Biauw Eng telah menyambar sehelai sabuk merah, agaknya sabuk milik wanita muda selir pembesar itu yang tadi ditanggalkan dan mungkin dalam keadaan tergesa dilempar begitu saja di atas lantai! Sekali tangan nyonya perkasa ini bergerak, tampak sinar merah berkelebat kemudian bergulung-gulung dan ujung sabuk telah menjerat leher Ma-taijin.
Begitu sabuk ditarik dengan sentakan mendadak, pembesar itu berteriak dan roboh menelungkup di atas lantai. Karena sabuk yang menjerat lehernya itu ditarik terus oleh Biauw Eng, terpaksa pembesar itu merangkak dan terseret sampai ke depan kaki Biauw Eng.
“Hayo katakan, apa yang telah kau lakukan lima tahun yang lalu terhadap Yap-sin-she dan isterinya!”
Biauw Eng membentak. Dia sengaja menarik ujung sabuk merah sehingga libatan yang mencekik leher makin ketat, membuat pembesar itu hampir mendelik dan napasnya terengah-engah.
“Yap?sinshe... dia... dia dan isterinya... pemberontak...!” katanya dengan kedua tangan sia-sia mencoba melepaskan libatan yang mencekik leher.
Biauw Eng menarik ujung sabuk.
“Uukhhh!” Pembesar itu terengah, lidahnya terjulur ke luar.
“Tidak mungkin! Kalau engkau tidak berlaku sewenang-wenang mengandalkan kedudukanmu, mereka tentu tidak akan memberontak! Mereka tidak berhasil menyembuhkan para pengawalmu, mengapa hal itu kau salahkan? Mereka bukanlah dewa atau iblis yang berkuasa atas kesembuhan atau kematian seseorang!”
“Am... ampun, Li-hiap...” Pembesar itu terpaksa mengeluh karena libatan pada lehernya makin mencekik erat.
“Orang macam engkau ini sepatutnya dikirim ke neraka! Akan tetapi mengingat bahwa engkau hanya seorang pejabat rendahan saja, biarlah kuberi peringatan!”
Setelah berkata demikian, Biauw Eng mengebutkan ujung sabuk merah itu ke arah telinga Ma-taijin.
“Prettt... aduuuuhhh...!”
Ma-taijin bergulingan mendekap pinggir kepalanya sebelah kanan yang bercucuran darah karena daun telinganya telah hancur dan lenyap terpukul ujung sabuk merah tadi. Bukan main nyeri rasanya sampai menusuk jantung, pandang matanya berkunang dan ubun-ubun kepala rasanya berdenyut seperti hendak pecah. Dia merintih-rintih sedangkan selirnya sudah roboh pingsan di bawah selimut.
“Sebagai peringatan, kuambil telingamu. Kalau aku mendengar lagi kau masih berlaku sewenang-wenang mengandalkan kedudukanmu, aku akan datang dan mengambil kepalamu!”
“Tar-tar-tarrr...!!”
Biauw Eng maklum bahwa ada orang menyerangnya dari belakang dengan senjata lemas. Dia sendiri seorang ahli cambuk, maka tahulah dia bahwa penyerangnya menggunakan cambuk dan memiliki tenaga kuat, maka cepat dia menggerakkan tangannya dan gulungan sinar merah dari sabuk sutera melayang ke atas kepalanya, meluncur ke belakang dan menyambut datangnya sinar putih yang menyambar ke arah kepalanya dengan bunyi meledak-ledak tadi.
“Tarrr... bretttt!!”
Biauw Eng meloncat ke samping dan memandang dengan kaget. Sabuk merah di tangannya telah hancur ujungnya bertemu dengan ujung cambuk penyerangnya dan kini dia melihat betapa ujung cambuk putih itu seperti seekor ular hidup melayang ke arah pinggang Ma-taijin dan di lain saat tubuh Ma-taijin telah melayang ke arah penyerangnya tadi dan diterima dengan tangan kiri yang amat besar dan kuat, disusul suaranya yang nyaring akan tetapi terdengar asing dan kaku,
“Ma-taijin harap mundur dan mengobati lukanya, biarlah saya menghadapi dua orang penjahat ini.”
Keng Hong dan Biauw Eng memandang orang itu dengan mata terbelalak penuh kaget dan keheranan. Kiranya telah datang tiga orang di dalam kamar itu. Dua orang di kanan kiri adalah kakek-kakek berusia enam puluh tahun dan pakaian mereka sederhana, memandang tak acuh.
Akan tetapi orang yang berdiri di tengah dan yang memegang cambuk putih itu yang amat mengherankan kedua suami isteri itu. Biarpun mereka adalah tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, bahkan Cia Keng Hong terkenal sebagai datuk muda yang belum dapat dicari tandingannya, namun dia sendiri belum pernah bertemu dengan seorang manusia yang seaneh pemegang cambuk itu sehingga dia sendiri pun sampai bengong terlongong!
Orangnya tinggi besar ukuran raksasa. Keng Hong yang berawak sedang itu hanya setinggi pundaknya. Tubuh orang itu besar dan perutnya berbentuk seperti gentong. Punggung tangannya penuh bulu kuning yang panjang-panjang seperti tangan monyet. Kepalanya botak kelimis di bagian atasnya, akan tetapi di bagian bawah sekeliling kepala tumbuh rambut yang warnanya amat luar biasa, seperti uban putih akan tetapi bercampur kuning emas berombak indah sekali, seolah-olah bukan rambut melainkan benang-benang perak dan emas ditempelkan di sekeliling kepala. Demikian pula kumis dan jenggotnya, biarpun ada yang agak gelap warnanya, tetap saja bercampur dengan warna kuning emas dan putih, juga alis matanya. Alisnya tebal, matanya lebar sekali dan mata itu bukan seperti mata biasa, karena maniknya bukan hitam melainkan biru! Biru laut!
Selama hidupnya, baru satu kali itulah Keng Hong dan Biauw Eng melihat orang dengan mata yang berwarna biru laut! Hidungnya amat panjang, bukan mancung lagi namanya, bibir yang sebagian tertutup kumis itu terbentuk manis seperti bibir wanita, benar-benar seorang laki-laki yang amat aneh dan sukar ditaksir usianya.
Akan tetapi pakaiannya lebih aneh lagi! Sepatu kulitnya mengkilap dan tinggi sampai ke bawah lutut. Celananya sempit dan membungkus ketat tubuh bawahnya sehingga memandangnya saja membuat wajah Biauw Eng menjadi merah. Betapa tidak sopannya, pikir pendekar wanita itu. Pakaian bagian atasnya yang aneh. Di sebelah dalam merupakan baju pendek yang berkancing emas. Di bagian luar tertutup oleh jubah lebar dan panjang sampai ke lutut, berlengan panjang pula, dengan saku-saku yang besar, akan tetapi lucunya, bagian depan jubah ini terbuka sama sekali dan lehernya diikat dengan sehelai kain seperti kapas.
Keng Hong dan Biauw Eng saling pandang. Mereka pernah mendengar dongeng bahwa di beberapa tempat sebelah selatan orang-orang geger mengabarkan adanya seorang manusia asing yang aneh, yang kabarnya datang dari tempat yang amat jauh dari seberang lautan, manusia “biadab” yang pakaiannya aneh-aneh, rambutnya ada yang putih, ada yang kuning dan ada pula yang coklat atau biru, matanya juga bermacam-macam warnanya, akan tetapi tadinya mereka menganggap kabar itu kosong dan seperti dongeng tentang iblis dan setan saja untuk menakuti anak-anak atau orang yang penakut. Akan tetapi kini mereka berhadapan dengan seorang yang bahkan keanehannya jauh melampaui dongeng yang pernah mereka dengar
Laki-laki asing itu memandang Keng Hong dan Biauw Eng dengan sinar mata penuh selidik kemudian terdengar dia bertanya,
“Siapakah Anda berdua yang berani mati mengganggu seorang pembesar pemerintah?”
Keng Hong mewakili isterinya, melangkah maju dan menjawab,
“Kami tidak mengganggu seorang pembesar, karena urusan kami tidak ada hubungannya dengan pemerintah, melainkan urusan pribadi. Orang she Ma itu telah berlaku sewenang-wenang terhadap saudara kami, karena itu kami perlu memberi hajaran agar dia lain kali tidak lagi berani mengandalkan kedudukannya dan bertindak sewenang-wenang. Kami tidak ada urusan dengan kalian.”
Sepasang mata biru itu berkilat dan wajah yang kemerahan itu berseri.
“Hemm, sepasang pendekar, ya? Bagus sekali, ingin kami berkenalan dengan kalian!”
Karena ucapan itu dikeluarkan dengan lidah asing, maka Biauw Eng sudah salah menduga. Dalam istilah kang-ouw, kalau dua orang berkepandaian tinggi berhadapan, maka kata-kata “berkenalan” dapat juga diartikan tantangan mengadu kepandaian, karena yang akan dikenal bukan orangnya melainkan ilmunya. Maka dia sudah membentak,
“Iblis bermata biru! Siapa takut menghadapi tantanganmu?”
Akan tetapi Keng Hong yang sudah melihat pembesar she Ma yang menjadi biang keladi malapetaka yang menimpa keluarga Yap Cong San telah dihukum oleh isterinya, tidak menghendaki urusan berlarut-larut dan timbul permusuhan antara mereka berdua dengan pemerintah, telah menggandeng tangan isterinya dan berkata
“Mari kita pergi dari sini!”
Biauw Eng sadar kembali ketika merasa tangan suaminya menggandengnya. Dia menekan kemarahannya dan tidak membantah. Sambil bergandeng tangan suami isteri ini melangkah ke luar dari dalam kamar itu, tidak mempedulikan tiga orang itu dan para pengawal yang berkerumun di luar kamar.
“Eh-eh, sahabat gagah... tunggu dulu!”
Suara asing itu berseru dan tangannya diulurkan ke depan seperti hendak mencegah suami isteri itu pergi.
Biarpun gerakan ini biasa saja, namun diam-diam Biauw Eng dan Keng Hong terkejut juga karena ada sambaran angin yang dahsyat dari tangan itu! Namun angin pukulan ini bukan merupakan serangan, melainkan lebih merupakan “ujian” karena tangan itu tidak menampar atau memukul, melainkan mencengkeram untuk memegang lengan Keng Hong. Karena itu, pendekar sakti ini pun tidak mau balas menyerang hanya menggoyang tangannya seperti menolak dan berkata,
“Kami tidak ada waktu untuk melayani Tuan!”
“Plak! Plakk!”
Biarpun kedua tangan itu tidak saling sentuh, namun pertemuan dua hawa pukulan di antara kedua telapak tangan itu mengeluarkan bunyi nyaring dan orang asing botak itu terkejut bukan main ketika merasa betapa tangannya terpental dan terasa panas. Ia berdiri bengong memandang suami isteri yang terus melangkah ke luar itu, terheran-heran dan akhirnya membentak teman-temannya yang sudah bergerak mengejar,
“Biarkan mereka pergi, jangan ganggu!”
Dua orang temannya menghentikan gerakan kaki mereka, kembali kepada orang asing botak dengan mata memandang penuh pertanyaan. Si Botak ini menghela napas panjang, menggeleng-geleng kepalanya dan mengomel,
“Hebat...! Semuda itu sudah demikian hebat tenaganya...! Aihhh, ternyata benar cerita guruku bahwa bagian dunia ini penuh dengan orang-orang yang berkepandaian tinggi.” Kemudian dia menoleh kepada dua orang temannya tadi dan berkata, “Amat keliru kalau kita mulai pekerjaan kita dengan menanam permusuhan dengan orang-orang pandai seperti mereka. Tugas kita bahkan harus mendekati orang-orang pandai, bukan memusuhi mereka.”
“Akan tetapi, mereka telah melukai Taijin?” bantah seorang temannya.
“Hanya luka ringan. Ma-taijin tentu dapat menyudahi perkara ini, demi tugas yang lebih penting. Pula, kehilangan sebuah daun telinga untuk menebus kesalahan lalu, masih murah!”
Dua orang temannya mengangguk dan mereka bertiga segera menuju ke kamar Ma-taijin untuk membantu mengobati luka yang diderita pembesar itu.
Keng Hong dan isterinya terus meninggalkan Leng-kok pada malam hari itu juga, menuju pulang ke Cin-ling-san. Di sepanjang perjalanan suami isteri ini dengan penuh keheranan membicarakan tentang orang asing yang lihai itu.
“Sungguh membuat orang penasaran sekali!” kata Keng Hong. “Jelas dia adalah seorang asing biadab seperti yang kita dengar dari berita angin tentang munculnya orang-orang seperti itu di sepanjang pantai selatan dan timur. Akan tetapi mengapa dia menguasai ilmu kita? Sambaran tangannya tadi selain mengandung sin-kang yang cukup kuat, juga merupakan gerakan Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Garuda) yang cepat dan baik sekali!”
“Hanya tokoh-tokoh golongan sesat saja yang sudi mengajarkan ilmu bangsa kita kepada orang asing!” kata Biauw Eng.
“Belum tentu!” kata pula suaminya. “Kau lihat tadi selain gerakannya lihai, ilmu cambuknya juga hebat, sikapnya amat baik, tidak kejam dan tidak pula kasar. Kalau dia termasuk anggauta kaum sesat, tentu dia tidak akan demikian mudah saja membiarkan kita pergi. Agaknya sudah banyak terjadi perubahan di dunia kang-ouw. Sudah terlalu lama kita mengubur diri di dalam kesunyian di puncak Cin-ling-san. Sebaiknya kita menggunakan kesempatan ini, dalam perjalanan pulang singgah di tempat tokoh-tokoh kang-ouw yang kita kenal, selain mendenngar tentang keadaan kang-ouw, juga mencari keterangan tentang di mana adanya Yap Cong San, isterinya, dan puteranya.”
“Memang sebaiknya begitu. Sekarang ini kesempatan terakhir bagiku karena beberapa bulan lagi, dengan seorang bayi mana aku mampu bepergian lagi sebelum dia berusia dua tiga tahun?”
Demikianlah, kedua suami isteri itu melakukan perjalanan ke Cin-ling-pai dengan beberapa kali berhenti dan singgah di rumah tokoh-tokoh kang-ouw yang mereka kenal. Akan tetapi mereka kecewa sekali karena tidak ada seorang pun di antara para kenalan itu yang tahu di mana adanya Yap Cong San dan isterinya!
Begitu sabuk ditarik dengan sentakan mendadak, pembesar itu berteriak dan roboh menelungkup di atas lantai. Karena sabuk yang menjerat lehernya itu ditarik terus oleh Biauw Eng, terpaksa pembesar itu merangkak dan terseret sampai ke depan kaki Biauw Eng.
“Hayo katakan, apa yang telah kau lakukan lima tahun yang lalu terhadap Yap-sin-she dan isterinya!”
Biauw Eng membentak. Dia sengaja menarik ujung sabuk merah sehingga libatan yang mencekik leher makin ketat, membuat pembesar itu hampir mendelik dan napasnya terengah-engah.
“Yap?sinshe... dia... dia dan isterinya... pemberontak...!” katanya dengan kedua tangan sia-sia mencoba melepaskan libatan yang mencekik leher.
Biauw Eng menarik ujung sabuk.
“Uukhhh!” Pembesar itu terengah, lidahnya terjulur ke luar.
“Tidak mungkin! Kalau engkau tidak berlaku sewenang-wenang mengandalkan kedudukanmu, mereka tentu tidak akan memberontak! Mereka tidak berhasil menyembuhkan para pengawalmu, mengapa hal itu kau salahkan? Mereka bukanlah dewa atau iblis yang berkuasa atas kesembuhan atau kematian seseorang!”
“Am... ampun, Li-hiap...” Pembesar itu terpaksa mengeluh karena libatan pada lehernya makin mencekik erat.
“Orang macam engkau ini sepatutnya dikirim ke neraka! Akan tetapi mengingat bahwa engkau hanya seorang pejabat rendahan saja, biarlah kuberi peringatan!”
Setelah berkata demikian, Biauw Eng mengebutkan ujung sabuk merah itu ke arah telinga Ma-taijin.
“Prettt... aduuuuhhh...!”
Ma-taijin bergulingan mendekap pinggir kepalanya sebelah kanan yang bercucuran darah karena daun telinganya telah hancur dan lenyap terpukul ujung sabuk merah tadi. Bukan main nyeri rasanya sampai menusuk jantung, pandang matanya berkunang dan ubun-ubun kepala rasanya berdenyut seperti hendak pecah. Dia merintih-rintih sedangkan selirnya sudah roboh pingsan di bawah selimut.
“Sebagai peringatan, kuambil telingamu. Kalau aku mendengar lagi kau masih berlaku sewenang-wenang mengandalkan kedudukanmu, aku akan datang dan mengambil kepalamu!”
“Tar-tar-tarrr...!!”
Biauw Eng maklum bahwa ada orang menyerangnya dari belakang dengan senjata lemas. Dia sendiri seorang ahli cambuk, maka tahulah dia bahwa penyerangnya menggunakan cambuk dan memiliki tenaga kuat, maka cepat dia menggerakkan tangannya dan gulungan sinar merah dari sabuk sutera melayang ke atas kepalanya, meluncur ke belakang dan menyambut datangnya sinar putih yang menyambar ke arah kepalanya dengan bunyi meledak-ledak tadi.
“Tarrr... bretttt!!”
Biauw Eng meloncat ke samping dan memandang dengan kaget. Sabuk merah di tangannya telah hancur ujungnya bertemu dengan ujung cambuk penyerangnya dan kini dia melihat betapa ujung cambuk putih itu seperti seekor ular hidup melayang ke arah pinggang Ma-taijin dan di lain saat tubuh Ma-taijin telah melayang ke arah penyerangnya tadi dan diterima dengan tangan kiri yang amat besar dan kuat, disusul suaranya yang nyaring akan tetapi terdengar asing dan kaku,
“Ma-taijin harap mundur dan mengobati lukanya, biarlah saya menghadapi dua orang penjahat ini.”
Keng Hong dan Biauw Eng memandang orang itu dengan mata terbelalak penuh kaget dan keheranan. Kiranya telah datang tiga orang di dalam kamar itu. Dua orang di kanan kiri adalah kakek-kakek berusia enam puluh tahun dan pakaian mereka sederhana, memandang tak acuh.
Akan tetapi orang yang berdiri di tengah dan yang memegang cambuk putih itu yang amat mengherankan kedua suami isteri itu. Biarpun mereka adalah tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, bahkan Cia Keng Hong terkenal sebagai datuk muda yang belum dapat dicari tandingannya, namun dia sendiri belum pernah bertemu dengan seorang manusia yang seaneh pemegang cambuk itu sehingga dia sendiri pun sampai bengong terlongong!
Orangnya tinggi besar ukuran raksasa. Keng Hong yang berawak sedang itu hanya setinggi pundaknya. Tubuh orang itu besar dan perutnya berbentuk seperti gentong. Punggung tangannya penuh bulu kuning yang panjang-panjang seperti tangan monyet. Kepalanya botak kelimis di bagian atasnya, akan tetapi di bagian bawah sekeliling kepala tumbuh rambut yang warnanya amat luar biasa, seperti uban putih akan tetapi bercampur kuning emas berombak indah sekali, seolah-olah bukan rambut melainkan benang-benang perak dan emas ditempelkan di sekeliling kepala. Demikian pula kumis dan jenggotnya, biarpun ada yang agak gelap warnanya, tetap saja bercampur dengan warna kuning emas dan putih, juga alis matanya. Alisnya tebal, matanya lebar sekali dan mata itu bukan seperti mata biasa, karena maniknya bukan hitam melainkan biru! Biru laut!
Selama hidupnya, baru satu kali itulah Keng Hong dan Biauw Eng melihat orang dengan mata yang berwarna biru laut! Hidungnya amat panjang, bukan mancung lagi namanya, bibir yang sebagian tertutup kumis itu terbentuk manis seperti bibir wanita, benar-benar seorang laki-laki yang amat aneh dan sukar ditaksir usianya.
Akan tetapi pakaiannya lebih aneh lagi! Sepatu kulitnya mengkilap dan tinggi sampai ke bawah lutut. Celananya sempit dan membungkus ketat tubuh bawahnya sehingga memandangnya saja membuat wajah Biauw Eng menjadi merah. Betapa tidak sopannya, pikir pendekar wanita itu. Pakaian bagian atasnya yang aneh. Di sebelah dalam merupakan baju pendek yang berkancing emas. Di bagian luar tertutup oleh jubah lebar dan panjang sampai ke lutut, berlengan panjang pula, dengan saku-saku yang besar, akan tetapi lucunya, bagian depan jubah ini terbuka sama sekali dan lehernya diikat dengan sehelai kain seperti kapas.
Keng Hong dan Biauw Eng saling pandang. Mereka pernah mendengar dongeng bahwa di beberapa tempat sebelah selatan orang-orang geger mengabarkan adanya seorang manusia asing yang aneh, yang kabarnya datang dari tempat yang amat jauh dari seberang lautan, manusia “biadab” yang pakaiannya aneh-aneh, rambutnya ada yang putih, ada yang kuning dan ada pula yang coklat atau biru, matanya juga bermacam-macam warnanya, akan tetapi tadinya mereka menganggap kabar itu kosong dan seperti dongeng tentang iblis dan setan saja untuk menakuti anak-anak atau orang yang penakut. Akan tetapi kini mereka berhadapan dengan seorang yang bahkan keanehannya jauh melampaui dongeng yang pernah mereka dengar
Laki-laki asing itu memandang Keng Hong dan Biauw Eng dengan sinar mata penuh selidik kemudian terdengar dia bertanya,
“Siapakah Anda berdua yang berani mati mengganggu seorang pembesar pemerintah?”
Keng Hong mewakili isterinya, melangkah maju dan menjawab,
“Kami tidak mengganggu seorang pembesar, karena urusan kami tidak ada hubungannya dengan pemerintah, melainkan urusan pribadi. Orang she Ma itu telah berlaku sewenang-wenang terhadap saudara kami, karena itu kami perlu memberi hajaran agar dia lain kali tidak lagi berani mengandalkan kedudukannya dan bertindak sewenang-wenang. Kami tidak ada urusan dengan kalian.”
Sepasang mata biru itu berkilat dan wajah yang kemerahan itu berseri.
“Hemm, sepasang pendekar, ya? Bagus sekali, ingin kami berkenalan dengan kalian!”
Karena ucapan itu dikeluarkan dengan lidah asing, maka Biauw Eng sudah salah menduga. Dalam istilah kang-ouw, kalau dua orang berkepandaian tinggi berhadapan, maka kata-kata “berkenalan” dapat juga diartikan tantangan mengadu kepandaian, karena yang akan dikenal bukan orangnya melainkan ilmunya. Maka dia sudah membentak,
“Iblis bermata biru! Siapa takut menghadapi tantanganmu?”
Akan tetapi Keng Hong yang sudah melihat pembesar she Ma yang menjadi biang keladi malapetaka yang menimpa keluarga Yap Cong San telah dihukum oleh isterinya, tidak menghendaki urusan berlarut-larut dan timbul permusuhan antara mereka berdua dengan pemerintah, telah menggandeng tangan isterinya dan berkata
“Mari kita pergi dari sini!”
Biauw Eng sadar kembali ketika merasa tangan suaminya menggandengnya. Dia menekan kemarahannya dan tidak membantah. Sambil bergandeng tangan suami isteri ini melangkah ke luar dari dalam kamar itu, tidak mempedulikan tiga orang itu dan para pengawal yang berkerumun di luar kamar.
“Eh-eh, sahabat gagah... tunggu dulu!”
Suara asing itu berseru dan tangannya diulurkan ke depan seperti hendak mencegah suami isteri itu pergi.
Biarpun gerakan ini biasa saja, namun diam-diam Biauw Eng dan Keng Hong terkejut juga karena ada sambaran angin yang dahsyat dari tangan itu! Namun angin pukulan ini bukan merupakan serangan, melainkan lebih merupakan “ujian” karena tangan itu tidak menampar atau memukul, melainkan mencengkeram untuk memegang lengan Keng Hong. Karena itu, pendekar sakti ini pun tidak mau balas menyerang hanya menggoyang tangannya seperti menolak dan berkata,
“Kami tidak ada waktu untuk melayani Tuan!”
“Plak! Plakk!”
Biarpun kedua tangan itu tidak saling sentuh, namun pertemuan dua hawa pukulan di antara kedua telapak tangan itu mengeluarkan bunyi nyaring dan orang asing botak itu terkejut bukan main ketika merasa betapa tangannya terpental dan terasa panas. Ia berdiri bengong memandang suami isteri yang terus melangkah ke luar itu, terheran-heran dan akhirnya membentak teman-temannya yang sudah bergerak mengejar,
“Biarkan mereka pergi, jangan ganggu!”
Dua orang temannya menghentikan gerakan kaki mereka, kembali kepada orang asing botak dengan mata memandang penuh pertanyaan. Si Botak ini menghela napas panjang, menggeleng-geleng kepalanya dan mengomel,
“Hebat...! Semuda itu sudah demikian hebat tenaganya...! Aihhh, ternyata benar cerita guruku bahwa bagian dunia ini penuh dengan orang-orang yang berkepandaian tinggi.” Kemudian dia menoleh kepada dua orang temannya tadi dan berkata, “Amat keliru kalau kita mulai pekerjaan kita dengan menanam permusuhan dengan orang-orang pandai seperti mereka. Tugas kita bahkan harus mendekati orang-orang pandai, bukan memusuhi mereka.”
“Akan tetapi, mereka telah melukai Taijin?” bantah seorang temannya.
“Hanya luka ringan. Ma-taijin tentu dapat menyudahi perkara ini, demi tugas yang lebih penting. Pula, kehilangan sebuah daun telinga untuk menebus kesalahan lalu, masih murah!”
Dua orang temannya mengangguk dan mereka bertiga segera menuju ke kamar Ma-taijin untuk membantu mengobati luka yang diderita pembesar itu.
Keng Hong dan isterinya terus meninggalkan Leng-kok pada malam hari itu juga, menuju pulang ke Cin-ling-san. Di sepanjang perjalanan suami isteri ini dengan penuh keheranan membicarakan tentang orang asing yang lihai itu.
“Sungguh membuat orang penasaran sekali!” kata Keng Hong. “Jelas dia adalah seorang asing biadab seperti yang kita dengar dari berita angin tentang munculnya orang-orang seperti itu di sepanjang pantai selatan dan timur. Akan tetapi mengapa dia menguasai ilmu kita? Sambaran tangannya tadi selain mengandung sin-kang yang cukup kuat, juga merupakan gerakan Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Garuda) yang cepat dan baik sekali!”
“Hanya tokoh-tokoh golongan sesat saja yang sudi mengajarkan ilmu bangsa kita kepada orang asing!” kata Biauw Eng.
“Belum tentu!” kata pula suaminya. “Kau lihat tadi selain gerakannya lihai, ilmu cambuknya juga hebat, sikapnya amat baik, tidak kejam dan tidak pula kasar. Kalau dia termasuk anggauta kaum sesat, tentu dia tidak akan demikian mudah saja membiarkan kita pergi. Agaknya sudah banyak terjadi perubahan di dunia kang-ouw. Sudah terlalu lama kita mengubur diri di dalam kesunyian di puncak Cin-ling-san. Sebaiknya kita menggunakan kesempatan ini, dalam perjalanan pulang singgah di tempat tokoh-tokoh kang-ouw yang kita kenal, selain mendenngar tentang keadaan kang-ouw, juga mencari keterangan tentang di mana adanya Yap Cong San, isterinya, dan puteranya.”
“Memang sebaiknya begitu. Sekarang ini kesempatan terakhir bagiku karena beberapa bulan lagi, dengan seorang bayi mana aku mampu bepergian lagi sebelum dia berusia dua tiga tahun?”
Demikianlah, kedua suami isteri itu melakukan perjalanan ke Cin-ling-pai dengan beberapa kali berhenti dan singgah di rumah tokoh-tokoh kang-ouw yang mereka kenal. Akan tetapi mereka kecewa sekali karena tidak ada seorang pun di antara para kenalan itu yang tahu di mana adanya Yap Cong San dan isterinya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar