Kwi-eng Niocu Ang Hwa Nio melirik dan senyum yang menghias bibirnya amat menyeramkan.
“Siapa yang ingin engkau menjadi anak buahku, Mo-li? Kita adalah rekan dan kedudukan kita setingkat, sungguhpun aku menjadi seorang pangcu dan engkau hanya seorang petualang tanpa tempat tinggal. Engkau tadi mengatakan suka kepada tempat ini dan aku menawarkan kepadamu untuk tinggal di sini, bukan sebagai anak buah, bukan pula sebagai pembantuku karena engkau memang bukan anggauta Kwi-eng-pang.”
“Habis, sebagai apa? Tamu? Mana ada tamu tinggal terus-menerus?”
“Juga bukan tamu, tetapi sebagai adik angkat. Maukah?”
Bu Leng Ci bangkit berdiri dan mukanya menjadi merah. Bi Kiok yang sejak tadi duduk mendengarkan dan menonton, diam saja namun diam-diam dia merasa tegang juga karena kalau sampai gurunya dan Ketua Kwi-eng-pang itu bertanding, tentu hebat bukan main akibatnya.
“Kwi-eng-pangcu! Menjadi adik angkat berarti harus tunduk dan taat kepada kakak angkatnya, berarti sama saja! Apakah dengan memberi tempat tinggal kepadaku harus kubayar dengan tunduk dan taat kepadamu?”
Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio tertawa, suara ketawanya merdu dan halus, akan tetapi ada sesuatu yang dingin dan menyeramkan di balik suara ketawa ini, seperti suara ketawa seekor iblis betina yang merayu dan menjatuhkan hati orang-orang yang kurang kuat batinnya.
“Siang-tok Mo-li, tepat sekali apa yang kudengar tentang dirimu. Kau amat keras hati dan penuh prasangka. Cocok untuk menjadi adikku! Tentu saja sudah sepatutnya kalau kau menjadi adik angkatku, bukankah aku lebih tua darimu, sedikitnya sepuluh tahun lebih tua? Apa engkau merasa rendah dengan menjadi adik angkat Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, ketua dari Kwi-eng-pang?”
“Betapapun juga, seorang adik angkat tentu lebih rendah dari kakaknya, dan hal ini sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan usia.”
“Hemmm, habis apa yang menentukannya kalau bukan usia? Kau maksudkan kepandaian? Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci, apakah engkau tidak percaya bahwa kepandaianku lebih tinggi daripada kepandaianmu?”
“Ah, aku tidak percaya!”
Mereka berdua kini sudah berdiri saling berhadapan dan Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio sudah lupa akan kukunya, kini memandang kepada wanita pendek di depannya itu penuh perhatian.
“Kalau begitu, biarlah kepandaian yang menentukan!”
“Kwi-eng Niocu, aku tidak takut kepadamu! Akan tetapi, aku diundang ke sini untuk menghadiri pertemuan puncak yang sayangnya gagal. Setelah semua orang pergi, kau menahan aku untuk tinggal beberapa hari di sini. Sepantasnya aku berterima kasih kepadamu dan akan ditertawakan orang kalau aku sekarang bertanding melawanmu sebagai musuh! Pikirlah baik-baik! Benarkah kita harus saling bermusuh, bukan bersekutu seperti yang direncanakan semula?”
Kembali Kwi-eng-cu Ang Hwi Nio tertawa halus.
“Hi-hi-hih, Bu Leng Ci, engkau benar-benar keras seperti baja! Diajak menguji kepandaian kau anggap bertempur seperti musuh! Dikalahkan dengan usia kau tidak mau, maka jalan satu-satunya untuk menentukan siapa yang patut menjadi kakak dan siapa adik, hanyalah dengan mengukur kepandaian masing-masing!”
Bu Leng Ci mengerutkan alisnya. Kini dia mengerti apa yang dikehendaki oleh Ketua Kwi-eng-pang yang aneh ini. Akan tetapi, dia tetap ragu-ragu biarpun dia akan suka sekali tinggal di tempat yang indah itu.
“Tetap saja tidak baik, Pangcu” Dia menggeleng kepala. “Kalau aku kalah atau menang, tidak akan berubah, kita tidak mungkin tinggal terus bercampur menjadi satu di tempat ini. Kalau aku menang, aku tidak mau menjadi Ketua Kwi-eng-pang.”
“Di sebelah timur pulau ini ada sebuah pulau lain yang lebih kecil, akan tetapi tidak kalah indahnya. Tempat itu sekarang masih kubiarkan kosong dan dapat dijadikan tempat tinggal seorang di antara kita.”
Sinar mata Bu Leng Ci berseri dan dia menoleh ke kiri. Benar saja, dari tempat yang agak tinggi di taman itu, dia melihat sebuah pulau lain yang penuh dengan pohon-pohon.
“Hemm, kalau begitu, lain persoalannya. Bagaimana kita akan mengukur kepandaian masing-masing? Dengan bertanding? Besar kemungkinan yang kalah akan tewas seketika!”
Ang Hwa Nio mengangguk.
“Kau benar, tidak perlu kita bertanding tanpa sebab dan menghadapi bahaya maut secara konyol. Aku mendengar kau memiliki banyak macam ilmu, akan tetapi yang paling terkenal adalah samuraimu itu. Nah, kita berlumba, siapa yang lebih unggul, samuraimu ataukah kuku jariku.”
“Pangcu, jangan main-main! Ataukah kau benar-benar memandang rendah samuraiku? Kalau cuma kuku jarimu yang rusak, masih tidak apa, bagaimana kalau sampai jari tanganmu ikut putus?”
“Hi-hi-hik, kembali kau salah sangka. Jangan membesarkan prasangka, kataku tadi. Kita bukan bertanding, melainkan berlumba. Lihat di permukaan air telaga itu, banyak ikan-ikan kecil bukan? Nah, kita berlumba cepat, mana yang lebih cepat menangkap ikan-ikan itu, samuraimu ataukah kuku jariku. Tentu saja hal itu bukan menjadi tanda siapa yang lebih lihai kalau bertanding sungguh-sungguh, akan tetapi setidaknya dapat dipakai untuk menentukan siapa patut menjadi kakak dan siapa adik.”
Bu Leng Ci mengangguk-angguk. Tentu saja dia berani berlumba seperti itu. Betapapun juga, samurainya lebih paniang dan tentu dia lebih cepat.
“Kalau sudah ketahuan siapa yang menang bagaimana?”
“Yang menang akan menjadi kakak angkat dan tetap tinggal di pulau ini, yang kalah menjadi adik angkat dan tinggal di pulau yang lebih kecil. Kita tetap bersaudara.”
Apa pun akibatnya, kalah atau menang, tetapi enak dan menyenangkan hati Bu Leng Ci. Andaikata kalah sekalipun, bukan hal yang merendahkan untuk menjadi adik angkat Ketua Kwi-eng-pang, bukan berarti menjadi anak buahnya atau menjadi orang yang lebih rendah tingkat kedudukannya!
Betapapun juga, pengalaman hidupnya yang penuh kepahitan membuat wanita iblis ini selalu penuh prasangka dan amat hati-hati menjaga diri. Maka dia masih belum puas dan belum mau menerima begitu saja sebelum dia mengetahui apa yang menjadi sebabnya maka Ang Hwa Nio sebaik itu kepadanya, malah suka mengangkatnya sebagai saudara. Dia sudah terbiasa dengan kehidupan kaum sesat, di antara bajak-bajak. Tidak ada perbuatan yang tidak berdasarkan suatu kehendak atau keinginan demi keuntungan diri sendiri. Perbuatan yang menyimpang dari dasar ini merupakan hal yang tidak mungkin, atau tidak lumrah!
“Aku dapat menerima usul itu, Pangcu. Akan tetapi, apakah sebabnya engkau ingin menjadi saudara angkatku?”
“Tentu saja ada sebabnya, Mo-li. Akan tetapi jangan khawatir, bukan hanya untuk kepentinganku pribadi, melainkan juga keuntunganmu, keuntungan kita berdua sebagai wanita-wanita yang sama membenci pria.”
“Eh? Apa maksudmu?”
“Dengar baik-baik. Pada waktu sekarang ini, di dunia kita hanya ada lima orang datuk, bukan? Dua di antaranya adalah kita, dan yang tiga lagi semua pria. Menurut pendapatku, tingkat kepandaian kita berlima seimbang dan mungkin sekali tingkat kepandaian dua di antara mereka, Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong, agak lebih tinggi. Sekali waktu tentu akan timbul perebutan untuk diakui sebagai nomor satu yang akan menjadi pemimpin, dan agaknya seorang di antara mereka itu tentu akan menang. Akan tetapi, kalau kita menjadi enci dan adik angkat, dengan maju berdua, siapakah di antara mereka bertiga yang akan mampu mengalahkan kami? Mengertikah kau?”
Bu Leng Ci mengangguk-angguk dan diam-diam memuji kecerdikan Ketua Kwi-eng-pang itu. Memang akan sial sekali kalau sampai seorang pria menjadi pimpinan kelima orang datuk. Harus tunduk kepada seorang pria. Tidak sudi! Melawan seorang diri akan berat sekali.
“Akan tetapi, bagaimana kalau mereka pun bersatu seperti kita?”
“Tidak mungkin! Mereka bertiga bersaing, mana mau bersatu! Nah, bagaimana? Maukah engkau menjadi saudara angkatku?”
“Baik, mari kita mulai berlumba!”
Kedua orang wanita sakti itu lalu berdiri di tepi pulau, memandang ke arah air telaga, menanti munculnya ikan-ikan kecil yang kadang-kadang tenggelam, bermain-main di permukaan air. Bi Kiok juga berdiri dan menonton dengan wajah tak berubah, biarpun diam-diam dia merasa girang juga akan keputusan gurunya. Dia pun sudah bosan diajak merantau terus, tidak tentu tempat tinggalnya. kadang-kadang tidur di atas pohon, di kuil-kuil kotor. Tempat tinggal itu memang indah dan dia suka sekali tinggal di situ.
Ketika ikan-ikan mulai muncul di permukaan air telaga, Ang Hwa Nio berkata lirih.
“Nah, kita mulai sebelum mereka menyelam kembali. Mari!”
Bu Leng Ci dan Ang Hwi Nio meloncat dengan berbareng. Bu Leng Ci sudah mencabut samurainya dengan gerakan kilat, setelah tubuhnya tiba di atas tempat di mana ikan-ikan berenang, samurainya berkelebat seperti kilat menyambar ke permukaan air. Ang Hwi Nio berjungkir balik, kepala di bawah dan kedua lengannya bergerak cepat sehingga sukar diikuti pandang mata, mencengkeram ke arah air.
Ikan-ikan itu tentu saja kaget dan segera menyelam kembali. Dua orang wanita sakti itu dengan gerakan berputar di udara, dapat melayang kembali ke tepi pulau. Gerakan mereka seperti burung walet beterbangan, indah dan cepat sekali membuat Bi Kiok terbelalak kagum.
“Hemm, lihat berapa ikan yang mampus oleh samuraiku!”
Bu Leng Ci berkata bangga dan sebelum kakinya menginjak tanah, samurainya telah bersarung kembali.
“Satu-dua-tiga... aihh, ada sepuluh ekor yang mati terbelah. Kepandaianmu hebat, Moi-moi. Aku akan berpikir panjang dulu sebelum melawan samuraimu dalam pertempuran!”
Kata Ang Hwi Nio setelah menghitung bangkai-bangkai ikan yang telah mengambang di permukaan air dengan tubuh terpotong menjadi dua!
“Apa? Kau menyebutku moi-moi (adik perempuan)!” Bu Leng Ci menegur penasaran.
Ang Hwi Nio tertawa halus dan memperlihatkan kedua tangannya yang tadi dia sembunyikan di belakang tubuhnya. Bu Leng Ci memandang terbelalak melihat betapa kesepuluh buah kuku jari itu masing-masing telah menusuk seekor ikan, dan ikan-ikan itu telah berubah mengering seperti dibakar!
“Bukan main! Engkau hebat! Akan tetapi, engkau pun hanya dapat membunuh sepuluh ekor, tidak lebih banyak dari aku!” Bu Leng Ci menegur.
Ang Hwi Nio menggerakkan kedua tangannya dan kesepuluh ekor ikan itu terlempar kembali ke atas air telaga, mengambang dekat ikan-ikan yang menjadi korban samurai Bu Leng Ci.
“Benar, kita masing-masing membunuh sepuluh ekor. Akan tetapi aku dapat membawa ikan-ikan itu ke darat. Apakah kau tadi sanggup untuk membawa korban-korbanmu ke darat? Bukankah hal itu berarti bahwa aku masih menang cepat sedikit dibandingkan denganmu, Moi-moi?”
Bu Leng Ci tak dapat membantah kebenaran ucapan itu, maka dia lalu menjura dan berkata,
“Engkau benar, Ang-cici (Kakak Perempuan Ang). Aku mengaku kalah dan aku senang sekali menjadi adik angkatmu. Bi Kiok, ayo kau memberi hormat kepada bibi gurumu!”
Yo Bi Kiok yang semenjak tadi menyaksikan itu semua, lalu melangkah maju menghadapi Ketua Kwi-eng-pang itu, memberi hormat dengan berlutut dan berkata,
“Su-i!”
Ang Hwi Nio tertawa girang.
“Berdirilah, Nak. Muridmu ini manis sekali, Bi-moi. Siapa namamu?”
“Nama teecu (murid) Yo Bi Kiok, Su-i”
“Bagus, engkau akan menjadi teman baik puteraku. Kau terimalah hadiahku ini, Bi Kiok.”
Wanita itu meloloskan hiasan rambutnya yang terbuat dari batu kemala berbentuk burung Hong dan memberikannya kepada Bi Kiok.
Tentu saja Bi Kiok girang sekali, menerima benda berharga itu dengan kedua tangan dan menghaturkan terima kasih. Melihat betapa Bi Kiok hanya memegangi benda itu dan memandang dengan mata bersinar-sinar, Ang Hwi Nio tertawa.
“Giok-hong-cu (Burung Hong Kemala) itu bukan untuk dipegang, melainkan untuk hiasan rambut atau baju di dada. Sini, kupakaikan di rambutmu!”
“Siapa yang ingin engkau menjadi anak buahku, Mo-li? Kita adalah rekan dan kedudukan kita setingkat, sungguhpun aku menjadi seorang pangcu dan engkau hanya seorang petualang tanpa tempat tinggal. Engkau tadi mengatakan suka kepada tempat ini dan aku menawarkan kepadamu untuk tinggal di sini, bukan sebagai anak buah, bukan pula sebagai pembantuku karena engkau memang bukan anggauta Kwi-eng-pang.”
“Habis, sebagai apa? Tamu? Mana ada tamu tinggal terus-menerus?”
“Juga bukan tamu, tetapi sebagai adik angkat. Maukah?”
Bu Leng Ci bangkit berdiri dan mukanya menjadi merah. Bi Kiok yang sejak tadi duduk mendengarkan dan menonton, diam saja namun diam-diam dia merasa tegang juga karena kalau sampai gurunya dan Ketua Kwi-eng-pang itu bertanding, tentu hebat bukan main akibatnya.
“Kwi-eng-pangcu! Menjadi adik angkat berarti harus tunduk dan taat kepada kakak angkatnya, berarti sama saja! Apakah dengan memberi tempat tinggal kepadaku harus kubayar dengan tunduk dan taat kepadamu?”
Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio tertawa, suara ketawanya merdu dan halus, akan tetapi ada sesuatu yang dingin dan menyeramkan di balik suara ketawa ini, seperti suara ketawa seekor iblis betina yang merayu dan menjatuhkan hati orang-orang yang kurang kuat batinnya.
“Siang-tok Mo-li, tepat sekali apa yang kudengar tentang dirimu. Kau amat keras hati dan penuh prasangka. Cocok untuk menjadi adikku! Tentu saja sudah sepatutnya kalau kau menjadi adik angkatku, bukankah aku lebih tua darimu, sedikitnya sepuluh tahun lebih tua? Apa engkau merasa rendah dengan menjadi adik angkat Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, ketua dari Kwi-eng-pang?”
“Betapapun juga, seorang adik angkat tentu lebih rendah dari kakaknya, dan hal ini sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan usia.”
“Hemmm, habis apa yang menentukannya kalau bukan usia? Kau maksudkan kepandaian? Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci, apakah engkau tidak percaya bahwa kepandaianku lebih tinggi daripada kepandaianmu?”
“Ah, aku tidak percaya!”
Mereka berdua kini sudah berdiri saling berhadapan dan Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio sudah lupa akan kukunya, kini memandang kepada wanita pendek di depannya itu penuh perhatian.
“Kalau begitu, biarlah kepandaian yang menentukan!”
“Kwi-eng Niocu, aku tidak takut kepadamu! Akan tetapi, aku diundang ke sini untuk menghadiri pertemuan puncak yang sayangnya gagal. Setelah semua orang pergi, kau menahan aku untuk tinggal beberapa hari di sini. Sepantasnya aku berterima kasih kepadamu dan akan ditertawakan orang kalau aku sekarang bertanding melawanmu sebagai musuh! Pikirlah baik-baik! Benarkah kita harus saling bermusuh, bukan bersekutu seperti yang direncanakan semula?”
Kembali Kwi-eng-cu Ang Hwi Nio tertawa halus.
“Hi-hi-hih, Bu Leng Ci, engkau benar-benar keras seperti baja! Diajak menguji kepandaian kau anggap bertempur seperti musuh! Dikalahkan dengan usia kau tidak mau, maka jalan satu-satunya untuk menentukan siapa yang patut menjadi kakak dan siapa adik, hanyalah dengan mengukur kepandaian masing-masing!”
Bu Leng Ci mengerutkan alisnya. Kini dia mengerti apa yang dikehendaki oleh Ketua Kwi-eng-pang yang aneh ini. Akan tetapi, dia tetap ragu-ragu biarpun dia akan suka sekali tinggal di tempat yang indah itu.
“Tetap saja tidak baik, Pangcu” Dia menggeleng kepala. “Kalau aku kalah atau menang, tidak akan berubah, kita tidak mungkin tinggal terus bercampur menjadi satu di tempat ini. Kalau aku menang, aku tidak mau menjadi Ketua Kwi-eng-pang.”
“Di sebelah timur pulau ini ada sebuah pulau lain yang lebih kecil, akan tetapi tidak kalah indahnya. Tempat itu sekarang masih kubiarkan kosong dan dapat dijadikan tempat tinggal seorang di antara kita.”
Sinar mata Bu Leng Ci berseri dan dia menoleh ke kiri. Benar saja, dari tempat yang agak tinggi di taman itu, dia melihat sebuah pulau lain yang penuh dengan pohon-pohon.
“Hemm, kalau begitu, lain persoalannya. Bagaimana kita akan mengukur kepandaian masing-masing? Dengan bertanding? Besar kemungkinan yang kalah akan tewas seketika!”
Ang Hwa Nio mengangguk.
“Kau benar, tidak perlu kita bertanding tanpa sebab dan menghadapi bahaya maut secara konyol. Aku mendengar kau memiliki banyak macam ilmu, akan tetapi yang paling terkenal adalah samuraimu itu. Nah, kita berlumba, siapa yang lebih unggul, samuraimu ataukah kuku jariku.”
“Pangcu, jangan main-main! Ataukah kau benar-benar memandang rendah samuraiku? Kalau cuma kuku jarimu yang rusak, masih tidak apa, bagaimana kalau sampai jari tanganmu ikut putus?”
“Hi-hi-hik, kembali kau salah sangka. Jangan membesarkan prasangka, kataku tadi. Kita bukan bertanding, melainkan berlumba. Lihat di permukaan air telaga itu, banyak ikan-ikan kecil bukan? Nah, kita berlumba cepat, mana yang lebih cepat menangkap ikan-ikan itu, samuraimu ataukah kuku jariku. Tentu saja hal itu bukan menjadi tanda siapa yang lebih lihai kalau bertanding sungguh-sungguh, akan tetapi setidaknya dapat dipakai untuk menentukan siapa patut menjadi kakak dan siapa adik.”
Bu Leng Ci mengangguk-angguk. Tentu saja dia berani berlumba seperti itu. Betapapun juga, samurainya lebih paniang dan tentu dia lebih cepat.
“Kalau sudah ketahuan siapa yang menang bagaimana?”
“Yang menang akan menjadi kakak angkat dan tetap tinggal di pulau ini, yang kalah menjadi adik angkat dan tinggal di pulau yang lebih kecil. Kita tetap bersaudara.”
Apa pun akibatnya, kalah atau menang, tetapi enak dan menyenangkan hati Bu Leng Ci. Andaikata kalah sekalipun, bukan hal yang merendahkan untuk menjadi adik angkat Ketua Kwi-eng-pang, bukan berarti menjadi anak buahnya atau menjadi orang yang lebih rendah tingkat kedudukannya!
Betapapun juga, pengalaman hidupnya yang penuh kepahitan membuat wanita iblis ini selalu penuh prasangka dan amat hati-hati menjaga diri. Maka dia masih belum puas dan belum mau menerima begitu saja sebelum dia mengetahui apa yang menjadi sebabnya maka Ang Hwa Nio sebaik itu kepadanya, malah suka mengangkatnya sebagai saudara. Dia sudah terbiasa dengan kehidupan kaum sesat, di antara bajak-bajak. Tidak ada perbuatan yang tidak berdasarkan suatu kehendak atau keinginan demi keuntungan diri sendiri. Perbuatan yang menyimpang dari dasar ini merupakan hal yang tidak mungkin, atau tidak lumrah!
“Aku dapat menerima usul itu, Pangcu. Akan tetapi, apakah sebabnya engkau ingin menjadi saudara angkatku?”
“Tentu saja ada sebabnya, Mo-li. Akan tetapi jangan khawatir, bukan hanya untuk kepentinganku pribadi, melainkan juga keuntunganmu, keuntungan kita berdua sebagai wanita-wanita yang sama membenci pria.”
“Eh? Apa maksudmu?”
“Dengar baik-baik. Pada waktu sekarang ini, di dunia kita hanya ada lima orang datuk, bukan? Dua di antaranya adalah kita, dan yang tiga lagi semua pria. Menurut pendapatku, tingkat kepandaian kita berlima seimbang dan mungkin sekali tingkat kepandaian dua di antara mereka, Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong, agak lebih tinggi. Sekali waktu tentu akan timbul perebutan untuk diakui sebagai nomor satu yang akan menjadi pemimpin, dan agaknya seorang di antara mereka itu tentu akan menang. Akan tetapi, kalau kita menjadi enci dan adik angkat, dengan maju berdua, siapakah di antara mereka bertiga yang akan mampu mengalahkan kami? Mengertikah kau?”
Bu Leng Ci mengangguk-angguk dan diam-diam memuji kecerdikan Ketua Kwi-eng-pang itu. Memang akan sial sekali kalau sampai seorang pria menjadi pimpinan kelima orang datuk. Harus tunduk kepada seorang pria. Tidak sudi! Melawan seorang diri akan berat sekali.
“Akan tetapi, bagaimana kalau mereka pun bersatu seperti kita?”
“Tidak mungkin! Mereka bertiga bersaing, mana mau bersatu! Nah, bagaimana? Maukah engkau menjadi saudara angkatku?”
“Baik, mari kita mulai berlumba!”
Kedua orang wanita sakti itu lalu berdiri di tepi pulau, memandang ke arah air telaga, menanti munculnya ikan-ikan kecil yang kadang-kadang tenggelam, bermain-main di permukaan air. Bi Kiok juga berdiri dan menonton dengan wajah tak berubah, biarpun diam-diam dia merasa girang juga akan keputusan gurunya. Dia pun sudah bosan diajak merantau terus, tidak tentu tempat tinggalnya. kadang-kadang tidur di atas pohon, di kuil-kuil kotor. Tempat tinggal itu memang indah dan dia suka sekali tinggal di situ.
Ketika ikan-ikan mulai muncul di permukaan air telaga, Ang Hwa Nio berkata lirih.
“Nah, kita mulai sebelum mereka menyelam kembali. Mari!”
Bu Leng Ci dan Ang Hwi Nio meloncat dengan berbareng. Bu Leng Ci sudah mencabut samurainya dengan gerakan kilat, setelah tubuhnya tiba di atas tempat di mana ikan-ikan berenang, samurainya berkelebat seperti kilat menyambar ke permukaan air. Ang Hwi Nio berjungkir balik, kepala di bawah dan kedua lengannya bergerak cepat sehingga sukar diikuti pandang mata, mencengkeram ke arah air.
Ikan-ikan itu tentu saja kaget dan segera menyelam kembali. Dua orang wanita sakti itu dengan gerakan berputar di udara, dapat melayang kembali ke tepi pulau. Gerakan mereka seperti burung walet beterbangan, indah dan cepat sekali membuat Bi Kiok terbelalak kagum.
“Hemm, lihat berapa ikan yang mampus oleh samuraiku!”
Bu Leng Ci berkata bangga dan sebelum kakinya menginjak tanah, samurainya telah bersarung kembali.
“Satu-dua-tiga... aihh, ada sepuluh ekor yang mati terbelah. Kepandaianmu hebat, Moi-moi. Aku akan berpikir panjang dulu sebelum melawan samuraimu dalam pertempuran!”
Kata Ang Hwi Nio setelah menghitung bangkai-bangkai ikan yang telah mengambang di permukaan air dengan tubuh terpotong menjadi dua!
“Apa? Kau menyebutku moi-moi (adik perempuan)!” Bu Leng Ci menegur penasaran.
Ang Hwi Nio tertawa halus dan memperlihatkan kedua tangannya yang tadi dia sembunyikan di belakang tubuhnya. Bu Leng Ci memandang terbelalak melihat betapa kesepuluh buah kuku jari itu masing-masing telah menusuk seekor ikan, dan ikan-ikan itu telah berubah mengering seperti dibakar!
“Bukan main! Engkau hebat! Akan tetapi, engkau pun hanya dapat membunuh sepuluh ekor, tidak lebih banyak dari aku!” Bu Leng Ci menegur.
Ang Hwi Nio menggerakkan kedua tangannya dan kesepuluh ekor ikan itu terlempar kembali ke atas air telaga, mengambang dekat ikan-ikan yang menjadi korban samurai Bu Leng Ci.
“Benar, kita masing-masing membunuh sepuluh ekor. Akan tetapi aku dapat membawa ikan-ikan itu ke darat. Apakah kau tadi sanggup untuk membawa korban-korbanmu ke darat? Bukankah hal itu berarti bahwa aku masih menang cepat sedikit dibandingkan denganmu, Moi-moi?”
Bu Leng Ci tak dapat membantah kebenaran ucapan itu, maka dia lalu menjura dan berkata,
“Engkau benar, Ang-cici (Kakak Perempuan Ang). Aku mengaku kalah dan aku senang sekali menjadi adik angkatmu. Bi Kiok, ayo kau memberi hormat kepada bibi gurumu!”
Yo Bi Kiok yang semenjak tadi menyaksikan itu semua, lalu melangkah maju menghadapi Ketua Kwi-eng-pang itu, memberi hormat dengan berlutut dan berkata,
“Su-i!”
Ang Hwi Nio tertawa girang.
“Berdirilah, Nak. Muridmu ini manis sekali, Bi-moi. Siapa namamu?”
“Nama teecu (murid) Yo Bi Kiok, Su-i”
“Bagus, engkau akan menjadi teman baik puteraku. Kau terimalah hadiahku ini, Bi Kiok.”
Wanita itu meloloskan hiasan rambutnya yang terbuat dari batu kemala berbentuk burung Hong dan memberikannya kepada Bi Kiok.
Tentu saja Bi Kiok girang sekali, menerima benda berharga itu dengan kedua tangan dan menghaturkan terima kasih. Melihat betapa Bi Kiok hanya memegangi benda itu dan memandang dengan mata bersinar-sinar, Ang Hwi Nio tertawa.
“Giok-hong-cu (Burung Hong Kemala) itu bukan untuk dipegang, melainkan untuk hiasan rambut atau baju di dada. Sini, kupakaikan di rambutmu!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar