Mari kita kembali ke Siauw-lim-si. Di kuil itu telah dipersiapkan untuk menerima tamu yang diduga tentu akan membanjiri kuil itu untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah Tiang Pek Hosiang dan Thian Le Hwesio.
Yap Kun Liong masih berada di kuil itu karena dia mau membantu sampai upacara pembakaran jenazah dan penguburan selesai. Selain ini, dia pun hendak menanti ayah bundanya karena menduga bahwa sekali ini ayah bundanya pasti akan datang ke Siauw-lim-si. Tiang Pek Hosiang adalah guru ayahnya, mustahil kalau ayahnya tidak datang mendengar gurunya meninggal dunia. Dan ayahnya pasti akan mendengarnya karena berita ini tentu tersiar luas di dunia kang-ouw. Juga dia ingin bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang diduga akan membanjiri kuil itu.
Kasian sekali pemuda ini. Dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa ayah bundanya yang dirindukannya itu telah tewas kurang lebih tiga tahun yang lalu! Kun Liong merasa gembira sekali melihat tokoh-tokoh kang-ouw mulai berdatangan. Dia telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang bertubuh tegap dengan dada bidang penuh kesehatan dan kekuatan. Wajahnya tampan dan kepala gundulnya sama sekali tidak menyuramkan ketampanan wajahnya bahkan memberi ciri ketampanan yang khas!
Sinar matanya berubah-ubah, kadang--kadang lembut seperti mata kanak-kanak, kadang-kadang bersinar tajam dan keras. Mata itu lebar, sesuai dengan dahinya yang lebar dan kepalanya yang bulat. Alisnya hitam tebal berbentuk golok, hidungnya mancung dan mulut serta dagunya membayangkan watak kuat dan kemauan membaja. Perangainya juga aneh dan berubah-ubah. Kadang-kadang dia pelamun, pendiam seperti orang pemurung, akan tetapi ada kalanya dia lincah jenaka penuh kegembiraan dan kalau sudah begini, muncul pula kenakalannya seperti ketika masih kanak-kanak.
Karena dia berdiri seperti orang berjaga di ruangan tamu di mana Ketua Siauw-lim-pai sendiri menerima tamu, maka dengan jelas dia dapat melihat tokoh-tokoh kang-ouw yang disebutkan namanya setiap kali menghadap Ketua Siauw-lim-pai kemudian bersembahyang di depan kedua peti jenazah.
Yang datang adalah tokoh-tokoh besar, utusan partai-partai Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Hoa-san-pai dan lain-lain partai persilatan yang terkenal. Juga banyak dari perkumpulan-perkumpulan silat, dari perorangan yang sudah mengenal pribadi kedua orang tokoh Siauw-lim-pai yang meninggal dunia atau yang datang untuk menghormati Siauw-lim-pai. Akan tetapi hatinya kecewa sekali karena dia tidak melihat ayah bundanya.
“Locianpwe, mengapa ayah bunda teecu belum juga tiba?” Akhimya dia tidak sabar lagi, bertanya lirih kepada Thian Kek Hwesio.
Hwesio ketua Siauw-lim-pai ini menarik napas panjang.
“Ayahmu bukan lagi murid Siauw-lim-pai, andaikata berhalangan datang pun tidak mengapa. Lihat, Cia-taihiap datang!”
Hwesio tua itu bangkit berdiri menyambut dengan wajah berseri. Mendengar disebutnya Cia-taihiap, jantung Kun Liong berdebar keras dan cepat dia mengangkat muka memandang.
Sinar matanya berseri dan dia menahan senyumnya ketika dia mengenal dara cantik jelita dan gagah perkasa yang berjalan di belakang suami isteri setengah tua itu. Mana mungkin dia pangling? Wajah itu masih sama cantik jelita dan berseri-seri penuh kenakalan seperti dahulu, bahkan makin cantik dan matang! Cia Giok Keng, siapa lagi?
Dan dara itu pun memandang kepadanya, kelihatan terkejut dan terheran yang dapat dilihat dari diangkatnya sepasang alis yang seperti bulan muda itu, sepasang mata yang jernih itu berkilat, akan tetapi dara itu segera membuang muka mengalihkan pandang dengan alis berkerut!
Hampir saja Kun Liong tertawa karena dia teringat akan pertemuannya yang pertama dahulu dengan gadis itu. Mengertilah dia bahwa gadis itu tentu merasa khawatir melihat Kun Liong di situ, khawatir kalau-kalau pemuda ini akan membuka rahasianya dahulu akan wataknya yang buruk menyambut tamu dengan kurang ajar! Teringat ini, Kun Liong tersenyum penuh kemenangan. Sedikitnya, ada sesuatu yang dia kuasai, yang membuat dara itu tidak akan berani lagi berkurang ajar seperti dahulu, memandang rendah kepadanya!
Bagaimana Giok Keng dapat muncul di Siauw-lim-si? Seperti telah diceritakan di bagian depan, dara ini disuruh menjaga adiknya di Cin-ling-pai. Akan tetapi, dasar anak manja, sehari kemudian setelah ayah bundanya pergi, dia tak dapat menahan keinginannya untuk pergi.
Karena gadis ini melakukan perjalanan mengejar ayah bundanya dengan cepat, maka tiga hari kemudian dia dapat menyusul mereka. Cia Keng Hong akan menegur, akan tetapi kembali isterinya yang membela anaknya.
“Dia sudah menyusul, biarlah dia ikut dengan kita.”
“Hmm... disuruh menjaga rumah malah nekat menyusul! Seperti anak kecil saja engkau, Keng-ji!”
Giok Keng memegang lengan ayahnya dan berkata halus manja,
“Maaf, Ayah. Saya ingin sekali bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw untuk menambah pengalaman.”
“Hemm...!”
Terpaksa Keng Hong tidak melarang lagi dan berangkatlah mereka ke Siauw-lim-si bertiga.
Setelah melalui basa-basi upacara penyambutan di mana Ketua Siauw-lim-pai mengucapkan selamat datang dan pendekar sakti itu menyatakan duka cita atas kematian Tiang Pek Hosiang dan Thian Le Hwesio, suami isteri dan puteri-nya itu lalu memberi hormat dengan memasang hio (dupa wangi) dan bersembahyang di depan peti mati. Kemudian mereka dipersilakan duduk di tempat kehormatan sejajar dengan beberapa orang ketua partai yang berkenan hadir dan tidak mewakilkan kepada murid-muridnya.
Kun Liong memperhatikan dengan pandang matanya. Pendekar sakti yang amat dikagumi dan dijunjung tinggi oleh ayah dan ibunya itu kelihatan seorang laki-laki sebaya dengan ayahnya sekarang, setengah tua dan pakaiannya sederhana sekali. Sama sekali tidak seperti para ketua partai yang datang diiringkan anak buahnya yang membawa-bawa bendera tanda partai segala. Ketua Cin-ling-pai ini datang seperti orang biasa bersama isteri dan puterinya, pakaiannya seperti sastrawan sederhana atau lebih tepat seperti seorang petani terpelajar, tidak membawa senjata dan kelihatannya biasa saja.
Tubuhnya memang tegap berisi, wajahnya tampan dan kumis serta jenggotnya pendek, masih hitam semua. Wajah itu membayangkan kesabaran, dan hanya sepasang alisnya yang membayangkan kegagahan, alis yang tebal dan bentuknya keren. Rambutnya masih hitam, digelung ke atas dan diikat dengan saputangan sutera berwama kuning tua. Bajunya yang longgar berwarna kuning muda dan celananya hitam, ikat pinggangnya juga kuning tua. Sungguh di luar persangkaan Kun Liong yang membayangkan supeknya itu sebagai seorang tokoh yang hebat dan luar biasa! Kiranya seorang yang sederhana sekali, baik pakaian, gerak-gerik maupun sikapnya.
Isterinya lebih istimewa. Cantik dan penuh semangat, pakaiannya serba putih dengan hiasan warna merah dan biru di sana-sini, sikapnya agak dingin namun menambah kekerenannya. Pribadi nyonya ini jelas membayangkan kegagahan penuh, yang membuat orang merasa sungkan dan jerih untuk berurusan dengannya. Sambaran sinar matanya penuh wibawa. Melihat wajah nyonya ini, Kun Liong mendapat kenyataan betapa Giok Keng mirip ibunya, cantik, gagah, dan jelas menonjol sifat terbuka dan penuh keberanian.
Dengan jantung berdebar Kun Liong melangkah perlahan menghampiri Cia Keng Hong yang duduk dengan tenang memandang para tamu yang baru datang dan bersembahyang. Pemuda ini melihat betapa Giok Keng menengok kepadanya dan kembali alis dara itu berkerut, sinar matanya menyambar penuh peringatan! Hal ini terasa sekali oleh Kun Liong sehingga tanpa disadarinya, kepalanya yang gundul itu mengangguk! Dan dia tersenyum ketika melihat dara itu sekilas tersenyum, kelihatan lega!
“Maafkan kalau teecu mengganggu, Supek. Teecu adalah Yap Kun Liong, dan merasa berbahagia sekali mendapat kesempatan berjumpa dengan Supek berdua Supek-bo.” Dia berlutut di depan Keng Hong dan Biauw Eng.
Keng Hong dan Biauw Eng terbelalak memandang kepala yang gundul itu karena ketika pemuda itu herlutut dan menundukkan muka, yang tampak hanya kepalanya yang gundul licin saja!
“Apa...? Siauw-suhu (Bapak Pendeta Muda)...?”
Telinga Kun Liong menjadi merah ketika menangkap suara ketawa ditahan dari sebelah kiri, Cia Giok Keng yang menahan ketawa itu, tak salah lagi!
“Supek, teecu bukan hwesio biarpun kepala teecu gundul. Teecu Yap Kun Liong...”
Keng Hong memegang pundak pemuda itu. Kun Liong mengangkat muka dan melihat betapa wajah yang tampan dan gagah itu diliputi keharuan.
“Engkau putera Yan Cu...?” Biauw Eng juga berseru lirih.
Keng Hong memberi isyarat kepada isterinya dan puterinya, kemudian bangkit berdiri.
“Bawa kami ke tempat sunyi agar leluasa bicara.”
Kun Liong mengangguk dan mendahului pergi ke ruangan samping yang sunyi. Ketua Siauw-lim-pai melihat ini, akan tetapi hanya tersenyum saja karena dia maklum betapa pentingnya pertemuan antara paman guru dan murid keponakan itu. Setelah tiba di tempat sunyi itu, Keng Hong memegang lengan Kun Liong dan memandang dengan sinar mata tajam.
“Benarkah engkau Yap Kun Liong? Dimana ayah bundamu?”
Kun Liong menunduk dan menarik napas panjang kemudian menggelengkan kepalanya yang gundul,
“Teecu tidak tahu, Supek. Sudah sepuluh tahun teecu tidak berjumpa dengan mereka.”
Biauw Eng melangkah ke depan, kedua tangannya yang halus kulitnya itu meraba dagu Kun Liong, mengangkat muka pemuda yang menjadi kaget dan terheran itu.
“Dia memang putera mereka. Lihat!”
Biauw Eng menggunakan telapak tangan kanan menutupi bagian atas dari muka Kun Liong, memperlihatkan hidung dan mulutnya saja.
“Persis Yan Cu sumoi!” Keng Hong berseru kagum.
“Dan lihat ini!” Kini tangan Biauw Eng menurun dan menutupi bagian bawah muka pemuda itu.
“Benar! Mata dan dahi itu persis Cong San, hanya bedanya dia gundul. Eh, Kun Liong, kemana saja engkau pergi? Kenapa kepalamu gundul? Hemmm... agaknya engkau menjadi korban hawa beracun! Dan bagaimana pula sampai sepuluh tahun engkau tidak berjumpa dengan ayah bundamu?”
“Panjang sekali ceritanya, Supek.”
Kun Liong menarik napas panjang dan melirik ke arah Giok Keng. Kalau dia menceritakan pengalaman-pengalamannya, apakah dia tidak harus bercerita tentang kunjungannya ke Cin-ling-san?
Gerakan ini dianggap oleh Keng Hong bahwa pemuda itu sungkan bercerita karena di situ ada Giok Keng yang tentu disangka orang lain karena belum diperkenalkan.
“Kun Liong, dia ini bukan orang lain, dia adalah puteri kami, bernama Giok Keng. Keng-ji (Anak Keng), ini adalah Yap Kun Liong, putera pamanmu Yap Cong San seperti yang telah kami ceritakan kepadamu. Dia lebih tua darimu.”
“Glok Keng, beri salam kepada kakakmu!” Biauw Eng berkata.
Biarpun hatinya tidak suka karena dia masih curiga kalau-kalau pemuda gundul itu akan membuka rahasia kesalahannya lima tahun yahg lalu, terpaksa Giok Keng mengangkat kedua tangan dengan kaku dan berkata lirih,
“Liong-ko (Kakak Liong)!”
Kun Liong cepat membalas penghormatan itu dan tersenyum.
“Keng-moi (Adik Keng), maafkan tadi aku diam saja karena tidak mengenal engkau siapa.”
Ucapan pemuda ini seketika membuat wajah Giok Keng berseri gembira karena hatinya lega. Setelah mengatakan tidak mengenal berarti pemuda itu akan merahasiakan pertemuan mereka lima tahun yang lalu. Maka dengan ramah dan juga tersenyum dia menjawab,
“Tidak mengapa, Liong-ko. Akulah yang seharusnya menyapa lebih dulu.”
Atas desakan Keng Hong dan Biauw Eng yang ingin sekali mendengar apa yang telah dialami pemuda itu, Kun Liong lalu menuturkan dengan singkat pengalaman-pengalamannya semenjak anjing peliharaannya menumpahkan obat dan karena takut dia melarikan diri sampai berturut-turut terjadi hal-hal hebat menimpa dirinya sehingga dia makin tidak berani pulang. Dia menceritakan betapa dia diambil murid oleh Bun Hwat Tosu dan dipesan agar jangan mempergunakan nama kakek itu sebagai gurunya.
“Hanya kepada Supek, dan Supek-bo, juga Adik Giok Keng, saya berani menceritakan,” sambungnya.
Yap Kun Liong masih berada di kuil itu karena dia mau membantu sampai upacara pembakaran jenazah dan penguburan selesai. Selain ini, dia pun hendak menanti ayah bundanya karena menduga bahwa sekali ini ayah bundanya pasti akan datang ke Siauw-lim-si. Tiang Pek Hosiang adalah guru ayahnya, mustahil kalau ayahnya tidak datang mendengar gurunya meninggal dunia. Dan ayahnya pasti akan mendengarnya karena berita ini tentu tersiar luas di dunia kang-ouw. Juga dia ingin bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang diduga akan membanjiri kuil itu.
Kasian sekali pemuda ini. Dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa ayah bundanya yang dirindukannya itu telah tewas kurang lebih tiga tahun yang lalu! Kun Liong merasa gembira sekali melihat tokoh-tokoh kang-ouw mulai berdatangan. Dia telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang bertubuh tegap dengan dada bidang penuh kesehatan dan kekuatan. Wajahnya tampan dan kepala gundulnya sama sekali tidak menyuramkan ketampanan wajahnya bahkan memberi ciri ketampanan yang khas!
Sinar matanya berubah-ubah, kadang--kadang lembut seperti mata kanak-kanak, kadang-kadang bersinar tajam dan keras. Mata itu lebar, sesuai dengan dahinya yang lebar dan kepalanya yang bulat. Alisnya hitam tebal berbentuk golok, hidungnya mancung dan mulut serta dagunya membayangkan watak kuat dan kemauan membaja. Perangainya juga aneh dan berubah-ubah. Kadang-kadang dia pelamun, pendiam seperti orang pemurung, akan tetapi ada kalanya dia lincah jenaka penuh kegembiraan dan kalau sudah begini, muncul pula kenakalannya seperti ketika masih kanak-kanak.
Karena dia berdiri seperti orang berjaga di ruangan tamu di mana Ketua Siauw-lim-pai sendiri menerima tamu, maka dengan jelas dia dapat melihat tokoh-tokoh kang-ouw yang disebutkan namanya setiap kali menghadap Ketua Siauw-lim-pai kemudian bersembahyang di depan kedua peti jenazah.
Yang datang adalah tokoh-tokoh besar, utusan partai-partai Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Hoa-san-pai dan lain-lain partai persilatan yang terkenal. Juga banyak dari perkumpulan-perkumpulan silat, dari perorangan yang sudah mengenal pribadi kedua orang tokoh Siauw-lim-pai yang meninggal dunia atau yang datang untuk menghormati Siauw-lim-pai. Akan tetapi hatinya kecewa sekali karena dia tidak melihat ayah bundanya.
“Locianpwe, mengapa ayah bunda teecu belum juga tiba?” Akhimya dia tidak sabar lagi, bertanya lirih kepada Thian Kek Hwesio.
Hwesio ketua Siauw-lim-pai ini menarik napas panjang.
“Ayahmu bukan lagi murid Siauw-lim-pai, andaikata berhalangan datang pun tidak mengapa. Lihat, Cia-taihiap datang!”
Hwesio tua itu bangkit berdiri menyambut dengan wajah berseri. Mendengar disebutnya Cia-taihiap, jantung Kun Liong berdebar keras dan cepat dia mengangkat muka memandang.
Sinar matanya berseri dan dia menahan senyumnya ketika dia mengenal dara cantik jelita dan gagah perkasa yang berjalan di belakang suami isteri setengah tua itu. Mana mungkin dia pangling? Wajah itu masih sama cantik jelita dan berseri-seri penuh kenakalan seperti dahulu, bahkan makin cantik dan matang! Cia Giok Keng, siapa lagi?
Dan dara itu pun memandang kepadanya, kelihatan terkejut dan terheran yang dapat dilihat dari diangkatnya sepasang alis yang seperti bulan muda itu, sepasang mata yang jernih itu berkilat, akan tetapi dara itu segera membuang muka mengalihkan pandang dengan alis berkerut!
Hampir saja Kun Liong tertawa karena dia teringat akan pertemuannya yang pertama dahulu dengan gadis itu. Mengertilah dia bahwa gadis itu tentu merasa khawatir melihat Kun Liong di situ, khawatir kalau-kalau pemuda ini akan membuka rahasianya dahulu akan wataknya yang buruk menyambut tamu dengan kurang ajar! Teringat ini, Kun Liong tersenyum penuh kemenangan. Sedikitnya, ada sesuatu yang dia kuasai, yang membuat dara itu tidak akan berani lagi berkurang ajar seperti dahulu, memandang rendah kepadanya!
Bagaimana Giok Keng dapat muncul di Siauw-lim-si? Seperti telah diceritakan di bagian depan, dara ini disuruh menjaga adiknya di Cin-ling-pai. Akan tetapi, dasar anak manja, sehari kemudian setelah ayah bundanya pergi, dia tak dapat menahan keinginannya untuk pergi.
Karena gadis ini melakukan perjalanan mengejar ayah bundanya dengan cepat, maka tiga hari kemudian dia dapat menyusul mereka. Cia Keng Hong akan menegur, akan tetapi kembali isterinya yang membela anaknya.
“Dia sudah menyusul, biarlah dia ikut dengan kita.”
“Hmm... disuruh menjaga rumah malah nekat menyusul! Seperti anak kecil saja engkau, Keng-ji!”
Giok Keng memegang lengan ayahnya dan berkata halus manja,
“Maaf, Ayah. Saya ingin sekali bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw untuk menambah pengalaman.”
“Hemm...!”
Terpaksa Keng Hong tidak melarang lagi dan berangkatlah mereka ke Siauw-lim-si bertiga.
Setelah melalui basa-basi upacara penyambutan di mana Ketua Siauw-lim-pai mengucapkan selamat datang dan pendekar sakti itu menyatakan duka cita atas kematian Tiang Pek Hosiang dan Thian Le Hwesio, suami isteri dan puteri-nya itu lalu memberi hormat dengan memasang hio (dupa wangi) dan bersembahyang di depan peti mati. Kemudian mereka dipersilakan duduk di tempat kehormatan sejajar dengan beberapa orang ketua partai yang berkenan hadir dan tidak mewakilkan kepada murid-muridnya.
Kun Liong memperhatikan dengan pandang matanya. Pendekar sakti yang amat dikagumi dan dijunjung tinggi oleh ayah dan ibunya itu kelihatan seorang laki-laki sebaya dengan ayahnya sekarang, setengah tua dan pakaiannya sederhana sekali. Sama sekali tidak seperti para ketua partai yang datang diiringkan anak buahnya yang membawa-bawa bendera tanda partai segala. Ketua Cin-ling-pai ini datang seperti orang biasa bersama isteri dan puterinya, pakaiannya seperti sastrawan sederhana atau lebih tepat seperti seorang petani terpelajar, tidak membawa senjata dan kelihatannya biasa saja.
Tubuhnya memang tegap berisi, wajahnya tampan dan kumis serta jenggotnya pendek, masih hitam semua. Wajah itu membayangkan kesabaran, dan hanya sepasang alisnya yang membayangkan kegagahan, alis yang tebal dan bentuknya keren. Rambutnya masih hitam, digelung ke atas dan diikat dengan saputangan sutera berwama kuning tua. Bajunya yang longgar berwarna kuning muda dan celananya hitam, ikat pinggangnya juga kuning tua. Sungguh di luar persangkaan Kun Liong yang membayangkan supeknya itu sebagai seorang tokoh yang hebat dan luar biasa! Kiranya seorang yang sederhana sekali, baik pakaian, gerak-gerik maupun sikapnya.
Isterinya lebih istimewa. Cantik dan penuh semangat, pakaiannya serba putih dengan hiasan warna merah dan biru di sana-sini, sikapnya agak dingin namun menambah kekerenannya. Pribadi nyonya ini jelas membayangkan kegagahan penuh, yang membuat orang merasa sungkan dan jerih untuk berurusan dengannya. Sambaran sinar matanya penuh wibawa. Melihat wajah nyonya ini, Kun Liong mendapat kenyataan betapa Giok Keng mirip ibunya, cantik, gagah, dan jelas menonjol sifat terbuka dan penuh keberanian.
Dengan jantung berdebar Kun Liong melangkah perlahan menghampiri Cia Keng Hong yang duduk dengan tenang memandang para tamu yang baru datang dan bersembahyang. Pemuda ini melihat betapa Giok Keng menengok kepadanya dan kembali alis dara itu berkerut, sinar matanya menyambar penuh peringatan! Hal ini terasa sekali oleh Kun Liong sehingga tanpa disadarinya, kepalanya yang gundul itu mengangguk! Dan dia tersenyum ketika melihat dara itu sekilas tersenyum, kelihatan lega!
“Maafkan kalau teecu mengganggu, Supek. Teecu adalah Yap Kun Liong, dan merasa berbahagia sekali mendapat kesempatan berjumpa dengan Supek berdua Supek-bo.” Dia berlutut di depan Keng Hong dan Biauw Eng.
Keng Hong dan Biauw Eng terbelalak memandang kepala yang gundul itu karena ketika pemuda itu herlutut dan menundukkan muka, yang tampak hanya kepalanya yang gundul licin saja!
“Apa...? Siauw-suhu (Bapak Pendeta Muda)...?”
Telinga Kun Liong menjadi merah ketika menangkap suara ketawa ditahan dari sebelah kiri, Cia Giok Keng yang menahan ketawa itu, tak salah lagi!
“Supek, teecu bukan hwesio biarpun kepala teecu gundul. Teecu Yap Kun Liong...”
Keng Hong memegang pundak pemuda itu. Kun Liong mengangkat muka dan melihat betapa wajah yang tampan dan gagah itu diliputi keharuan.
“Engkau putera Yan Cu...?” Biauw Eng juga berseru lirih.
Keng Hong memberi isyarat kepada isterinya dan puterinya, kemudian bangkit berdiri.
“Bawa kami ke tempat sunyi agar leluasa bicara.”
Kun Liong mengangguk dan mendahului pergi ke ruangan samping yang sunyi. Ketua Siauw-lim-pai melihat ini, akan tetapi hanya tersenyum saja karena dia maklum betapa pentingnya pertemuan antara paman guru dan murid keponakan itu. Setelah tiba di tempat sunyi itu, Keng Hong memegang lengan Kun Liong dan memandang dengan sinar mata tajam.
“Benarkah engkau Yap Kun Liong? Dimana ayah bundamu?”
Kun Liong menunduk dan menarik napas panjang kemudian menggelengkan kepalanya yang gundul,
“Teecu tidak tahu, Supek. Sudah sepuluh tahun teecu tidak berjumpa dengan mereka.”
Biauw Eng melangkah ke depan, kedua tangannya yang halus kulitnya itu meraba dagu Kun Liong, mengangkat muka pemuda yang menjadi kaget dan terheran itu.
“Dia memang putera mereka. Lihat!”
Biauw Eng menggunakan telapak tangan kanan menutupi bagian atas dari muka Kun Liong, memperlihatkan hidung dan mulutnya saja.
“Persis Yan Cu sumoi!” Keng Hong berseru kagum.
“Dan lihat ini!” Kini tangan Biauw Eng menurun dan menutupi bagian bawah muka pemuda itu.
“Benar! Mata dan dahi itu persis Cong San, hanya bedanya dia gundul. Eh, Kun Liong, kemana saja engkau pergi? Kenapa kepalamu gundul? Hemmm... agaknya engkau menjadi korban hawa beracun! Dan bagaimana pula sampai sepuluh tahun engkau tidak berjumpa dengan ayah bundamu?”
“Panjang sekali ceritanya, Supek.”
Kun Liong menarik napas panjang dan melirik ke arah Giok Keng. Kalau dia menceritakan pengalaman-pengalamannya, apakah dia tidak harus bercerita tentang kunjungannya ke Cin-ling-san?
Gerakan ini dianggap oleh Keng Hong bahwa pemuda itu sungkan bercerita karena di situ ada Giok Keng yang tentu disangka orang lain karena belum diperkenalkan.
“Kun Liong, dia ini bukan orang lain, dia adalah puteri kami, bernama Giok Keng. Keng-ji (Anak Keng), ini adalah Yap Kun Liong, putera pamanmu Yap Cong San seperti yang telah kami ceritakan kepadamu. Dia lebih tua darimu.”
“Glok Keng, beri salam kepada kakakmu!” Biauw Eng berkata.
Biarpun hatinya tidak suka karena dia masih curiga kalau-kalau pemuda gundul itu akan membuka rahasia kesalahannya lima tahun yahg lalu, terpaksa Giok Keng mengangkat kedua tangan dengan kaku dan berkata lirih,
“Liong-ko (Kakak Liong)!”
Kun Liong cepat membalas penghormatan itu dan tersenyum.
“Keng-moi (Adik Keng), maafkan tadi aku diam saja karena tidak mengenal engkau siapa.”
Ucapan pemuda ini seketika membuat wajah Giok Keng berseri gembira karena hatinya lega. Setelah mengatakan tidak mengenal berarti pemuda itu akan merahasiakan pertemuan mereka lima tahun yang lalu. Maka dengan ramah dan juga tersenyum dia menjawab,
“Tidak mengapa, Liong-ko. Akulah yang seharusnya menyapa lebih dulu.”
Atas desakan Keng Hong dan Biauw Eng yang ingin sekali mendengar apa yang telah dialami pemuda itu, Kun Liong lalu menuturkan dengan singkat pengalaman-pengalamannya semenjak anjing peliharaannya menumpahkan obat dan karena takut dia melarikan diri sampai berturut-turut terjadi hal-hal hebat menimpa dirinya sehingga dia makin tidak berani pulang. Dia menceritakan betapa dia diambil murid oleh Bun Hwat Tosu dan dipesan agar jangan mempergunakan nama kakek itu sebagai gurunya.
“Hanya kepada Supek, dan Supek-bo, juga Adik Giok Keng, saya berani menceritakan,” sambungnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar