*

*

Ads

FB

Senin, 12 September 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 216

Biarpun dengan hati penuh kegelisahan akan keselamatan anak mereka, Biauw Eng dan Keng Hong melakukan pengejaran secepat mungkin, sukarlah bagi mereka untuk dapat menyusul Cui Im karena mereka kurang mengenal jalan. Cui Im menyelinap dari ruangan ke ruangan lain, keluar masuk lorong dan kamar sehingga kedua orang yang membayanginya itu selalu tertinggal di belakang.

"Cui Im, jangan ganggu anakku!" Biauw Eng menjerit.

"Cui Im, demi Tuhan, bebaskan anak kami dan aku akan mengampunimu lagi!"

Keng Hong juga berteriak. Setelah kini mereka semua bebas, tentu saja Keng Hong tidak menghendaki anaknya menjadi korban sendiri.

"Hi-hi-hik, biar aku mati, hatiku akan puas kalau sudah menyembelih anak kalian!" Cui Im tertawa sambil terus berlari.

"Ha-ha-heh-heh-heh, kalian terlambat!"

Cui Im melompat masuk ke dalam sebuah kamar. Ketika Biauw Eng dan Keng Hong yang pucat mukanya itu menerjang masuk, kamar itu kosong dan Cui Im lenyap!

“Cepat kejar dia......... ohhh........!"

Biauw Eng terisak dan mereka menerobos masuk melalui pintu belakang kamar itu yang ternyata menembus ke sebuah ruangan lain.

Tiba-tiba Keng Hong memegang tangan Biauw Eng dan memberi isyarat agar isterinya tidak mengeluarkan suara. Mereka berdiri di depan pintu sebuah kamar dan mendengar suara Cui Im dari dalam kamar itu menembus keluar.

"Di mana dia? Di mana.........?"

Terdengar jawaban seorang wanita dengan suara gemetar,
"Ampun, Toanio...... hwesio tua itu....... tadi merampasnya dan membawanya pergi............"

"Apa........?!? Dan kau membiarkan anak itu dibawa pergi?"

"Ampunkan hamba....... hamba........... tidak tahu bagaimana, tahu-tahu anak itu melayang dari pondongan hamba dan........"

Terdengar jerit mengerikan dan Keng Hong bersama Biauw Eng sudah menerjang pintu kamar itu sehingga roboh. Mereka melihat Cui Im berdiri membalikkan tubuh memandang mereka dan di situ menggeletak tubuh wanita pelayan dengan kepala pecah! Hati Keng Hong dan Biauw Eng lega bukan main. Meraka tahu bahwa tentu Tiong Pek Hosiang yang telah membawa pergi anak mereka!

"Cui Im, iblis betina, engkau hendak lari ke mana sekarang?"






Biauw Eng membentak dan sabuk sutera merah muda di tangannya bergerak melayang ke atas lalu meluncur ke arah kepala Cui Im.

"Kalian ampunkan aku......." tiba-tiba Cui Im menangis, "aku.......... aku melakukan semua itu karena aku........ aku cinta kepadamu, Keng Hong.........!"

Ucapan ini membuat Biauw Eng menjadi makin marah. Sabuknya menyambar turun dan ketika Cui Im mengangkat kedua tangannya menangkap ujung sabuk sutera, Keng Hong maklum bahwa bahaya besar mengancam isterinya. Ia cepat melontarkan Siang-bhok-kiam ke arah Cui Im dengan gerakan yang amat cepat. Pada saat itu, ujung sabuk sutera telah membelit kedua tangan Cui Im yang terangkat ke atas dan melesatnya Siang-bhok-kiam tak dapat dielakkan lagi oleh Cui Im yang tenaga sinkangnya sudah banyak berkurang akibat terkena ilmu Thi-khi-i-beng dari Keng Hong tadi.

"Cappppp...........!!!"

Pedang Siang-bhok-kiam tepat menusuk ulu hati Cui Im, menembus ke belakang dan tenaga lontaran itu membuat tubuh Cui Im terlempar ke belakang sampai ujung pedang menancap di tembok kamar di mana tubuh itu terpaku!

Keng Hong berdiri terbelalak, mukanya pucat sekali memandang ke arah Cui Im. wanita itu memandang kepada Keng Hong dan darah menetes dari dada dan mulutnya, akan tetapi ia masih sempat berkata,

"Aku....... aku cinta padamu, Keng Hong.........!" Kepalanya terkulai dan nyawanya melayang.

Biauw Eng melirik ke arah suaminya, melihat dua titik air mata menetes turun ke pipi suaminya, ia menggerakkan sabuk yang terlepas dari kedua tangan Cui Im, ujung sabuk menyambar ke depan, melibat gagang Siang-bhok-kiam kemudian mencabutnya. Siang-bhok-kiam dibawa melayang ke depan Keng Hong yang menerima dengan mata masih terus menatap tubuh Cui Im yang kini roboh terguling dan terlentang di atas lantai.

"Mari kita membantu Yan Cu!"

Biauw Eng berkata agak ketus dan barulah Keng Hong sadar, memandang isterinya. Ia melihat sinar mata berkilat dari isterinya, maka dia cepat berkata,

"Maafkan aku, isteriku. Aku hanya teringat dia sebagai bekas sumoiku, pewaris kepandaian suhu........"

Keduanya lalu melompat keluar dan menyerbu ke dalam ruangan di mana Yan Cu dan Cong San masih mengamuk.

"Kita keluar dari sini! Cepat!!"

Keng Hong berkata dan membuka jalan darah dengan pedang Siang-bhok-kiam di tangannya. Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San mengikutinya dan sepak-terjang mereka yang hebat itu membuat para pengeroyok cerai-berai dan jerih. Tak lama kemudian, empat orang itu sudah lari ke luar dari kota, dikejar pasukan pengawal yang dipimpin oleh Coa-taijin sendiri.

Akan tetapi, setibanya di luar tembok kota, tampak datang sebuah pasukan dari selatan. Coa-taijin terkejut ketika mengenal pembesar atasannya, maka cepat dia menyambut.

Kiranya pasukan itu adalah pasukan seorang panglima dari kota raja yang datang untuk mengadili Coa-taijin karena menerima laporan Tiong Pek Hosiang bahwa kepala daerah Sun-ke-bun telah bersekutu dengan para bajak sungai, Coa-taijin menjadi tawanan dan dibawa ke kota raja dalam sebuah gerobak kerangkeng dan di sepanjang jalan disambut dan disoraki rakyat yang sudah lama tertindas pembesar lalim itu.

Mereka berempat berhenti berlari di sebuah hutan yang sunyi, terengah-engah dan saling pandang. Keng Hong memandang Cong San yang berdiri seperti patung dan menundukkan kepala, lalu pendekar ini menarik napas panjang, menghampiri isterinya dan tanpa bicara dia lalu menaruh obat di luka isterinya, membalutnya dengan robekan jubahnya.

Sejenak Yan Cu berdiri mengatur napas yang memburu, memandang suaminya, kemudian ia melangkah maju mendekatI suaminya, tanpa mempedulikan luka-lukanya sendiri, mengeluarkan bubuk obat dari ikat pinggangnya dan hendak mengobati luka di pundak suaminya. Akan tetapi baru saja tangannya menyentuh pundak, Cong San mengangkat muka memandang, mukanya pucat, kedua matanya mencucurkan air mata dan dia melompat ke belakang.

"Jangan sentuh aku.........!!"

Yan Cu terkejut dan berdiri memandang terbelalak. Keng Hong dan Biauw Eng menoleh dan memandang dengan alis berkerut, kemudian Keng Hong membentak dengan marah,

"Cong San! Apakah engkau masih tetap gila??"

Dengan muka menunduk Cong San menjawab, suaranya terisak menangis,
"Memang aku gila dan masih gila, aku tidak layak........ tidak layak.......!" ia tersedu.

Yan Cu melangkah maju, kedua pipinya basah air matanya yang mengalir turun.
"Engkau suamiku........, aku tidak sakit hati akan semua yang telah terjadi. Mari kuobati lukamu, Koko......."

Kembali Cong San melompat ke belakang.
"Jangan.......! Jangan.........kau sentuh aku........ aku.......... aku tidak tahan lagi......... aku terlalu kotor........ tak layak kau sentuh.......... kau terlalu suci dan aku......... tanganmu akan menambah penderitaan batinku. Aku......... aku manusia laknat, anjing pun terlalu bersih untuk mendekatiku........"

"Koko......... engkau suamiku..........!"

Yan Cu menangis dan akan menubruk, akan tetapi Cong San mengelak dan melompat mundur.

"Jangan.........! Demi Tuhan.......... jangan sentuh aku atau engkau pun akan menjadi kotor. Aku......... dosaku tak mungkin dapat diampuni oleh siapapun......!"

Cong San menangis tersedu-sedu seperti anak kecil dan dia menjambak-jambak rambutnya. Keng Hong hendak meloncat, akan tetapi ditahan oleh Biauw Eng yang memberi isyarat dengan mata agar suaminya diam saja dan tidak mencampuri urusan itu.

"San-koko......... ingatlah. Aku Gui Yan Cu, telah bersumpah menjadi isterimu. Aku isterimu, sejak dahulu sampai selamanya........ aku cinta padamu dan aku tidak menaruh dendam atas segala kesalah-fahaman......."

"Kesalahfahaman? Aihhh, kalau saja benar demikian. Tidak.....! Tidaaaaaak......!! Aku telah buta, gila oleh cemburu! Aku telah menghina, menyiksa hatimu. Aku telah menuduh secara keji......... aku......... aku tidak layak kau sentuh......... tidak layak untuk hidup lagi........!"

Seperti orang gila, rambutnya awut-awutan, mukanya basah air mata, tiba-tiba Cong San mencabut pedang rampasannya tadi.

"Suamiku.......! Jangan.......! Jangan lakukan itu........! Ingat anak kita........., Kun Liong..........!!"

Yan Cu menjerit dan meloncat ke depan hendak merampas pedang. Akan tetapi Cong San kembali meloncat menjauhi dengan pedang telanjang di tangan, sikapnya tidak seperti orang waras lagi.

“Jangan halangi aku! Jangan menambah dosa dan penderitaanku! Biarkan aku mati, aku tidak patut menjadi suamimu, tidak patut menjadi ayah Kun Liong, tidak patut menjadi sahabat Keng Hong! Tidak patut hidup lagi........., aku manusia iblis..........!"

Tiba-tiba Yan Cu mencabut pedang rampasannya pula.
"Begitukah?? Kau nekat untuk memilih mati? Baiklah, suamiku. Aku sebagai isteri harus mentaati semua kehendakmu, dan sebagai isteri yang setia dan mencinta, aku harus mengikutimu ke manapun engkau pergi. Biarlah aku pergi dahulu untuk mencarikan jalan..........."

Setelah berkata demikian, Yan Cu menggerakkan pedangnya, membacok ke arah lehernya sendiri!

"Trangg!!!"

Pedang di tangan Yan Cu terlepas dan wanita ini menjatuhkan diri berlutut, menutupi muka dengan kedua tangan sambil menangis. Cong San yang menangkis pedang isterinya sekuat tenaga berdiri seperti patung, pucat sekali mukanya, kemudian dia meloncat ke belakang dan berkata, suaranya gemetar penuh penyesalan,

"Yan Cu, menyebut namamu saja sudah tidak layak bagiku. Jangan kau bersikap seperti ini, karena hal itu menambah perihnya hatiku, menambah besarnya dosaku. Dosaku bertumpuk-tumpuk terhadap dirimu yang suci, dan percayalah, aku tidak ingin melihat engkau menderita lagi hanya karena aku, seorang manusia yang tidak berharga sama sekali. Aku harus mati, dan hanya jalan ini saja yang akan membebaskanmu daripada ikatan seorang suami yang tidak berharga sama sekali. Selamat tinggal!"

"Suamiku.........!!!" Yan Cu menjerit, namun Cong San sudah menusukkan pedang ke arah dadanya sendiri.

"Trakkk!"

Pedang Cong San patah dan terpental, bahkan dia sendiri terhuyung. Demikian hebat tangkisan Siang-bhok-kiam di tangan Keng Hong, saking marahnya pendekar ini.

"Keng Hong, mengapa........ mengapa.........?"

Cong San menegur, penuh keheranan melihat orang yang telah dikhianatinya, yang telah difitnahnya, telah diserang, dimaki dan dihinanya, bahkan hampir dibunuhnya itu menghalangi dia membunuh diri.

"Pengecut laknat!!" Keng Hong menyarungkan pedangnya dan membentak marah. "Setelah melakukan hal yang memalukan dan gila, kini engkau takut menghadapi akibatnya, takut menghadapi penyesalah sehingga ingin melarikan diri dengan kematian yang pengecut dan menjijikkan. Beginikah seorang laki-laki? Kau patut dihajar!"

"Plakkkk!"

Tamparan Keng Hong mengenai pipi Cong San, membuat dia terpelanting roboh. Cong San terkejut sekali dan ketika dia mencoba untuk bangkit, sebuah tendangan mengenai dadanya, membuat dia terjengkang lagi. Namun Cong San meloncat bangun dan tertawa.

"Ha-ha-ha, bagus sekali! Terima kasih, Keng Hong. Hajarlah aku! Bunuhlah aku untuk membalas kejahatanku terhadapmu, agar ringan hatiku, ha-ha-ha!"

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: