"Cringgggg!!"
Terdengar suara keras di antara bunga api yang berhamburan menyilaukan mata. Tengkorak manusia itu jatuh menggelinding di atas tanah, akan tetapi pedang Kiang Tojin telah terlibat rantai di tangan kanan Pak-san Kwi-ong yang menjadi marah sekali.
Tiba-tiba terdengar suara meledak dan Kiang Tojin terhuyung-huyung tubuhnya. Yang meledak dan menghamburkan asap dan jarum baracun adalah tengkorak yang terbabat buntung dari rantainya tadi sehingga kaki Kiang Tojin terkena jarum berbisa. Kesempatan ini dipergunakan oleh Pak-san Kwi-ong untuk menggerakkan tengkorak ke dua di tangan kirinya.
Tengkorak itu berputar-putar kemudian menukik dan menyerang Kiang tojin dari arah belakang tosu ini! Pada saat itu, Kiang Tojin tengah berusaha menarik kembali pedangnya yang terbelit rantai lawan, dan baru saja tubuhnya terguncang oleh ledakan tengkorak yang mengandung asap dan jarum beracun, maka terhadap serangan hebat yang aneh karena tengkorak itu menyerangnya dari belakang, dia hanya dapat mengelak, melepas senjata berarti kalah. Maka tentu saja elakannya kurang tepat dan tengkorak ke dua itu masih saja mengenai punggungnya.
"Bukkk!"
"Dessssss!"
Pada detik yang hampir bersamaan, tangan kiri Kiang Tojin juga mengirim pukulan sinkang ke arah dada lawan pada saat dia dihantam tengkorak. Pukulannya dengan telapak tangan ini sama sekali tidak disangka-sangka oleh Pak-san Kwi-ong yang sudah kegirangan menyaksikan serangannya berhasil.
Tubuh Kiang tojin terlempar ke belakang seperti sebuah layang-layang putus talinya, akan tetapi tubuh Pak-san Kwi-ong juga terhuyung ke belakang. Kedua orang kakek ini menyemburkan darah segar dari mulut, kemudian tanpa mempedulikan apa-apa lagi mereka berdua itu sudah menjatuhkan diri bersila dan mengatur napas karena dalam keadaan terluka hebat seperti itu, yang terpenting adalah mengobati diri sendiri melalui pernapasan mengumpulkan hawa murni.
Bahkan mereka berdua tidak peduli lagi akan senjata masing-masing yang tadi ketika mereka terpental telah terlepas dari libatan dan kalau Kiang tojin kini masih memegang pedangnya sambil bersedakap, adalah Pak-san Kwi-ong masih memegangi rantai tengkorak yang tinggal sebuah itu, disampirkan di pundaknya.
Kok Sian-cu, tosu tua yang mata kirinya buta, tokoh utama Kong-thong-pai segera lari menghampiri Kiang tojin dan cepat memeriksa punggung ketua Kun-lun-pai itu. Ternyata pukulan tengkorak itu menimbulkan warna hitam bundar pada punggung maka tahulah dia bahwa pukulan itu mengandung racun. Sambil menahan kemarahan Kok Sian-cu bangkit berdiri menghadapi Cui Im, suaranya terdengar penuh wibawa,
"Ang-kiam Bu-tek, bagaimana pendapatmu atas hasil pertandingan pertama ini?"
Cui Im mengerti bahwa Pak-san Kwi-ong telah menerima pukulan yang hebat dan menderita luka di sebelah dalam tubuhnya, akan tetapi ia pun tahu bahwa ketua Kun-lun-pai itu pun menderita luka yang lebih berbahaya karena tengkorak itu mengandung racun di samping jarum beracun yang menusuk kakinya, maka ia lalu berkata sambil tertawa,
"Kalau aku mengakui bahwa fihakku menang, tentu kau akan menganggap bahwa aku takut kalah! Hi-hi-hik, tosu buta sebelah! Biarlah kita anggap saja tidak ada yang kalah tidak ada yang menang karena kedua fihak terluka. Sekarang, kami mengajukan dua orang jago kami, aku sendiri dan Pat-jiu Sian-ong. Hayo, suruh jago-jagomu maju karena kami berdua akan merobohkan mereka dalam sepuluh jurus, hi-hi-hik!"
Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai dan Thian Kek Hwesio sudah marah sekali. Mereka sudah bergerak maju hendak menyambut tantangan itu akan tetapi tiba-tiba berkelebat dua ekor burung walet menyambar, dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda tampan dan seorang dara jelita yang bukan lain adalah Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng!
"Cui Im perempuan curang, akulah lawanmu!" bentak Keng Hong.
Cui Im dan Pat-jiu Sian-ong terkejut bukan main, apalagi ketika tak lama kemudian muncul pula Yap Cong San Gui Yan Cu di tempat itu! Bagaimana mungkin ini? Empat orang muda ini telah terjebak di dalam sumur, bagaimana tahu-tahu telah berhasil meloloskan diri dan menyusul ke sini? Siapakah yang telah menolong mereka?
Memang sesungguhnyalah, tanpa pertolongan dari luar, biarpun empat orang itu merupakan orang-orang muda yang berilmu tinggi tidak mungkin mereka akan dapat lolos dari dalam sumur itu.
Dan pertolongan ini memang datang dari orang yang sama sekali tidak pernah mereka duga dan harapkan. Yang menolong mereka adalah Sian Ti Sengjin bekas tosu tokoh Kun-lun-pai!
Telah terjadi perang besar dalam batin Sian Ti Sengjin semenjak kakek ini mendapat kenyataan bahwa sutenya, Lian Ci Sengjin benar-benar telah melakukan perbuatan keji dan terkutuk, yaitu memperkosa Tan Hun bwee. Semenjak dia tahu akan hal itu, mulailah timbul rasa penyesalan besar di hatinya. Barulah dia sadar betapa jauh dia menyeleweng dari pada jalan benar dan betapa dia telah membela sutenya yang ternyata telah menjadi hamba nafsu yang jahat. Mulailah dia teringat akan gemblengan batin yang telah puluhan tahun dia pelajari dan latih.
Kalau tadinya dia masih mempertahankan keadaannya dan diam saja adalah karena dia mengharapkan sutenya akan insyaf. Maka dia membujuk-bujuk sutenya agar mereka berdua kembali saja ke Phu-niu-san karena dia tahu bahwa dia telah terjerumus makin dalam dengan menggabungkan diri dengan orang-orang golongan sesat. Namun sutenya selalu menolak dan akhirnya dia menerima pukulan batin terhebat ketika menyaksikan sutenya tewas dengan tubuh hancur lebur oleh Hun Bwee. Timbul penyesalan besar dan dia mulai memikirkan cara untuk menebus dosa-dosanya.
Demikianlah, begitu Cui Im memimpin rombongan untuk menyerbu ke puncak Tai-hang-san, dia mencari alasan untuk tinggal menjaga di dalam benteng. Kemudian, tidak lama setelah rombongan berangkat, Sian Ti Sengjin cepat memasuki kamar Cui Im, membongkar barang-barang wanita itu dan berhasil mengumpulkan barang-barang pusaka yang dirampas oleh Cui Im dari tangan Keng Hong, yaitu benda-benda pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Setelah itu, dia cepat mencari tambang, membuka lantai kamar tahanan yang kini menjadi sumur tertutup dan menurunkan tambang itu kebawah.
Keng Hong dan tiga orang temannya terkejut melihat betapa ada sinar terang dari atas menyorot ke bawah, dan ternyata bahwa penutup sumur itu terbuka. Makin heranlah hati mereka ketika melihat dari bawah betapa Sian Ti Sengjin menurunkan sehelai tali tambang ke dalam sumur.
"Thian Yang Maha Adil!" Keng Hong berbisik. "Kiranya Thian akhirnya menggerakkan hatinya untuk menyadari kesesatannya. Biarlah aku yang naik lebih dulu, siapa tahu ini merupakan jebakan pula."
Cepat pemuda ini lalu menyambar tali dan merayap naik sambil menggigit Siang-bhok-kiam untuk bersiap-siap kalau di atas ada bahaya menantinya. Akan tetapi setelah tiba di atas dan meloncat ke lantai, dia melihat Sian Ti Sengjin memandangnya dengan wajah pucat dan bekas tosu yang amat dikenalnya sejak dia menjadi kacung di Kun-lun-pai ini berbisik,
"Keng Hong, lekas suruh teman-temanmu naik!"
Bukan main girangnya hati Keng Hong. Ia menjenguk ke dalam sumur dan berkata,
"Naiklah semua!"
Tiga orag muda yang menanti dengan hati penuh ketegangan di dalam sumur itu pun menjadi girang sekali dan mereka cepat merayap naik melalui tali. Setelah tiba di atas, Keng Hong menjatuhkan diri berlutut di depan bekas tosu itu dan berkata,
"Sian Ti Totiang, terimalah ucapan terima kasih kami."
Sian Ti Sengjin cepat membangunkan Keng Hong dan menarik napas panjang.
"Jangan begitu, engkau membikin aku malu saja, Keng Hong. Terimalah ini, bukankah ini benda-benda pusaka yang dirampas Cui Im?"
Keng Hong makin girang melihat bahwa semua benda pusaka peninggalan gurunya, yaitu sebatang pedang Hoa-san-pai, sebuah kitab dari Go-bi-pai, dan kitab-kitab tulisan Sin-jiu Kiam-ong sendiri, sabuk sutera dan senjata-senjata rahasia Biauw Eng berupa bola-bola putih berduri dan tusuk konde bwee, pedang milik Yan Cu, dan sepasang Im-yang-pit milik Cong San, semua telah berada dalam buntalan yang dibawa tosu itu.
Ketika dia hendak berlutut kembali, dengan terharu Sian ti Sengjin memegang kedua pundaknya dan berkata,
"Tak usah berterima kasih karena kalian telah menjadi pendorong pinto, menyesali diri dan bertobat. Sekarang kalian cepat mengejar mereka yang menyerbu ke puncak Tai-hang-san untuk membasmi mereka yang sedang mengadakan pertemuan di sana. Pinto sendiri akan pergi mencari bala bantuan pasukan pemerintah di Tai-goan!"
Setelah berkata demikian, bekas tosu Kun-lun-pai yang telah insyaf itu lalu berlari keluar dengan cepat.
Keng Hong tidak membuang waktu lagi. Dia menyimpan benda-benda pusaka itu, kemudian bersama Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu dia lari keluar. Dengan mudah saja mereka berempat merobohkan para penjaga yang mencoba menghalangi mereka dan dengan berlari cepat mereka menuju ke puncak Tai-hang-san.
Demikianlah, mereka berempat dapat datang tepat pada saat Kiang Tojin dan Pak-san Kwi-ong menyelesaikan pertandingan mereka yang mengakibatkan mereka keduanya terluka. Keng Hong dan Biauw Eng yang lari di depan dapat mendengar tantangan Cui Im, maka mereka berdua segera menyambut tantangan itu. Kini dua pasang orang sakti yang bermusuhan itu memandang dengan mata bersinar-sinar, sebaliknya Cui Im dan Pat-jiu Sian-ong memandang dengan kaget sekali.
Kiang Tojin yang sedang bersamadhi untuk memulihkan tenaga dan mengobati lukanya, membuka mata dan tersenyum lemah.
"Thian selalu berfihak kepada yang benar, siancai... siancai...! Ang-kiam Bu-tek, karena di fihak kami telah datang tenaga-tenaga baru, maka pinto menunjuk Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng untuk menjadi jaog-jago kami yang ke dua dan ke tiga!"
"Heh-heh-heh, beginikah sikap tokoh-tokoh yang menamakan dirinya golongan bersih? Tidak dapat dipegang janjinya! Bukankah tadi kau mengajukan Thian Kek Hwesio dan seorang di antara Hoa-san Siang-sin-kiam sebagai jago? Di mana letak kegagahanmu, Kiang Tojin?" Cui Im tertawa mengejek.
"Cui Im!" Keng Hong membentak marah. "Orang macam engkau masih mau bicara tentang kegagahan dan pemenuhan janji? Berapa kali sudah engkau menipuku? Kalau engkau tidak mau menghadapiku sebagai wakil yang diajukan oleh Kun-lun-pai, tetap saja engkau harus kuhadapi sekarang juga untuk menebus semua kejahatan dan kecuranganmu!"
"Dan engkau pun harus menebus kecuranganmu ketika menjebak kami, Pat-jiu Sian-ong!"
Bentak pula Biauw Eng yang sudah siap dengan sabuk suteranya seperti Keng Hong yang sudah mempersiapkan Siang-bhok-kiam untuk menghadapi lawan.
Pat-jiu Sian-ong menggerak-gerakkan kebutannya dengan lagak seorang dewa lalu berkata halus,
"Binatang kerbau diikat hidungnya, akan manusia diikat kata-kata yang keluar dari mulutnya. Kiang Tojin seorang manusia atau seekor kerbau? Jangan dikira bahwa aku jerih menghadapi seorang bocah seperti puteri Lam-hai Sin-ni, hanya hatiku belum puas kalau belum memaki Kiang Tojin."
Pak-san Kwi-ong juga sudah melompat bangun, menyeringai menahan rasa nyeri dan sesak di dadanya, lalu menuding ke arah Kiang Tojin sambil berkata,
"Kiang Tojin, di antara kita masih belum ada yang kalah atau menang. Marilah kita lanjutkan pertandingan untuk menentukan siapa yang lebih unggul, kalau engkau berani!"
Kiang Tojin menghela napas panjang.
"Siancai...!" Pinto bukan seorang yang takut menghadapi kematian, Kwi-ong, Marilah!" Ia pun bangkit dengan cepat akan tetapi agak terhuyung.
Sekali pandang saja maklumlah Keng Hong bahwa Pak-san Kwi-ong telah terluka hebat di dalam dadanya, akan tetapi Kiang Tojin juga telah terluka parah, maka dia cepat bernyanyi,
"Tiga puluh buah ruji berpusat pada poros roda di tempat yang kosonglah terletak kegunaannya! Dengan tanah liat membuat mangkok bundar Di tempat yang kosonglah terletak kegunaannya! Membobol pintu jendela pada sebuah rumah Di tempat yang kosonglah terletak kegunaannya! Yang ada hanya sebagai pegangan Yang kosong itulah yang berguna!"
Sajak yang dinyanyikan Keng Hong itu adalah ayat-ayat dalam kitab To-tik-keng yang menggambarkan keadaan To dan sifat-sifatnya. Dilihat kosong namun justeru yang kosong itulah yang menciptakan kegunaannya. Akan tetapi tentu saja Keng Hong mempunyai maksud tertentu dengan nyanyian ini yang dia harapkan akan ditangkap maknanya oleh Kiang Tojin.
Cui Im adalah seorang yang cerdik, akan tetapi dia tidak mengenal ayat-ayat seperti itu. Ia khawatir kalau-kalau Keng Hong membantu dengan nyanyian yang tak dimengertinya itu, maka sambil melengking keras ia sudah menerjang Keng Hong dengan pedang merahnya.
Terdengar suara keras di antara bunga api yang berhamburan menyilaukan mata. Tengkorak manusia itu jatuh menggelinding di atas tanah, akan tetapi pedang Kiang Tojin telah terlibat rantai di tangan kanan Pak-san Kwi-ong yang menjadi marah sekali.
Tiba-tiba terdengar suara meledak dan Kiang Tojin terhuyung-huyung tubuhnya. Yang meledak dan menghamburkan asap dan jarum baracun adalah tengkorak yang terbabat buntung dari rantainya tadi sehingga kaki Kiang Tojin terkena jarum berbisa. Kesempatan ini dipergunakan oleh Pak-san Kwi-ong untuk menggerakkan tengkorak ke dua di tangan kirinya.
Tengkorak itu berputar-putar kemudian menukik dan menyerang Kiang tojin dari arah belakang tosu ini! Pada saat itu, Kiang Tojin tengah berusaha menarik kembali pedangnya yang terbelit rantai lawan, dan baru saja tubuhnya terguncang oleh ledakan tengkorak yang mengandung asap dan jarum beracun, maka terhadap serangan hebat yang aneh karena tengkorak itu menyerangnya dari belakang, dia hanya dapat mengelak, melepas senjata berarti kalah. Maka tentu saja elakannya kurang tepat dan tengkorak ke dua itu masih saja mengenai punggungnya.
"Bukkk!"
"Dessssss!"
Pada detik yang hampir bersamaan, tangan kiri Kiang Tojin juga mengirim pukulan sinkang ke arah dada lawan pada saat dia dihantam tengkorak. Pukulannya dengan telapak tangan ini sama sekali tidak disangka-sangka oleh Pak-san Kwi-ong yang sudah kegirangan menyaksikan serangannya berhasil.
Tubuh Kiang tojin terlempar ke belakang seperti sebuah layang-layang putus talinya, akan tetapi tubuh Pak-san Kwi-ong juga terhuyung ke belakang. Kedua orang kakek ini menyemburkan darah segar dari mulut, kemudian tanpa mempedulikan apa-apa lagi mereka berdua itu sudah menjatuhkan diri bersila dan mengatur napas karena dalam keadaan terluka hebat seperti itu, yang terpenting adalah mengobati diri sendiri melalui pernapasan mengumpulkan hawa murni.
Bahkan mereka berdua tidak peduli lagi akan senjata masing-masing yang tadi ketika mereka terpental telah terlepas dari libatan dan kalau Kiang tojin kini masih memegang pedangnya sambil bersedakap, adalah Pak-san Kwi-ong masih memegangi rantai tengkorak yang tinggal sebuah itu, disampirkan di pundaknya.
Kok Sian-cu, tosu tua yang mata kirinya buta, tokoh utama Kong-thong-pai segera lari menghampiri Kiang tojin dan cepat memeriksa punggung ketua Kun-lun-pai itu. Ternyata pukulan tengkorak itu menimbulkan warna hitam bundar pada punggung maka tahulah dia bahwa pukulan itu mengandung racun. Sambil menahan kemarahan Kok Sian-cu bangkit berdiri menghadapi Cui Im, suaranya terdengar penuh wibawa,
"Ang-kiam Bu-tek, bagaimana pendapatmu atas hasil pertandingan pertama ini?"
Cui Im mengerti bahwa Pak-san Kwi-ong telah menerima pukulan yang hebat dan menderita luka di sebelah dalam tubuhnya, akan tetapi ia pun tahu bahwa ketua Kun-lun-pai itu pun menderita luka yang lebih berbahaya karena tengkorak itu mengandung racun di samping jarum beracun yang menusuk kakinya, maka ia lalu berkata sambil tertawa,
"Kalau aku mengakui bahwa fihakku menang, tentu kau akan menganggap bahwa aku takut kalah! Hi-hi-hik, tosu buta sebelah! Biarlah kita anggap saja tidak ada yang kalah tidak ada yang menang karena kedua fihak terluka. Sekarang, kami mengajukan dua orang jago kami, aku sendiri dan Pat-jiu Sian-ong. Hayo, suruh jago-jagomu maju karena kami berdua akan merobohkan mereka dalam sepuluh jurus, hi-hi-hik!"
Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai dan Thian Kek Hwesio sudah marah sekali. Mereka sudah bergerak maju hendak menyambut tantangan itu akan tetapi tiba-tiba berkelebat dua ekor burung walet menyambar, dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda tampan dan seorang dara jelita yang bukan lain adalah Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng!
"Cui Im perempuan curang, akulah lawanmu!" bentak Keng Hong.
Cui Im dan Pat-jiu Sian-ong terkejut bukan main, apalagi ketika tak lama kemudian muncul pula Yap Cong San Gui Yan Cu di tempat itu! Bagaimana mungkin ini? Empat orang muda ini telah terjebak di dalam sumur, bagaimana tahu-tahu telah berhasil meloloskan diri dan menyusul ke sini? Siapakah yang telah menolong mereka?
Memang sesungguhnyalah, tanpa pertolongan dari luar, biarpun empat orang itu merupakan orang-orang muda yang berilmu tinggi tidak mungkin mereka akan dapat lolos dari dalam sumur itu.
Dan pertolongan ini memang datang dari orang yang sama sekali tidak pernah mereka duga dan harapkan. Yang menolong mereka adalah Sian Ti Sengjin bekas tosu tokoh Kun-lun-pai!
Telah terjadi perang besar dalam batin Sian Ti Sengjin semenjak kakek ini mendapat kenyataan bahwa sutenya, Lian Ci Sengjin benar-benar telah melakukan perbuatan keji dan terkutuk, yaitu memperkosa Tan Hun bwee. Semenjak dia tahu akan hal itu, mulailah timbul rasa penyesalan besar di hatinya. Barulah dia sadar betapa jauh dia menyeleweng dari pada jalan benar dan betapa dia telah membela sutenya yang ternyata telah menjadi hamba nafsu yang jahat. Mulailah dia teringat akan gemblengan batin yang telah puluhan tahun dia pelajari dan latih.
Kalau tadinya dia masih mempertahankan keadaannya dan diam saja adalah karena dia mengharapkan sutenya akan insyaf. Maka dia membujuk-bujuk sutenya agar mereka berdua kembali saja ke Phu-niu-san karena dia tahu bahwa dia telah terjerumus makin dalam dengan menggabungkan diri dengan orang-orang golongan sesat. Namun sutenya selalu menolak dan akhirnya dia menerima pukulan batin terhebat ketika menyaksikan sutenya tewas dengan tubuh hancur lebur oleh Hun Bwee. Timbul penyesalan besar dan dia mulai memikirkan cara untuk menebus dosa-dosanya.
Demikianlah, begitu Cui Im memimpin rombongan untuk menyerbu ke puncak Tai-hang-san, dia mencari alasan untuk tinggal menjaga di dalam benteng. Kemudian, tidak lama setelah rombongan berangkat, Sian Ti Sengjin cepat memasuki kamar Cui Im, membongkar barang-barang wanita itu dan berhasil mengumpulkan barang-barang pusaka yang dirampas oleh Cui Im dari tangan Keng Hong, yaitu benda-benda pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Setelah itu, dia cepat mencari tambang, membuka lantai kamar tahanan yang kini menjadi sumur tertutup dan menurunkan tambang itu kebawah.
Keng Hong dan tiga orang temannya terkejut melihat betapa ada sinar terang dari atas menyorot ke bawah, dan ternyata bahwa penutup sumur itu terbuka. Makin heranlah hati mereka ketika melihat dari bawah betapa Sian Ti Sengjin menurunkan sehelai tali tambang ke dalam sumur.
"Thian Yang Maha Adil!" Keng Hong berbisik. "Kiranya Thian akhirnya menggerakkan hatinya untuk menyadari kesesatannya. Biarlah aku yang naik lebih dulu, siapa tahu ini merupakan jebakan pula."
Cepat pemuda ini lalu menyambar tali dan merayap naik sambil menggigit Siang-bhok-kiam untuk bersiap-siap kalau di atas ada bahaya menantinya. Akan tetapi setelah tiba di atas dan meloncat ke lantai, dia melihat Sian Ti Sengjin memandangnya dengan wajah pucat dan bekas tosu yang amat dikenalnya sejak dia menjadi kacung di Kun-lun-pai ini berbisik,
"Keng Hong, lekas suruh teman-temanmu naik!"
Bukan main girangnya hati Keng Hong. Ia menjenguk ke dalam sumur dan berkata,
"Naiklah semua!"
Tiga orag muda yang menanti dengan hati penuh ketegangan di dalam sumur itu pun menjadi girang sekali dan mereka cepat merayap naik melalui tali. Setelah tiba di atas, Keng Hong menjatuhkan diri berlutut di depan bekas tosu itu dan berkata,
"Sian Ti Totiang, terimalah ucapan terima kasih kami."
Sian Ti Sengjin cepat membangunkan Keng Hong dan menarik napas panjang.
"Jangan begitu, engkau membikin aku malu saja, Keng Hong. Terimalah ini, bukankah ini benda-benda pusaka yang dirampas Cui Im?"
Keng Hong makin girang melihat bahwa semua benda pusaka peninggalan gurunya, yaitu sebatang pedang Hoa-san-pai, sebuah kitab dari Go-bi-pai, dan kitab-kitab tulisan Sin-jiu Kiam-ong sendiri, sabuk sutera dan senjata-senjata rahasia Biauw Eng berupa bola-bola putih berduri dan tusuk konde bwee, pedang milik Yan Cu, dan sepasang Im-yang-pit milik Cong San, semua telah berada dalam buntalan yang dibawa tosu itu.
Ketika dia hendak berlutut kembali, dengan terharu Sian ti Sengjin memegang kedua pundaknya dan berkata,
"Tak usah berterima kasih karena kalian telah menjadi pendorong pinto, menyesali diri dan bertobat. Sekarang kalian cepat mengejar mereka yang menyerbu ke puncak Tai-hang-san untuk membasmi mereka yang sedang mengadakan pertemuan di sana. Pinto sendiri akan pergi mencari bala bantuan pasukan pemerintah di Tai-goan!"
Setelah berkata demikian, bekas tosu Kun-lun-pai yang telah insyaf itu lalu berlari keluar dengan cepat.
Keng Hong tidak membuang waktu lagi. Dia menyimpan benda-benda pusaka itu, kemudian bersama Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu dia lari keluar. Dengan mudah saja mereka berempat merobohkan para penjaga yang mencoba menghalangi mereka dan dengan berlari cepat mereka menuju ke puncak Tai-hang-san.
Demikianlah, mereka berempat dapat datang tepat pada saat Kiang Tojin dan Pak-san Kwi-ong menyelesaikan pertandingan mereka yang mengakibatkan mereka keduanya terluka. Keng Hong dan Biauw Eng yang lari di depan dapat mendengar tantangan Cui Im, maka mereka berdua segera menyambut tantangan itu. Kini dua pasang orang sakti yang bermusuhan itu memandang dengan mata bersinar-sinar, sebaliknya Cui Im dan Pat-jiu Sian-ong memandang dengan kaget sekali.
Kiang Tojin yang sedang bersamadhi untuk memulihkan tenaga dan mengobati lukanya, membuka mata dan tersenyum lemah.
"Thian selalu berfihak kepada yang benar, siancai... siancai...! Ang-kiam Bu-tek, karena di fihak kami telah datang tenaga-tenaga baru, maka pinto menunjuk Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng untuk menjadi jaog-jago kami yang ke dua dan ke tiga!"
"Heh-heh-heh, beginikah sikap tokoh-tokoh yang menamakan dirinya golongan bersih? Tidak dapat dipegang janjinya! Bukankah tadi kau mengajukan Thian Kek Hwesio dan seorang di antara Hoa-san Siang-sin-kiam sebagai jago? Di mana letak kegagahanmu, Kiang Tojin?" Cui Im tertawa mengejek.
"Cui Im!" Keng Hong membentak marah. "Orang macam engkau masih mau bicara tentang kegagahan dan pemenuhan janji? Berapa kali sudah engkau menipuku? Kalau engkau tidak mau menghadapiku sebagai wakil yang diajukan oleh Kun-lun-pai, tetap saja engkau harus kuhadapi sekarang juga untuk menebus semua kejahatan dan kecuranganmu!"
"Dan engkau pun harus menebus kecuranganmu ketika menjebak kami, Pat-jiu Sian-ong!"
Bentak pula Biauw Eng yang sudah siap dengan sabuk suteranya seperti Keng Hong yang sudah mempersiapkan Siang-bhok-kiam untuk menghadapi lawan.
Pat-jiu Sian-ong menggerak-gerakkan kebutannya dengan lagak seorang dewa lalu berkata halus,
"Binatang kerbau diikat hidungnya, akan manusia diikat kata-kata yang keluar dari mulutnya. Kiang Tojin seorang manusia atau seekor kerbau? Jangan dikira bahwa aku jerih menghadapi seorang bocah seperti puteri Lam-hai Sin-ni, hanya hatiku belum puas kalau belum memaki Kiang Tojin."
Pak-san Kwi-ong juga sudah melompat bangun, menyeringai menahan rasa nyeri dan sesak di dadanya, lalu menuding ke arah Kiang Tojin sambil berkata,
"Kiang Tojin, di antara kita masih belum ada yang kalah atau menang. Marilah kita lanjutkan pertandingan untuk menentukan siapa yang lebih unggul, kalau engkau berani!"
Kiang Tojin menghela napas panjang.
"Siancai...!" Pinto bukan seorang yang takut menghadapi kematian, Kwi-ong, Marilah!" Ia pun bangkit dengan cepat akan tetapi agak terhuyung.
Sekali pandang saja maklumlah Keng Hong bahwa Pak-san Kwi-ong telah terluka hebat di dalam dadanya, akan tetapi Kiang Tojin juga telah terluka parah, maka dia cepat bernyanyi,
"Tiga puluh buah ruji berpusat pada poros roda di tempat yang kosonglah terletak kegunaannya! Dengan tanah liat membuat mangkok bundar Di tempat yang kosonglah terletak kegunaannya! Membobol pintu jendela pada sebuah rumah Di tempat yang kosonglah terletak kegunaannya! Yang ada hanya sebagai pegangan Yang kosong itulah yang berguna!"
Sajak yang dinyanyikan Keng Hong itu adalah ayat-ayat dalam kitab To-tik-keng yang menggambarkan keadaan To dan sifat-sifatnya. Dilihat kosong namun justeru yang kosong itulah yang menciptakan kegunaannya. Akan tetapi tentu saja Keng Hong mempunyai maksud tertentu dengan nyanyian ini yang dia harapkan akan ditangkap maknanya oleh Kiang Tojin.
Cui Im adalah seorang yang cerdik, akan tetapi dia tidak mengenal ayat-ayat seperti itu. Ia khawatir kalau-kalau Keng Hong membantu dengan nyanyian yang tak dimengertinya itu, maka sambil melengking keras ia sudah menerjang Keng Hong dengan pedang merahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar