Si Gundul dan Si Kurus mengangguk-angguk, sepasang mata mereka bersinar-sinar. Setiap orang anak kecil akan merasa “penting” dan gembira sekali kalau diajak melakukan sesuatu yang menegangkan, apalagi yang belum pernah mereka lakukan selamanya. Kalau hanya mencuri dan mencopet makanan karena terpaksa oleh desakan perut lapar dan untuk itu menerima gebukan-gebukan, sudah biasalah mereka. Akan tetapi mengacau sebuah pesta, apalagi pesta di rumah kepala dusun, dengan melemparkan ular-ular beracun yang mereka tangkap sendiri ke dalam dapur, benar-benar merupakan hal yang baru yang amat menegangkan hati!
Atas isyarat Kun Liong, mereka berpencar. Kun Liong lari ke jendela kiri membawa dua ekor ular, Si Gundul menyelinap ke jendela kanan membawa dua ekor ular pula karena ular Si Kurus diberikan kepadanya sedangkan Si Kurus dengan jantung berdebar menyelinap dekat pintu, siap untuk memasuki dapur mengambil masakan kalau kesempatan terbuka. Dia sudah memilih-milih dengan pandang matanya, masakan di panci yang mana akan disambarnya nanti!
Si Gundul dari jendela kanan mengintai ke arah jendela kiri, ketika melihat Kun Liong menggerakkan tangan seperti yang telah mereka janjikan, dia lalu melemparkan dua ekor ular dengan kuat dan karena takut ketahuan, dia melempar dengan ngawur lalu menyelinap ke bawah jandela, merangkak dan pergi.
Kun Liong lebih tenang dia melemparkan dua ekor ularnya ke bawah, ke tengah-tengah ruangan itu dan dia melihat betapa lemparan Si Gundul tadi secara ngawur ternyata mengakibatkan kekacauan luar biasa, karena seekor dari ular hijau itu tepat mengenai tubuh koki kepala yang gendut, mengalungi leher koki itu!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya koki itu ketika merasa ada sesuatu membelit lehernya dan ketika kepala ular itu tepat berada di depan hidungnya, sepasang matanya menjuling dan ia berteriak,
“Ular…! Ular…!”
Pada saat itu juga, para koki dan beberapa orang pelayan melihat ular-ular berbisa merayap perlahan di dekat kaki mereka. Ular hijau, ular hitam dan ular belang! Mereka segera lari ketakutan dan berteriak-teriak,
“Ular…! Ular beracun! Berbahaya sekali…!”
Kasihan sekali koki gendut. Dia tidak berani membuang ular yang membelit lehernya. Ketika mendengar teriakan ular beracun yang berbahaya, dia hampir pingsan dan menjerit-jerit,
“Tolong…! Ular…! Tolong ini…!”
Dia lari menabrak sana-sini, menabrak meja dan dengan susah payah akhirnya berhasil lari ke luar, tidak tahu bahwa lampu minyak di atas meja yang ditabraknya tadi terguling!
Pengemis kecil kurus sudah menyelinap masuk dan menyambar sepanci masakan lalu berlari ke luar lagi. Terengah-engah dia, akan tetapi tertawa-tawa ketika di tempat gelap yang sudah dijanjikan, dia berkumpul dengan Si Gundul dan Kun Liong.
“Masakan apa yang kau ambil?” Si Gundul segera membuka panci. “Waduh, masakan capjai…! Ada baksonya, besar-besar… wah, udangnya pun besar-besar!”
Tanpa diperintah lagi kedua orang anak jembel itu menyerbu masakan dalam panci. Akan tetapi Kun Liong tidak ikut makan karena dia lebih tertarik oleh teriakan-teriakan yang amat gaduh.
“Api...! Kebakaran...! Tolong...!”
“Ada kebakaran. Mari kita bantu...!”
Kun Liong melompat dan berlari ke dusun yang mereka tinggalkan tadi. Akan tetapi dua orang anak jembel itu tidak mempedulikan karena mereka sedang asyik menikmati capjai, mulut mereka mengeluarkan bunyi berkecap dan mata mereka berkejap-kejap penuh nikmat.
Karena sudah banyak orang, termasuk anak laki-laki seperti dia yang membantu untuk memadamkan kebakaran, maka kehadiran Kun Liong tidak menarik perhatian. Kun Liong merasa menyesal sekali ketika mendapat kenyataan bahwa yang terbakar adalah rumah kepala dusun dan menurut suara orang-orang di situ, kebakaran dimulai dari dalam dapur. Tadi dia melihat betapa lampu di atas meja terguling ditabrak koki gendut, maka mengertilah dia bahwa kebakaran itu terjadi karena dia dan kedua orang temannya!
Di antara kesibukan orang-orang yang berusaha memadamkann api yang mengamuk dan hampir memusnahkan semua bangunan rumah kepala dusun itu, tampak seorang laki-laki gemuk diseret-seret.
Kun Liong melihat betapa laki-laki gemuk itu didorong dan jatuh berlutut di depan Si Kepala Dusun yang kini berdiri dengan muka pucat dan sinar mata penuh kemarahan, bertolak pinggang dan memandang Si Gemuk dengan sikap penuh kebencian.
“Hemmm, keparat jahanam! Engkau berani membakar rumahku, ya?”
“Ti... tidak... ampunkan hamba, Loya (Tuan Besar)… di dapur tiba-tiba muncul ular-ular beracun... seekor malah membelit leher hamba dan akan menggigit hamba… semua koki dan pelayan melihatnya... hamba… hamba tidak melakukan pembakaran…” Koki gundul itu menangis.
“Hemm, aku sudah tahu akan hal itu. Akan tetapi semua orang juga melihat bahwa engkau yang menabrak meja dan lampu minyak terguling mengakibatkan kebakaran. Kau hendak menyangkal?”
Tubuh yang gendut itu menggigil, suaranya juga menggigil seperti diserang demam ketika dia menjawab,
“... hamba... ohh... hamba... karena takut... hamba lari... dan andaikata benar hamba menabrak meja... dan lampu terguling... hal itu sama sekali tidak hamba sengaja, Loya... hamba mohon ampun, Loya...”
“Sengaja atau tidak, yang jelas engkau yang menyebabkan kebakaran! Mengampunkanmu? Hemm, enak saja. Lihat, rumahku habis karena engkau! Dan engkau minta aku memberi ampun!”
Kepala dusun itu menendang dengan keras, akan tetapi karena tubuh Si Koki amat gendut dan berat, kakinya terpental sendiri dan hampir dia terguling. Kakinya yang menendang terasa nyeri sekali, akan tetapi dengan meringis menahan nyeri, kepala dusun yang makin marah itu menuding.
“Pukul dia! Pukul sampai mampus!”
Para pengawal atau tukang pukul yang sudah siap lalu menghampiri Si Koki gendut. Segera terdengar suara bak-bik-buk dan koki itu meraung-raung menangis.
“Tahan! Jangan pukul dia!”
Semua tukang pukul itu, juga Si Kepala Dusun, terheran dan memandang anak laki-laki kecil yang tiba-tiba muncul di depan kepala dusun itu, berdiri tegak dan wajahnya penuh keberanian, matanya bersinar-sinar tertimpa cahaya api yang belum padam sama sekali.
“Ceritanya tadi benar, dan dia tidak bersalah. Bukan dia yang menyebabkan kebakaran itu, tidak semestinya kalau dia yang dihukum! Menghukum orang yang tidak bersalah merupakan perbuatan yang biadab dan keji!”
Semua orang terkejut sekali dan banyak orang kini memandang Kun Liong, apalagi karena api yang mengamuk sudah hampir dapat dipadamkan meninggalkan sisa rumah yang tinggal separuh.
“Hemm, anak kecil yang aneh dan lancang mulut, kalau bukan dia yang bersalah, habis siapa?”
“Yang salah adalah ular-ular itu, dan karena akulah yang melempar ular-ular itu ke dalam dapur, maka akulah orangnya yang tanpa sengaja menyebabkan kebakaran itu,” kata Kun Liong dengan tenang.
Tentu saja dia bukan seorang anak bodoh yang mau mencari malapetaka dengan pengakuan itu, akan tetapi melihat betapa koki gendut yang tidak bersalah digebuki dan terancam kematian, dia tidak dapat menahan diri dan tidak dapat berdiam saja.
Muka kepala dusun itu menjadi merah sekali saking marahnya. Akan tetapi rasa herannya lebih besar lagi, maka dia kembali bertanya,
“Bocah setan! Apa perlunya engkau melemparkan ular-ular beracun ke dalam dapur?”
“Tadinya aku hanya menghendaki mereka itu pergi ketakutan untuk mengambil sepanci masakan, tak kusangka akan demikian akibatnya. Aku menyesal sekali, akan tetapi harap lepaskan koki gendut itu yang tidak berdosa.”
Koki itu memang sudah dilepaskan dan masih berlutut, kini memandang kepada Kun Liong dengan muka pucat dan matanya yang sipit memandang tanpa berkedip, penuh perasaan heran, kagum dan terharu karena dia mengenal anak yang diusirnya tadi.
“Tangkap dia!” Si Kepala Dusun berteriak penuh kemarahan.
“Pukul saja bocah setan ini!”
“Bunuh bocah pengacau!”
Orang-orang dusun berteriak-teriak, bukan marah karena kepentingan pribadi, melainkan berlomba marah untuk menyenangkan hati kepala dusun!
Kun Liong ditangkap, diseret sana-sini, dipukuli. Anak yang memiliki ilmu kepandaian silat lumayan ini, tentu saja tidak mau mandah dan menggunakan kaki tangannya untuk mengelak dan menangkis, sungguhpun dia sama sekali tidak mau memukul orang karena memang merasa bersalah dan pantas dihukum!
“Bukan hanya dia yang melepas ular, kami juga...!”
“Ya, kami juga...!”
Dua orang anak jembel itu, Si Gendut dan Si Kurus, tiba-tiba muncul di situ. Kun Liong kaget sekali. Dia tidak ingin membawa-bawa dua orang anak jembel itu karena sesungguhnya mereka berdua itu takkan berani melakukan pengacauan kalau tidak karena dia! Akan tetapi diam-diam dia merasa kagum juga menyaksikah kesetiakawanan mereka. Kiranya dalam diri bocah-bocah jembel itu terdapat pula kesetiakawanan yang indah dan gagah!
Akan tetapi kedua orang anak jembel itu tidak didengarkan mereka, dan tenggelam dalam teriakan-teriakan kemarahan mereka yang mengeroyok Kun Liong. Bahkan mereka itu didorong dan ditendang sampai terguling-guling karena dianggap menghalangi mereka yang berlumba memukuli Kun Liong dengan tangan atau kayu penggebuk, apa saja yang dapat dipergunakan untuk memukul!
Biarpun Kun Liong menggunakan kepandaiannya untuk menangkis dan mengelak, akan tetapi dalam pengeroyokan demikian banyaknya orang dewasa, akhirnya pakaiannya robek dan tububnya benjol-benjol babak belur. Dia tetap tidak mau membalas, apalagi ketika mendapat kenyataan bahwa yang mengeroyoknya, selain tukang-tukang pukul, juga penduduk dusun. Bahkan ada yang menggendong anaknya di punggung ikut-ikut mengeroyoknya untuk melampiaskan kemarahan hatinya!
Biarpun Kun Liong sudah menggunakan seluruh kepandaian yang pernah dipelajarinya, namun tanpa membalas dan dikeroyok demikian banyaknya orang, akhirnya dia tertangkap. Seorang tukang pukul memegang tangan kirinya, seorang penduduk dusun yang sudah tua dan marah-marah karena koki yang menjadi korban tadi adalah anaknya, memegang lengan kanan Kun Liong. Seorang tukang pukul lainnya, mencekik lehernya dari depan!
Kun Liong yang merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit, pakaiannya koyak-koyak, kini dengan sia-sia berusaha meronta. Cekikan pada lehernya makin kuat, dia tidak dapat bernapas lagi dan kedua telinganya mulai terngiang-ngiang, kedua matanya mulai berkunang-kunang, kepalanya berdenyut-denyut. Di antara suara berdengung di telinganya, dia masih mendengar teriakan-teriakan mereka,
“Bunuh saja bocah setan!”
“Cekik sampai mampus!”
“Tidak, aku tidak mau mati. Belum mau! Memang aku telah melakukan kesalahan, akan tetapi aku tidak sengaja membakar rumah orang!”
Pikiran ini menyelinap di dalam hati Kun Liong, mendatangkan rasa penasaran mengapa untuk perbuatannya tanpa disengaja yang mengakibatkan rumah terbakar itu dia harus menebus dengan nyawa! Ia teringat akan pelajaran Sin-kun-hoat (Ilmu Melepaskan Tulang Melemaskan Diri) dari ayahnya dan dalam latihan dia sudah dapat melepaskan diri dari ikatan.
Dia hampir tidak kuat lagi. Kepalanya berdenyut-denyut makin hebat, seperti mau pecah. Dalam detik terakhir itu, dia menggunakan tenaga kedua orang yang memegangi lengannya kanan kiri, menggantungkan tubuhnya dan menggunakan kedua kakinya untuk menendang ke depan, mendorong perut dan dada tukang pukul yang sedang berusaha mencekiknya sampai mati!
“Bresss... auukhhh...!”
Tubuh tukang pukul itu terjengkang dan roboh ke atas tanah. Dia memaki-maki sambil berusaha bangun kembali.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Liong. Dengan Ilmu Sin-kun-hoat, tiba-tiba saja kedua lengannya menjadi lemas dan licin, sekali renggut dia sudah berhasil menarik kedua lengannya terlepas dari pegangan kedua orang yang berteriak kaget dan heran karena tiba-tiba saja seperti belut, lengan anak itu merosot licin dan terlepas!
“Tangkap...!”
Kembali Kun Liong dikepung. Dia tahu bahwa orang-orang ini sudah mabok dendam, seperti segerombolan serigala haus darah dan tentu tidak akan mau sudah sebelum melihat dia menggeletak di bawah kaki mereka sebagai mayat dengan tubuh rusak penuh darah! Ini sudah keterlaluan namanya!
Dia tadi membiarkan dirinya digebuki, dimaki dan dihukum. Akan tetapi, setelah kesalahannya dia tebus dengan mandah menerima hukuman yang dianggap sudah lebih dari cukup, kalau mereka masih haus darah dan hendak membunuhnya, terpaksa dia harus melindungi dirinya. Seorang yang tidak berani melindungi nyawa dan dirinya sendiri adalah seorang pengecut.
“Kalian sudah cukup menghukum aku!” teriaknya dan kini dia menerjang ke kiri menangkap sebatang bambu yang dipergunakan untuk menghantam kepalanya, membetot bambu itu secara tiba-tiba ke kanan sehingga pemegangnya yang tidak menduga-duga tertarik hampir jatuh, disambut oleh tendangan Kun Liong yang mengenai sambungan lututnya.
“Plakk! Aduhhh...!”
Biarpun yang menggajul lutut itu hanya seorang anak berusia sepuluh tahun, akan tatapi karena ujung sepatu Kun Liong tepat mengenai sambungan lutut, tentu saja rasanya nyeri bukan main dan membuat orang itu terpelanting tongkatnya terampas oleh Kun Liong!
Kini cuaca menjadi gelap kembali setelah kebakaran itu dapat dipadamkan. Hal ini menguntungkan Kun Liong. Dengan tongkat rampasan di tangannya dia mengamuk, kini tidak hanya menangkis atau mengelak, melainkan juga membalas dengan sodokan tongkatnya. Dia berhasil merobohkan empat orang sambil melompat ke sana ke sini mencari lowongan di antara para pengepungnya. Yang roboh mengaduh-aduh memegangi perut yang tersodok sampai terasa mulas, atau kaki yang dihantam sampai bengkak.
Orang yang terancam bahaya maut kadang-kadang dapat melakukan hal-hal yang luar biasa, yang tidak dapat dilakukannya dalam keadaan biasa, seolah-olah ancaman bahaya maut itu menimbulkan tenaga tersembunyi yang selama itu tidak pernah muncul dan hanya akan muncul apabila dirinya terancam bahaya maut dan tenaga mujijat itu akan bekerja di luar kesadarannya.
Demikian pula dengan Kun Liong. Memang harus diakui bahwa anak ini semenjak kecil digembleng oleh ayah bundanya, dua orang ahli yang pandai. Akan tetapi karena usianya baru sepuluh tahun, sepandai-pandainya, dia tentu tidak mungkin dapat melawan tukang-tukang pukul dan penduduk dusun yang sedang marah dan berjumlah banyak itu.
Namun ketika anak itu sadar akan bahaya maut yang mengancamnya dan dia melakukan perlawanan, secara tiba-tiba tubuhnya yang penuh luka dan hampir kehabisan tenaga itu mendadak menjadi sangat tangkas dan dia dapat bergerak cepat sekali, melompat ke sana-sini, merobohkan siapa saja yang mencoba menghalanginya dan akhirnya dia dapat melarikan diri ke dalam kegelapan malam, dikejar oleh banyak orang yang berteriak-teriak marah.
Malam yang amat gelap menolongnya, dan teriakan-teriakan itu menambah kesukaran mereka yang mencari dan mengejarnya karena suara riuh rendah itu menelan lenyap suara kaki Kun Liong yang berlari cepat menyelinap di antara rumah-rumah orang dan pohon-pohon, kemudian keluar dari dusun dan terus lari, tidak mempedulikan arah karena tujuannya hanya satu, lari menjauhi orang-orang yang mengejarnya secepat dan sejauh mungkin!
Atas isyarat Kun Liong, mereka berpencar. Kun Liong lari ke jendela kiri membawa dua ekor ular, Si Gundul menyelinap ke jendela kanan membawa dua ekor ular pula karena ular Si Kurus diberikan kepadanya sedangkan Si Kurus dengan jantung berdebar menyelinap dekat pintu, siap untuk memasuki dapur mengambil masakan kalau kesempatan terbuka. Dia sudah memilih-milih dengan pandang matanya, masakan di panci yang mana akan disambarnya nanti!
Si Gundul dari jendela kanan mengintai ke arah jendela kiri, ketika melihat Kun Liong menggerakkan tangan seperti yang telah mereka janjikan, dia lalu melemparkan dua ekor ular dengan kuat dan karena takut ketahuan, dia melempar dengan ngawur lalu menyelinap ke bawah jandela, merangkak dan pergi.
Kun Liong lebih tenang dia melemparkan dua ekor ularnya ke bawah, ke tengah-tengah ruangan itu dan dia melihat betapa lemparan Si Gundul tadi secara ngawur ternyata mengakibatkan kekacauan luar biasa, karena seekor dari ular hijau itu tepat mengenai tubuh koki kepala yang gendut, mengalungi leher koki itu!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya koki itu ketika merasa ada sesuatu membelit lehernya dan ketika kepala ular itu tepat berada di depan hidungnya, sepasang matanya menjuling dan ia berteriak,
“Ular…! Ular…!”
Pada saat itu juga, para koki dan beberapa orang pelayan melihat ular-ular berbisa merayap perlahan di dekat kaki mereka. Ular hijau, ular hitam dan ular belang! Mereka segera lari ketakutan dan berteriak-teriak,
“Ular…! Ular beracun! Berbahaya sekali…!”
Kasihan sekali koki gendut. Dia tidak berani membuang ular yang membelit lehernya. Ketika mendengar teriakan ular beracun yang berbahaya, dia hampir pingsan dan menjerit-jerit,
“Tolong…! Ular…! Tolong ini…!”
Dia lari menabrak sana-sini, menabrak meja dan dengan susah payah akhirnya berhasil lari ke luar, tidak tahu bahwa lampu minyak di atas meja yang ditabraknya tadi terguling!
Pengemis kecil kurus sudah menyelinap masuk dan menyambar sepanci masakan lalu berlari ke luar lagi. Terengah-engah dia, akan tetapi tertawa-tawa ketika di tempat gelap yang sudah dijanjikan, dia berkumpul dengan Si Gundul dan Kun Liong.
“Masakan apa yang kau ambil?” Si Gundul segera membuka panci. “Waduh, masakan capjai…! Ada baksonya, besar-besar… wah, udangnya pun besar-besar!”
Tanpa diperintah lagi kedua orang anak jembel itu menyerbu masakan dalam panci. Akan tetapi Kun Liong tidak ikut makan karena dia lebih tertarik oleh teriakan-teriakan yang amat gaduh.
“Api...! Kebakaran...! Tolong...!”
“Ada kebakaran. Mari kita bantu...!”
Kun Liong melompat dan berlari ke dusun yang mereka tinggalkan tadi. Akan tetapi dua orang anak jembel itu tidak mempedulikan karena mereka sedang asyik menikmati capjai, mulut mereka mengeluarkan bunyi berkecap dan mata mereka berkejap-kejap penuh nikmat.
Karena sudah banyak orang, termasuk anak laki-laki seperti dia yang membantu untuk memadamkan kebakaran, maka kehadiran Kun Liong tidak menarik perhatian. Kun Liong merasa menyesal sekali ketika mendapat kenyataan bahwa yang terbakar adalah rumah kepala dusun dan menurut suara orang-orang di situ, kebakaran dimulai dari dalam dapur. Tadi dia melihat betapa lampu di atas meja terguling ditabrak koki gendut, maka mengertilah dia bahwa kebakaran itu terjadi karena dia dan kedua orang temannya!
Di antara kesibukan orang-orang yang berusaha memadamkann api yang mengamuk dan hampir memusnahkan semua bangunan rumah kepala dusun itu, tampak seorang laki-laki gemuk diseret-seret.
Kun Liong melihat betapa laki-laki gemuk itu didorong dan jatuh berlutut di depan Si Kepala Dusun yang kini berdiri dengan muka pucat dan sinar mata penuh kemarahan, bertolak pinggang dan memandang Si Gemuk dengan sikap penuh kebencian.
“Hemmm, keparat jahanam! Engkau berani membakar rumahku, ya?”
“Ti... tidak... ampunkan hamba, Loya (Tuan Besar)… di dapur tiba-tiba muncul ular-ular beracun... seekor malah membelit leher hamba dan akan menggigit hamba… semua koki dan pelayan melihatnya... hamba… hamba tidak melakukan pembakaran…” Koki gundul itu menangis.
“Hemm, aku sudah tahu akan hal itu. Akan tetapi semua orang juga melihat bahwa engkau yang menabrak meja dan lampu minyak terguling mengakibatkan kebakaran. Kau hendak menyangkal?”
Tubuh yang gendut itu menggigil, suaranya juga menggigil seperti diserang demam ketika dia menjawab,
“... hamba... ohh... hamba... karena takut... hamba lari... dan andaikata benar hamba menabrak meja... dan lampu terguling... hal itu sama sekali tidak hamba sengaja, Loya... hamba mohon ampun, Loya...”
“Sengaja atau tidak, yang jelas engkau yang menyebabkan kebakaran! Mengampunkanmu? Hemm, enak saja. Lihat, rumahku habis karena engkau! Dan engkau minta aku memberi ampun!”
Kepala dusun itu menendang dengan keras, akan tetapi karena tubuh Si Koki amat gendut dan berat, kakinya terpental sendiri dan hampir dia terguling. Kakinya yang menendang terasa nyeri sekali, akan tetapi dengan meringis menahan nyeri, kepala dusun yang makin marah itu menuding.
“Pukul dia! Pukul sampai mampus!”
Para pengawal atau tukang pukul yang sudah siap lalu menghampiri Si Koki gendut. Segera terdengar suara bak-bik-buk dan koki itu meraung-raung menangis.
“Tahan! Jangan pukul dia!”
Semua tukang pukul itu, juga Si Kepala Dusun, terheran dan memandang anak laki-laki kecil yang tiba-tiba muncul di depan kepala dusun itu, berdiri tegak dan wajahnya penuh keberanian, matanya bersinar-sinar tertimpa cahaya api yang belum padam sama sekali.
“Ceritanya tadi benar, dan dia tidak bersalah. Bukan dia yang menyebabkan kebakaran itu, tidak semestinya kalau dia yang dihukum! Menghukum orang yang tidak bersalah merupakan perbuatan yang biadab dan keji!”
Semua orang terkejut sekali dan banyak orang kini memandang Kun Liong, apalagi karena api yang mengamuk sudah hampir dapat dipadamkan meninggalkan sisa rumah yang tinggal separuh.
“Hemm, anak kecil yang aneh dan lancang mulut, kalau bukan dia yang bersalah, habis siapa?”
“Yang salah adalah ular-ular itu, dan karena akulah yang melempar ular-ular itu ke dalam dapur, maka akulah orangnya yang tanpa sengaja menyebabkan kebakaran itu,” kata Kun Liong dengan tenang.
Tentu saja dia bukan seorang anak bodoh yang mau mencari malapetaka dengan pengakuan itu, akan tetapi melihat betapa koki gendut yang tidak bersalah digebuki dan terancam kematian, dia tidak dapat menahan diri dan tidak dapat berdiam saja.
Muka kepala dusun itu menjadi merah sekali saking marahnya. Akan tetapi rasa herannya lebih besar lagi, maka dia kembali bertanya,
“Bocah setan! Apa perlunya engkau melemparkan ular-ular beracun ke dalam dapur?”
“Tadinya aku hanya menghendaki mereka itu pergi ketakutan untuk mengambil sepanci masakan, tak kusangka akan demikian akibatnya. Aku menyesal sekali, akan tetapi harap lepaskan koki gendut itu yang tidak berdosa.”
Koki itu memang sudah dilepaskan dan masih berlutut, kini memandang kepada Kun Liong dengan muka pucat dan matanya yang sipit memandang tanpa berkedip, penuh perasaan heran, kagum dan terharu karena dia mengenal anak yang diusirnya tadi.
“Tangkap dia!” Si Kepala Dusun berteriak penuh kemarahan.
“Pukul saja bocah setan ini!”
“Bunuh bocah pengacau!”
Orang-orang dusun berteriak-teriak, bukan marah karena kepentingan pribadi, melainkan berlomba marah untuk menyenangkan hati kepala dusun!
Kun Liong ditangkap, diseret sana-sini, dipukuli. Anak yang memiliki ilmu kepandaian silat lumayan ini, tentu saja tidak mau mandah dan menggunakan kaki tangannya untuk mengelak dan menangkis, sungguhpun dia sama sekali tidak mau memukul orang karena memang merasa bersalah dan pantas dihukum!
“Bukan hanya dia yang melepas ular, kami juga...!”
“Ya, kami juga...!”
Dua orang anak jembel itu, Si Gendut dan Si Kurus, tiba-tiba muncul di situ. Kun Liong kaget sekali. Dia tidak ingin membawa-bawa dua orang anak jembel itu karena sesungguhnya mereka berdua itu takkan berani melakukan pengacauan kalau tidak karena dia! Akan tetapi diam-diam dia merasa kagum juga menyaksikah kesetiakawanan mereka. Kiranya dalam diri bocah-bocah jembel itu terdapat pula kesetiakawanan yang indah dan gagah!
Akan tetapi kedua orang anak jembel itu tidak didengarkan mereka, dan tenggelam dalam teriakan-teriakan kemarahan mereka yang mengeroyok Kun Liong. Bahkan mereka itu didorong dan ditendang sampai terguling-guling karena dianggap menghalangi mereka yang berlumba memukuli Kun Liong dengan tangan atau kayu penggebuk, apa saja yang dapat dipergunakan untuk memukul!
Biarpun Kun Liong menggunakan kepandaiannya untuk menangkis dan mengelak, akan tetapi dalam pengeroyokan demikian banyaknya orang dewasa, akhirnya pakaiannya robek dan tububnya benjol-benjol babak belur. Dia tetap tidak mau membalas, apalagi ketika mendapat kenyataan bahwa yang mengeroyoknya, selain tukang-tukang pukul, juga penduduk dusun. Bahkan ada yang menggendong anaknya di punggung ikut-ikut mengeroyoknya untuk melampiaskan kemarahan hatinya!
Biarpun Kun Liong sudah menggunakan seluruh kepandaian yang pernah dipelajarinya, namun tanpa membalas dan dikeroyok demikian banyaknya orang, akhirnya dia tertangkap. Seorang tukang pukul memegang tangan kirinya, seorang penduduk dusun yang sudah tua dan marah-marah karena koki yang menjadi korban tadi adalah anaknya, memegang lengan kanan Kun Liong. Seorang tukang pukul lainnya, mencekik lehernya dari depan!
Kun Liong yang merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit, pakaiannya koyak-koyak, kini dengan sia-sia berusaha meronta. Cekikan pada lehernya makin kuat, dia tidak dapat bernapas lagi dan kedua telinganya mulai terngiang-ngiang, kedua matanya mulai berkunang-kunang, kepalanya berdenyut-denyut. Di antara suara berdengung di telinganya, dia masih mendengar teriakan-teriakan mereka,
“Bunuh saja bocah setan!”
“Cekik sampai mampus!”
“Tidak, aku tidak mau mati. Belum mau! Memang aku telah melakukan kesalahan, akan tetapi aku tidak sengaja membakar rumah orang!”
Pikiran ini menyelinap di dalam hati Kun Liong, mendatangkan rasa penasaran mengapa untuk perbuatannya tanpa disengaja yang mengakibatkan rumah terbakar itu dia harus menebus dengan nyawa! Ia teringat akan pelajaran Sin-kun-hoat (Ilmu Melepaskan Tulang Melemaskan Diri) dari ayahnya dan dalam latihan dia sudah dapat melepaskan diri dari ikatan.
Dia hampir tidak kuat lagi. Kepalanya berdenyut-denyut makin hebat, seperti mau pecah. Dalam detik terakhir itu, dia menggunakan tenaga kedua orang yang memegangi lengannya kanan kiri, menggantungkan tubuhnya dan menggunakan kedua kakinya untuk menendang ke depan, mendorong perut dan dada tukang pukul yang sedang berusaha mencekiknya sampai mati!
“Bresss... auukhhh...!”
Tubuh tukang pukul itu terjengkang dan roboh ke atas tanah. Dia memaki-maki sambil berusaha bangun kembali.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Liong. Dengan Ilmu Sin-kun-hoat, tiba-tiba saja kedua lengannya menjadi lemas dan licin, sekali renggut dia sudah berhasil menarik kedua lengannya terlepas dari pegangan kedua orang yang berteriak kaget dan heran karena tiba-tiba saja seperti belut, lengan anak itu merosot licin dan terlepas!
“Tangkap...!”
Kembali Kun Liong dikepung. Dia tahu bahwa orang-orang ini sudah mabok dendam, seperti segerombolan serigala haus darah dan tentu tidak akan mau sudah sebelum melihat dia menggeletak di bawah kaki mereka sebagai mayat dengan tubuh rusak penuh darah! Ini sudah keterlaluan namanya!
Dia tadi membiarkan dirinya digebuki, dimaki dan dihukum. Akan tetapi, setelah kesalahannya dia tebus dengan mandah menerima hukuman yang dianggap sudah lebih dari cukup, kalau mereka masih haus darah dan hendak membunuhnya, terpaksa dia harus melindungi dirinya. Seorang yang tidak berani melindungi nyawa dan dirinya sendiri adalah seorang pengecut.
“Kalian sudah cukup menghukum aku!” teriaknya dan kini dia menerjang ke kiri menangkap sebatang bambu yang dipergunakan untuk menghantam kepalanya, membetot bambu itu secara tiba-tiba ke kanan sehingga pemegangnya yang tidak menduga-duga tertarik hampir jatuh, disambut oleh tendangan Kun Liong yang mengenai sambungan lututnya.
“Plakk! Aduhhh...!”
Biarpun yang menggajul lutut itu hanya seorang anak berusia sepuluh tahun, akan tatapi karena ujung sepatu Kun Liong tepat mengenai sambungan lutut, tentu saja rasanya nyeri bukan main dan membuat orang itu terpelanting tongkatnya terampas oleh Kun Liong!
Kini cuaca menjadi gelap kembali setelah kebakaran itu dapat dipadamkan. Hal ini menguntungkan Kun Liong. Dengan tongkat rampasan di tangannya dia mengamuk, kini tidak hanya menangkis atau mengelak, melainkan juga membalas dengan sodokan tongkatnya. Dia berhasil merobohkan empat orang sambil melompat ke sana ke sini mencari lowongan di antara para pengepungnya. Yang roboh mengaduh-aduh memegangi perut yang tersodok sampai terasa mulas, atau kaki yang dihantam sampai bengkak.
Orang yang terancam bahaya maut kadang-kadang dapat melakukan hal-hal yang luar biasa, yang tidak dapat dilakukannya dalam keadaan biasa, seolah-olah ancaman bahaya maut itu menimbulkan tenaga tersembunyi yang selama itu tidak pernah muncul dan hanya akan muncul apabila dirinya terancam bahaya maut dan tenaga mujijat itu akan bekerja di luar kesadarannya.
Demikian pula dengan Kun Liong. Memang harus diakui bahwa anak ini semenjak kecil digembleng oleh ayah bundanya, dua orang ahli yang pandai. Akan tetapi karena usianya baru sepuluh tahun, sepandai-pandainya, dia tentu tidak mungkin dapat melawan tukang-tukang pukul dan penduduk dusun yang sedang marah dan berjumlah banyak itu.
Namun ketika anak itu sadar akan bahaya maut yang mengancamnya dan dia melakukan perlawanan, secara tiba-tiba tubuhnya yang penuh luka dan hampir kehabisan tenaga itu mendadak menjadi sangat tangkas dan dia dapat bergerak cepat sekali, melompat ke sana-sini, merobohkan siapa saja yang mencoba menghalanginya dan akhirnya dia dapat melarikan diri ke dalam kegelapan malam, dikejar oleh banyak orang yang berteriak-teriak marah.
Malam yang amat gelap menolongnya, dan teriakan-teriakan itu menambah kesukaran mereka yang mencari dan mengejarnya karena suara riuh rendah itu menelan lenyap suara kaki Kun Liong yang berlari cepat menyelinap di antara rumah-rumah orang dan pohon-pohon, kemudian keluar dari dusun dan terus lari, tidak mempedulikan arah karena tujuannya hanya satu, lari menjauhi orang-orang yang mengejarnya secepat dan sejauh mungkin!
**** 009 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar