*

*

Ads

FB

Rabu, 07 September 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 198

Keng Hong dan Biauw Eng yang melakukan perjalanan sambil menikmati bulan madu, saling melimpahkan cinta kasih yang mendalam, tidak merasakan lagi jauhnya perjalanan.

Bagi dua orang yang seolah-olah merasa bahwa dunia ini hanya ada mereka berdua, semua tempat tampak indah menyenangkan. Baik bermalam di dalam rumah penginapan, atau di dalam hutan, di padang rumput, di lembah sungai, bagi mereka tiada bedanya. yang penting adalah merasa belaian tangan kekasih, merasai kehadiran pujaan hati dan mereka saling menumpahkan segala rindu dendam yang sudah bersemi di hati masing-masing semenjak tahunan yang lalu, saling menyiramkan cinta kasih tak mengenal puas.

Sesuai dengan nasihat Biauw Eng yang memandang segala sesuatu penuh perhitungan dan kewaspadaan, Keng Hong dan isterinya tidak langsung mengunjungi Siauw-lim-pai, hanya melihat dan mendengar dari jauh. Akhirnya dengan hati lega mereka mendengar bahwa tidak terjadi keributan di Siauw-lim-si, hanya bahwa ketua Tiong Pek Hosiang yang sudah amat tua usianya itu mengundurkan diri untuk bertapa di Ruangan Kesadaran, sedangkan kedudukan ketua telah dipilih Thian Kek Hwesio.

Mendengar ini, Keng Hong dan Biauw Eng menjadi girang sekali, apalagi ketika mendengar bahwa Cong San dan Yan Cu setelah berbulan madu di hutan pohon pek, telah melanjutkan perjalanannya ke Leng-kok.

"Kalau begitu, sebaiknya kita kembali saja ke Cin-ling-san, suamiku. Sayang sekali kalau tempat yang indah itu tidak dipelihara. Mari kita pulang ke sana, dan kita bangun kembali rumah mendiang ibu tiriku. Kita tinggal di sana untuk sementara waktu, lihat perkembangannya kelak karena aku tidak suka tinggal di kota yang ramai. Lebih senang di pegunungan yang sunyi, hanya berdua denganmu."

Keng Hong memegang lengan isterinya dan membelainya.
"Sesukamulah, Eng-moi. Hidupku mulai sekarang hanya untuk menuruti kehendakmu, untuk membahagiakanmu, dan kemana saja kau kehendaki untuk tinggal, aku setuju."

"Hong-ko, engkau baik sekali. Akan tetapi aku tidak begitu mau menang sendiri, aku tahu, seorang isteri harus ikut dengan suaminya ke manapun suaminya pergi. Aku hanya menghendaki kita tinggal di Cin-ling-san yang sunyi itu untuk selama setahun. Setelah anak kita lahir, aku menurut saja engkau akan tinggal di mana."

Keng Hong mencengkeram lengan isterinya,
"Apa.....? A...... anak kita......?"

Biauw Eng tersenyum dan mengangguk.
"Tidak tahukah engkau bahwa aku...... telah....."

Dia tidak melanjutkan kata-katanya dan menundukkan muka, kedua pipinya menjadi merah sekali. Keng Hong terbelalak, baru sekali ini selama hidupnya dia melihat Biauw Eng malu, dan baru sekali ini pula dia merasa betapa hatinya mengalami kegembiraan yang sukar dituturkan, jantungnya seolah-olah membengkak, dadanya melebar dan dia merasa seperti seekor burung merak mengembangkan bulu-bulunya penuh kebanggaan.






"Mengandung..... Biauw Eng isteriku, benarkah itu?"

Biauw Eng mengangguk dan Keng Hong bersorak seperti anak kecil mendapat hadiah, memeluk Biauw Eng dengan erat. Akan tetapi tiba-tiba dia melepaskan pelukannya dan berkata,

"Aih..... aku harus hati-hati...... mulai sekarang, tidak boleh aku memelukmu erat-erat!"

"Mengapa tidak boleh? Kalau kau kurang kuat memelukku, aku akan mengira bahwa kau telah bosan denganku."

"Tidak, tidak, sungguh mati tidak! Aku harus memikirkan anak kita..... ha-ha-ha! Anak kita! Aku akan menjadi ayah! Ho-hoooooo!"

Keng Hong menangkap tubuh isterinya, dipondongnya dan dia berputar-putar sambil tertawa-tawa.

Berangkatlah suami isteri yang saling mencinta ini menuju ke Cin-ling-san dan mereka segera membangun kembali rumah mendiang Tung Sun Nio yang telah dibakar para bajak anak buah Bhe Cu In.

Para penduduk di lereng dan kaki Gunung Cin-ling-san amat menghormati kedua suami isteri ini, bahkan mereka yang maklum bahwa suami isteri ini adalah sepasang pendekar yang budiman dan sakti, lalu mendatangi mereka dan menyatakan ingin tinggal di lereng itu. Mereka merasa aman dan tenteram kalau tinggal di dekat suami isteri ini.

Tentu saja Keng Hong dan Biauw Eng tidak keberatan, bahkan senang sekali bergaul dengan para petani yang jujur itu. Para petani mendirikan rumah mereka, bahkan membantu Keng Hong membangun rumah dan beberapa bulan kemudian sudah ada belasan keluarga petani yang tinggal di lereng itu. Banyak pula yang mendengar akan kesaktian sepasang pendekar budiman itu sehingga mereka yang selalu sering menderita oleh gangguan para perampok, mempunyai niat hendak mendekati Keng Hong dan isterinya.

Mulailah Keng Hong hidup sebagai petani di pegunungan yang indah itu dan di waktu senggang secara iseng dia mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepada anak-anak pegunungan. Sungguh tak disangkanya semua bahwa tempat itu akan menjadi perkampungan yang besar dan bahwa kelak dia akan menjadi pendiri dari Cin-ling-pai, sebuah partai persilatan yang terdiri dari kaum petani penghuni Pegunungan Cin-ling-san!

Setelah lewat setengah tahun, pada suatu pagi Keng Hong bercakap-cakap dengan isterinya di halaman rumah mereka, sebuah pondok sederhana akan tetapi cukup besar dan menyenangkan.

"Heran sekali mengapa tiada berita dari Leng-kok." Keng Hong berkata.

"Ahhh, Cong San dan Yan Cu sudah hidup bahagia, kabarnya membuka toko besar di sana, mana ingat kepada kita orang-orang gunung ini?"

Biauw Eng menjawab sambil tertawa dan menuangkan teh panas untuk suaminya. Gerakannya kaku karena perutnya yang sudah mengandung empat bulan itu menghalangi gerakannya.

Keng Hong memandang ke arah perut isterinya dengan terharu dan bangga.
"Betapa akan girang hati mereka kalau mereka tahu bahwa aku sudah hampir menjadi ayah!"

"Ihhh! Masih lama sudah dibicarakan saja. Siapa tahu mereka pun sudah mempunyai calon anak."

"Aku rindu sekali untuk mendengar keadaan mereka. Dan..... kalau aku teringat peristiwa di sini dahulu, ingat akan wajah Cong San yang dingin, hatiku tetap tidak enak dan mengkhawatirkan keadaan Yan Cu sumoi. Isteriku, bukankah sekarang sudah cukup waktunya untuk menjelaskan kesemuannya kepada Cong San?"

"Ah, apakah kau hendak meninggalkan aku dalam keadaan mengandung?" Biauw Eng membentak, pura-pura marah.

"Sama sekali tidak, isteriku. Aku tidak akan meninggalkan engkau, bilamanapun juga. Kalau aku pergi, harus bersama engkau. Maksudku, menjelaskan dengan surat seperti yang kau nasehatkan dahulu itu. Sekarang saatnya tepat, aku mempunyai alasan untuk mengirim kabar tentang kita dan menanyakan kabar mereka. Nah, dalam surat itu dapat kusinggung tentang finah yang dilontarkan Cui Im itu, agar membersihkan hati Cong San dari rasa cemburu. Bagaimana?"

Biauw Eng mengangguk.
"Kalau begitu, baik saja. Akan tetapi, siapa yang disuruh menghantarkan suratmu kepada mereka di Leng-kok?"

"Aku akan suruh seorang di antara pemuda di sini untuk mengantarkan surat. Dengan naik kuda kurasa dalam waktu tiga hari dia akan sampai di Leng-kok. Sebaiknya kusuruh A-liok, dia pernah pergi ke kota dan orangnya cukup cerdik, tentu akan dapat mencari alamat Cong San di Leng-kok."

"Baiklah, Koko. Akan tetapi yang hati-hati kau menulis surat dan urusan cemburu itu kau singgung sedikit saja jangan sampai terlalu menyolok."

"Akan kutulis sekarang dan nanti engkau perbaiki kalau kurang sempurna.”

Keng Hong lalu mengambil alat tulis dan kertas kemudian dengan alis berkerut dia mulai menulis sebuah surat dengan hati-hati dan sebaik mungkin. Setelah membuang waktu satu jam lebih akhirnya dia menyelesaikan surat itu dan memperlihatkannya kepada isterinya. Biauw Eng duduk di kursi, membaca surat itu penuh perhatian,

Saudara Yap Cong San dan Yan Cu sumoi yang baik.

Setengah tahun kita saling berpisah. Kami mengharapkan beritamu dengan hati penuh rindu. Kami harap kalian hidup bahagia seperti kami yang kini menanti hadirnya seorang anak kurang lebih lima bulan lagi. Kami tinggal di Cin-ling-san dan berhasil membangun kembali rumah mendiang subo, dan kini tempat kami menjadi sebuah dusun yang ditinggali petani-petani Pegunungan Cin-ling-san. Kami harap kalian ada kesempatan untuk berkunjung, karena kami sudah rindu sekali.

Sebagai penutup surat ini, kami harap semoga kalian jangan mempedulikan fitnahan keji yang dilontarkan iblis betina Bhe Cui Im di Cin-ling-san dahulu, karena semua itu bohong belaka.

Sekian dan sampai jumpa!

Salam dari kami,

Cia Keng Hong dengan isteri.

Setelah membaca surat itu, Biauw Eng mengangguk.
"Kurasa sudah cukup, Hong-ko. Kuharap saja Cong San cukup bijaksana dan cerdik untuk dapat mengerti kalimat terakhir dan melenyapkan sama sekali sisa-sisa penasaran di dalam hatinya."

Pada hari itu juga A-liok berangkat membawa surat itu dan menunggang seekor kuda sambil membawa bekal uang yang diberikan oleh Biauw Eng kepadanya.

Pemuda yang berusia dua puluh tahun ini girang dan bangga sekali bahwa dia dipercaya oleh "Cia-taihiap" dan isterinya untuk mengantar surat kepada sahabat mereka di tempat yang begitu jauh. Dia belum pernah ke Leng-kok, akan tetapi setelah menerima petunjuk Keng Hong, pemuda yang pernah beberapa tahun tinggal di kota besar ini merasa yakin akan dapat mencari alamat itu.

Keng Hong dan Biauw Eng mengikuti keberangkatan A-liok yang membalapkan kuda dengan pandang mata penuh harapan. Tadi mereka telah berpesan kepada A-liok agar suka minta balasan surat sebagai bukti bahwa surat mereka telah diterima oleh Con San dan istrinya.

**** 098 ****
Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: