*

*

Ads

FB

Selasa, 30 Agustus 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 161

"Ha-ha-ha-ha-ha-ha, Bhe Cui Im wanita cantik yang amat cedik. Murid Sin-jiu Kiam-ong ini amat gagah dan tampan, demikian pula murid ketua Siauw-lim-pai. Aku tahu mengapa engkau merasa sayang untuk membunuh mereka sekarang, ha-ha-ha!"

Cui Im juga terkekeh genit dan memainkan biji matanya ke arah kakek kecil kate berkepala besar yang memegang kebutan hudtim itu.

"Ihhh! Bukankah sudah kukatakan bahwa bagiku, tua atau muda, tampan atau buruk, tidak ada bedanya? Aku sudah berjanji kalau kalian membantu dan kita berhasil, aku akan melayanimu sampai kau tidak kuat bangun kembali! Aku menawan Keng Hong karena ada persoalan penting mengenai ilmu silat antara dia dan aku....."

"Cui Im, kalau kau hendak mempelajari Thi-khi-i-beng, engkau harus mati dulu!" Keng Hong mengejek.

Akan tetapi Cui Im tidak mempedulikannya dan melanjutkan :
"Adapun murid ketua Siauw-lim-pai ini, bukankah dapat kita pergunakan sebagai perisai kalau menghadapi ketua partai itu? Tiong Pek Hosiang si tua bangka itu lihai sekali, dan siapa tahu dia akan hadir pula. Mengertikah engkau sekarang, Pat-jiu Sian-ong?"

Kakek kecil kate berkepala besar itu tertawa dan mengangguk-angguk, mengebut-ngebutkan hudtimnya dengan lagak seorang dewa atau seorang pertapa sakti sambil berkata perlahan,

"Kasihan..... kasihan..... orang-orang muda yang tak tahu diri, berani lancang menentang Ang-kiam Bu-tek..... hem.....!" Ia lalu melambaikan kebutannya dan terdengar suara bersuit nyaring.

Keng Hong yang masih rebah menahan napas dan diam-diam dia merasa bersyukur bahwa dia tadi awas sehingga tidak semberono karena dia sudah menduga bahwa Cui Im kalau sudah berani menyergapnya tentulah mempunyai andalan. Kiranya di samping teman-teman yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu, di sekitar tempat itu sudah terkurung dan kini muncullah puluhan orang anak buah Pat-jiu Sian-ong dipimpin oleh dua orang kakek kembar yang bukan lain adalah Thian-te Siang-to, murid Pat-jiu Sian-ong.

Beramai-ramai lima orang muda yang menjadi tawanan itu di giring ke tempat tinggal atau sarang Pat-jiu Sian-ong, yaitu di dekat tembok besar di sebelah utara puncak Tai-hang-san. Di bagian ini, tembok besar yang amat panjang itu melalui lereng-lereng gunung dan di dekat tembok di lereng Gunung Tai-hang-san sebelah utara inilah dijadikan sarang oleh pat-jiu Sian-ong, di mana dibangun sebuah benteng yang cukup kuat.

Perjalanan itu melalui lereng-lereng gunung dan hutan-hutan liar, memakan waktu beberapa hari. Para tawanan di jaga ketat dan sungguhpun mereka itu diberi waktu makan dan istirahat, namun mereka tidak mendapat kesempatan untuk saling bicara. Bahkan di waktu rombongan berhenti bermalam, lima orang muda itu dipisahkan.

Betapapun juga, hati Keng Hong dan teman-temannya merasa lega bahwa mereka tidak pernah menerima gangguan. Agaknya Cui Im memang melarang mereka diganggu.

Keng Hong diam-diam merasa gelisah. Bagi dia sendiri, dia tidak usah merasa takut karena kalau dia menghendaki, mudah saja baginya untuk membebaskan diri. Ketika dia dibelenggu oleh Biuaw Eng dan ditotok tiga kalipun, kalau dia menghendaki, mudah saja baginya untuk bebas.

Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal ini, pertama karena dia ingin menguji Biauw Eng untuk penghabisan kali, kedua karena keadaan musuh yang amat kuat sehingga kalau dia berlaku nekat, tentu teman-temannya terancam bahaya.






Diantara mereka berlima, yang boleh diandalkan kepandaiannya hanya Biauw Eng. Mungkin Hun Bwee juga memiliki kepandaian luar biasa, akan tetapi wanita yang terganggu jiwanya itu sama sekali tidak boleh diandalkan. Cong San dan Yan Cu memang memiliki kepandaian yang cukup tinggi, akan tetapi menghadapi tokoh-tokoh seperti Bhe Cui Im dan Pat-jiu Sian-ong, mereka itu masih terlalu lemah. Apalagi menghadapi Cui Im! Agaknya harus dia sendiri yang maju, baru wanita keji itu akan dapat ditundukkan.

Malam keempat rombongn itu beristirahat di sebuah kuil kosong tua yang berada di sebuah lereng gunung. Lima orang tawanan itu dipisahkan dan dijaga ketat. Bahkan Keng Hong yang masih terbelit-belit sabuk kulit hitam itu direbahkan di sebuah kamar kuil tua dan dijaga sendiri oleh Cui Im! Selosin orang anak buah pat-jiu Sian-ong dengan golok terhunus masih menjaga di luar kamar, berdiri seperti patung.

"Uuuhhhh, pegal-pegal semua tubuhku. Cui Im, maukah engkau membantuku agar aku dapat duduk bersandar tembok?" Keng Hong berkata.

Cui Im yang duduk di sudut kamar itu mengangkat muka memandang penuh kecurigaan, kemudian tagannya menggapai seorang penjaga. Penjaga itu masuk dan Cui Im berkata,

"Bantu dia duduk bersandar tembok."

Penjaga itu menghampiri Keng Hong dan dengan gerakan kasar menyeret pemuda itu ke dekat dinding lalu menjambak rambutnya dan menariknya sehingga terduduk. Setelah mendengus, penjaga itu pergi lagi berjaga dengan teman-temannya di luar kamar.

Keng Hong tersenyum,
"Aahhhh, terima kasih. Begini lebih enak, aku dapat duduk dan memandang wajahmu. Eh, Cui Im. Lama tidak berjumpa, sekarang engkau makin cantik saja dan tubuhmu..... hemmm..... makin padat dan montok menggairahkan!"

wanita yang duduk di sudut lain itu mengangkat muka dan memindahkan pandang matanya dari pedang Siang-bhok-kiam yang dipegangnya itu ke arah muka Keng Hong. Ia melihat betapa pandang mata pemuda itu menjalari seluruh tubuhnya. Ada getaran aneh terasa oleh Cui Im, seolah-olah bukan pandang mata melainkan jari-jari tangan pemuda itu yang menggerayangi tubuhnya, membuat semua bulu di tubuhnya bangkit penuh gairah. Akan tetapi ia tersenyum mengejek.

"Keng Hong, sungguh tidak kunyana seperti ini pertemuan kita yang terakhir. Yang terakhir kataku, kau dengar? Karena kalau sekali ini engkau tidak mau menuruti keinginanku, yaitu mengajarkan Thi-khi-i-beng dan ilmu silat baru yang kau mainkan tempo hari, yang seperti gabungan dari Pat-kwa-kun dan Ngo-heng-kun itu, tentu kau akan kubunuh!"

Keng Hong tersenyum.
"Aku bukan orang bodoh, Cui Im, dan aku tahu menerima kekalahan. Sekali ini aku tidak berdaya, dan memang aku pun sudah melihat betapa bodohnya aku mencinta sorang seperti Biauw Eng yang tidak mempunyai cinta kasih dan tidak mengenal budi. Engkaulah wanita yang cocok untukku, Cui Im....."

"Ihhh! Tak perlu kau merayu. Kau kira aku percaya kepadamu?'

"Aku tidak merayu. Kalau kuingat betapa pertama kali mengenal wanita adalah denganmu! Engkaulah yang mengajarku tentang cinta, Cui Im, bagaimana mungkin aku dapat melupakanmu?"

"Bohong! Engkau selamanya mencinta Biauw Eng."

"Itu dulu! Sekarang tidak lagi karena kau melihat sendiri betapa dia menawanku dan hendak memaksaku mengawini gadis gila itu. Phuuuhhh! Lebih baik aku mati. Dan engkau yang begini denok.....? Hemmmm, Cui Im. Perkara belajar Thi-khi-i-beng atau Thai-kek Sin-kun, apa sih susahnya? Ke sinilah, manis. Sesungguhnya sudah bertahun-tahun aku menahan kerinduan hatiku kepadamu, membayangkan manisnya bibirmu....."

Cui Im tertawa mengejek, akan tetapi biarpun dia tidak percaya, tetap saja ia tertarik dan meloncat bangun, menghampiri Keng Hong, berlutut di dekat pemuda itu.

"Kau perayu yang canggung! Apa kau kira begitu mudah hendak merayuku dengan rayuan palsu itu? Hi-hi-hik, aku tidak percaya, Keng Hong."

"Cui Im........." Keng Hong berbisik, "Lupakah kau akan malam pertama itu, ketika engaku menawanku, sebelum muncul Biauw Eng? Engkau memberi minum arak merah....... dan kita........hemmmm....... betapa senangnya kita ketika itu......"

Jantung Cui Im berdegup keras. Dia bukan orang bodoh dan tentu saja dia tidak mau percaya akan ucapan Keng Hong itu. Akan tetapi memang pada dasar hatinya, wanita ini jatuh cinta kepada Keng Hong semenjak pertama kali bertemu dahulu. Karena cintanya inilah maka dahulu Cui Im membenci Biauw Eng dan berusaha merusak nama Biauw Eng di depan mata Keng Hong. Biarpun ia tahu bahwa pemuda ini tidak membalas cintanya dan bahwa kini membujuk rayu dengan palsu, tidak urung jantungnya berdebar dan nafsu gairahnya timbul.

"Aku..... aku tidak percaya...... hendak kubuktikan....."

Karena tahu bahwa Keng Hong terbelenggu tak mampu bergerak sehingga tidak membahayakan, Cui Im mendekatkan mukanya, merangkul leher dan mencium bibir pemuda yang sebetulnya masih ia harapkan cinta kasihnya ini. Ia hendak menguji dan betapa gembira hatinya ketika merasa bahwa Keng Hong membalas ciumannya!

Begitu gembira hati Cui Im sehingga ia lupa segala dan segera tubuhnya lemas karena sebelum ia sadar akan apa yang terjadi, tengkuknya sudah ditotok Keng Hong sehingga ia roboh pingsan dalam keadaan masih merangkul pemuda itu! Memang Keng Hong sebetulnya tidaklah dikuasai oleh belenggu sabuk kulit yang melibat-libat tubuhnya. Kalau dia kehendaki, dalam sekejap mata saja dia mampu meloloskan diri.

Dari balik pundak Cui Im, Keng Hong melihat pungung dua belas orang penjaga membelakangi kamar itu. Cepat dia merebahkan tubuh Cui Im yang masih pingsan, meniup padam lilin dan tubuhnya berkelebat ke arah pintu.

Dengan kepandaiannya yang hebat, ginkangnya yang luar biasa, Keng Hong berkelebat cepat. Dua belas orang penjaga itu masih berdiri di tempat masing-masing, akan tetapi sesungguhnya mereka itu berdiri secara tidak wajar lagi karena tubuh mereka menjadi kaku. Mereka hanya melihat bayangan berkelebat cepat, tak tahu bayangan apa itu.

Keng Hong terkejut sekali ketika melihat betapa empat orang kawannya itu terpisah-pisah dan terjaga amat kuatnya. Tidak mungkin dia dapat membebaskan mereka semua tanpa diketahui penjaga dan sekali mereka tahu, tentu dia dan kawan-kawannya akan dikurung.

Dia tidak menghendaki hal ini terjadi karena tentu fihaknya akan jatuh korban, mengingat banyaknya jumlah lawan dan banyaknya pula orang-orang pandai di fihak lawan. Betapapun juga, dia harus membebaskan Biauw Eng! Maka dia cepat menghampiri kamar di mana Biauw Eng ditahan dan melihat bahwa kekasihnya ini dijaga oleh Thian-te Siang-to, sepasang kakek kembar murid Pat-jiu Sian-ong bersama selosin anak buah mereka.

Keng Hong tidak mau membuang waktu lagi. Dua buah kerikil di tangannya disambitkan ke dalam kamar dan padamlah dua buah lilin di atas lantai kamar itu. Selagi sepasang kakek kembar itu berteriak dan sibuk memasang api, tubuh Keng Hong sudah berkelebat cepat dan seperti halnya selosin penjaga di depan kamar dimana dia ditawan, kini selosin orang penjaga di situpun menjadi kaku oleh totokannya yang cepat dan tepat. Ia lalu menyerbu ke dalam.

Thian-te Siang-to adalah murid-murid Pat-jiu Sian-ong yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi. tadinya mereka masih tidak mengira bahwa padamnya lilin-lilin itu adalah karena perbuatan musuh, akan tetapi begitu mendengar sambaran angin dari luar pintu, keduanya meloncat sambil mencabut golok dan menerjang ke arah pintu.

Keng Hong melanjutkan loncatannya, akan tetapi menukik ke bawah. Du buah golok itu menyambar di atas tubuhnya ketika dia menubruk dua pasang kaki Thian-te Siang-to yang berteriak kaget, akan tetapi segera tubuh mereka lemas karena Keng Hong cepat menotok mereka.

Biauw Eng tengah bersandar dinding dengan kedua lengan dibelenggu ke belakang. Tiba-tiba ia melihat lilin padam dan mendengar suara ribut-ribut, maka ia cepat meloncat bangun.

"Biauw Eng, lekas kau lari! Biar aku melindungimu dari pengejaran!"

Bisik Keng Hong sambil merengut putus tali yang membelenggu kedua tangan Biauw Eng.

"Bagus...... mari kita bebaskan yang lain......!" Biauw Eng berbisik kembali.

"Sttt..... jangan! kau larilah dulu, biar aku yang akan membebaskan mereka. Engkau harus selamat dulu, Biauw Eng."

"Apa? Tidak! Aku tidak mau bebas sendiri tanpa engkau dan mereka!"

"Ah, berbahaya..... mereka amat kuat. Engkau pergilah dulu......."

"Tidak, Keng Hong. Aku tidak mau berpisah lagi denganmu!"

Suara Biauw Eng terdengar tegas sehingga Keng Hong menjadi bingung. Dia maklum bahwa amatlah sukar untuk membebaskan mereka sekaligus dan dia baru akan merasa lega dan tenang kalau Biauw Eng sudah selamat. Bagi dia sendiri, tidak khawatirlah dia. Akan tetapi kalau mereka semua lari, tentu akan sukar sekali. Betapapun juga, dia sudah mengenal Biauw Eng dan dipaksa pun akan sia-sia saja.

"Baiklah, mari!" Mereka lalu berkelebat pergi dari kamar itu untuk membebaskan tiga orang kawan mereka.

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: