Kun Liong mengangguk, kemudian dia keluar seorang diri meninggalkan supeknya yang tinggal di dalam kamar. Keng Hong bersamadhi di dalam kamar hotel itu untuk memulihkan tenaganya karena semenjak dia mengoperkan sebagian sinkangnya untuk melatih Thi-khi-i-beng kepada Kun Liong, tenaganya belum pulih seluruhnya.
Kun Liong yang tertarik sekali melihat laut, begitu mendapat kesempatan ini, tentu saja langsung dia berjalan-jalan ke tepi laut! Ketika dia tiba di bagian pantai yang sunyi, agaknya pantai ini adalah tempat para nelayan minggirkan perahu dan menjemur jala, ikan dan sebagainya, dia melihat scorang laki-laki tua sedang menambal jaring yang bocor seorang diri. Dia mendekati, orang itu mengangkat muka, kemudian melanjutkan pekerjaannya. Agaknya sudah biasa dia ditonton orang, karena kota pelabuhan itu memang banyak kedatangan tamu, baik pribumi dari luar kota maupun orang asing.
“Lopek, ramaikah penangkapan ikan musim ini?”
Kakek itu mengangkat muka, agaknya tercengang, lalu menjawab,
“Yaah, lumayan saja. Penghasilan ikan berkurang, akan tetapi harga ikan naik, berarti sama saja. Semua gara-gara kapal-kapal asing yang datang itu!”
Kakek itu kedua tangannya memegang jala, maka dia menunjuk ke arah kapal-kapal asing dengan hidungnya ketika mukanya digerakkan ke arah laut.
“Mengapa gara-gara mereka?”
“Kapal-kapal besar itu mengacaukan lautan, menakutkan ikan-ikan. Agaknya dewa penjaga lautan juga ketakutan melihat rambut kuning mata biru kulit putih itu. Hasil penangkapan ikan akhir-akhir ini menurun. Akan tetapi, orang-orang asing itu doyan sekali makan ikan dan mereka berani membeli mahal sehingga harga ikan naik keras.”
Kakek itu dengan penuh gairah lalu bercerita tentang kehidupan nelayan di kota itu yang didengarkan penuh perhatian oleh Kun Liong yang memang memancing percakapan. Kemudian pemuda itu bertanya sambil lalu,
“Eh, Lopek. Engkau yang sudah puluhan tahun tinggal di Ceng-to, tentu telah mengenal semua orang sini, bukan?”
“Tidak semua! Hanya yang lama tinggal di sini saja. Sekarang banyak pendatang baru, terutama orang-orang dari daerah selatan yang datang bersama kapal-kapal asing itu. Siapa mengenal mereka?”
Kakek itu mengomel, agaknya di dalam hatinya dia tidak senang dengan kedatangan kapal-kapal itu.
“Akan tetapi saya kira Lopek tentu mengenal seorang yang bemama Louw Ek Bu.” Kun Liong melihat betapa wajah kakek itu berubah seketika. “Tahukah Lopek dimana tempat tinggalnya?”
Sejenak kakek itu tidak menjawab, bahkan kedua tangannya yang sejak tadi bekerja ketika dia bicara, kini terhenti. Jelas tampak betapa tangan itu agak gemetar!
“Kau... kau... sahabatnya, orang muda?”
Kun Liong menggeleng kepalanya.
“Bukan, aku hanya ingin tahu dimana tinggalnya orang yang tersohor itu.”
“Rumah dia itu, siapa yang tidak tahu? Di tepi kota sebelah utara, rumah gedung besar yang di atas atapnya ada ukiran naga, seperti rumah kuil. Sudahlah, aku masih banyak pekerjaan, maafkan orang muda.”
Bergegas kakek itu meninggalkan Kun Liong menghampiri perahunya dan memeriksa perahu itu. Kun Liong maklum bahwa kakek itu menjadi takut untuk bercakap-cakap dengan orang yang mengenal atau mencari datuk kaum sesat itu, akan tetapi yang dikehendakinya, alamat datuk itu, telah terpegang, maka diapun pergi dari situ, menuju ke utara.
Belum lama dia berjalan, sebelum sampai di tepi kota sebelah utara, dia melihat ribut-ribut di pinggir sebuah pasar dekat pantai. Cepat dia menghampiri dan melihat betapa rombongan penari silat yang pagi tadi bersama dia memasuki kota dan agaknya membuka pertunjukan di tempat itu, sedang berhantam melawan tiga orang asing yang tadi dia lihat dalam restoran! Agaknya tiga orang asing itu sudah mabok, muka mereka merah sekali dan mereka berhantam melawan tiga orang dari rombongan penari silat.
Kun Liong menonton penuh perhatian dan melihat betapa tiga orang asing itu gerakannya tidaklah selincah tiga orang lawannya, akan tetapi mereka itu rata-rata memiliki tubuh yang kuat dan kebal. Beberapa pukulan yang mereka terima tidak merobohkan mereka dan kini mereka mengamuk dengan pukulan-pukulan yang keras sekali. Dua orang anggauta rombongan penari silat kena dipukul dan roboh untuk tak dapat bangun kembali, pingsan! Keras benar pukulan orang-orang itu!
Melihat ini Kun Liong sudah meloncat ke depan. Karena tadi dia melihat betapa tiga orang asing itu bersikap kasar dan mengacau, maka kini dia berpendapat bahwa tentu tiga orang asing itu yang menimbulkan perkelahian.
“Hee, berhenti! Kalian ini orang-orang asing yang kasar dan kurang ajar! Mengapa mengganggu orang yang sedang mengadakan pertunjukan?” teriak Kun Liong sambil meloncat ke depan dan menangkis pukulan orang asing ke tiga yang sudah hampir merobohkan lawannya. Sambil menangkis, Kun Liong mengerahkan sin-kangnya.
“Dukkk...!”
Orang asing itu mencak-mencak, berjingkrak sambil memegangi lengan tangannya yang terkena tangkisan Kun Liong. Ternyata tulang lengannya telah patah!
Dua orang temannya menjadi marah sekali. Sambil memaki-maki dalam bahasa mereka, dua orang asing itu menerjang maju. Pukulan kedua tangan mereka yang keras itu menyambar-nyambar. Sikap mereka seperti dua ekor kerbau mengamuk.
Kun Liong tidak menjadi gentar. Dengan mudah saja dia mengelak dengan loncatan ke atas. Tubuhnya mencelat seperti dilontarkan ke atas kepala kedua orang lawannya, kedua kakinya menginjak punggung dan mendorong. Dia tetap tidak hendak menyerang orang maka dorongan kakinya hanya membuat dua orang itu terhuyung.
Dua orang asing itu makin marah. Mereka membalik dan menyeruduk kembali dengan ganas. Kun Liong mengelak ke samping, kakinya dilonjorkan ketika dia berjongkok dan kedua orang itu terjungkal, roboh menelungkup mencium tanah.
Terdengar sorak-sorai orang-orang yang menonton. Baru sekali ini mereka melihat ada orang asing “biadab” itu dihajar. Biasanya, tidak ada yang berani melawan orang-orang asing ini karena pembesar setempat sudah mengeluarkan pengumuman agar tidak mengganggu mereka yang disebut “tamu-tamu agung” itu.
Memang benar bahwa orang-orang asing itu royal mengeluarkan uang dalam membeli sesuatu, akan tetapi sikap mereka angkuh dan memandang rendah kepada penduduk pribumi. Begitu angkuhnya sehingga kadang-kadang mereka itu melakukan hal-hal yang amat menghina, misalnya, orang asing itu berani secara main-main menowel pipi atau menjamah dada seorang dara yang bertemu di tengah jalan!
Kun Liong mengambil keputusan bahwa kalau dua orang itu masih nekat, begitu memukul lagi dia akan menangkis dengan pengerahan tenaga. Akan tetapi begitu kedua orang itu bangkit, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan betapa kaget hati Kun Liong ketika tiba-tiba di depan kedua orang itu telah berdiri pemuda asing yang tadi! Dia terheran-heran menyaksikan gerakan pemuda itu yang jelas menunjukkan gerakan seorang ahli gin-kang!
Pemuda itu kembali bicara nyaring, agaknya memarahi ketiga orang asing itu dan telunjuknya menuding ke luar. Tiga orang asing itu dengan kepala tunduk, muka kemerahan, lalu berjalan pergi yang patah lengannya tadi masih mengerang kesakitan. Setelah ketiga orang itu pergi, pemuda itu membalikkan tubuhnya, membungkuk kepada Kun Liong dan berkata dalam bahasa pribumi yang cukup lancar biarpun nada suaranya terdengar lucu dan asing,
“Harap Saudara maafkan kalau tiga orang kasar tadi mengganggu pertunjukan saudara-saudara di sini. Maklumlah, mereka belum pernah melihat orang-orang mengadakan pertunjukan di tempat terbuka.”
Kun Liong juga membungkuk. Diam-diam dia tidak menyangka sama sekali bahwa pemuda asing ini pandai bicara dalam bahasa pribumi dan sikapnya sama sekali tidak sombong, bahkan ramah dan merendah.
“Saya bukan dari rombongan penari silat, harap Tuan minta maaf kepada mereka itu.”
Mendengar ucapan Kun Liong ini, pemuda asing itu mengangkat dada dan memandang tajam, mengerutkan alisnya yang berwarna agak kuning, tidak sekuning rambutnya.
“Tuan bukan anggauta mereka?” Dia mengulang. “Kalau begitu, mengapa Tuan menyerang orang kami?”
“Saya tidak menyerang, merekalah yang menyerang saya. Saya melihat mereka memukul para penari silat, maka saya berusaha mencegahnya dan mereka menyerang saya.”
Sikap pemuda asing itu berubah, agaknya dia penasaran, dan juga tertarik sekali.
“Hem, kau bilang tidak menyerang akan tetapi seorang di antara mereka sampai patah tulang lengannya. Agaknya Tuan seorang pendekar, ya?”
“Sama sekali bukan!” jawab Kun Liong. “Saya bukan pendekar, akan tetapi tiga orang sahabat Tuan tadi adalah orang-orang jahat yang tidak semestinya dibiarkan berkeliaran seperti binatang buas yang suka mengganggu orang.”
Akan tetapi pemuda asing itu tidak memperhatikan kata-kata ini, hanya memandang penuh perhatian, kemudian berkata,
“Saya ingin sekali melihat kepandaian Tuan. Marilah kita menguji kepandaian masing-masing secara bersahabat.”
“Apa? Tuan menantang saya untuk bertanding? Orang saling pukul, mana bisa secara bersahabat?”
“Saya tidak menantang untuk bermusuhan, akan tetapi untuk... eh, apa namanya itu, untuk pibu! Ya, untuk pibu! Marilah Tuan sambut serangan saya!”
Dan pemuda asing itu dengan penuh semangat lalu menerjang maju, menyerang dengan pukulan tangan terkepal, akan tetapi gerakannya lincah sekali dan pukulannya membawa angin pukulan yang mengandung tenaga dalam!
“Aihh!”
Kun Liong mengelak cepat, makin terheran-heran karena jelas dari pukulan itu bahwa Si Pemuda Asing yang tadi dia lihat pandai menggunakan ginkang, kini ternyata memiliki tenaga sin-kang yang hebat pula!
“Wut-wutt... siuuuttt!”
Pemuda asing itu telah melanjutkan serangannya, kedua tangannya secara bertubi memukul dan ketika Kun Liong mengelak dua kali dengan cepat, kaki kanan pemuda asing itu menyusul dengan sebuah tendangan yang amat berbahaya, karena seluruh tubuhnya ikut “terbang” dan kaki kiri menyusul tendangan kaki kanan. Itulah ilmu tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Badai) yang amat lihai!
Kun Liong tidak dapat mengelak lalu bergerak menangkis sambil mendorong.
“Dessss! Aughhhh!”
Pemuda asing itu terlempar, akan tetapi dapat berjungkir-balik dan turun sambil berdiri. Dia tadi berteriak karena kakinya yang tertangkis terasa nyeri, sungguhpun tidak sampai patah seperti lengan temannya tadi.
“Bagus, kau hebat! Sambutlah!”
Dia menyerang lagi, kini benar-benar mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan kepandaian silatnya yang aneh namun cukup hebat. Gerakannya seperti seekor burung garuda menyambar-nyambar, kedua tangan dikembangkan, kadang-kadang dikepal kadang-kadang dibuka seperti cengkeraman.
Kun Liong makin kagum dan dia pun cepat mengimbangi kelincahan lawan, mengelak ke sana-sini dan berusaha menghentikan serangan-serangan itu dengan menjatuhkan lawan tanpa melukai sampai parah.
Kun Liong yang tertarik sekali melihat laut, begitu mendapat kesempatan ini, tentu saja langsung dia berjalan-jalan ke tepi laut! Ketika dia tiba di bagian pantai yang sunyi, agaknya pantai ini adalah tempat para nelayan minggirkan perahu dan menjemur jala, ikan dan sebagainya, dia melihat scorang laki-laki tua sedang menambal jaring yang bocor seorang diri. Dia mendekati, orang itu mengangkat muka, kemudian melanjutkan pekerjaannya. Agaknya sudah biasa dia ditonton orang, karena kota pelabuhan itu memang banyak kedatangan tamu, baik pribumi dari luar kota maupun orang asing.
“Lopek, ramaikah penangkapan ikan musim ini?”
Kakek itu mengangkat muka, agaknya tercengang, lalu menjawab,
“Yaah, lumayan saja. Penghasilan ikan berkurang, akan tetapi harga ikan naik, berarti sama saja. Semua gara-gara kapal-kapal asing yang datang itu!”
Kakek itu kedua tangannya memegang jala, maka dia menunjuk ke arah kapal-kapal asing dengan hidungnya ketika mukanya digerakkan ke arah laut.
“Mengapa gara-gara mereka?”
“Kapal-kapal besar itu mengacaukan lautan, menakutkan ikan-ikan. Agaknya dewa penjaga lautan juga ketakutan melihat rambut kuning mata biru kulit putih itu. Hasil penangkapan ikan akhir-akhir ini menurun. Akan tetapi, orang-orang asing itu doyan sekali makan ikan dan mereka berani membeli mahal sehingga harga ikan naik keras.”
Kakek itu dengan penuh gairah lalu bercerita tentang kehidupan nelayan di kota itu yang didengarkan penuh perhatian oleh Kun Liong yang memang memancing percakapan. Kemudian pemuda itu bertanya sambil lalu,
“Eh, Lopek. Engkau yang sudah puluhan tahun tinggal di Ceng-to, tentu telah mengenal semua orang sini, bukan?”
“Tidak semua! Hanya yang lama tinggal di sini saja. Sekarang banyak pendatang baru, terutama orang-orang dari daerah selatan yang datang bersama kapal-kapal asing itu. Siapa mengenal mereka?”
Kakek itu mengomel, agaknya di dalam hatinya dia tidak senang dengan kedatangan kapal-kapal itu.
“Akan tetapi saya kira Lopek tentu mengenal seorang yang bemama Louw Ek Bu.” Kun Liong melihat betapa wajah kakek itu berubah seketika. “Tahukah Lopek dimana tempat tinggalnya?”
Sejenak kakek itu tidak menjawab, bahkan kedua tangannya yang sejak tadi bekerja ketika dia bicara, kini terhenti. Jelas tampak betapa tangan itu agak gemetar!
“Kau... kau... sahabatnya, orang muda?”
Kun Liong menggeleng kepalanya.
“Bukan, aku hanya ingin tahu dimana tinggalnya orang yang tersohor itu.”
“Rumah dia itu, siapa yang tidak tahu? Di tepi kota sebelah utara, rumah gedung besar yang di atas atapnya ada ukiran naga, seperti rumah kuil. Sudahlah, aku masih banyak pekerjaan, maafkan orang muda.”
Bergegas kakek itu meninggalkan Kun Liong menghampiri perahunya dan memeriksa perahu itu. Kun Liong maklum bahwa kakek itu menjadi takut untuk bercakap-cakap dengan orang yang mengenal atau mencari datuk kaum sesat itu, akan tetapi yang dikehendakinya, alamat datuk itu, telah terpegang, maka diapun pergi dari situ, menuju ke utara.
Belum lama dia berjalan, sebelum sampai di tepi kota sebelah utara, dia melihat ribut-ribut di pinggir sebuah pasar dekat pantai. Cepat dia menghampiri dan melihat betapa rombongan penari silat yang pagi tadi bersama dia memasuki kota dan agaknya membuka pertunjukan di tempat itu, sedang berhantam melawan tiga orang asing yang tadi dia lihat dalam restoran! Agaknya tiga orang asing itu sudah mabok, muka mereka merah sekali dan mereka berhantam melawan tiga orang dari rombongan penari silat.
Kun Liong menonton penuh perhatian dan melihat betapa tiga orang asing itu gerakannya tidaklah selincah tiga orang lawannya, akan tetapi mereka itu rata-rata memiliki tubuh yang kuat dan kebal. Beberapa pukulan yang mereka terima tidak merobohkan mereka dan kini mereka mengamuk dengan pukulan-pukulan yang keras sekali. Dua orang anggauta rombongan penari silat kena dipukul dan roboh untuk tak dapat bangun kembali, pingsan! Keras benar pukulan orang-orang itu!
Melihat ini Kun Liong sudah meloncat ke depan. Karena tadi dia melihat betapa tiga orang asing itu bersikap kasar dan mengacau, maka kini dia berpendapat bahwa tentu tiga orang asing itu yang menimbulkan perkelahian.
“Hee, berhenti! Kalian ini orang-orang asing yang kasar dan kurang ajar! Mengapa mengganggu orang yang sedang mengadakan pertunjukan?” teriak Kun Liong sambil meloncat ke depan dan menangkis pukulan orang asing ke tiga yang sudah hampir merobohkan lawannya. Sambil menangkis, Kun Liong mengerahkan sin-kangnya.
“Dukkk...!”
Orang asing itu mencak-mencak, berjingkrak sambil memegangi lengan tangannya yang terkena tangkisan Kun Liong. Ternyata tulang lengannya telah patah!
Dua orang temannya menjadi marah sekali. Sambil memaki-maki dalam bahasa mereka, dua orang asing itu menerjang maju. Pukulan kedua tangan mereka yang keras itu menyambar-nyambar. Sikap mereka seperti dua ekor kerbau mengamuk.
Kun Liong tidak menjadi gentar. Dengan mudah saja dia mengelak dengan loncatan ke atas. Tubuhnya mencelat seperti dilontarkan ke atas kepala kedua orang lawannya, kedua kakinya menginjak punggung dan mendorong. Dia tetap tidak hendak menyerang orang maka dorongan kakinya hanya membuat dua orang itu terhuyung.
Dua orang asing itu makin marah. Mereka membalik dan menyeruduk kembali dengan ganas. Kun Liong mengelak ke samping, kakinya dilonjorkan ketika dia berjongkok dan kedua orang itu terjungkal, roboh menelungkup mencium tanah.
Terdengar sorak-sorai orang-orang yang menonton. Baru sekali ini mereka melihat ada orang asing “biadab” itu dihajar. Biasanya, tidak ada yang berani melawan orang-orang asing ini karena pembesar setempat sudah mengeluarkan pengumuman agar tidak mengganggu mereka yang disebut “tamu-tamu agung” itu.
Memang benar bahwa orang-orang asing itu royal mengeluarkan uang dalam membeli sesuatu, akan tetapi sikap mereka angkuh dan memandang rendah kepada penduduk pribumi. Begitu angkuhnya sehingga kadang-kadang mereka itu melakukan hal-hal yang amat menghina, misalnya, orang asing itu berani secara main-main menowel pipi atau menjamah dada seorang dara yang bertemu di tengah jalan!
Kun Liong mengambil keputusan bahwa kalau dua orang itu masih nekat, begitu memukul lagi dia akan menangkis dengan pengerahan tenaga. Akan tetapi begitu kedua orang itu bangkit, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan betapa kaget hati Kun Liong ketika tiba-tiba di depan kedua orang itu telah berdiri pemuda asing yang tadi! Dia terheran-heran menyaksikan gerakan pemuda itu yang jelas menunjukkan gerakan seorang ahli gin-kang!
Pemuda itu kembali bicara nyaring, agaknya memarahi ketiga orang asing itu dan telunjuknya menuding ke luar. Tiga orang asing itu dengan kepala tunduk, muka kemerahan, lalu berjalan pergi yang patah lengannya tadi masih mengerang kesakitan. Setelah ketiga orang itu pergi, pemuda itu membalikkan tubuhnya, membungkuk kepada Kun Liong dan berkata dalam bahasa pribumi yang cukup lancar biarpun nada suaranya terdengar lucu dan asing,
“Harap Saudara maafkan kalau tiga orang kasar tadi mengganggu pertunjukan saudara-saudara di sini. Maklumlah, mereka belum pernah melihat orang-orang mengadakan pertunjukan di tempat terbuka.”
Kun Liong juga membungkuk. Diam-diam dia tidak menyangka sama sekali bahwa pemuda asing ini pandai bicara dalam bahasa pribumi dan sikapnya sama sekali tidak sombong, bahkan ramah dan merendah.
“Saya bukan dari rombongan penari silat, harap Tuan minta maaf kepada mereka itu.”
Mendengar ucapan Kun Liong ini, pemuda asing itu mengangkat dada dan memandang tajam, mengerutkan alisnya yang berwarna agak kuning, tidak sekuning rambutnya.
“Tuan bukan anggauta mereka?” Dia mengulang. “Kalau begitu, mengapa Tuan menyerang orang kami?”
“Saya tidak menyerang, merekalah yang menyerang saya. Saya melihat mereka memukul para penari silat, maka saya berusaha mencegahnya dan mereka menyerang saya.”
Sikap pemuda asing itu berubah, agaknya dia penasaran, dan juga tertarik sekali.
“Hem, kau bilang tidak menyerang akan tetapi seorang di antara mereka sampai patah tulang lengannya. Agaknya Tuan seorang pendekar, ya?”
“Sama sekali bukan!” jawab Kun Liong. “Saya bukan pendekar, akan tetapi tiga orang sahabat Tuan tadi adalah orang-orang jahat yang tidak semestinya dibiarkan berkeliaran seperti binatang buas yang suka mengganggu orang.”
Akan tetapi pemuda asing itu tidak memperhatikan kata-kata ini, hanya memandang penuh perhatian, kemudian berkata,
“Saya ingin sekali melihat kepandaian Tuan. Marilah kita menguji kepandaian masing-masing secara bersahabat.”
“Apa? Tuan menantang saya untuk bertanding? Orang saling pukul, mana bisa secara bersahabat?”
“Saya tidak menantang untuk bermusuhan, akan tetapi untuk... eh, apa namanya itu, untuk pibu! Ya, untuk pibu! Marilah Tuan sambut serangan saya!”
Dan pemuda asing itu dengan penuh semangat lalu menerjang maju, menyerang dengan pukulan tangan terkepal, akan tetapi gerakannya lincah sekali dan pukulannya membawa angin pukulan yang mengandung tenaga dalam!
“Aihh!”
Kun Liong mengelak cepat, makin terheran-heran karena jelas dari pukulan itu bahwa Si Pemuda Asing yang tadi dia lihat pandai menggunakan ginkang, kini ternyata memiliki tenaga sin-kang yang hebat pula!
“Wut-wutt... siuuuttt!”
Pemuda asing itu telah melanjutkan serangannya, kedua tangannya secara bertubi memukul dan ketika Kun Liong mengelak dua kali dengan cepat, kaki kanan pemuda asing itu menyusul dengan sebuah tendangan yang amat berbahaya, karena seluruh tubuhnya ikut “terbang” dan kaki kiri menyusul tendangan kaki kanan. Itulah ilmu tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Badai) yang amat lihai!
Kun Liong tidak dapat mengelak lalu bergerak menangkis sambil mendorong.
“Dessss! Aughhhh!”
Pemuda asing itu terlempar, akan tetapi dapat berjungkir-balik dan turun sambil berdiri. Dia tadi berteriak karena kakinya yang tertangkis terasa nyeri, sungguhpun tidak sampai patah seperti lengan temannya tadi.
“Bagus, kau hebat! Sambutlah!”
Dia menyerang lagi, kini benar-benar mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan kepandaian silatnya yang aneh namun cukup hebat. Gerakannya seperti seekor burung garuda menyambar-nyambar, kedua tangan dikembangkan, kadang-kadang dikepal kadang-kadang dibuka seperti cengkeraman.
Kun Liong makin kagum dan dia pun cepat mengimbangi kelincahan lawan, mengelak ke sana-sini dan berusaha menghentikan serangan-serangan itu dengan menjatuhkan lawan tanpa melukai sampai parah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar