Betapa indahnya pemandangan alam yang telah dipisahkan dengan dia selama lima tahun! Keluar dari Ruangan Kesadaran yang hanya berupa empat dinding tembok itu dan memasuki dunia luas ini, dia seolah-olah seperti hidup lagi, seperti memasuki dunia baru!
Hawa yang amat sejuk segar terasa, nikmat dan sedap sekali memasuki paru-parunya, membawa keharuman bau tanah, rumput, pohon dan kembang-kembang. Ingin dia bernyanyi-nyanyi, demikian senang dan gembira hatinya. Begini agaknya perasaan seekor burung yang dilepas dari kurungan selama bertahun-tahun!
Hati yang gembira, tubuh yang ringan karena tanpa disadarinya sendiri dia kini telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat, membuat Kun Liong dapat bergerak cepat sekali menuruni bukit.
Pagi hari itu amat indah dan cerah dan suasana di pegunungan sunyi sekali. Menjelang tengah hari, Kun Liong melihat enam orang laki-laki yang kelihatannya kuat dan gagah mengawal sebuah kereta naik ke puncak gunung dan di atas kereta itu tampak berkibar bendera yang menandakan bahwa para pengawal itu adalah para piauwsu dari Sam-to Piauw-kiok (Perusahaan Expedisi Tiga Golok).
Enam orang itu memandang dengan sinar mata tajam menyelidiki ketika bertemu dengan Kun Liong, akan tetapi karena pemuda gundul itu tidak mempedulikan mereka, maka tidak terjadi sesuatu.
Kun Liong hanya menganggap bahwa ada barang kiriman untuk Siauw-lim-pai, maka tentu saja dia tidak berani bertanya-tanya, dan dia tidak tahu barang apa yang berada di dalam kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda itu. Dia melanjutkan perjalanamya turun gunung sambil bersenandung dengan hati riang.
Sukongnya benar, pikirnya sambil menikmati hawa udara yang jernih sejuk. Hidup adalah saat sekarang ini yang sesungguhnya nikmat kalau pikiran kita tidak kita biarkan untuk mengenang hal-hal lalu atau hal-hal mendatang, bahkan kematian bukan merupakan hal yang menakutkan atau mendukakan.
Apa sih kematian? Kita tidak tahu bagaimana kematian itu, dan tidak mungkin kita takut akan sesuatu yang kita belum tahu. Ketakutan timbul dari bayangan-bayangan, dari angan-angan tentang hal yang kita ketahui atau yang kita anggap telah kita ketahui dari kitab atau dari orang lain. Kalau kematian hanya menjadi kelanjutan dari hidup, perlu apa takut?
Hidup sendiri pun sesungguhnya bukanlah suatu keadaan yang amat menyenangkan. Lihat saja pengalamannya sejak dia meninggalkan rumah. Betapa hidup manusia penuh dengan pertentangan, penuh persoalan yang agaknya sambung menyambung tiada kunjung henti. Dan kalau dia pelajari persoalan-persoalan itu, kesemuanya timbul dari nafsu keinginan manusia memperebutkan sesuatu, baik yang diperebutkan itu benda atau kebenaran!
Semua demi si-akunya manusia, sampai-sampai kebenaran sekalipun ingin dimonopoli. Kebenaran-Ku! Si aku inilah sumber dari segala persengketaan, sumber dari segala pertentangan dan permusuhan, membuat hidup menjadi semacam gelanggang pertempuran demi si aku masing-masing. Memang benar sukongnya yang berkata bahwa bagi seseorang yang sudah dapat mematikan akunya sewaktu hidup, tiada perubahan keadaan antara hidup dan mati!
Setelah hari senja baru Kun Liong tiba di sebuah dusun di kaki bukit. Dari jauh dia melihat sebuah warung makan di dekat sebuah rumah penginapan kecil sederhana. Dirogohnya bajunya yang lebar sederhana. Tadi dia diberi bekal uang sekedarnya oleh Thian Kek Hwesio. Lima tahun lamanya dia tidak pernah makan masakan yang enak, hanya makan sayur-sayuran sederhana saja seperti yang dimakan sukongnya. Minumnya pun selama lima tahun itu hanya air jernih. Ada tercium bau arak dan daging panggang dari warung itu, membangkitkan seleranya. Maka masuklah dia ke dalam warung itu, warung kecil yang hanya mempunyai beberapa bangku panjang, meja reyot dan diterangi oleh lampu minyak kecil tergantung di bawah genteng.
Tiga orang tamu yang sudah lebih dulu duduk di dalam warung, mengangkat muka memandang Kun Liong dengan penuh perhatian. Melihat orang-orang itu memandangnya penuh selidik, Kun Liong merasa tidak enak, akan tetapi dengan sikap tidak peduli dia menoleh kepada seorang pelayan yang sedang melayani mereka dan berkata sederhana,
“Bung pelayan, tolong sediakan arak dan bakmi semangkuk!”
Pelayan itu menoleh, kelihatan ragu-ragu dan mengulang,
“Arak? Dan bakmi dengan daging?”
Kun Liong mengangguk, lalu dia mengambil tempat duduk di ujung sebuah bangku panjang karena tidak ada tempat duduk lain yang kosong. Bangku ini di ujung sana telah diduduki oleh seorang di antara tiga tamu itu, seorang setengah tua yang berjenggot pendek dan agaknya sudah terlalu banyak minum arak karena mukanya merah dan wajahnya berseri. Dengan menggerakkan kedua pundaknya dan bertukar pandang dengan tiga orang tamunya, pelayan itu lalu pergi ke belakang untuk mengambilkan arak dan bakmi yang dipesan Kun Liong.
“Aku mendengar bahwa Siauw-lim-pai merupakan partai persilatan yang paling besar dan telah terkenal sekali bahwa hwesio-hwesio Siauw-lim-pai adalah para hwesio yang tidak pernah menyeleweng.”
Terdengar suara yang tinggi sekali seperti kaleng digurat menyakitkan anak telinga. Kun Liong melirik dan melihat bahwa yang bicara ini adalah seorang di antara tiga tamu tadi, orang yang mukanya kecil, bertopi kain dan bermuka pucat.
“Ha-ha-ha-ha, apa yang kau dengar itu memang benar, Kui-suheng (Kakak Seperguruan Kui). Kalau ada seorang hwesio melakukan pelanggaran, sudah hampir dapat dipastikan dia itu bukan seorang anggauta Siauw-lim-pai!” kata orang yang duduk sebangku dengan Kun Liong.
Arak dan bakmi yang dipesan Kun Liong tiba, dan pemuda ini segera mulai makan tanpa mempedulikan tiga orang tamu itu. Orang ke tiga di antara tamu itu sudah tua, kurus dan lucu sekali karena kelihatan selalu mengantuk. Biarpun kadang-kadang dia mengangkat cawan araknya, akan tetapi matanya seperti terus tidur melenggut dan tidak pernah ikut bicara dengan kedua orang temannya, bahkan sama sekali tidak mempedulikan Kun Liong.
“Benarkah bahwa setiap ada anak murid yang melanggar, Siauw-lim-si bertindak keras sekali dengan hukumannya?” tanya pula Si Muka Pucat yang disebut Kui-suheng oleh Si Jenggot Pendek tadi.
“Kabarnya demikian. Bahkan seorang murid tidak akan diijinkan keluar sebelum lulus dari ujian yang diadakan. Apakah Suheng tidak mendengar betapa ketuanya yang lama, Tiang Pek Hosiang yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw itu, terpaksa harus mengundurkan diri karena pelanggaran?”
“Ya, kabarnya begitu. Bahkan murid Siauw-lim-pai yang paling lihai, Yap Cong San yang kabarnya mewarisi ilmu kepandaian kakek sakti itu, terpaksa pula harus meninggalkan keanggautaannya dari Siauw-lim-pai karena pelanggaran.”
“Urusan apakah?”
“Entahlah, Sute. Aku sendiri pun tidak tahu jelas. Tentu Tio-taihiap (Pendekar Besar Tio) yang lebih tahu,” jawab Si Muka Pucat sambil memandang kepada teman yang sejak tadi seperti orang mengantuk itu.
Kedua orang itu kini memandang kepadanya dan diam-diam Kun Liong juga memperhatikan dengan kerling matanya kepada Si Pengantuk yang disebut Pendekar Besar Tio itu.
“Sudahlah, perlu apa bicara tentang urusan orang lain? Yang penting malam ini kita mengaso di losmen dan baru besok pagi kita naik ke Siauw-lim-si. Mudah-mudahan saja perjalanan jauh kita akan berhasil.”
Mendengar ini, timbul kecurigaan di dalam hati Kun Liong. Tiga orang ini sikapnya mencurigakan dan mereka ini besok mau nalk ke Siauw-lim-si! Mau apakah mereka? Apakah ada hubungan mereka dengan Kwi-eng-pai yang telah mencuri pusaka Siauw-lim-si.
“Ucapan Tio-taihiap benar,” kata Si Jenggot Pendek. “Kita harus menghormati para pendeta Siauw-lim-pai yang terhormat, akan tetapi bagaimana mungkin aku dapat menghormat pendeta munafik yang terang-terangan melanggar pantangan di depan umum?”
Setelah berkata demikian, Si Muka Merah yang berjenggot pendek ini mengangkat cawan araknya melirik ke kiri ke arah Kun Liong sambil mengerahkan tenaga sinkang di tubuh bagian bawah.
Kun Liong terkejut bukan main ketika tiba-tiba bangku yang didudukinya itu bergetar dan bergerak terangkat naik! Maklumlah dia bahwa Si Muka Merah ini sengaja main gila hendak mempermainkan dia yang tentu dianggap seorang hwesio yang melanggar pantangan makan daging dan minum arak. Perutnya terasa panas, akan tetapi dia bersikap tenang saja seolah-olah tidak tahu apa yang terjadi, akan tetapi dia pun lalu mengerahkan sin-kang sehingga ujung bangku yang didudukinya itu, yang tadinya sudah terangkat sampai sejengkal lebih dari lantai, kini turun kembali!
Si Muka Merah terbelalak dan heran, lalu menjadi penasaran. Sin-kangnya dikerahkan dengan sekuatnya, dan andaikata Kun Liong bukan seorang yang telah memiliki sin-kang kuat, tentu dia akan terlempar jauh oleh getaran ujung bangku yang didudukinya!
Akan tetapi, tubuh pemuda ini sama sekali tidak berguncang, bahkan ketika dia mengerahkan tenaganya, terdengar suara “krakkk!” bangku itu patah pada tengahnya dan tubuh Si Muka Merah itu terlempar ke atas seperti dilontarkan oleh tenaga raksasa yang tidak tampak!
Cawan araknya terlepas dari tangannya dan tentu akan terbanting tumpah di atas meja kalau saja Si Pengantuk yang disebut Tio-taihiap itu tidak mengulur tangan menyambar cawan itu dan aneh sekali... arak yang tumpah itu seakan-akan tersedot dan melayang kembali ke dalam cawan itu!
Sedangkan Si Muka Merah sudah berjungkir-balik dan tidak sampai terbanting. Dia sudah mengepal tinju dan memandang kepada Kun Liong dengan mata mendelik, melihat pemuda gundul itu tetap enak-enak duduk di ujung bangku yang sudah patah tengahnya, menghabiskan sisa arak dalam cawannya!
“Pendeta palsu hayo lawan aku orang she Song kalau kau ada kepandaian!” Si Muka Merah itu membentak marah.
Kun Liong menghabiskan sisa arak dalam cawan, kemudian meletakkan cawan kosong di atas meja dan bangkit berdiri. Tentu saja bangku yang sudah patah tengahnya itu terguling roboh ketika dia bangkit, mengeluarkan bunyi nyaring memecah kesunyian yang menegangkan itu. Dia merogoh saku dan menggapai kepada pelayan yang datang membungkuk-bungkuk dengan ketakutan, kemudian membayar harga makanan dan minuman setelah menanyakan harganya. Setelah pelayan bergegas pergi, dia berpaling kepada Si Muka Merah dan berkata,
“Semenjak tadi aku makan dan minum di sini dengan aman, tidak pernah mengganggu orang baik dengan ucapan atau dengan tingkah laku. Engkau hampir jatuh oleh tingkah sendiri, mengapa sekarang ribut-ribut hendak menantang orang?”
“Pendeta palsu, tak usah banyak cakap. Keluarlah kalau kau berani!”
“Saudara Song, duduklah!”
Tiba-tiba Si Pengantuk itu berseru nyaring dan Kun Liong melihat betapa Si Muka Merah itu, biarpun bersungut-sungut, mengangguk tak berani membantah, sudah duduk di sudut dengan muka merah. Si Pengantuk itu lalu berdiri menghadapi Kun Liong, mengangkat tangan ke depan dada sambil berkata,
“Siauw-suhu, harap suka memaafkan kekasaran kawanku. Akan tetapi aku pun tidak dapat terlalu menyalahkannya karena dia memang paling tidak suka menyaksikan sesuatu yang ganjil, misalnya seorang pendeta yang melanggar pantangan di depan umum, makan daging dan arak.”
Kun Liong tersenyum lebar dan memandang Si Pengantuk itu dengan wajah berseri. Dia tidak marah lagi, bahkan merasa betapa lucunya keadaan. Sambil balas menjura dia menjawab,
“Sudahlah, tidak ada apa-apa yang harus diributkan kalau hanya karena kesalah-pahaman diakibatkan oleh kepalaku yang gundul Tai-hiap, aku bukanlah seorang hwesio dan tidak ada seorang manusia pun di dunia ini yang berhak melarang aku berkepala gundul, minum arak dan makan daging!”
Si muka pucat tertawa dan sungguh aneh. Biarpun dia kelihatan mengantuk, setelah tertawa wajahnya yang tua kurus itu berseri dan sepasang mata yang sipit itu mengeluarkan sinar mata yang menyambar amat tajamnya, membuat Kun Liong terkejut sekali dan diam-diam pemuda ini maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai.
“Ha-ha-ha, Song-laote, kau lihat betapa lucunya dan betapa merugikan kalau kau tidak teliti, menyangka orang yang bukan-bukan dan sudah tergesa-gesa turun tangan sebelum yakin akan kesalahan orang. Saudara muda ini sama sekali bukan hwesio, tentu saja bukan merupakan hal aneh kalau dia makan daging dan minum arak.”
Orang she Ong itu kini berubah sikapnya. Dia cepat bangkit dan menjura ke arah Kun Liong sambil berkata,
“Aihh, mataku seperti buta! Harap suka memaafkan kecurigaan saya tadi, Siauw-eng-hiong. Semuda ini engkau telah memiliki kepandaian hebat, sungguh mengagumkan hatiku. Pertemuan ini harus dilanjutkan dengan persahabatan dan sudilah engkau menjadi tamu kami!”
Hawa yang amat sejuk segar terasa, nikmat dan sedap sekali memasuki paru-parunya, membawa keharuman bau tanah, rumput, pohon dan kembang-kembang. Ingin dia bernyanyi-nyanyi, demikian senang dan gembira hatinya. Begini agaknya perasaan seekor burung yang dilepas dari kurungan selama bertahun-tahun!
Hati yang gembira, tubuh yang ringan karena tanpa disadarinya sendiri dia kini telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat, membuat Kun Liong dapat bergerak cepat sekali menuruni bukit.
Pagi hari itu amat indah dan cerah dan suasana di pegunungan sunyi sekali. Menjelang tengah hari, Kun Liong melihat enam orang laki-laki yang kelihatannya kuat dan gagah mengawal sebuah kereta naik ke puncak gunung dan di atas kereta itu tampak berkibar bendera yang menandakan bahwa para pengawal itu adalah para piauwsu dari Sam-to Piauw-kiok (Perusahaan Expedisi Tiga Golok).
Enam orang itu memandang dengan sinar mata tajam menyelidiki ketika bertemu dengan Kun Liong, akan tetapi karena pemuda gundul itu tidak mempedulikan mereka, maka tidak terjadi sesuatu.
Kun Liong hanya menganggap bahwa ada barang kiriman untuk Siauw-lim-pai, maka tentu saja dia tidak berani bertanya-tanya, dan dia tidak tahu barang apa yang berada di dalam kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda itu. Dia melanjutkan perjalanamya turun gunung sambil bersenandung dengan hati riang.
Sukongnya benar, pikirnya sambil menikmati hawa udara yang jernih sejuk. Hidup adalah saat sekarang ini yang sesungguhnya nikmat kalau pikiran kita tidak kita biarkan untuk mengenang hal-hal lalu atau hal-hal mendatang, bahkan kematian bukan merupakan hal yang menakutkan atau mendukakan.
Apa sih kematian? Kita tidak tahu bagaimana kematian itu, dan tidak mungkin kita takut akan sesuatu yang kita belum tahu. Ketakutan timbul dari bayangan-bayangan, dari angan-angan tentang hal yang kita ketahui atau yang kita anggap telah kita ketahui dari kitab atau dari orang lain. Kalau kematian hanya menjadi kelanjutan dari hidup, perlu apa takut?
Hidup sendiri pun sesungguhnya bukanlah suatu keadaan yang amat menyenangkan. Lihat saja pengalamannya sejak dia meninggalkan rumah. Betapa hidup manusia penuh dengan pertentangan, penuh persoalan yang agaknya sambung menyambung tiada kunjung henti. Dan kalau dia pelajari persoalan-persoalan itu, kesemuanya timbul dari nafsu keinginan manusia memperebutkan sesuatu, baik yang diperebutkan itu benda atau kebenaran!
Semua demi si-akunya manusia, sampai-sampai kebenaran sekalipun ingin dimonopoli. Kebenaran-Ku! Si aku inilah sumber dari segala persengketaan, sumber dari segala pertentangan dan permusuhan, membuat hidup menjadi semacam gelanggang pertempuran demi si aku masing-masing. Memang benar sukongnya yang berkata bahwa bagi seseorang yang sudah dapat mematikan akunya sewaktu hidup, tiada perubahan keadaan antara hidup dan mati!
Setelah hari senja baru Kun Liong tiba di sebuah dusun di kaki bukit. Dari jauh dia melihat sebuah warung makan di dekat sebuah rumah penginapan kecil sederhana. Dirogohnya bajunya yang lebar sederhana. Tadi dia diberi bekal uang sekedarnya oleh Thian Kek Hwesio. Lima tahun lamanya dia tidak pernah makan masakan yang enak, hanya makan sayur-sayuran sederhana saja seperti yang dimakan sukongnya. Minumnya pun selama lima tahun itu hanya air jernih. Ada tercium bau arak dan daging panggang dari warung itu, membangkitkan seleranya. Maka masuklah dia ke dalam warung itu, warung kecil yang hanya mempunyai beberapa bangku panjang, meja reyot dan diterangi oleh lampu minyak kecil tergantung di bawah genteng.
Tiga orang tamu yang sudah lebih dulu duduk di dalam warung, mengangkat muka memandang Kun Liong dengan penuh perhatian. Melihat orang-orang itu memandangnya penuh selidik, Kun Liong merasa tidak enak, akan tetapi dengan sikap tidak peduli dia menoleh kepada seorang pelayan yang sedang melayani mereka dan berkata sederhana,
“Bung pelayan, tolong sediakan arak dan bakmi semangkuk!”
Pelayan itu menoleh, kelihatan ragu-ragu dan mengulang,
“Arak? Dan bakmi dengan daging?”
Kun Liong mengangguk, lalu dia mengambil tempat duduk di ujung sebuah bangku panjang karena tidak ada tempat duduk lain yang kosong. Bangku ini di ujung sana telah diduduki oleh seorang di antara tiga tamu itu, seorang setengah tua yang berjenggot pendek dan agaknya sudah terlalu banyak minum arak karena mukanya merah dan wajahnya berseri. Dengan menggerakkan kedua pundaknya dan bertukar pandang dengan tiga orang tamunya, pelayan itu lalu pergi ke belakang untuk mengambilkan arak dan bakmi yang dipesan Kun Liong.
“Aku mendengar bahwa Siauw-lim-pai merupakan partai persilatan yang paling besar dan telah terkenal sekali bahwa hwesio-hwesio Siauw-lim-pai adalah para hwesio yang tidak pernah menyeleweng.”
Terdengar suara yang tinggi sekali seperti kaleng digurat menyakitkan anak telinga. Kun Liong melirik dan melihat bahwa yang bicara ini adalah seorang di antara tiga tamu tadi, orang yang mukanya kecil, bertopi kain dan bermuka pucat.
“Ha-ha-ha-ha, apa yang kau dengar itu memang benar, Kui-suheng (Kakak Seperguruan Kui). Kalau ada seorang hwesio melakukan pelanggaran, sudah hampir dapat dipastikan dia itu bukan seorang anggauta Siauw-lim-pai!” kata orang yang duduk sebangku dengan Kun Liong.
Arak dan bakmi yang dipesan Kun Liong tiba, dan pemuda ini segera mulai makan tanpa mempedulikan tiga orang tamu itu. Orang ke tiga di antara tamu itu sudah tua, kurus dan lucu sekali karena kelihatan selalu mengantuk. Biarpun kadang-kadang dia mengangkat cawan araknya, akan tetapi matanya seperti terus tidur melenggut dan tidak pernah ikut bicara dengan kedua orang temannya, bahkan sama sekali tidak mempedulikan Kun Liong.
“Benarkah bahwa setiap ada anak murid yang melanggar, Siauw-lim-si bertindak keras sekali dengan hukumannya?” tanya pula Si Muka Pucat yang disebut Kui-suheng oleh Si Jenggot Pendek tadi.
“Kabarnya demikian. Bahkan seorang murid tidak akan diijinkan keluar sebelum lulus dari ujian yang diadakan. Apakah Suheng tidak mendengar betapa ketuanya yang lama, Tiang Pek Hosiang yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw itu, terpaksa harus mengundurkan diri karena pelanggaran?”
“Ya, kabarnya begitu. Bahkan murid Siauw-lim-pai yang paling lihai, Yap Cong San yang kabarnya mewarisi ilmu kepandaian kakek sakti itu, terpaksa pula harus meninggalkan keanggautaannya dari Siauw-lim-pai karena pelanggaran.”
“Urusan apakah?”
“Entahlah, Sute. Aku sendiri pun tidak tahu jelas. Tentu Tio-taihiap (Pendekar Besar Tio) yang lebih tahu,” jawab Si Muka Pucat sambil memandang kepada teman yang sejak tadi seperti orang mengantuk itu.
Kedua orang itu kini memandang kepadanya dan diam-diam Kun Liong juga memperhatikan dengan kerling matanya kepada Si Pengantuk yang disebut Pendekar Besar Tio itu.
“Sudahlah, perlu apa bicara tentang urusan orang lain? Yang penting malam ini kita mengaso di losmen dan baru besok pagi kita naik ke Siauw-lim-si. Mudah-mudahan saja perjalanan jauh kita akan berhasil.”
Mendengar ini, timbul kecurigaan di dalam hati Kun Liong. Tiga orang ini sikapnya mencurigakan dan mereka ini besok mau nalk ke Siauw-lim-si! Mau apakah mereka? Apakah ada hubungan mereka dengan Kwi-eng-pai yang telah mencuri pusaka Siauw-lim-si.
“Ucapan Tio-taihiap benar,” kata Si Jenggot Pendek. “Kita harus menghormati para pendeta Siauw-lim-pai yang terhormat, akan tetapi bagaimana mungkin aku dapat menghormat pendeta munafik yang terang-terangan melanggar pantangan di depan umum?”
Setelah berkata demikian, Si Muka Merah yang berjenggot pendek ini mengangkat cawan araknya melirik ke kiri ke arah Kun Liong sambil mengerahkan tenaga sinkang di tubuh bagian bawah.
Kun Liong terkejut bukan main ketika tiba-tiba bangku yang didudukinya itu bergetar dan bergerak terangkat naik! Maklumlah dia bahwa Si Muka Merah ini sengaja main gila hendak mempermainkan dia yang tentu dianggap seorang hwesio yang melanggar pantangan makan daging dan minum arak. Perutnya terasa panas, akan tetapi dia bersikap tenang saja seolah-olah tidak tahu apa yang terjadi, akan tetapi dia pun lalu mengerahkan sin-kang sehingga ujung bangku yang didudukinya itu, yang tadinya sudah terangkat sampai sejengkal lebih dari lantai, kini turun kembali!
Si Muka Merah terbelalak dan heran, lalu menjadi penasaran. Sin-kangnya dikerahkan dengan sekuatnya, dan andaikata Kun Liong bukan seorang yang telah memiliki sin-kang kuat, tentu dia akan terlempar jauh oleh getaran ujung bangku yang didudukinya!
Akan tetapi, tubuh pemuda ini sama sekali tidak berguncang, bahkan ketika dia mengerahkan tenaganya, terdengar suara “krakkk!” bangku itu patah pada tengahnya dan tubuh Si Muka Merah itu terlempar ke atas seperti dilontarkan oleh tenaga raksasa yang tidak tampak!
Cawan araknya terlepas dari tangannya dan tentu akan terbanting tumpah di atas meja kalau saja Si Pengantuk yang disebut Tio-taihiap itu tidak mengulur tangan menyambar cawan itu dan aneh sekali... arak yang tumpah itu seakan-akan tersedot dan melayang kembali ke dalam cawan itu!
Sedangkan Si Muka Merah sudah berjungkir-balik dan tidak sampai terbanting. Dia sudah mengepal tinju dan memandang kepada Kun Liong dengan mata mendelik, melihat pemuda gundul itu tetap enak-enak duduk di ujung bangku yang sudah patah tengahnya, menghabiskan sisa arak dalam cawannya!
“Pendeta palsu hayo lawan aku orang she Song kalau kau ada kepandaian!” Si Muka Merah itu membentak marah.
Kun Liong menghabiskan sisa arak dalam cawan, kemudian meletakkan cawan kosong di atas meja dan bangkit berdiri. Tentu saja bangku yang sudah patah tengahnya itu terguling roboh ketika dia bangkit, mengeluarkan bunyi nyaring memecah kesunyian yang menegangkan itu. Dia merogoh saku dan menggapai kepada pelayan yang datang membungkuk-bungkuk dengan ketakutan, kemudian membayar harga makanan dan minuman setelah menanyakan harganya. Setelah pelayan bergegas pergi, dia berpaling kepada Si Muka Merah dan berkata,
“Semenjak tadi aku makan dan minum di sini dengan aman, tidak pernah mengganggu orang baik dengan ucapan atau dengan tingkah laku. Engkau hampir jatuh oleh tingkah sendiri, mengapa sekarang ribut-ribut hendak menantang orang?”
“Pendeta palsu, tak usah banyak cakap. Keluarlah kalau kau berani!”
“Saudara Song, duduklah!”
Tiba-tiba Si Pengantuk itu berseru nyaring dan Kun Liong melihat betapa Si Muka Merah itu, biarpun bersungut-sungut, mengangguk tak berani membantah, sudah duduk di sudut dengan muka merah. Si Pengantuk itu lalu berdiri menghadapi Kun Liong, mengangkat tangan ke depan dada sambil berkata,
“Siauw-suhu, harap suka memaafkan kekasaran kawanku. Akan tetapi aku pun tidak dapat terlalu menyalahkannya karena dia memang paling tidak suka menyaksikan sesuatu yang ganjil, misalnya seorang pendeta yang melanggar pantangan di depan umum, makan daging dan arak.”
Kun Liong tersenyum lebar dan memandang Si Pengantuk itu dengan wajah berseri. Dia tidak marah lagi, bahkan merasa betapa lucunya keadaan. Sambil balas menjura dia menjawab,
“Sudahlah, tidak ada apa-apa yang harus diributkan kalau hanya karena kesalah-pahaman diakibatkan oleh kepalaku yang gundul Tai-hiap, aku bukanlah seorang hwesio dan tidak ada seorang manusia pun di dunia ini yang berhak melarang aku berkepala gundul, minum arak dan makan daging!”
Si muka pucat tertawa dan sungguh aneh. Biarpun dia kelihatan mengantuk, setelah tertawa wajahnya yang tua kurus itu berseri dan sepasang mata yang sipit itu mengeluarkan sinar mata yang menyambar amat tajamnya, membuat Kun Liong terkejut sekali dan diam-diam pemuda ini maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai.
“Ha-ha-ha, Song-laote, kau lihat betapa lucunya dan betapa merugikan kalau kau tidak teliti, menyangka orang yang bukan-bukan dan sudah tergesa-gesa turun tangan sebelum yakin akan kesalahan orang. Saudara muda ini sama sekali bukan hwesio, tentu saja bukan merupakan hal aneh kalau dia makan daging dan minum arak.”
Orang she Ong itu kini berubah sikapnya. Dia cepat bangkit dan menjura ke arah Kun Liong sambil berkata,
“Aihh, mataku seperti buta! Harap suka memaafkan kecurigaan saya tadi, Siauw-eng-hiong. Semuda ini engkau telah memiliki kepandaian hebat, sungguh mengagumkan hatiku. Pertemuan ini harus dilanjutkan dengan persahabatan dan sudilah engkau menjadi tamu kami!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar