*

*

Ads

FB

Senin, 19 September 2016

Petualang Asmara Jilid 020

Pada pagi hari ke empat, selagi Kun Liong duduk di dekat sebuah perahu kecil di tepi pantai dan melamun, berpikir hari itu hendak pergi dan berpamit dari tiga nelayan, tiba-tiba tujuh orang yang berusia belasan tahun menghampirinya dan mengurungnya. Sikap mereka mengancam, dan di antara mereka ada yang membawa kayu dan bambu. Mereka dipimpin oleh seorang anak laki-laki berusia kurang lebih empat belas tahun yang dahinya codet bekas luka terjatuh ketika masih kecil. Anak codet ini pun membawa sebatang kayu dan sambil bertolak pinggang dia berdiri di depan Kun Liong yang masih tenang duduk di atas pasir dekat perahu.

“Heii, bocah gundul!” seorang anak berteriak mengejek.

“Aahh, dia bukah bocah, dia anak siluman! Kalau manusia tidak mungkin kepalanya gundul pelontos padahal bukan hwesio!”

“Lihat, kepalanya licin sekali, lalat-lalat pun terpeleset kalau hinggap di atasnya!”

“Kalau bukan anak siluman, tentu dia anak ikan! Lihat, kepalanya tidak berambut sedikitpun juga, seperti kepala ikan!”

“Heiii, gundul pacul buruk menjijikkan!”

“Gundul sombong...”

Mula-mula Kun Liong hanya memandang heran dan menganggap bahwa mereka hanyalah anak nakal yang hendak menggodanya karena dia asing dan bukan teman mereka. Maka dia diam saja, bahkan tersenyum dan berkata,

“Aihhh, kenapa kalian begini? Aku seorang anak biasa seperti kalian, rambut kepalaku habis karena keracunan.”

Si Codet melangkah maju.
“Gundul menyebalkan! Sekarang juga engkau harus minggat dari dusun kami, engkau hanya mendatangkan kesialan bagi kami!”

“Ahhh, apa maksudmu?”

Kun Liong memang sudah mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan tempat itu, akan tetapi kalau disuruh pergi, dengan diusir macam ini, kehormatannya tersinggung dan menjadi marah.

“Maksudku, gundul buruk. Kalau engkau tidak lekas pergi dari sini, kami akan menghajarmu sampai engkau melolong-lolong minta ampun, baru kami lepaskan!”

Kata pula Si Codet dan teman-temannya sudah siap, mengepal tinju dan kayu dan bambu erat-erat.

Kun Liong bangkit berdiri. Dengan marah dia membusungkan dada, mengangkat kaki kanan ke atas dayung perahu yang disandarkan di situ, kemudian menudingkan telunjuknya kepada mereka.






“Hemmm, kalian ini anak-anak malas tak tahu diri! Aku mengerti mengapa kalian bersikap seperti ini kepadaku. Aku sudah mendengar bahwa kalian merasa iri hati kepadaku. Kalian melihat para nelayan suka akan tenaga bantuanku, dan kalian merasa dikesampingkan. Kalian iri melihat keunggulanku, dan itu menandakan bahwa kalian adalah anak-anak bodoh dan malas!”

“Gundul sombong!”

Si Codet sudah menerjang maju dan menghantamkan kayu pemukulnya ke arah kepala Kun Liong. Akan tetapi dengan gerakan cepat Kun Liong dapat mengelak dan berusaha merampas alat pemukul itu. Akan tetapi, anak-anak yang lain bergerak maju menyerang dan mengeroyoknya.

Tentu saja anak-anak itu bukanlah lawan Kun Liong yang sejak kecil sudah belajar ilmu silat dan kalau dia menghendaki, dengan melakukan pemukulan-pemukulan pada bagian tubuh yang berbahaya, tentu dia akan dapat merobohkan mereka. Akan tetapi justru dia tidak menghendaki demikian karena sekecil itu Kun Liong sudah mempunyai pengertian yang mendalam dan dia tahu bahwa keadaan anak-anak yang iri hati ini dapat dimengerti dan dimaafkan, maka dia hanya mengelak ke sana-sini sambil menangkis dan berteriak-teriak menyuruh mereka berhenti.

Melihat betapa dikeroyok tujuh orang, Kun Liong dapat mengelakkan semua pukulan dan setiap kali menangkis, anak yang memukul merasa lengannya nyeri ketika beradu dengan lengan Kun Liong yang menangkisnya, tujuh orang anak yang mengeroyok itu menjadi makin penasaran dan mereka menyerang lebih ganas lagi, terdorong oleh kemarahan mereka.

Karena Kun Liong hanya mengelak dan menangkis, pula biarpun dia telah bertahun-tahun dilatih ilmu silat oleh ayah bundanya akan tetapi sama sekali belum ada pengalaman bertempur, pengeroyokan ini merupakan yang ke dua setelah yang pertama kalinya dia dikeroyok penduduk, Kun Liong terkena juga dan terdengar suara bak-bik-buk ketika kepalan dan kayu pemukul jatuh ke atas tubuhnya!

Hal ini membuat dia marah sekali, terutama kepada anak codet yang pukulan kayunya paling keras dan ketika mengenai kepalanya yang gundul, terasa nyeri. Dia hanya merasa heran mengapa tubuhnya yang dihujani pukulan itu sama sekali tidak terasa sakit. Dia tidak tahu bahwa kekuatan mujijat yang ditimbulkan oleh bercampumya tiga macam racun telah melindunginya dan membuat tubuhnya kebal, kecuali kepalanya yang gundul!

Ketika Si Codet menerjang lagi, mengayun kayu pemukul dengan kuat-kuat ke arah kepalanya, Kun Liong miringkan tubuh sehingga kayu itu melayang lewat. Cepat dia menghantam leher anak codet itu dengan tangan miring.

“Kekkk!” Anak codet itu melepaskan kayu pemukulnya dan terguling roboh tanpa bersuara.

“Dia membunuhnya!!”

“Pembunuh…!!”

Enam orang anak yang melihat si Codet rebah dengan mata terpejam dan muka pucat, mengira bahwa anak itu mati. Kun Liong terkejut bukan main karena dia pun terpengaruh oleh teriakan-teriakan mereka, mengira bahwa anak yang dipukulnya tadi tewas. Padahal dia hanya mempergunakan sedikit tenaga saja dan sebetulnya anak itu hanya pingsan.

Karena mengira anak itu tewas rasa takut menyelinap di hati Kun Liong. Dia harus melarikan diri! Kalau para nelayan tahu bahwa dia membunuh tentu dia akan ditangkap, mungkin mereka pun akan membunuhnya. Dan ia melihat beberapa orang nelayan telah lari mendatangi melihat perkelahian itu. Tanpa pikir paniang lagi karena takut dikeroyok nelayan sekampung, Kun Liong lalu melompat ke dalam sebuah perahu kecil, mendayung perahu ke tengah sungai.

“Heiii! Dia melarikan perahu...!”

“Kejar...!!”

Kun Liong tidak berani menoleh, terus mendayung perahunya sekuat tenaga. Dalam keadaan panik itu tidak merasa betapa tenaga dayungannya luar biara sekali. Perahu meluncur cepat seperti didayung oleh belasan orang dewasa sehingga mengherankan hati pengejarnya. Juga Kun Liong tidak sadar betapa mereka itu berteriak-teriak menyuruhnya berhenti dan dia diteriaki melarikan perahu, sama sekali bukan diteriaki sebagai pembunuh!

Memang para nelayan itu mengejarnya karena dia melarikan perahu, dan Si Codet itu sudah tadi-tadi sadar kembali. Karena tenaga mujijat di tubuhnya bekerja, perahu yang didayung oleh Kun Liong cepat bukan main, membuat para pengejar, nelayan-nelayan yang sudah kawakan dam berpengalaman itu, tertinggal dan mereka berteriak-teriak saking herannya.

Ketika tiba di sebuah simpangan, di mana air sungai itu terpecah dua Kun Liong terus meluncurkan perahunya ke bagian sungai yang meyimpang ke utara, bukan ke bagian yang terus mengalir lurus ke timur.

“Haiii... jangan masuk ke sana…!”

Dia mendengar teriakan pengejar-pengejarnya, akan tetapi tentu saja dia tidak peduli, bahkan mendayung makin cepat. Sungai yang menyimpang ke utara itu merupakan daerah berbahaya dan tidak ada nelayan yang berani memasukinya. Bukan hanya berbahaya karena dalam musim hujan seperti itu, sungai liar ini dapat secara tiba-tiba membanjir, yaitu kemasukan air berlebihan dari sungai-sungai kecil, akan tetapi juga banyak bagian yang agak dangkal sedangkan di bawah permukaan airnya banyak terdapat batu karang. Selain ini, di dalam hutan di kanan kiri sungai ini terkenal sebagai sarang orang-orang jahat!

Bukan hanya karena sungai yang berbahaya itu saja, akan tetapi melihat betapa Kun Liong dapat mendayung perahu dengan kecepatan yang tidak lumrah, dan betapa anak itu berani memasuki daerah berbahaya ini, timbul pula kepercayaan tahyul di dalam hati para nelayan. Tentu anak itu bukan anak biasa, pikir mereka dan mereka pun merelakan perahu yang dilarikan, sambil ramai-ramai mempercakapkan anak yang menghilang itu mereka kembali ke dusun, membawa bahan dongeng yang lebih aneh dan menyeramkan lagi tentang si “bocah ajaib” gundul itu!

Sungai yang dilalui Kun Liong itu merupakan cabang Sungai Huang-ho. Sungai Huang-ho bercabang dua di bagian itu, akan tetapi cabangnya ini, setelah menampung banyak air yang dimuntahkan oleh sungai-sungai kecil dari kanan kiri, akhimya dari utara membelok ke timur dan ke selatan untuk kemudian kembali ke induknya, yaitu Sungai Huang-ho, sungai yang paling besar di Tiongkok.

Sebelum kembali ke induknya, sungai ini merupakan sungai yang amat berbahaya dan karena merupakan sungai liar yang tercipta ketika Huang-ho banjir dahulu, maka seringkali sungai ini meluap ketika menerima air dari sungai-sungai kecil itu. Hampir setiap musim hujan, sungai ini pasti meluap dan di bagian-bagian tertentu, air mengalir deras bukan main, merupakan daerah yang amat berbahaya bagi perahu-perahu sehingga sungai ini boleh dikata dijauhi para nelayan dan tidak pernah dilewati. Lebih aman melalui sungai induk terus ke timur daripada melalui sungai cabang yang keluar masuk hutan liar ini.

Akan tetapi Kun Liong yang tidak mengenal sungai itu, merasa lega ketika melihat bahwa dia tidak dikejar lagi. Dia merasa bersalah karena telah melarikan perahu. Dia telah mencuri! Akan tetapi bukan mencuri karena dia menginginkan perahu itu, melainkan karena terpaksa untuk melarikan diri! Alasan ini sudah membuat dia dapat memaafkan perbuatannya mencuri perahu!

Demikianlah yang dilakukan oleh kita, manusia! Kita selalu mencari sebab dan alasan untuk menghibur diri di waktu kita merasa telah melakukan sesuatu yang kita anggap salah. Mencari sebab-sebab yang kalau perlu dipaksakan, untuk menutupi kesalahan kita, bahkan untuk menyulap kesalahan itu berubah menjadi sesuatu yang tidak salah lagi!

Ada saja alasannya untuk menutupi sesuatu yang hitam pada diri kita, dengan warna putih. Hal ini terjadi karena kita tidak mau menghadapi kenyataan, tidak mau mengenal diri pribadi, tidak mau mengakui betapa segala kotoran berada dalam diri kita sehingga kita dapat membuang semua kotoran itu. Tidak, kita bukan melakukan hal itu, sebaliknya kita menutupi kotoran itu dengan segala akal kita. Tentu saja, dengan demikian, segala macam kotoran masih tertimbun dalam diri kita, biarpun kotoran itu tidak tampak, ditutupi oleh segala macam akal yang membuat kita kelihatan bersih! Kebersihan tidak tercapai dengan menutupi kekotoran, dan kotoran diri sendiri hanya dapat dilenyapkan setelah kita melihatnya dengan mata terbuka dan dengan bebas, karena tanpa kebebasan tak mungkin kita dapat melihat kenyataan dalam diri kita sendiri, tak mungkin kita dapat mengenal diri sendiri.

Mula-mula senang juga hati Kun Liong ketika mendayung perahu kecil itu yang meluncur cepat. Dengan wajah berseri-seri dan mata bersinar-sinar, dia memandang ke kanan kiri, melihat pohon-pohon hutan di kedua tepi sungai.

Memang kalau mata memandang dengan penuh kewaspadaan tanpa gangguan pikiran, semua tampak sempurna! Air yang bergelombang, di depan perahu diterjang ujung perahu, di dekat tepi beriak menghantam batu-batu, tebing di kedua pinggir kelihatan coklat, kadang-kadang tampak akar-akar pohon seperti ular di antara rumput-rumput dan semak-semak yang tumbuh dengan liar di tebing.

Seekor bangkai ayam hutan hanyut perlahan di pinggir, dirubung lalat yang mengeluarkan suara mengiang, kadang-kadang lalat-lalat itu beterbangan panik kalau bangkai itu bergerak tiba-tiba ke bawah karena digigit dan ditarik ikan dari bawah. Bau bangkai ayam yang membusuk itu tidak berapa keras di tempat terbuka seperti ini, menipis dan buyar tertiup angin.

Pohon besar yang banyak tumbuh di hutan seolah-olah menjadi penjaga-penjaga hutan, melindungi pohon-pohon dan kembang-kembang kecil di bawahnya, memberi tempat berteduh kepada burung-burung dan tupai-tupai yang berloncatan dari dahan ke dahan. Kalau ada angin yang agak besar lewat, daun-daun kuning yang rontok melayang-layang turun, menari-nari ke kanan kiri dan bermalas-malasan, agaknya segan meninggalkan tempatnya yang tinggi, akan tetapi akhimya tiba juga ke atas tanah, diam, mati dan kaku, akhimya mengering dan hancur menjadi pupuk yang mendatangkan kesuburan bagi pohon itu sendiri.

Terapung di atas perahunya seorang diri, di tempat sunyi dan indah itu, merasa bebas lepas seperti burung-burung yang terbang di permukaan sungai, menyambar ikan-ikan kecil yang berenang di permukaan air, ingin Kun Liong bemyanyi!

Akan tetapi, gelombang air mulai membesar dan air mengalir makin cepat dan kuat ke depan. Karena perahunya oleng ke kanan kiri Kun Liong tidak lagi menggunakan dayung untuk melajukan perahunya, melainkan menggunakannya untuk menahan agar perahu tidak terguling, dengan menekan ke kanan kiri.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: