“Yap Cong San, anakmu yang bernama Kun Liong telah mencuri bokor emas. Lekas kau katakan dimana dia dan dimana bokor emas itu, kalau tidak, terpaksa engkau akan menyusul isterimu!”
Bu Leng Ci berkata dengan wajah gembira. Memang wanita iblis ini paling suka melihat orang berduka dan sengsara. Bukan hanya dia, bahkan empat orang kawannya pun demikian juga, pandang mata mereka seperti mata kanak-kanak melihat seekor cacing menggeliat-geliat kepanasan dalam sekarat. Sedikit pun tidak ada rasa kasihan, bahkan gembira dan puas!
Akan tetapi Cong San tidak memperhatikan dan tidak mempedulikan pertanyaan ini, bahkan bertanya lagi,
“Siapa yang membunuh isteriku?”
“Aku yang membunuhnya, kau mau apa?” belum habis ucapan ini keluar dari mulut Bu Leng Ci, Cong San sudah menggerakkan senjata pit hitam di tangan kanannya.
“Siuuuuttt... wesss!”
Cepat bukan main serangan itu, dilakukan dengan hati sakit dan penuh dendam, menusuk ke arah dada orang termuda dari Lima Datuk kaum sesat itu. Bu Leng Ci tidak sempat mencabut samurainya dan hanya dapat mengelak dengan kaget sekali untuk menyelamatkan dirinya.
“Brettt!” Baju yang menutup dada terobek sedikit berikut sedikit kulit di bagian kanan.
“Keparat!”
Bu Leng Ci marah bukan main, juga malu karena hampir saja dia celaka oleh serangan itu tadi.
“Srattt!” Samurai panjang telah dicabutnya, dan dia menyerang kalang kabut.
“Tring-tring-tranggg!”
Bunga api berpijar ketika senjata pit itu menangkis samurai. Kwi-eng Nio-cu membantu adik angkatnya dengan cengkeraman dari samping ke arah pundah Cong San, akan tetapi pendekar ini cepat mengelak dan pit-nya berkelebat menyambut untuk menotok sambungan siku Si Bayangan Hantu. Gerakannya cepat dan kuat sekali. Sakit hati, kemarahan dan kedukaan melihat isterinya yang terkasih tergeletak tak bernyawa dengan dada tertembus pedang, agaknya melipat-gandakan tenaga dan kecepatannya.
Si Bayangan Hantu terpaksa menarik kembali lengannya dan di lain saat Yap Cong San telah dikeroyok oleh empat orang diantara Lima Datuk itu. Hanya Toat-beng Hoat-su seorang yang berdiri menonton saja, tidak ikut turun tangan. Biarpun demikian, Cong San sudah repot sekali.
Jangankan dikeroyok oleh empat orang yang lihai itu, baru seorang diantara mereka saja sudah merupakan lawan berat yang belum tentu dapat dikalahkannya. Betapapun juga, Cong San tidak gentar dan melawan mati-matian, biarpun gerakannya tidak leluasa karena lengan kirinya memondong puterinya yang menangis nyaring.
Pertandingan yang berat sebelah, Yap Cong San adalah murid Tiang Pek Ho-siang. Dia telah menguasai ilmu silat Siauw-lim-pai yang tangguh dan murni. Akan tetapi, dengan seorang anak kecil dalam pondongannya, menghadapi empat di antara datuk-datuk kaum sesat itu, tentu saja dia terdesak hebat sekali dan beberapa belas jurus kemudian dia hanya mampu mempertahankan diri dan melindungi puterinya saja.
Apalagi karena empat orang lawannya adalah orang-orang sakti golongan hitam yang tidak pantang melakukan pengeroyokan dan menggunakan siasat licik. Kini mereka yang mengeroyok sambil tertawa-tawa seperti hendak mempermainkan lawan, bukan hanya menyerang Cong San, akan tetapi juga menujukan serangannya kepada anak kecil dalam podongan pendekar itu.
Hal ini membuat Cong San selain marah dan duka, juga khawatir sekali. Baru sekarang dia yang tadi dilanda kedukaan teringat bahwa puterinya yang masih kecil dan terus menangis ini terancam bahaya maut! Maka dia kini mencurahkan seluruh daya pertahanannya untuk melindungi puterinya.
“Huh! Memalukan!”
Toat-beng Hoat-su mengeluarkan seruan keras ketika menyaksikan betapa sampai tiga puluh jurus lebih empat orang kawannya belum juga mampu merobohkan seorang lawan yang mereka keroyok. Baru pengeroyokan itu saja sudah menjengkelkan hati kakek ini. Disebut datuk-datuk akan tetapi masih melakukan pengeroyokan! Merendahkan martabat ini namanya! Untuk mengakhiri pengeroyokan yang memalukan ini, tiba-tiba dia menggerakkan jubahnya dari belakang, mengarah kepala anak kecil dalam pondongan Cong San!
Terkejut bukan main hati Cong San ketika merasa angin dahsyat sekali menyambar ke arah kepala anaknya. Jangankan sampai mengenai langsung, baru sambaran angin yang dahsyat itu saja sudah cukup untuk membunuh puterinya! Tidak ada jalan lain baginya kecuali mengorbankan diri untuk melindungi anaknya. Cepat Cong San membalik sehingga tubuh anaknya terlindung dan dia memutar pit-nya untuk menyambut datangnya jubah lebar yang amat dahsyat sambarannya itu.
“Bretttt...! Desss...!”
“Suhu...! Subo...!” Terdengar jerit melengking di pintu ruangan.
Cong San cepat memutar tubuh dan melemparkan Yap In Hong ke arah muridnya sambil berteriak,
“Cui Lin, bawa lari In Hong...!”
Hantaman jubah di tangan Toat-beng Hoat-su tadi hebat sekali. Memang pitnya mampu merobek jubah itu, akan tetapi pit itu sendiri hancur dan lengan kanannya lumpuh dengan tulang patah-patah. Kini dia sudah mencabut pit putih dengan tangan kirinya dan siap menghadapi lawan-lawan yang amat lihai itu!
Akan tetapi Cui Lin tidak dapat lari karena kedua kakinya menggigil ketika dia melihat subonya mati, apalagi ketika dia melihat mayat ayahnya, ibunya, kakeknya berserakan, hampir dia roboh pingsan dan berlutut sambil memeluk In Hong dan menangis!
Biarpun lengan kanannya sudah lumpuh dan dia hanya mampu melawan dengan pit di tangan kirinya, namun Cong San masih mengamuk hebat sehingga pitnya berhasil melukai pundak Hek-bin Thian-sin, sungguhpun dia sendiri telah menerima pukulan-pukulan dengan senjata lawan yang membuat pakaiannya robek-robek dan penuh darah.
“Jahanam Yap Cong San, mampuslah!”
Bu Leng Ci yang marah sekali karena tadi dia hampir celaka oleh pit di tangan Cong San, menggerakkan tangan kirinya dan sinar hijau menyambar. Pada saat itu, Cong San sedang terhimpit karena Toat-beng Hoat-su yang marah jubahnya robek sudah mendesaknya, maka pendekar ini tidak dapat menghindarkan diri lagi dari sambaran Siang-tok-soa (Pasir Beracun Wangi) yang disambitkan oleh Bu Leng Ci dari jarak dekat.
“Aduhhh...!”
Dia berseru ketika pasir itu memasuki dadanya. Hidungnya mencium bau yang wangi sekali dan tahulah dia bahwa nyawanya takkan tertolong lagi. Dengan sekuat tenaga dia menyambitkan pitnya ke arah lawan yang terdekat, yaitu Ban-tok Coa-ong. Begitu hebat sambitan ini sehingga biarpun Ban-tok Coa-ong meloncat ke atas, tetap saja pit yang tadinya dimaksudkan oleh penyambitnya untuk menembus dadanya itu masih menembus betisnya!
“Auuuww... setan kau!”
Ban-tok Coa-ong menubruk dan pedang ularnya membacok. Cong San mengelak, akan tetapi kurang cepat dan pinggangnya robek. Dengan luka parah ini Cong San masih belum roboh, melainkan menubruk ke arah jenazah isterinya dan memeluk isterinya.
“Yan Cu... tunggu... Yan Cu...!”
Dengan tubuh isterinya dalam pelukan ketat, pendekar ini menghembuskan napas terakhir! Suami isteri pendekar gagah perkasa yang saling mencinta dan yang sepanjang hidupnya banyak mengalami kemalangan itu tewas dalam keadaan menyedihkan sekali bagi yang melihatnya.
“Huh, menjemukan!”
Bu Leng Ci yang masih marah itu menendang mayat Cong San. Mayat itu terlempar, akan tetapi mayat Yan Cu juga ikut terbawa, ternyata bahwa pelukan Cong San itu ketat sekali, seolah-olah sampai mati pun dia tidak mau melepaskan isterinya dan lengannya telah menjadi kaku.
“Ha-ha-ha, mesra-mesra... auggghh...” Ban-tok Coa-ong mencabut pit dari betisnya dan mengobati lukanya.
“Suhu...! Subo...! Uhuhuhuhhh...!”
Cui Lin yang masih memondong tubuh In Hong menangis mengguguk sambil berlutut di atas lantai. Di luar pintu tampak Phoa-ma berlutut, wajahnya pucat sekali, matanya terbelalak dan mulutnya mewek-mewek menahan tangis saking ngeri dan takutnya. Dia tadi bersama Cui Lin berlari-lari pulang ketika mendengar laporan seorang tetangga bahwa di rumah keluarga Theng terdengar rebut-ribut seperti orang berkelahi.
“Hemm, bocah ini murid mereka, tidak boleh hidup!” Bu Leng Ci berkata dan samurainya sudah menggetar di tangannya.
“Mo-li, jangan! Sayang kalau dibunuh begitu saja. Hemm, berikan kepadaku sebelum dibunuh!” Yang berkata demikian adalah Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu.
Bu Leng Ci membuang ludah.
“Cuhh! Laki-laki kotor!”
“Aahhh, masa kau tidak mau mengalah kepadaku? Kalau mau bunuh bayi itu, bunuhlah, akan tetapi sayang kalau dara ini dibunuh begitu saja. Aku bukan seorang mata keranjang, akan tetapi melihat kemulusan seperti ini disia-siakan dan dibunuh tanpa dimanfaatkan, sungguh amat sayang.”
Bu Leng Ci membuang muka dengan sebal, sedangkan Kwi-eng Nio-cu cemberut. Kedua orang wanita yang sudah banyak melihat kepalsuan laki-laki terhadap wanita ini merasa muak dan kebenciannya terhadap pria bertambah dengan sikap Si Muka Hitam itu.
Cui Lin yang mendengar percakapan itu mengangkat mukanya yang pucat, memandang kelima orang pembunuh keluarganya dan gurunya itu. Dia maklum bahwa melawan akan percuma. Yang penting sekarang adalah menyelamatkan In Hong. Perintah gurunya terakhir adalah menyelamatkan atau melarikan In Hong.
Akan tetapi dia tidak dapat lari dan sekarang dia harus menggunakan segala usaha untuk menyelamatkan putera gurunya. Dia tidak takut lagi, yang ada hanya benci. Dendam sedalam lautan yang sukar untuk ditebusnya, mengingat betapa lihainya kelima orang itu. Akan tetapi, yang terpenting adalah menyelamatkan In Hong. Dia bangkit berdiri dengan In Hong di pelukannya. Suaranya tidak gemetar takut ketika dia berkata,
“Ampuni anak kecil yang tak berdosa ini. Aku bersedia mentaati perintah kalian, biar disuruh mati sekalipun, asal adikku ini diampuni dan dibiarkan pergi bersama Phoa-ma.”
“Ha-ha-ha, Nona manis, engkau tabah sekali. Benarkah engkau bersedia menurut kehendakku?” Si Muka Hitam yang buruk rupa itu terkekeh dan bertanya.
“Asal adikku dibebaskan.” Cui Lin mengangguk.
“Anak itu tentu anak mereka. Orangku dahulu mengatakan bahwa ketika mereka menyerbu, Gui Yan Cu sedang mengandung. Anak ini harus dibunuh, kalau tidak, kelak hanya akan mendatangkan kerepotan saja,” kata Kwi-eng Nio-cu.
Cui Lin terkejut. Cepat dia memutar otaknya dan berkata nyaring dengan nada mengejek,
“Aih, orang-orang lihai macam kalian takut kepada seorang anak bayi, takut kalau kelak membalas dandam? Tak kusangka kalian penakut seperti itu!”
“Budak hina!”
Kwi-eng Nio-cu menggerakkan tangan menampar, akan tetapi Hek-bin Thian-sin sudah meloncat ke depan menghalangi.
“Nio-cu, tidak boleh dia dibunuh dulu sebelum aku selesai dengannya.”
“Kau... hendak membelanya? Kau kira aku takut kepadamu, Hek-hin Thian-sin?” Kwi-eng Nio-cu membentak.
“Takut atau tidak bukan urusanku, akan tetapi tadi sudah kunyatakan bahwa aku tidak ingin melihat gadis ini dibunuh begitu saja.”
“Kalau begitu, majulah!” Si Bayangan Hantu menantang.
Bu Leng Ci berkata dengan wajah gembira. Memang wanita iblis ini paling suka melihat orang berduka dan sengsara. Bukan hanya dia, bahkan empat orang kawannya pun demikian juga, pandang mata mereka seperti mata kanak-kanak melihat seekor cacing menggeliat-geliat kepanasan dalam sekarat. Sedikit pun tidak ada rasa kasihan, bahkan gembira dan puas!
Akan tetapi Cong San tidak memperhatikan dan tidak mempedulikan pertanyaan ini, bahkan bertanya lagi,
“Siapa yang membunuh isteriku?”
“Aku yang membunuhnya, kau mau apa?” belum habis ucapan ini keluar dari mulut Bu Leng Ci, Cong San sudah menggerakkan senjata pit hitam di tangan kanannya.
“Siuuuuttt... wesss!”
Cepat bukan main serangan itu, dilakukan dengan hati sakit dan penuh dendam, menusuk ke arah dada orang termuda dari Lima Datuk kaum sesat itu. Bu Leng Ci tidak sempat mencabut samurainya dan hanya dapat mengelak dengan kaget sekali untuk menyelamatkan dirinya.
“Brettt!” Baju yang menutup dada terobek sedikit berikut sedikit kulit di bagian kanan.
“Keparat!”
Bu Leng Ci marah bukan main, juga malu karena hampir saja dia celaka oleh serangan itu tadi.
“Srattt!” Samurai panjang telah dicabutnya, dan dia menyerang kalang kabut.
“Tring-tring-tranggg!”
Bunga api berpijar ketika senjata pit itu menangkis samurai. Kwi-eng Nio-cu membantu adik angkatnya dengan cengkeraman dari samping ke arah pundah Cong San, akan tetapi pendekar ini cepat mengelak dan pit-nya berkelebat menyambut untuk menotok sambungan siku Si Bayangan Hantu. Gerakannya cepat dan kuat sekali. Sakit hati, kemarahan dan kedukaan melihat isterinya yang terkasih tergeletak tak bernyawa dengan dada tertembus pedang, agaknya melipat-gandakan tenaga dan kecepatannya.
Si Bayangan Hantu terpaksa menarik kembali lengannya dan di lain saat Yap Cong San telah dikeroyok oleh empat orang diantara Lima Datuk itu. Hanya Toat-beng Hoat-su seorang yang berdiri menonton saja, tidak ikut turun tangan. Biarpun demikian, Cong San sudah repot sekali.
Jangankan dikeroyok oleh empat orang yang lihai itu, baru seorang diantara mereka saja sudah merupakan lawan berat yang belum tentu dapat dikalahkannya. Betapapun juga, Cong San tidak gentar dan melawan mati-matian, biarpun gerakannya tidak leluasa karena lengan kirinya memondong puterinya yang menangis nyaring.
Pertandingan yang berat sebelah, Yap Cong San adalah murid Tiang Pek Ho-siang. Dia telah menguasai ilmu silat Siauw-lim-pai yang tangguh dan murni. Akan tetapi, dengan seorang anak kecil dalam pondongannya, menghadapi empat di antara datuk-datuk kaum sesat itu, tentu saja dia terdesak hebat sekali dan beberapa belas jurus kemudian dia hanya mampu mempertahankan diri dan melindungi puterinya saja.
Apalagi karena empat orang lawannya adalah orang-orang sakti golongan hitam yang tidak pantang melakukan pengeroyokan dan menggunakan siasat licik. Kini mereka yang mengeroyok sambil tertawa-tawa seperti hendak mempermainkan lawan, bukan hanya menyerang Cong San, akan tetapi juga menujukan serangannya kepada anak kecil dalam podongan pendekar itu.
Hal ini membuat Cong San selain marah dan duka, juga khawatir sekali. Baru sekarang dia yang tadi dilanda kedukaan teringat bahwa puterinya yang masih kecil dan terus menangis ini terancam bahaya maut! Maka dia kini mencurahkan seluruh daya pertahanannya untuk melindungi puterinya.
“Huh! Memalukan!”
Toat-beng Hoat-su mengeluarkan seruan keras ketika menyaksikan betapa sampai tiga puluh jurus lebih empat orang kawannya belum juga mampu merobohkan seorang lawan yang mereka keroyok. Baru pengeroyokan itu saja sudah menjengkelkan hati kakek ini. Disebut datuk-datuk akan tetapi masih melakukan pengeroyokan! Merendahkan martabat ini namanya! Untuk mengakhiri pengeroyokan yang memalukan ini, tiba-tiba dia menggerakkan jubahnya dari belakang, mengarah kepala anak kecil dalam pondongan Cong San!
Terkejut bukan main hati Cong San ketika merasa angin dahsyat sekali menyambar ke arah kepala anaknya. Jangankan sampai mengenai langsung, baru sambaran angin yang dahsyat itu saja sudah cukup untuk membunuh puterinya! Tidak ada jalan lain baginya kecuali mengorbankan diri untuk melindungi anaknya. Cepat Cong San membalik sehingga tubuh anaknya terlindung dan dia memutar pit-nya untuk menyambut datangnya jubah lebar yang amat dahsyat sambarannya itu.
“Bretttt...! Desss...!”
“Suhu...! Subo...!” Terdengar jerit melengking di pintu ruangan.
Cong San cepat memutar tubuh dan melemparkan Yap In Hong ke arah muridnya sambil berteriak,
“Cui Lin, bawa lari In Hong...!”
Hantaman jubah di tangan Toat-beng Hoat-su tadi hebat sekali. Memang pitnya mampu merobek jubah itu, akan tetapi pit itu sendiri hancur dan lengan kanannya lumpuh dengan tulang patah-patah. Kini dia sudah mencabut pit putih dengan tangan kirinya dan siap menghadapi lawan-lawan yang amat lihai itu!
Akan tetapi Cui Lin tidak dapat lari karena kedua kakinya menggigil ketika dia melihat subonya mati, apalagi ketika dia melihat mayat ayahnya, ibunya, kakeknya berserakan, hampir dia roboh pingsan dan berlutut sambil memeluk In Hong dan menangis!
Biarpun lengan kanannya sudah lumpuh dan dia hanya mampu melawan dengan pit di tangan kirinya, namun Cong San masih mengamuk hebat sehingga pitnya berhasil melukai pundak Hek-bin Thian-sin, sungguhpun dia sendiri telah menerima pukulan-pukulan dengan senjata lawan yang membuat pakaiannya robek-robek dan penuh darah.
“Jahanam Yap Cong San, mampuslah!”
Bu Leng Ci yang marah sekali karena tadi dia hampir celaka oleh pit di tangan Cong San, menggerakkan tangan kirinya dan sinar hijau menyambar. Pada saat itu, Cong San sedang terhimpit karena Toat-beng Hoat-su yang marah jubahnya robek sudah mendesaknya, maka pendekar ini tidak dapat menghindarkan diri lagi dari sambaran Siang-tok-soa (Pasir Beracun Wangi) yang disambitkan oleh Bu Leng Ci dari jarak dekat.
“Aduhhh...!”
Dia berseru ketika pasir itu memasuki dadanya. Hidungnya mencium bau yang wangi sekali dan tahulah dia bahwa nyawanya takkan tertolong lagi. Dengan sekuat tenaga dia menyambitkan pitnya ke arah lawan yang terdekat, yaitu Ban-tok Coa-ong. Begitu hebat sambitan ini sehingga biarpun Ban-tok Coa-ong meloncat ke atas, tetap saja pit yang tadinya dimaksudkan oleh penyambitnya untuk menembus dadanya itu masih menembus betisnya!
“Auuuww... setan kau!”
Ban-tok Coa-ong menubruk dan pedang ularnya membacok. Cong San mengelak, akan tetapi kurang cepat dan pinggangnya robek. Dengan luka parah ini Cong San masih belum roboh, melainkan menubruk ke arah jenazah isterinya dan memeluk isterinya.
“Yan Cu... tunggu... Yan Cu...!”
Dengan tubuh isterinya dalam pelukan ketat, pendekar ini menghembuskan napas terakhir! Suami isteri pendekar gagah perkasa yang saling mencinta dan yang sepanjang hidupnya banyak mengalami kemalangan itu tewas dalam keadaan menyedihkan sekali bagi yang melihatnya.
“Huh, menjemukan!”
Bu Leng Ci yang masih marah itu menendang mayat Cong San. Mayat itu terlempar, akan tetapi mayat Yan Cu juga ikut terbawa, ternyata bahwa pelukan Cong San itu ketat sekali, seolah-olah sampai mati pun dia tidak mau melepaskan isterinya dan lengannya telah menjadi kaku.
“Ha-ha-ha, mesra-mesra... auggghh...” Ban-tok Coa-ong mencabut pit dari betisnya dan mengobati lukanya.
“Suhu...! Subo...! Uhuhuhuhhh...!”
Cui Lin yang masih memondong tubuh In Hong menangis mengguguk sambil berlutut di atas lantai. Di luar pintu tampak Phoa-ma berlutut, wajahnya pucat sekali, matanya terbelalak dan mulutnya mewek-mewek menahan tangis saking ngeri dan takutnya. Dia tadi bersama Cui Lin berlari-lari pulang ketika mendengar laporan seorang tetangga bahwa di rumah keluarga Theng terdengar rebut-ribut seperti orang berkelahi.
“Hemm, bocah ini murid mereka, tidak boleh hidup!” Bu Leng Ci berkata dan samurainya sudah menggetar di tangannya.
“Mo-li, jangan! Sayang kalau dibunuh begitu saja. Hemm, berikan kepadaku sebelum dibunuh!” Yang berkata demikian adalah Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu.
Bu Leng Ci membuang ludah.
“Cuhh! Laki-laki kotor!”
“Aahhh, masa kau tidak mau mengalah kepadaku? Kalau mau bunuh bayi itu, bunuhlah, akan tetapi sayang kalau dara ini dibunuh begitu saja. Aku bukan seorang mata keranjang, akan tetapi melihat kemulusan seperti ini disia-siakan dan dibunuh tanpa dimanfaatkan, sungguh amat sayang.”
Bu Leng Ci membuang muka dengan sebal, sedangkan Kwi-eng Nio-cu cemberut. Kedua orang wanita yang sudah banyak melihat kepalsuan laki-laki terhadap wanita ini merasa muak dan kebenciannya terhadap pria bertambah dengan sikap Si Muka Hitam itu.
Cui Lin yang mendengar percakapan itu mengangkat mukanya yang pucat, memandang kelima orang pembunuh keluarganya dan gurunya itu. Dia maklum bahwa melawan akan percuma. Yang penting sekarang adalah menyelamatkan In Hong. Perintah gurunya terakhir adalah menyelamatkan atau melarikan In Hong.
Akan tetapi dia tidak dapat lari dan sekarang dia harus menggunakan segala usaha untuk menyelamatkan putera gurunya. Dia tidak takut lagi, yang ada hanya benci. Dendam sedalam lautan yang sukar untuk ditebusnya, mengingat betapa lihainya kelima orang itu. Akan tetapi, yang terpenting adalah menyelamatkan In Hong. Dia bangkit berdiri dengan In Hong di pelukannya. Suaranya tidak gemetar takut ketika dia berkata,
“Ampuni anak kecil yang tak berdosa ini. Aku bersedia mentaati perintah kalian, biar disuruh mati sekalipun, asal adikku ini diampuni dan dibiarkan pergi bersama Phoa-ma.”
“Ha-ha-ha, Nona manis, engkau tabah sekali. Benarkah engkau bersedia menurut kehendakku?” Si Muka Hitam yang buruk rupa itu terkekeh dan bertanya.
“Asal adikku dibebaskan.” Cui Lin mengangguk.
“Anak itu tentu anak mereka. Orangku dahulu mengatakan bahwa ketika mereka menyerbu, Gui Yan Cu sedang mengandung. Anak ini harus dibunuh, kalau tidak, kelak hanya akan mendatangkan kerepotan saja,” kata Kwi-eng Nio-cu.
Cui Lin terkejut. Cepat dia memutar otaknya dan berkata nyaring dengan nada mengejek,
“Aih, orang-orang lihai macam kalian takut kepada seorang anak bayi, takut kalau kelak membalas dandam? Tak kusangka kalian penakut seperti itu!”
“Budak hina!”
Kwi-eng Nio-cu menggerakkan tangan menampar, akan tetapi Hek-bin Thian-sin sudah meloncat ke depan menghalangi.
“Nio-cu, tidak boleh dia dibunuh dulu sebelum aku selesai dengannya.”
“Kau... hendak membelanya? Kau kira aku takut kepadamu, Hek-hin Thian-sin?” Kwi-eng Nio-cu membentak.
“Takut atau tidak bukan urusanku, akan tetapi tadi sudah kunyatakan bahwa aku tidak ingin melihat gadis ini dibunuh begitu saja.”
“Kalau begitu, majulah!” Si Bayangan Hantu menantang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar