesio!”

Kun Liong duduk dekat api unggun dan baru dia tahu bahwa kakek itu menyalakan api unggun dengan bantuan minyak. Hal ini dapat dia cium baunya. Hangat dan nyaman sekali duduk di dekat api unggun pada waktu malam sedingin itu. Kun Liong menghela napas penuh nikmat sambil memeras ujung bajunya yang basah.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: