“Ha-ha-ha, baiklah, Kiang-pangcu. Nah, kau tidurlah dulu, Nona manis, nanti aku menemanimu!”
Sambil berkata demikian, Ouw Ciang Houw menerjang dengan hebat sekali, menggunakan jari-jari tangannya untuk menotok dengan sasaran jalan-jalan darah di tubuh nona itu. Repot sekali Hwi Sian mengelak dan melindungi tubuh dengan pedang, namun dia terdesak hebat dan agaknya tidak lama lagi benar-benar dia harus tidur dulu oleh totokan!
“Ouw-siucai sastrawan keparat!”
Tiba-tiba Kun Liong melompat keluar dari tempat sembunyinya dan langsung dia mengulur tangan hendak menangkap dan mendorong pundak Ouw Ciang Houw. Gerakannya bukanlah serangan ilmu silat, hanya sekedar untuk menyuruh siucai itu mundur dan tidak mendesak Hwi Sian.
Melihat munculnya seorang pemuda tanggung berkepala gundul, Ouw Ciang Houw mengira seorang hwesio muda, maka dia cepat mengelak. Akan tetapi tanpa disadari sendiri oleh Kun Liong, pemuda itu telah memiliki gerakan yang amat luar biasa, karena hatinya ingin memegang pundak dan mendorong, otomatis gerakannya pun mengandung unsur Ilmu Silat Pat-hong-sin-kun yang dapat memotong jalan delapan penjuru, maka pengelakan itu sia-sia, tahu-tahu pundak siucai itu dapat didorongnya sehingga tubuh Ouw-siucai terhuyung ke belakang!
“Ehhh…!” Ouw-siucai berseru kaget bukan main karena dia sendiri tidak tahu bagaimana elakannya sampai gagal, hanya dia merasa lega bahwa tenaga dorongan “hwesio” muda itu ternyata tidaklah begitu hebat. “Hwesio busuk dari mana berani berlancang tangan mencampuri urusanku?” Bentaknya sambil memandang dengan mata mendelik kepada Kun Liong.
Kalau saja tidak disebut hwesio, masih mending akan tetapi kini bahkan disebut hwesio busuk, tentu saja perut Kun Liong terasa panas dan sepasang matanya memandang dengan sinar mata bercahaya aneh dan tajam menusuk sehingga Ouw-siucai sekali lagi terkejut setengah mati. Mata itu tiba-tiba menjadi mata setan, pikirnya serem.
“Engkau ini orang sastrawan, akan tetapi berwatak cabul, genit, dan tersesat. Apakah engkau hendak mengulangi perbuatanmu yang biadab di perahu itu, lima tahun yang lalu?” Kun Liong menegur. “Bukankah banyak kitab kuno yang kau baca, yang mengajar bagaimana orang harus hidup benar? Sudah lima tahun belum bertobat, belum sadar malah makin gila!”
Untuk ke tiga kalinya siucai itu terkejut dan heran.
“Siauw-suhu dari kuil dan golongan mana? Harap tidak mencampuri urusan ini karena urusan ini adalah persoalan pribadi dan permusuhan dari kedua golongan!”
Makin mendalam kerut alis Kun Liong, apalagi ketika mendengar suara ketawa tertahan di belakangnya. Dia sudah hafal benar suara ketawa tertahan dari Hwi Sian itu!
“Aku bukan dari kuil dan golongan manapun juga!” Dia membentak. “Bahkan aku sama sekali bukan hwesio. Engkau Ouw Ciang Houw sastrawan sesat yang dahulu memperkosa isteri guru silat Gui Tiong di perahuku, kemudian mengakibatkan matinya suami isteri itu. Ingat?”
Untuk ke empat kalinya Ouw Ciang Houw terbelalak heran.
“Wah-wah…!” Dia menggaruk-garuk kepalanya. “Jadi kau… Si Gundul bocah tukang perahu itu…?”
“Wuuuuttt, plakkk!”
Kembali Ouw Ciang Houw terhuyung karena Kun Liong telah menampar pipinya dan biarpun tadi dia mengelak, tetap saja pipinya kena tampar! Hal ini amat mengherankan bagi Ouw Ciang Houw yang berkepandaian tinggi, akan tetapi sama sekali tidak mengherankan bagi Kun Liong.
Pemuda gundul ini hanya mengira bahwa sastrawan itu tidak sungguh-sungguh mengelak, maka dorongannya tadi dan tamparannya mengenai sasaran! Dia tidak sadar bahwa setelah memiliki Ilmu Silat Tinggi Pat-hong-sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin), setiap gerakannya memang mengandung gaya yang luar biasa sehingga sukar diduga lawan ke mana hendak meluncur!
“Bocah setan, kau bosan hidup!”
Ouw Ciang Houw menjadi marah sekali dan dengan pengerahan tenaganya dia memukul ke arah kepala dan dada Kun Liong secara cepat sekali dengan kedua tangannya. Kun Liong paling anti kalau kepalanya dibuat permainan, apalagi dipukul. Setelah dia gundul, sesuatu yang menyinggung kepalanya menyakitkan hatinya benar, maka kini dia mengangkat tangan menangkis pukulan yang mengancam kepalanya, akan tetapi pukulan ke arah dadanya tak sempat dia menangkisnya, maka otomatis bergeraklah tenaga sin-kang yang dilatih selama lima tahun.
“Bukkk! Auuuuwww… duhhh…!”
Ouw Ciang Houw memegangi tangan kirinya yang seolah-olah remuk rasanya ketika membentur dada Kun Liong tadi.
“Engkau malah berani memukul kepalaku, ya? Benar-benar engkau orang jahat, perlu dihajar!”
Kun Liong sudah maju dan tangan kirinya bergerak dari depan memukul dada lawan. Biarpun kesakitan, Ouw Ciang Houw yang dapat menduga bahwa Si Gundul ini memiliki kepandaian aneh, cepat menangkis, akan tetapi sungguh di luar dugaannya ketika tiba-tiba kepalanya ditempiling oleh tangan kanan Kun Liong dari belakang.
“Plenggg!” Dan dia terguling!
Inilah keistimewaan gerak Pat-hong-sin-kun, serangan pertama dari depan untuk memancing perhatian sedangkan serangan susulan datang dari arah berlawanan. Banyak serangan macam ini yang datang dari delapan penjuru dalam ilmu silat sakti ini!
Ouw Ciang Houw hanya merasa kepalanya pening saja, maka begitu terguling dia dapat meloncat berdiri lagi. Kemarahannya membuat mukanya berubah pucat, tangannya meraba punggung dan tampaklah sinar berkilat ketika dia mencabut pedangnya menerjang Kun Liong.
“Trangggg!!”
Hwi Sian telah menangkis pedang itu, padahal tentu saja Kun Liong sudah siap untuk menghindarkan serangan tadi. Terjadilah pertandingan pedang yang seru antara Hwi Sian dan sastrawan itu.
Melihat betapa dara itu terdesak hebat dalam belasan jurus saja, Kun Liong menjadi khawatir sekali. Untuk maju dengan tangan kosong saja dia merasa ngeri, maka dia lalu meloncat ke atas pohon, mematahkan sebuah dahan pohon dan meloncat turun terus langsung menerjang Ouw-siucai dengan senjata dahan di tangan.
Begitu menerjang tentu saja dia menggunakan gerakan dari Ilmu Siang-liong-pang dan hebat bukan main akibatnya! Bukan hanya Ouw-siucai yang berloncatan mundur, bahkan Hwi Sian juga bingung melihat tiba-tiba banyak sekali tongkat melayang ke sana-sini dengan ganasnya sehingga dara itu pun meloncat mundur!
Akan tetapi, tongkat dahan itu terus menyerang Ouw-siucai yang berusaha menangkis dengan pedangnya. Celaka baginya, tongkat yang ditangkis itu seperti dapat mengelak dan tahu-tahu lengan kanannya yang memegang pedang terpukul tongkat, bukan main nyeri rasanya sehingga kalau saja dia tidak mempertahahkan pedangnya dengan tenaga sin-kang, tentu pedang itu akan terlepas. Akan tetapi, gebukan ke dua menyusul tanpa dapat diduganya terdengar suara “buk!” dan tubuhnya kembali terguling karena pantatnya sudah terpukul sehingga rasanya daging pinggul remuk-remuk!
Kini maklumlah Ouw-siucai bahwa kalau dia melanjutkan pertandingan, dia dan temannya akan mati konyol. Maka dia bersuit keras, tubuhnya mencelat ke dekat temannya yang sedang didesak hebat, pedangnya bergerak menangkis memberi kesempatan kepada Kiang Ti untuk melepaskan diri dari kepungan sinar pedang lawan, kemudian keduanya melompat jauh dan melarikan diri tanpa berani menoleh sama sekali!
Tiga orang itu hendak mengejar, akan tetapi Kun Liong berkata,
“Mereka sudah mendapatkan pelajaran, tentu sudah bertobat. Perlu apa dikejar lagi?”
Poa Su It menyuruh kedua adiknya berhenti, kemudian mereka menghampiri Kun Liong dan orang tertua di antara mereka itu menjura,
“Ah, kiranya Laote adalah seorang pendekar muda yang berilmu tinggi!”
“Sungguh kami telah bersikap kurang hormat!” kata pula Tan Swi Bu.
“Ji-wi Suheng (Kakak Seperguruan Berdua), kalau tidak ada dia, tentu sumoimu ini celaka di tangan siucai busuk tadi!” kata Lim Hwi Sian yang kini memandang kepada Kun Liong dengan sinar mata penuh kagum.
Kun Liong mengerutkan alisnya dan membuang tongkatnya dengan hati mengkal. Masih berdengung di telinganya suara ketawa Hwi Sian tadi ketika dia disebut hwesio busuk oleh Ouw-siucai. Kini mereka memuji-mujinya. Siapa tahu di balik pujian bibir manis dari dara itu tersembunyi ejekan terhadap kepala gundulnya! Dengan suara dingin dia berkata,
“Aku hanyalah seorang gundul yang tiada artinya. Selamat tinggal!” Setelah berkata demikian, dia lalu melangkah tanpa menengok lagi.
“Eh, sungguh aneh!” kata Tan Swi Bu.
“Hemm, dia marah, agaknya masih marah karena engkau pernah mentertawai kepalanya, Sumoi!” kata Poa Sut It menyesal.
Dia tahu bahwa pemuda tanggung yang gundul itu adalah seorang yang luar biasa, dan sebetulnya dia ingin sekali tahu siapakah pemuda itu dan murid siapa.
Lim Hwi Sian juga merasa menyesal, apalagi ketika dia teringat betapa tadi belum lama ini dia terpaksa tertawa lagi melihat Ouw-siucai yang jahat juga salah kira, menganggap pemuda itu seorang hwesio!
“Biarlah aku minta maaf kepadanya!” katanya lalu berlari mengejar Kun Liong yang sudah lenyap di balik sebuah tikungan.
Kedua orang suhengnya hanya saling pandang dan membiarkannya saja, bahkan tetap menunggu di situ dengan harapan mudah-mudahan sumoi mereka dapat menyabarkan hati pemuda gundul yang luar biasa itu sehingga mereka dapat saling berkenalan.
“Tai-hiap, tunggu dulu…!”
Kun Liong terkejut dan heran mendengar suara wanita ini. Sebelum dia menengok, tampak bayangan berkelebat dari belakangnya dan kiranya Hwi Sian kini telah berdiri di depannya dengan wajah sungguh-sungguh. Dia menyebut aku “tai-hiap”! Jantung Kun Liong berdebar. Sebuah ejekan barukah ini? Dia disebut pendekar besar! Kalau dara itu kembali mengejeknya, akan dimakinya! Diejek orang lain tidak apa-apa, akan tetapi diejek dara ini! Sakit hatinya! Kini dia sadar bahwa sikap pemarahnya akhir-akhir ini mengenai kepala gundulnya adalah karena orang melakukannya di depan dara ini.
“Kau… kau mau apakah menyusul aku?” tanyanya, gagap karena pandangan mata dara itu benar-benar membuat dia canggung, malu dan bingung.
“Kami tahu bahwa Tai-hiap marah, dan memang sepantasnyalah kalau Tai-hiap…”
“Ah, sebutanmu ini ejekan ataukah pujian kosong? Kalau ejekan, tidak perlu kita bicara lagi, kalau pujian kosong, kuharap jangan lakukan itu. Aku tidak suka disebut Tai-hiap, baik ejekan maupun pujian.”
Sepasang mata yang jeli dan indah itu terbuka lebar, memandang bingung.
“Habis disuruh menyebut apakah aku ini?”
“Namaku Kun Liong, Yap Kun Liong, bukan pendekar besar, bahkan bukan pula pendekar kecil. Sebut saja namaku, beres!”
“Wah, mana aku berani? Bia aku menyebut Yap-enghiong (Orang Gagah Yap) saja.”
“Aku bukan enghiong, bukan pula bu-hiap (pendekar silat), aku hanya seorang gundul yang…”
“Stop! Kau benar-benar marah besar dan semua adalah karena kesalahanku! Kami berhutang budi kepadamu, bahkan mungkin aku berhutang nyawa, dan aku telah membuat engkau marah besar dan sakit hati. Tidak… tidak adakah maaf bagiku?”
Melihat sinar mata itu sayu penuh penyesalan dan suara itu demikian minta dikasihani, kekerasan hati Kun Liong akibat kemarahannya tadi hancur luluh, mencair seperti salju digodok! Cepat dia mengangguk dan menjawab,
“Tentu saja aku memaafkanmu, bahkan tidak perlu kau minta maaf karena sebetulnya aku tidak marah kepadamu, hanya… eh, malu karena kepalaku…”
“Mengapa dengan kepalamu? Kepalamu tidak apa-apa, bahkan… hem… baik sekali bentuknya!”
“Sesungguhnyakah?”
“Aku berani bersumpah tidak membohongimu. Yap-enghiong, eh…”
“Jangan sebut enghiong segala, namaku Kun Liong, tanpa embel-embel.”
Sambil berkata demikian, Ouw Ciang Houw menerjang dengan hebat sekali, menggunakan jari-jari tangannya untuk menotok dengan sasaran jalan-jalan darah di tubuh nona itu. Repot sekali Hwi Sian mengelak dan melindungi tubuh dengan pedang, namun dia terdesak hebat dan agaknya tidak lama lagi benar-benar dia harus tidur dulu oleh totokan!
“Ouw-siucai sastrawan keparat!”
Tiba-tiba Kun Liong melompat keluar dari tempat sembunyinya dan langsung dia mengulur tangan hendak menangkap dan mendorong pundak Ouw Ciang Houw. Gerakannya bukanlah serangan ilmu silat, hanya sekedar untuk menyuruh siucai itu mundur dan tidak mendesak Hwi Sian.
Melihat munculnya seorang pemuda tanggung berkepala gundul, Ouw Ciang Houw mengira seorang hwesio muda, maka dia cepat mengelak. Akan tetapi tanpa disadari sendiri oleh Kun Liong, pemuda itu telah memiliki gerakan yang amat luar biasa, karena hatinya ingin memegang pundak dan mendorong, otomatis gerakannya pun mengandung unsur Ilmu Silat Pat-hong-sin-kun yang dapat memotong jalan delapan penjuru, maka pengelakan itu sia-sia, tahu-tahu pundak siucai itu dapat didorongnya sehingga tubuh Ouw-siucai terhuyung ke belakang!
“Ehhh…!” Ouw-siucai berseru kaget bukan main karena dia sendiri tidak tahu bagaimana elakannya sampai gagal, hanya dia merasa lega bahwa tenaga dorongan “hwesio” muda itu ternyata tidaklah begitu hebat. “Hwesio busuk dari mana berani berlancang tangan mencampuri urusanku?” Bentaknya sambil memandang dengan mata mendelik kepada Kun Liong.
Kalau saja tidak disebut hwesio, masih mending akan tetapi kini bahkan disebut hwesio busuk, tentu saja perut Kun Liong terasa panas dan sepasang matanya memandang dengan sinar mata bercahaya aneh dan tajam menusuk sehingga Ouw-siucai sekali lagi terkejut setengah mati. Mata itu tiba-tiba menjadi mata setan, pikirnya serem.
“Engkau ini orang sastrawan, akan tetapi berwatak cabul, genit, dan tersesat. Apakah engkau hendak mengulangi perbuatanmu yang biadab di perahu itu, lima tahun yang lalu?” Kun Liong menegur. “Bukankah banyak kitab kuno yang kau baca, yang mengajar bagaimana orang harus hidup benar? Sudah lima tahun belum bertobat, belum sadar malah makin gila!”
Untuk ke tiga kalinya siucai itu terkejut dan heran.
“Siauw-suhu dari kuil dan golongan mana? Harap tidak mencampuri urusan ini karena urusan ini adalah persoalan pribadi dan permusuhan dari kedua golongan!”
Makin mendalam kerut alis Kun Liong, apalagi ketika mendengar suara ketawa tertahan di belakangnya. Dia sudah hafal benar suara ketawa tertahan dari Hwi Sian itu!
“Aku bukan dari kuil dan golongan manapun juga!” Dia membentak. “Bahkan aku sama sekali bukan hwesio. Engkau Ouw Ciang Houw sastrawan sesat yang dahulu memperkosa isteri guru silat Gui Tiong di perahuku, kemudian mengakibatkan matinya suami isteri itu. Ingat?”
Untuk ke empat kalinya Ouw Ciang Houw terbelalak heran.
“Wah-wah…!” Dia menggaruk-garuk kepalanya. “Jadi kau… Si Gundul bocah tukang perahu itu…?”
“Wuuuuttt, plakkk!”
Kembali Ouw Ciang Houw terhuyung karena Kun Liong telah menampar pipinya dan biarpun tadi dia mengelak, tetap saja pipinya kena tampar! Hal ini amat mengherankan bagi Ouw Ciang Houw yang berkepandaian tinggi, akan tetapi sama sekali tidak mengherankan bagi Kun Liong.
Pemuda gundul ini hanya mengira bahwa sastrawan itu tidak sungguh-sungguh mengelak, maka dorongannya tadi dan tamparannya mengenai sasaran! Dia tidak sadar bahwa setelah memiliki Ilmu Silat Tinggi Pat-hong-sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin), setiap gerakannya memang mengandung gaya yang luar biasa sehingga sukar diduga lawan ke mana hendak meluncur!
“Bocah setan, kau bosan hidup!”
Ouw Ciang Houw menjadi marah sekali dan dengan pengerahan tenaganya dia memukul ke arah kepala dan dada Kun Liong secara cepat sekali dengan kedua tangannya. Kun Liong paling anti kalau kepalanya dibuat permainan, apalagi dipukul. Setelah dia gundul, sesuatu yang menyinggung kepalanya menyakitkan hatinya benar, maka kini dia mengangkat tangan menangkis pukulan yang mengancam kepalanya, akan tetapi pukulan ke arah dadanya tak sempat dia menangkisnya, maka otomatis bergeraklah tenaga sin-kang yang dilatih selama lima tahun.
“Bukkk! Auuuuwww… duhhh…!”
Ouw Ciang Houw memegangi tangan kirinya yang seolah-olah remuk rasanya ketika membentur dada Kun Liong tadi.
“Engkau malah berani memukul kepalaku, ya? Benar-benar engkau orang jahat, perlu dihajar!”
Kun Liong sudah maju dan tangan kirinya bergerak dari depan memukul dada lawan. Biarpun kesakitan, Ouw Ciang Houw yang dapat menduga bahwa Si Gundul ini memiliki kepandaian aneh, cepat menangkis, akan tetapi sungguh di luar dugaannya ketika tiba-tiba kepalanya ditempiling oleh tangan kanan Kun Liong dari belakang.
“Plenggg!” Dan dia terguling!
Inilah keistimewaan gerak Pat-hong-sin-kun, serangan pertama dari depan untuk memancing perhatian sedangkan serangan susulan datang dari arah berlawanan. Banyak serangan macam ini yang datang dari delapan penjuru dalam ilmu silat sakti ini!
Ouw Ciang Houw hanya merasa kepalanya pening saja, maka begitu terguling dia dapat meloncat berdiri lagi. Kemarahannya membuat mukanya berubah pucat, tangannya meraba punggung dan tampaklah sinar berkilat ketika dia mencabut pedangnya menerjang Kun Liong.
“Trangggg!!”
Hwi Sian telah menangkis pedang itu, padahal tentu saja Kun Liong sudah siap untuk menghindarkan serangan tadi. Terjadilah pertandingan pedang yang seru antara Hwi Sian dan sastrawan itu.
Melihat betapa dara itu terdesak hebat dalam belasan jurus saja, Kun Liong menjadi khawatir sekali. Untuk maju dengan tangan kosong saja dia merasa ngeri, maka dia lalu meloncat ke atas pohon, mematahkan sebuah dahan pohon dan meloncat turun terus langsung menerjang Ouw-siucai dengan senjata dahan di tangan.
Begitu menerjang tentu saja dia menggunakan gerakan dari Ilmu Siang-liong-pang dan hebat bukan main akibatnya! Bukan hanya Ouw-siucai yang berloncatan mundur, bahkan Hwi Sian juga bingung melihat tiba-tiba banyak sekali tongkat melayang ke sana-sini dengan ganasnya sehingga dara itu pun meloncat mundur!
Akan tetapi, tongkat dahan itu terus menyerang Ouw-siucai yang berusaha menangkis dengan pedangnya. Celaka baginya, tongkat yang ditangkis itu seperti dapat mengelak dan tahu-tahu lengan kanannya yang memegang pedang terpukul tongkat, bukan main nyeri rasanya sehingga kalau saja dia tidak mempertahahkan pedangnya dengan tenaga sin-kang, tentu pedang itu akan terlepas. Akan tetapi, gebukan ke dua menyusul tanpa dapat diduganya terdengar suara “buk!” dan tubuhnya kembali terguling karena pantatnya sudah terpukul sehingga rasanya daging pinggul remuk-remuk!
Kini maklumlah Ouw-siucai bahwa kalau dia melanjutkan pertandingan, dia dan temannya akan mati konyol. Maka dia bersuit keras, tubuhnya mencelat ke dekat temannya yang sedang didesak hebat, pedangnya bergerak menangkis memberi kesempatan kepada Kiang Ti untuk melepaskan diri dari kepungan sinar pedang lawan, kemudian keduanya melompat jauh dan melarikan diri tanpa berani menoleh sama sekali!
Tiga orang itu hendak mengejar, akan tetapi Kun Liong berkata,
“Mereka sudah mendapatkan pelajaran, tentu sudah bertobat. Perlu apa dikejar lagi?”
Poa Su It menyuruh kedua adiknya berhenti, kemudian mereka menghampiri Kun Liong dan orang tertua di antara mereka itu menjura,
“Ah, kiranya Laote adalah seorang pendekar muda yang berilmu tinggi!”
“Sungguh kami telah bersikap kurang hormat!” kata pula Tan Swi Bu.
“Ji-wi Suheng (Kakak Seperguruan Berdua), kalau tidak ada dia, tentu sumoimu ini celaka di tangan siucai busuk tadi!” kata Lim Hwi Sian yang kini memandang kepada Kun Liong dengan sinar mata penuh kagum.
Kun Liong mengerutkan alisnya dan membuang tongkatnya dengan hati mengkal. Masih berdengung di telinganya suara ketawa Hwi Sian tadi ketika dia disebut hwesio busuk oleh Ouw-siucai. Kini mereka memuji-mujinya. Siapa tahu di balik pujian bibir manis dari dara itu tersembunyi ejekan terhadap kepala gundulnya! Dengan suara dingin dia berkata,
“Aku hanyalah seorang gundul yang tiada artinya. Selamat tinggal!” Setelah berkata demikian, dia lalu melangkah tanpa menengok lagi.
“Eh, sungguh aneh!” kata Tan Swi Bu.
“Hemm, dia marah, agaknya masih marah karena engkau pernah mentertawai kepalanya, Sumoi!” kata Poa Sut It menyesal.
Dia tahu bahwa pemuda tanggung yang gundul itu adalah seorang yang luar biasa, dan sebetulnya dia ingin sekali tahu siapakah pemuda itu dan murid siapa.
Lim Hwi Sian juga merasa menyesal, apalagi ketika dia teringat betapa tadi belum lama ini dia terpaksa tertawa lagi melihat Ouw-siucai yang jahat juga salah kira, menganggap pemuda itu seorang hwesio!
“Biarlah aku minta maaf kepadanya!” katanya lalu berlari mengejar Kun Liong yang sudah lenyap di balik sebuah tikungan.
Kedua orang suhengnya hanya saling pandang dan membiarkannya saja, bahkan tetap menunggu di situ dengan harapan mudah-mudahan sumoi mereka dapat menyabarkan hati pemuda gundul yang luar biasa itu sehingga mereka dapat saling berkenalan.
“Tai-hiap, tunggu dulu…!”
Kun Liong terkejut dan heran mendengar suara wanita ini. Sebelum dia menengok, tampak bayangan berkelebat dari belakangnya dan kiranya Hwi Sian kini telah berdiri di depannya dengan wajah sungguh-sungguh. Dia menyebut aku “tai-hiap”! Jantung Kun Liong berdebar. Sebuah ejekan barukah ini? Dia disebut pendekar besar! Kalau dara itu kembali mengejeknya, akan dimakinya! Diejek orang lain tidak apa-apa, akan tetapi diejek dara ini! Sakit hatinya! Kini dia sadar bahwa sikap pemarahnya akhir-akhir ini mengenai kepala gundulnya adalah karena orang melakukannya di depan dara ini.
“Kau… kau mau apakah menyusul aku?” tanyanya, gagap karena pandangan mata dara itu benar-benar membuat dia canggung, malu dan bingung.
“Kami tahu bahwa Tai-hiap marah, dan memang sepantasnyalah kalau Tai-hiap…”
“Ah, sebutanmu ini ejekan ataukah pujian kosong? Kalau ejekan, tidak perlu kita bicara lagi, kalau pujian kosong, kuharap jangan lakukan itu. Aku tidak suka disebut Tai-hiap, baik ejekan maupun pujian.”
Sepasang mata yang jeli dan indah itu terbuka lebar, memandang bingung.
“Habis disuruh menyebut apakah aku ini?”
“Namaku Kun Liong, Yap Kun Liong, bukan pendekar besar, bahkan bukan pula pendekar kecil. Sebut saja namaku, beres!”
“Wah, mana aku berani? Bia aku menyebut Yap-enghiong (Orang Gagah Yap) saja.”
“Aku bukan enghiong, bukan pula bu-hiap (pendekar silat), aku hanya seorang gundul yang…”
“Stop! Kau benar-benar marah besar dan semua adalah karena kesalahanku! Kami berhutang budi kepadamu, bahkan mungkin aku berhutang nyawa, dan aku telah membuat engkau marah besar dan sakit hati. Tidak… tidak adakah maaf bagiku?”
Melihat sinar mata itu sayu penuh penyesalan dan suara itu demikian minta dikasihani, kekerasan hati Kun Liong akibat kemarahannya tadi hancur luluh, mencair seperti salju digodok! Cepat dia mengangguk dan menjawab,
“Tentu saja aku memaafkanmu, bahkan tidak perlu kau minta maaf karena sebetulnya aku tidak marah kepadamu, hanya… eh, malu karena kepalaku…”
“Mengapa dengan kepalamu? Kepalamu tidak apa-apa, bahkan… hem… baik sekali bentuknya!”
“Sesungguhnyakah?”
“Aku berani bersumpah tidak membohongimu. Yap-enghiong, eh…”
“Jangan sebut enghiong segala, namaku Kun Liong, tanpa embel-embel.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar