*

*

Ads

FB

Minggu, 28 Agustus 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 160

"Kau bohong!" Hun Bwee menjerit. "Yang memperkosaku adalah Cia Keng Hong! Tidak ada orang lain!"

Sambil berkata demikian, Hun Bwee melengking nyaring dan pedangnya sudah menerjang Cong San. Pemuda ini terkejut menyaksikan gulungan sinar hitam yang amat cepat itu. Cepat dia meloncat jauh ke belakang. Ketika Hun Bwee mengejarnya, Cong San sudah mengeluarkan senjatanya, sepasang Im-yang-pit dan bertandinglah mereka dengan seru.

“Sumoi, kenapa kau tidak mentaati permintaanku?" Keng Hong menegur Yan Cu.

Gadis itu tersenyum dan berkata,
"Suheng, mana mungkin aku harus berpangku tangan saja sedangkan engaku terjatuh ke tangan dua orang wanita yang menderita penyakit jiwa? Tan Hun Bwee ternyata gila karena peristiwa pemerkosaan yang bukan kau lakukan, sedangkan Enci Biauw Eng ini juga gila karena melawan perasaan hati sendiri!"

"Hentikanlah.....! Hentikanlah.....!"

Berkali-kali Keng Hong berteriak keras, namun sia-sia saja. Empat orang itu bertanding makin seru dan mati-matian. Keng Hong maklum bahwa baik Cong San maupun Yan Cu tidak akan menang melawan Biauw Eng dan Hun Bwee yang amat lihai dan yang memiliki ilmu silat amat aneh itu. Dia bersikap untuk mencegah jatuhnya korban dalam pertandingan yang tak dikehendakinya itu, akan tetapi tiba-tiba Keng Hong berubah ketika dia melihat berkelebatnya bayangan beberapa orang yang gerakannya cepat sekali.

Memang benar wawasan Keng Hong. Yap Cong San terdesak hebat oleh gulungan sinar hitam dari pedang di tangan Hun Bwee. Pemuda murid ketua Siauw-lim-pai ini merasa heran dan terkejut sekali menyaksikan permainan pedang yang luar biasa anehnya, apalagi ketika Hun Bwee mulai terkekeh-kekeh dalam penyerangannya, membacok dengan pungung pedang, kadang-kadang malah memukulnya dengan gagang pedang, dan lebih gila lagi, ujung pedang yang runcing itu beberapa kali mengancam leher gadis itu sendiri!

Justeru penyerangan-penyerangan aneh inilah yang beberapa kali hampir saja memcelakan Cong San. Akhirnya pemuda Siauw-lim-pai ini maklum bahwa ilmu pedang lawannya kukoai (janggal) dan amat berbahaya, maka dia lalu bersilat dengan tenang dan mencurahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk melindungi tubuhnya.

Ilmu silat Siauw-lim-pai amat terkenal dalam gaya pembelaan diri sehingga keadaan Cong San seumpama batu karang yang kokoh kuat dapat menahan segala gempuran ombak membadai dari serangan-serangan aneh Hun Bwee.

Yang payah keadaannya adalah Yan Cu. Tingkat kepandaiannya kalah jauh kalau dibandingkan dengan Biauw Eng yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi daripada tingkat Hun Bwee. Untung bahwa Biauw Eng bukanlah seorang yang berwatak keji.

Tadi memang ia merasa cemburu kepada gadis ini. Siapa yang tidak akan cemburu melihat gadis ini demikian cantik jelita sehingga dia sendiri pun sebagai wanita merasa tertarik, apalagi Keng Hong seorang pemuda yang mudah kagum akan keindahan wajah dan tubuh wanita?






Akan tetapi setelah mendengar ucapan-ucapan Yan Cu ketika hendak pergi, ia maklum bahwa gadis ini memiliki watak yang mulia dan jujur sehingga kini dia tidak tega untuk membunuhnya. Kalau Biauw Eng ingin membunuhnya, agaknya pertandingan di antara mereka tidak akan berlangsung terlalu lama. Akan tetapi, untuk merobohkan Yan Cu tanpa melukai berat, bukanlah hal yang mudah karena tingkat ilmu silat yang dimiliki Yan Cu sudah cukup tinggi, apalagi dia mempergunakan sebatang pedang pusaka yang ampuh!

Mengapa wajah Keng Hong berubah ketika dia melihat bayangan-bayangan berkelebat? Ternyata bayangan-bayangan yang kini telah berada di tempat itu bukan lain adalah Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, Pat-jiu Sian-ong, Lian Ci Seng-jin, Kiam-to Lai Ban dan Thian It Tosu!

Melihat munculnya orang-orang ini, Cong San terkejut bukan main. Ia meloncat ke belakang dan berteriak berkali-kali,

"Tahan.....!"

Akan tetapi seorang yang sudah kacau pikirannya seperti Hun Bwee itu mana mau berhenti.

"Jai-hwa-cat!"

Ia memaki dan menerjang terus, mendesak dengan pedang hitamnya. Tentu saja Cong San kembali menggerakan Im-yang-pit dengan marah karena dia ikut-ikutan dimaki penjahat cabul oleh wanita gila yang agaknya amat membenci penjahat-penjahat cabul dan menganggap semua laki-laki yang menjadi musuhnya sebagai penjahat cabul! Kembali mereka bertanding dengan seru.

Adapun Biauw Eng yang mengenal Cui Im, kaget sekali dan juga marah. Akan tetapi Yan Cu yang sudah marah itu kini melihat keraguan Biauw Eng, malah mendesak dengan pedangnya! Pertandingan yang seru itu membuat empat orang ini celaka sendiri.

Sambil tertawa-tawa Cui Im bergerak ke depan dan di lain saat Biauw Eng dan Yan Cu sudah roboh ditotok oleh Cui Im yang amat lihai. Kalau saja Biauw Eng tidak sedang didesak Yan Cu, agaknya tidaklah akan mudah begitu saja bagi Cui Im untuk merobohkannya. Adapun Cong San dan Hun Bwee juga roboh oleh totokan Pat-jiu Sian-ong yang dibantu oleh Thian It Tosu.

"Hi-hi-hi-hi-hik! Kiranya si tampan ini sudah lebih dulu roboh oleh dara-dara manis ini!"

Cui Im terkekeh-kekeh girang sambil menudingkan telunjuknya kepada Keng Hong yang masih rebah dengan tubuh terbelit-belit sabuk kulit hitam, sama sekali tidak mampu bergerak.

"Nah itulah dia!" Tiba-tiba Cong San yang tertotok lumpuh itu berseru, matanya memandang ke arah Lian-Ci Sengjin. "Perempuan gila Tan Hun Bwee, engkau menuduh Keng Hong! Hemmm, dia itulah laki-laki yang telah memperkosamu! Lihat baik-baik, apakah engkau tidak ingat lagi?"

Mendengar ucapan ini, Biauw Eng, Hun Bwee dan juga Yan Cu mengikuti pandang mata pemuda itu, semua memandang kepada Lian Ci Sengjin yang berdiri dengan muka pucat.

Cui Im menengok ke arah Lian Ci Sengjin yang terbelalak pucat memandang ke arah wanita baju merah. Kemudian Cui Im tertawa terkekeh-kekeh,

"Heh-heh-hi-hi-hik! Lian Ci Sengjin, seleramu boleh juga! Memang dia itu cukup denok montok dan cantik! jangan khawatir, dia kini sudah tertawan dan engkau boleh memiliki dia sepuas hatimu, hi-hi-hik! Tidak perlu memperkosa lagi!"

Akan tetapi Lian Ci Sengjin tidak segembira yang disangka Cui Im. Sebaliknya dia berdiri terbelalak dengan muka pucat dan sikap penuh kengerian karena pada saat itu Hun Bwee memandangnya dengan mata yang liar.

"Kau.....! kau.....! kau..... tosu yang menawanku..... kiranya engkau.....! Ya benar...... demi Tuhan......! Engkaulah orangnya! Terkutuk.....!" Gadis ini mengeluarkan lengking mengerikan dan roboh pingsan!

“Cringggg.....!" Pedang itu terpental dan kiranya Sian Ti Sengjin, suhengnya sendiri yang menangkisnya. "Sute! Apa yang kau lakukan? Sudah memperkosa malah hendak membunuhnya? Sampai begini gelapkah pikiranmu?"

Bentak kakek itu dan Lian Ci Sengjin hanya menunduk, mukanya merah sekali karena malu mendengar suara ketawa Cui Im yang mengejeknya. Dia jatuh cinta kepada Cui Im yang pernah hampir menjadi isterinya. Kini rahasianya terbuka, bagaimana dia tidak merasa malu sekali? Akan tetapi Cui Im pada saat itu tidak mempedulikannya.

Wajahnya berseri ketika ia mengambil pedang pusaka Hoa-san-pai dari atas tanah, pedang yang tadi dipakai Yan Cu, kemudian merenggut lepas perhiasan-perhiasan yang dipakai Hun Bwee. Bahkan setelah melakukan penggeledahan, ia menemukan sisa-sisa pusakanya dari sebelah dalam baju Yan Cu. Akan tetapi keningnya berkerut ketika ia tidak dapat menemukan dua buah kitab Siauw-lim-pai.

Cong San, Yan Cu, Biauw Eng dan Hun Bwee kini pun dibelenggu dengan kedua lengan di belakang. Hun Bwee sudah sadar kembali, akan tetapi dia menjadi pendiam sehingga Biauw Eng sendiri sukar untuk menentukan apakah sucinya itu sedang kumat ataukah tidak. Gadis baju merah itu banyak menundukkan muka, dan apabila sekali-kali mengangkat muka, ia memandang ke arah Lian Ci Sengjin dengan sinar mata seolah-olah hendak membakar bekas tokoh Kun-lun-pai itu.

Biauw Eng memandang ke arah Keng Hong yang berbeda dengan mereka berempat yang biarpun dibelenggu dapat berdiri, sebaliknya Keng Hong rebah karena seluruh tubuhnya dibelit-belit sabuk dengan amat kuat dan tubuhnya sudah lumpuh terkena totokannya pula. Ketika Biauw Eng memandang, Keng Hong juga sedang memandang kepadanya. Biauw Eng menahan tangis , akan tetapi tetap saja matanya menjadi merah sekali dan membasah. Mulutnya berbisik penuh penyesalan.

"Maafkan aku yang telah menjatuhkan fitnah padamu....."

Keng Hong tersenyum, menggerakan kepala mengangguk-angguk, pandang matanya penuh dengan pengampunan, kesabaran dan kasih sayang. Yan Cu yang dibelenggu pula dan berdiri di dekat Biauw Eng, dapat mendengar bisikan Biauw Eng itu. Hatinya menjadi panas dan ia segera berseru nyaring,

"Dasar engkau yang berhati kejam, Sie Biauw Eng! Kalau saja engkau tidak menawan suheng, tak nanti monyet-monyet ini dapat merobohkan kita! Sekarang, kita semua telah tertawan musuh karena kebodohanmu, menangis lagi perlu apa?"

Biauw Eng menoleh kepada Yan Cu dan menundukkan muka, berkata,
"Engkau tidak tahu betapa hatiku telah tersayat-sayat, betapa segala kepahitan telah kurasakan sebagai akibat cinta kasihku kepadanya....."

Yan Cu tercengang dan hatinya terharu melihat Biauw Eng yang terbelenggu itu perlahan-lahan menghampiri Keng Hong, berlutut, kemudian dengan gerakan kaku karena kedua lengannya dibelenggu ke belakang tubuh, ia membungkuk dan mencium Keng Hong!

Bukan main kekasihnya ini! Keng Hong hampir menangis saking terharunya. Dahulu, dengan suara lantang Biauw Eng tidak ragu-ragu untuk mengaku cintanya di depan banyak tokoh kang-ouw di puncak Kun-lun-san. Sekarang, untuk menyatakan penyesalan dan cinta kasihnya, di depan begitu banyak orang, Biauw Eng dengan gerakan wajar dan tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi menciumnya! Ingin dia membisikan sesuatu, namun karena dia melihat betapa Cui Im memandang ke arah mereka penuh perhatian dengan senyum mengejek, dia tidak jadi berkata apa-apa, hanya memandang Biauw Eng dengan sinar mata penuh kasih sayang dan penuh keyakinan agar kekasihnya itu tidak usah khawatir.

"Aku rela dan siap mati bersamamu, Keng Hong." Biauw Eng berbisik ketika ia menangkap isyarat pandang mata Keng Hong.

Cui Im menghampiri mereka, sejenak memandang tajam kepada Keng Hong lalu berkata,

"Keng Hong, dimana kitab yang dua buah lagi? kitab-kitab Siauw-lim-pai?"

Keng Hong tersenyum mengejek.
"Cui Im, engkau takkan dapat menemukan kedua buah kitab itu. Sampai mati pun takkan mungkin dapat kau temukan!"

Cui Im menggerakan tangan dan pedang merahnya sudah tercabut, ujungnya yang runcing menodong muka Keng Hong, hanya beberapa senti di depan mata pemuda itu,

"Keng Hong, engkau boleh jadi seorang laki-laki yang keras hati dan keras kepala, yang tak mengenal takut akan tetapi kalau tidak kau jawab pertanyaanku, hemmmm..... hendak kulihat bagaimana sikapmu kalau pedangku ini mencongkel keluar biji matamu!"

“Ang-kiam Bu-tek, hanya seorang pengecut besar yang mengancam orang yang sudah tidak berdaya. Ha-ha-ha, ingin sekali aku melihat apakah sikapmu masih seperti itu gagahnya mengancam Cia-taihiap kalau dia tidak terbelenggu. Dengarlah , kitab I-kiong-hoat-hiat dan kitab Seng-to-cin-keng oleh Cia-taihiap telah dikembalikan kepadaku dan telah kuserahkan ke tangan suhu. Kalau kau masih menginginkannya, coba saja engkau ambil dari tangan suhu Tiong Pek Ho-siang. Jelas engkau tidak berani, bukan? Ha-ha-ha!"

"Desss!"

Tubuh Cong San terbanting roboh karena pukulan Lian Ci Sengjin yang mengenai punggungnya ini keras sekali. Cong San yang dipukul dari belakang ini menggulingkan tubuhnya dan meloncat bangun kembali sambil tersenyum mengejek. Kiranya Lian Ci Sengjin yang amat marah kepadanya karena pemuda murid Siauw-lim-pai ini yang tadi membuka rahasianya, menjadi marah mendengar pemuda ini mengejel Cui Im.

"Biar kubunuh saja bedebah ini!"

Bentak Lian Ci Sengjin, makin penasaran melihat betapa pukulannya yang keras tadi ternyata tidak dapat membunuh pemuda itu. Akan tetapi Cui Im sambil tersenyum mengangkat tangannya.

"Jangan bodoh, Sengjin! Dia ini murid tersayang ketua Siauw-lim-pai, merupakan tawanan penting. Juga Keng Hong tidak boleh dibunuh, aku masih amat membutuhkannya saat ini! Kita bawa saja mereka berlima ini ke tempat Pat-jiu Sian-ong dan baru di sana kita memutuskan apa yang harus kita lakukan kepada lima orang ini."

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: