“Ahh, tambah saja makanan yang kami pesan untuk seorang lagi. Dia menjadi tamu kami!” kata seorang laki-laki yang ke dua dengan suara ramah. Si Pelayan mengangguk-angguk kemudian pergi.
Kun Liong masih berdiri di dekat meja mereka. Dua orang laki-laki itu kelihatan peramah. Yang tua berusia empat puluh tahun, orang ke dua kurang lebih tiga puluh tahun, sedangkan dara remaja yang ternyata bermuka segar dengan sepasang pipi kemerahan, sepasang mata yang membayangkan kelincahan dan kejenakaan itu tentu tidak akan lebih dari dia sendiri. Mungkin baru empat belas tahun. Akan tetapi seperti dua orang laki-laki itu, dara remaja itu pun membawa sebatang pedang di punggungnya!
Melihat dari sinar mata dan sikap dua orang laki-laki itu ramah dan bersungguh-sumgguh menawarkan tempat untuknya, dan betapa dara remaja itu sudah tidak tertawa dan geli lagi, dia pun mengangguk dan berkata sederhana,
“Terima kasih!” Kemudian duduk di atas bangku dekat meja, berhadapan dengan dara remaja itu.
Sepasang pipi Kun Liong masih tampak kemerahan karena tadi menahan kemarahan terhadap pelayan yang menyebutnya pendeta cilik. Melihat ini, laki-laki yang berusia tiga puluh tahun, berkata,
“Pelayan itu mengeluarkan kata-kata yang tidak menyenangkan, akan tetapi dia tidak sengaja, harap saja tidak dipusingkan lagi.”
Kun Liong mengangguk tanpa menjawab. Matanya mengerling kepada dara remaja di depannya dan ternyata gadis kecil itu memandang kepadanya penuh perhatian secara terbuka, tidak seperti dara-dara lain yang dijumpainya di dalam perjalanan yang selalu memandang kepada pria dengan cara sembunyi-sembunyi, bahkan memandangi gundulnya pun mereka lakukan dengan sembunyi. Kini dara ini tidak saja menatap wajahnya dengan sepasang mata yang jeli dan terang-terangan, bahkan agaknya mengagumi kepalanya yang gundul. Terlalu sekali! Dia menjadi malu dan terpaksa menundukkan muka seperti seorang kanak-kanak yang melakukan sesuatu yang terlarang.
Melihat ini laki-laki yang tertua berkata dengan suara menghibur,
“Harap saja Siauw-suhu tidak usah malu karena sekarang banyak saja hwesio yang melepaskan pantangan makan daging dan minum arak, dan…”
“Saya bukan hwesio!”
Tiba-tiba Kun Liong memotong dan suaranya agak kaku karena dapat dibayangkan betapa sebal hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa orang yang disangkanya ramah ini pun ternyata menduga dia seorang pendeta cilik! Mengertilah ia sekarang mengapa dia menjadi bahan tertawaan. Tentu dia disangka seorang hwesio yang sengaja menyamar dengan pakaian biasa agar dapat leluasa makan daging, minum arak, lupa kepada kepalanya yang gundul!
“Saya bukan hwesio, apalagi hwesio yang pura-pura suci tapi diam-diam menyamar untuk dapat makan daging dan minum arak!”
Tiga orang itu saling pandang dengan mata terbuka lebar, dan tiba-tiba dara itu pun tak dapat menahan ketawanya. Biarpun dia cepat menutupi mulutnya dengan saputangan sutera hijaunya, namun masih tampak oleh Kun Liong betapa sepasang bibir yang merah itu terbuka, memperlihatkan rongga mulut yang lebih merah lagi dengan deretan gigi putih mengkilap.
“Brakkk!” Kun Liong menggebrak meja di depannya dengan kedua telapak tangannya, tidak terlalu keras akan tetapi cukup menyatakan kemendongkolan hatinya. “Mengapa engkau mentertawakan aku?”
Berbeda dengan sikapnya kepada laki-laki itu, dengan kata-kata cukup sopan biarpun penasaran, terhadap dara ini yang dianggapnya tidak lebih tua dari dia. Kun Liong bersikap kasar dan biasa saja, apalagi karena dia marah mengira nona muda itu mentertawakannya.
Dara itu memandang Kun Liong, makin geli melihat pemuda remaja gundul itu marah-marah sehingga dari dekapan saputangannya masih terdengar kekehnya.
“Aihh, harap suka maafkan sumoi yang masih muda dan suka bergurau,” laki-laki tertua berkata, kemudian dia menoleh kepada dara remaja itu sambil berkata, “Sumoi, sudahlah jangan tertawa dan menimbulkan salah paham.”
Laki-laki ke dua juga berkata,
“Maafkanlah kami yang salah menduga karena sesungguhnya kami mengira bahwa engkau adalah seorang hwesio muda.”
Dara remaja itu menurunkan saputangannya dan biarpun mulutnya tidak tersenyum lagi, akan tetapi sepasang matanya bersinar-sinar nakal, mulutnya cemberut karena dia ditegur suhengnya, lalu dia berkata sambil mengerling ke arah Kun Liong,
“Salahnya sendiri! Orang semuda dia memakai potongan gundul, mana pantas? Sepatutnya dia memelihara rambut seperti orang muda pada umumnya.”
“Ada hak apakah engkau hendak mengurus kepala dan rambut orang? Ini adalah kepalaku sendiri, hendak kugunduli, atau kupelihara rambut sampai ke kaki, peduli apa engkau? Kalau kau hendak mengatur kepalaku, aku pun bisa saja bilang bahwa kau tidak pantas mengatur rambutmu seperti itu, pantasnya engkau gundul seperti aku!”
“Ihhh...!” Dara remaja itu melompat berdiri dari bangkunya dan meraba gagang pedangnya. “Engkau… engkau menghina, ya?” bentaknya.
“Nah, itu! Kepala orang untuk main-main sesukanya, dibalas satu kali saja sudah mau mengamuk!”
“Gundul plontos! Kapan aku main-main dengan kepalamu?”
“Sumoi! Jangan lancang, simpan pedangmu!”
Laki-laki tertua membentak sumoinya dan anak perempuan itu sudah menyarungkan kembali pedangnya, duduk di atas bangku dan cemberut, akan tetapi memandang kepada Kun Liong dengan mendelik.
Kun Liong bingung juga. Memang kalau dipikir, dara remaja ini tidak pernah main-main dengan kepalanya! Akan tetapi karena sudah terlanjur, dia menjadi nekat dan berkata,
“Sudah dua kali engkau mentertawakan kepalaku, di losmen tadi dan di sini…”
“Hemm, apakah kalau aku tertawa itu berarti mempermainkan gun… eh, anumu? Apakah kalau aku hendak tertawa harus minta ijin lebih dulu darimu? Begitukah?”
Kun Liong termangu, tak dapat menjawab lagi. Dara ini ternyata pandai berdebat dan dia sudah didesak ke sudut.
“Sudahlah, Laote (Adik), harap maafkan kami. Nah, makanan sudah datang, mari kita makan. Silakan!”
Akan tetapi Kun Liong sudah bangkit berdiri, menjura kepada dua orang laki-laki itu sambil berkata,
“Harap Ji-wi twako (Kedua Kakak) sudi memaafkan saya. Setelah saya diundang makan oleh Ji-wi yang ramah, saya malah marah-marah, hal ini amatlah kurang ajar, bagaimana siauwte (adik) berani menerimanya? Maafkanlah!” Kun Liong mundur, mengangguk dan melangkah keluar dari restoran itu.
“Sian-sumoi, jangan!”
Kun Liong yang mendengar suara laki-laki tertua mencegah sumoinya ini, tidak menoleh. Jadi namanya pakai huruf Sian, ya? Hemm, anak perempuan yang sombong! Awas kau, ya? Eh, mengapa awas? Dia mau apa? Ingin Kun Liong menampar kepalanya sendiri, untung dia teringat bahwa banyak mata mengikutinya ke luar dari restoran itu. Tak lama kemudian dia memasuki restoran lain tak jauh dari situ, restoran yang lebih besar. Seorang pelayan menyambutnya dan cepat Kun Liong mendahuluinya berkata,
“Aku bukan hwesio. Aku mau pesan makanan dan minuman yang terbaik!”
Pelayan itu tercengang, menatap gundulnya, kemudian tersenyum lebar dan dengan ramah mempersilakannya duduk. Di restoran ini masih banyak meja kosong dan Kun Liong duduk sendiri menghadap meja, tidak peduli akan pandang mata para tamu yang sedang makan minum di ruangan itu.
Karena tidak mengenal nama-nama masakan, apalagi yang mahal-mahal dan yang tidak pemah dimakannya, dia memesan yang mudah saja, yaitu nasi, bakmi, daging panggang dan arak! Mulailah dia makan dengan lahapnya karena memang perutnya sudah lapar sekali. Tidak ingat lagi dia kepada tiga orang di restoran tadi, sungguhpun suara dara remaja yang bernama Sian itu masih mengiang di telinganya.
“Yakinkah engkau bahwa mereka adalah kaki tangan pemerintah?” Suara ini halus dan kata-katanya teratur baik, bukan suara orang-orang kasar.
“Tentu saja yakin, Ouw-twako. Mereka bertiga sebetulnya adalah murid-murid Pendekar Gak Liong di Secuan, dan Pendekar Gak adalah murid keponakan orang she The itu. Bahkan yang termuda, Nona Hwi Sian, biarpun usianya baru belasan tahun pernah menewaskan seorang anggauta kami. Inilah saatnya Twako membuat jasa untuk Kwi-eng-pai.”
“Hemm, mudah saja. Cantikkah nona itu?”
“Aih, Twako hanya memikirkan wanita cantik saja. Nona itu cantik jelita, hanya usianya baru empat belas tahun.”
“Ha, lebih muda lebih menyenangkan. Benar mereka berada di restoran itu?”
“Benar, aku melihat mereka masuk tadi.”
“Hayo, tunggu apa lagi? Kita datangi mereka.”
“Jangan, Twako. Kota ini cukup besar dan karena mereka masih kaki tangan orang she The, tentu pembesar setempat akan membela mereka dan kalau dikerahkan pasukan rencana kita bisa gagal. Sebaiknya kita membayangi mereka dan kalau mereka berada di tempat sunyi...”
“Sssttt... cukup. Mari minum!”
Diam-diam Kun Liong terkejut bukan main. Tadinya dia tidak tertarik akan percakapan dua orang yang duduk di meja sebelah belakangnya itu, akan tetapi ketika mereka menyebut-nyebut nama Hwi Sian, nona yang berusia empat belas tahun, segera dia teringat kepada dara remaja bernama Sian yang tadi cekcok dengan dia.
Apalagi mendengar disebutnya Kwi-eng-pai, dia teringat akan anak buah Si Bayangan Hantu yang menculik Li Hwa. Bukankah Kwi-eng-pai berarti Perkumpulan Bayangan Hantu dan besar kemungkinannya adalah orang-orang yang dahulu menculik Li Hwa? Dan isi percakapan tadi sungguh mencurigakan sekali.
“Traakkk...”
Sebuah di antara sumpit Kun Liong terjatuh, menggelinding di bawah mejanya. Tentu saja hal ini dia sengaja dan dia sudah merangkak ke kolong meja mengambil sumpitnya. Kesempatan ini dia pergunakan untuk berpaling dan memandang kepada dua orang yang duduk di sebelah belakangnya.
Betapa kagetnya ketika dia mengenal dua orang itu. Yang seorang adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun, berwajah tampan. Berpakaian seperti seorang sastrawan kaya, yang dikenalnya sebagal Ouw Ciang Houw sastrawan yang dahulu pemah ikut di perahunya, kemudian memperkosa isteri guru silat Gui Tong yang kemudian mengakibatkan kematian suami isteri itu!
Adapun orang ke dua adalah seorang laki-laki yang usianya lebih tua beberapa tahun, berpakaian serba kuning yang dikenalnya sebagai pemimpin gerombolan atau Ketua Ui-hong-pang di lembah Sungai Huang-ho, yang menculik Li Hwa!
Tidak salah dugaannya. Teringat dia betapa orang ini, kalau tidak salah bernama Kiang Ti dan menurut Bun Hwat Tosu adalah murid kepala Si Bayangan Hantu, dengan Ilmu Pukulan Hek-tok-ciang telah menghantam Bun Hwat Tosu akan tetapi yang akibatnya payah bagi orang ini sendiri. Kini, dua orang jahat itu telah bersekutu agaknya dan mempunyai niat yang tidak baik terhadap nona bernama Sian yang agaknya lengkapnya bernama Hwi Sian itu dan dua orang suhengnya (kakak seperguruannya)!
Menghadapi hal ini, berdebar jantung Kun Liong dan lupa lagi dia akan percekcokannya dengan dara remaja itu. Dia menekan perasaannya dan dengan tenang dia lalu membayar makanannya, keluar dari rumah makan dan diam-diam dia membayangi nona muda dan dua orang suhengnya itu untuk melindungi mereka!
Semalam suntuk Kun Liong tidak tidur! Dia melakukan penjagaan dengan diam-diam, siap untuk melindugi tiga orang yang menurut pendengarannya tadi adalah masih cucu keponakan murid dari “orang she The” yang diduganya tentulah Panglima Besar The Hoo, mengingat bahwa panglima itu dimusuhi oleh Si Bayangan Hantu seperti yang diceritakan oleh Bun Hwat Tosu kepadanya.
Akan tetapi, tidak terjadi sesuatu di malam hari itu kecuali dia sendiri yang dikeroyok nyamuk karena melakukan penjagaan di luar kamar. Akan tetapi Kun Liong tidak menyesal, bahkan merasa lega bahwa pagi-pagi sekali tiga orang itu sudah berangkat pergi meninggalkan losmen. Dia pun segera membayar uang sewa kamar, kemudian dengan diam-diam dia terus membayangi tiga orang itu yang keluar dari kota Taibun menuju ke timur!
Kun Liong masih berdiri di dekat meja mereka. Dua orang laki-laki itu kelihatan peramah. Yang tua berusia empat puluh tahun, orang ke dua kurang lebih tiga puluh tahun, sedangkan dara remaja yang ternyata bermuka segar dengan sepasang pipi kemerahan, sepasang mata yang membayangkan kelincahan dan kejenakaan itu tentu tidak akan lebih dari dia sendiri. Mungkin baru empat belas tahun. Akan tetapi seperti dua orang laki-laki itu, dara remaja itu pun membawa sebatang pedang di punggungnya!
Melihat dari sinar mata dan sikap dua orang laki-laki itu ramah dan bersungguh-sumgguh menawarkan tempat untuknya, dan betapa dara remaja itu sudah tidak tertawa dan geli lagi, dia pun mengangguk dan berkata sederhana,
“Terima kasih!” Kemudian duduk di atas bangku dekat meja, berhadapan dengan dara remaja itu.
Sepasang pipi Kun Liong masih tampak kemerahan karena tadi menahan kemarahan terhadap pelayan yang menyebutnya pendeta cilik. Melihat ini, laki-laki yang berusia tiga puluh tahun, berkata,
“Pelayan itu mengeluarkan kata-kata yang tidak menyenangkan, akan tetapi dia tidak sengaja, harap saja tidak dipusingkan lagi.”
Kun Liong mengangguk tanpa menjawab. Matanya mengerling kepada dara remaja di depannya dan ternyata gadis kecil itu memandang kepadanya penuh perhatian secara terbuka, tidak seperti dara-dara lain yang dijumpainya di dalam perjalanan yang selalu memandang kepada pria dengan cara sembunyi-sembunyi, bahkan memandangi gundulnya pun mereka lakukan dengan sembunyi. Kini dara ini tidak saja menatap wajahnya dengan sepasang mata yang jeli dan terang-terangan, bahkan agaknya mengagumi kepalanya yang gundul. Terlalu sekali! Dia menjadi malu dan terpaksa menundukkan muka seperti seorang kanak-kanak yang melakukan sesuatu yang terlarang.
Melihat ini laki-laki yang tertua berkata dengan suara menghibur,
“Harap saja Siauw-suhu tidak usah malu karena sekarang banyak saja hwesio yang melepaskan pantangan makan daging dan minum arak, dan…”
“Saya bukan hwesio!”
Tiba-tiba Kun Liong memotong dan suaranya agak kaku karena dapat dibayangkan betapa sebal hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa orang yang disangkanya ramah ini pun ternyata menduga dia seorang pendeta cilik! Mengertilah ia sekarang mengapa dia menjadi bahan tertawaan. Tentu dia disangka seorang hwesio yang sengaja menyamar dengan pakaian biasa agar dapat leluasa makan daging, minum arak, lupa kepada kepalanya yang gundul!
“Saya bukan hwesio, apalagi hwesio yang pura-pura suci tapi diam-diam menyamar untuk dapat makan daging dan minum arak!”
Tiga orang itu saling pandang dengan mata terbuka lebar, dan tiba-tiba dara itu pun tak dapat menahan ketawanya. Biarpun dia cepat menutupi mulutnya dengan saputangan sutera hijaunya, namun masih tampak oleh Kun Liong betapa sepasang bibir yang merah itu terbuka, memperlihatkan rongga mulut yang lebih merah lagi dengan deretan gigi putih mengkilap.
“Brakkk!” Kun Liong menggebrak meja di depannya dengan kedua telapak tangannya, tidak terlalu keras akan tetapi cukup menyatakan kemendongkolan hatinya. “Mengapa engkau mentertawakan aku?”
Berbeda dengan sikapnya kepada laki-laki itu, dengan kata-kata cukup sopan biarpun penasaran, terhadap dara ini yang dianggapnya tidak lebih tua dari dia. Kun Liong bersikap kasar dan biasa saja, apalagi karena dia marah mengira nona muda itu mentertawakannya.
Dara itu memandang Kun Liong, makin geli melihat pemuda remaja gundul itu marah-marah sehingga dari dekapan saputangannya masih terdengar kekehnya.
“Aihh, harap suka maafkan sumoi yang masih muda dan suka bergurau,” laki-laki tertua berkata, kemudian dia menoleh kepada dara remaja itu sambil berkata, “Sumoi, sudahlah jangan tertawa dan menimbulkan salah paham.”
Laki-laki ke dua juga berkata,
“Maafkanlah kami yang salah menduga karena sesungguhnya kami mengira bahwa engkau adalah seorang hwesio muda.”
Dara remaja itu menurunkan saputangannya dan biarpun mulutnya tidak tersenyum lagi, akan tetapi sepasang matanya bersinar-sinar nakal, mulutnya cemberut karena dia ditegur suhengnya, lalu dia berkata sambil mengerling ke arah Kun Liong,
“Salahnya sendiri! Orang semuda dia memakai potongan gundul, mana pantas? Sepatutnya dia memelihara rambut seperti orang muda pada umumnya.”
“Ada hak apakah engkau hendak mengurus kepala dan rambut orang? Ini adalah kepalaku sendiri, hendak kugunduli, atau kupelihara rambut sampai ke kaki, peduli apa engkau? Kalau kau hendak mengatur kepalaku, aku pun bisa saja bilang bahwa kau tidak pantas mengatur rambutmu seperti itu, pantasnya engkau gundul seperti aku!”
“Ihhh...!” Dara remaja itu melompat berdiri dari bangkunya dan meraba gagang pedangnya. “Engkau… engkau menghina, ya?” bentaknya.
“Nah, itu! Kepala orang untuk main-main sesukanya, dibalas satu kali saja sudah mau mengamuk!”
“Gundul plontos! Kapan aku main-main dengan kepalamu?”
“Sumoi! Jangan lancang, simpan pedangmu!”
Laki-laki tertua membentak sumoinya dan anak perempuan itu sudah menyarungkan kembali pedangnya, duduk di atas bangku dan cemberut, akan tetapi memandang kepada Kun Liong dengan mendelik.
Kun Liong bingung juga. Memang kalau dipikir, dara remaja ini tidak pernah main-main dengan kepalanya! Akan tetapi karena sudah terlanjur, dia menjadi nekat dan berkata,
“Sudah dua kali engkau mentertawakan kepalaku, di losmen tadi dan di sini…”
“Hemm, apakah kalau aku tertawa itu berarti mempermainkan gun… eh, anumu? Apakah kalau aku hendak tertawa harus minta ijin lebih dulu darimu? Begitukah?”
Kun Liong termangu, tak dapat menjawab lagi. Dara ini ternyata pandai berdebat dan dia sudah didesak ke sudut.
“Sudahlah, Laote (Adik), harap maafkan kami. Nah, makanan sudah datang, mari kita makan. Silakan!”
Akan tetapi Kun Liong sudah bangkit berdiri, menjura kepada dua orang laki-laki itu sambil berkata,
“Harap Ji-wi twako (Kedua Kakak) sudi memaafkan saya. Setelah saya diundang makan oleh Ji-wi yang ramah, saya malah marah-marah, hal ini amatlah kurang ajar, bagaimana siauwte (adik) berani menerimanya? Maafkanlah!” Kun Liong mundur, mengangguk dan melangkah keluar dari restoran itu.
“Sian-sumoi, jangan!”
Kun Liong yang mendengar suara laki-laki tertua mencegah sumoinya ini, tidak menoleh. Jadi namanya pakai huruf Sian, ya? Hemm, anak perempuan yang sombong! Awas kau, ya? Eh, mengapa awas? Dia mau apa? Ingin Kun Liong menampar kepalanya sendiri, untung dia teringat bahwa banyak mata mengikutinya ke luar dari restoran itu. Tak lama kemudian dia memasuki restoran lain tak jauh dari situ, restoran yang lebih besar. Seorang pelayan menyambutnya dan cepat Kun Liong mendahuluinya berkata,
“Aku bukan hwesio. Aku mau pesan makanan dan minuman yang terbaik!”
Pelayan itu tercengang, menatap gundulnya, kemudian tersenyum lebar dan dengan ramah mempersilakannya duduk. Di restoran ini masih banyak meja kosong dan Kun Liong duduk sendiri menghadap meja, tidak peduli akan pandang mata para tamu yang sedang makan minum di ruangan itu.
Karena tidak mengenal nama-nama masakan, apalagi yang mahal-mahal dan yang tidak pemah dimakannya, dia memesan yang mudah saja, yaitu nasi, bakmi, daging panggang dan arak! Mulailah dia makan dengan lahapnya karena memang perutnya sudah lapar sekali. Tidak ingat lagi dia kepada tiga orang di restoran tadi, sungguhpun suara dara remaja yang bernama Sian itu masih mengiang di telinganya.
“Yakinkah engkau bahwa mereka adalah kaki tangan pemerintah?” Suara ini halus dan kata-katanya teratur baik, bukan suara orang-orang kasar.
“Tentu saja yakin, Ouw-twako. Mereka bertiga sebetulnya adalah murid-murid Pendekar Gak Liong di Secuan, dan Pendekar Gak adalah murid keponakan orang she The itu. Bahkan yang termuda, Nona Hwi Sian, biarpun usianya baru belasan tahun pernah menewaskan seorang anggauta kami. Inilah saatnya Twako membuat jasa untuk Kwi-eng-pai.”
“Hemm, mudah saja. Cantikkah nona itu?”
“Aih, Twako hanya memikirkan wanita cantik saja. Nona itu cantik jelita, hanya usianya baru empat belas tahun.”
“Ha, lebih muda lebih menyenangkan. Benar mereka berada di restoran itu?”
“Benar, aku melihat mereka masuk tadi.”
“Hayo, tunggu apa lagi? Kita datangi mereka.”
“Jangan, Twako. Kota ini cukup besar dan karena mereka masih kaki tangan orang she The, tentu pembesar setempat akan membela mereka dan kalau dikerahkan pasukan rencana kita bisa gagal. Sebaiknya kita membayangi mereka dan kalau mereka berada di tempat sunyi...”
“Sssttt... cukup. Mari minum!”
Diam-diam Kun Liong terkejut bukan main. Tadinya dia tidak tertarik akan percakapan dua orang yang duduk di meja sebelah belakangnya itu, akan tetapi ketika mereka menyebut-nyebut nama Hwi Sian, nona yang berusia empat belas tahun, segera dia teringat kepada dara remaja bernama Sian yang tadi cekcok dengan dia.
Apalagi mendengar disebutnya Kwi-eng-pai, dia teringat akan anak buah Si Bayangan Hantu yang menculik Li Hwa. Bukankah Kwi-eng-pai berarti Perkumpulan Bayangan Hantu dan besar kemungkinannya adalah orang-orang yang dahulu menculik Li Hwa? Dan isi percakapan tadi sungguh mencurigakan sekali.
“Traakkk...”
Sebuah di antara sumpit Kun Liong terjatuh, menggelinding di bawah mejanya. Tentu saja hal ini dia sengaja dan dia sudah merangkak ke kolong meja mengambil sumpitnya. Kesempatan ini dia pergunakan untuk berpaling dan memandang kepada dua orang yang duduk di sebelah belakangnya.
Betapa kagetnya ketika dia mengenal dua orang itu. Yang seorang adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun, berwajah tampan. Berpakaian seperti seorang sastrawan kaya, yang dikenalnya sebagal Ouw Ciang Houw sastrawan yang dahulu pemah ikut di perahunya, kemudian memperkosa isteri guru silat Gui Tong yang kemudian mengakibatkan kematian suami isteri itu!
Adapun orang ke dua adalah seorang laki-laki yang usianya lebih tua beberapa tahun, berpakaian serba kuning yang dikenalnya sebagai pemimpin gerombolan atau Ketua Ui-hong-pang di lembah Sungai Huang-ho, yang menculik Li Hwa!
Tidak salah dugaannya. Teringat dia betapa orang ini, kalau tidak salah bernama Kiang Ti dan menurut Bun Hwat Tosu adalah murid kepala Si Bayangan Hantu, dengan Ilmu Pukulan Hek-tok-ciang telah menghantam Bun Hwat Tosu akan tetapi yang akibatnya payah bagi orang ini sendiri. Kini, dua orang jahat itu telah bersekutu agaknya dan mempunyai niat yang tidak baik terhadap nona bernama Sian yang agaknya lengkapnya bernama Hwi Sian itu dan dua orang suhengnya (kakak seperguruannya)!
Menghadapi hal ini, berdebar jantung Kun Liong dan lupa lagi dia akan percekcokannya dengan dara remaja itu. Dia menekan perasaannya dan dengan tenang dia lalu membayar makanannya, keluar dari rumah makan dan diam-diam dia membayangi nona muda dan dua orang suhengnya itu untuk melindungi mereka!
Semalam suntuk Kun Liong tidak tidur! Dia melakukan penjagaan dengan diam-diam, siap untuk melindugi tiga orang yang menurut pendengarannya tadi adalah masih cucu keponakan murid dari “orang she The” yang diduganya tentulah Panglima Besar The Hoo, mengingat bahwa panglima itu dimusuhi oleh Si Bayangan Hantu seperti yang diceritakan oleh Bun Hwat Tosu kepadanya.
Akan tetapi, tidak terjadi sesuatu di malam hari itu kecuali dia sendiri yang dikeroyok nyamuk karena melakukan penjagaan di luar kamar. Akan tetapi Kun Liong tidak menyesal, bahkan merasa lega bahwa pagi-pagi sekali tiga orang itu sudah berangkat pergi meninggalkan losmen. Dia pun segera membayar uang sewa kamar, kemudian dengan diam-diam dia terus membayangi tiga orang itu yang keluar dari kota Taibun menuju ke timur!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar