*

*

Ads

FB

Kamis, 25 Agustus 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 149

Ia menghibur dan akhirnya Hun Bwee yang kadang-kadang menangis kadang-kadang tertawa itu dapat tidur pulas di dalam perahu. Biauw Eng melanjutkan perjalanan itu, mendayung kembali perahu itu perlahan-lahan. Wajahnya yang cantik itu kini kelihatan keruh, pandang matanya sayu dan muram. Batinnya makin tertekan dan kalau ia mengenangkan wajah Keng Hong! Tak mungkin ia melenyapkan cinta kasihnya itu yang bersemi semenjak pertama kali ia bertemu Keng Hong. Bahkan ketika ia mengira bahwa Keng Hong sudah mati sekalipun, bertahun-tahun ia menyembahyangi arwahnya dengan hati masih penuh cinta kasih!

Siapa mengira, Keng Hong telah menghancurkan hatinya, memandang rendah dan hina kepadanya ketika ia mencoba hati pemuda itu dengan mengatakan bahwa tubuhnya sudah dimiliki Sim Lai Sek. Ternyata bahwa cinta Keng Hong kepadanya tiada bedanya dengan cinta pemuda itu kepada perempuan-perempuan lain, kepada Cui Im umpamanya. hanya mencinta tubuhnya dan wajahnya yang cantik! Dan kini, ternyata Keng Hong bukan hanya mata keranjang seperti...... gurunya atau ayahnya sendiri, akan tetapi malah lebih jahat lagi, sudah memperkosa Hun Bwee!

"Aaahhhh..... Keng Hong, mengapa engkau menjadi begitu.....?" hatinya mengeluh dan hidup ini serasa kosong melompong baginya.

Betapa senangnya kalau ia menjadi air Sungai Huang-ho ini saja, tidak mengenal susah tidak mengenal kecewa! Akan tetapi, dia masih mempunyai kewajiban yaitu mencari Cui Im dan balas dendam atas kematian ibunya! Dia sudah berhasil membalas kepada Siauw Lek, tinggal Cui Im dan...... dan.... memaksa Keng Hong mempertanggung jawabkan perbuatannya terhadap Hun Bwee Ia percaya bahwa sucinya ini akan sembuh daripada serangan kegilaan itu kalau Keng Hong yang dicintanya itu suka menerimanya sebagai isteri.

Perahu yang didayung Biauw Eng meluncur cepat, akan tetapi lebih cepat lagi pikiran Biauw Eng yang hanyut mendahului perahu berlumba dengan riak air Sungai Huang-ho.

Ternyata peristiwa di tepi Sungai Huang-ho menyiksa Kim-lian jai-hwaong Siauw Lek itu mendatangkan pengaruh yang hebat atas jiwa Hun Bwee. Ketika masih belajar silat dibawah asuhan nenek gila Go-bi Thai-houw, Hun Bwee hanya pura-pura gila kalau berada diantara anak buah gurunya atau di depan gurunya, kalau sedang bicara berbisik-bisik di dalam kamar bersama Biauw Eng, dia waras.

Akan tetapi sekarang, setelah penyiksaan atas diri penjahat cabul itu, benar-benar Hun Bwee mengalami perubahan dan hal ini amat kentara oleh Biauw Eng. Di sepanjang jalan, Hun Bwee kadang-kadang merenung, tertawa atau menangis sendiri, akan tetapi ada kalanya pula dia sembuh dan normal. Kalau sedang normal Hun Bwee mudah diajak bicara dan memang dasar watak Hun Bwee peramah, halus dan cerdik. Akan tetapi kalau sudah kumat, Biauw Eng kewalahan dan satu-satunya cara adalah ikut menggila!

Setelah melewati Cin-an, Biauw Eng yang kini selalu menjadi pelopor, mengajak Hun Bwee melanjutkan perjalanan ke utara, ke arah kota raja. Dua orang wanita muda yang cantik ini tentu saja menarik perhatian orang, terutama mata kaum pria, di setiap tempat yang mereka lalui. Akan tetapi sikap mereka yang gagah perkasa, terutama sekali pandang mata Hu Bwee yang liar dan wajah Biauw Eng yang dingin, membuat hati pria yang terbakar menjadi padam kembali.

Hari telah menjelang tengah hari, matahari amat panasnya ketika dua orang gadis ini melalui jalan yang lengang. Tidak tampak seorang pun manusia di tengah hari yang panas di sekitar tempat itu. Akan tetapi selagi mereka berdua jalan cepat agar segera sampai di hutan yang tampak di depan di mana perjalanan dapat dilakukan dalam keadaan tidak begitu panas terbakar matahari, tiba-tiba ada derap kaki kuda dari belakang mereka.

Biauw Eng dan Hun Bwee berjalan minggir dan seorang penunggang kuda lewat. Penunggang kuda itu adalah seorang laki-laki setengah tua. Ketika kudanya lewat dia menengok dan sejenak pandang matanya bertemu dengan wajah Biauw Eg.






"Aihhh.....!"

Demikian terdengar penunggang kuda itu bersuara, akan tetapi kudanya dibedal makin cepat, meninggalkan debu mengebul di sepanjang jalan.

"Siapakah orang itu, Sumoi?"

Hun Bwee bertanya. Suaranya normal, hati Biauw Eng lega karena sudah tiga hari ini Hun Bwee tidak kumat gilanya! Kalau sudah kumat, ia merasa cemas dan bingung.

"Entahlah, Suci. Aku merasa seperti pernah melihatnya, akan tetapi lupa lagi di mana."

"Hemmm, dia mencurigakan. Ketika melihatmu, dia seperti melihat setan, kelihatan takut dan terkejut sekali."

Biauw Eng tersenyum.
"Mungkin dia seorang di antara mereka yang pernah mengalami hajaranku dahulu, Suci."

"Mungkin, akan tetapi betapapun juga, kita harus hati-hati, sumoi."

Biauw Eng mengangguk. hari itu tidak terjadi apa-apa. Mereka bermalam di sebuah rumah penginapan di dusun dekat perbatasan Propinsi Shan-tung dan Hopak. Pada keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan ke utara. Matahari belum naik tinggi ketika mereka tiba di perbatasan dan di sebuah jalan hutan yang sunyi Biauw Eng melihat empat orang kakek yang tua berdiri menghadang perjalanan!

Melihat bahwa mereka itu adalah tosu-tosu tua dan sikap mereka membayangkan kewibawaan, Biauw Eng maklum bahwa mereka bukan orang-orang sembarangan dan ia menduga-duga sambil meneliti dari jauh. Seorang di antara mereka, yang paling tua dan rambutnya yang jarang itu sudah putih semua, memegang sebatang tongkat bambu dan mata kirinya buta. Dia inilah agaknya yang menjadi pemimpin karena kelihatan dia menggerakan tangan kiri memberi isyarat kepada tiga orang kakek lain yang kelihatannya marah ketika mereka memandang Biauw Eng.

Biauw Eng dan Hun Bwee hendak melewati saja empat orang tosu tua itu, akan tetapi tiba-tiba tongkat bambu di tangan kakek setengah buta dilonjorkan ke depan dan merintangi jalan.

"Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng, tibalah saatnya orang berdosa menebus kedosaannya dan menerima hukuman. Engkau telah membunuh suteku termuda, Kok Cin-cu, dan sekarang engkau harus menyerahkan nyawamu kepada kami agar roh sute kami tidak selalu penasaran!"

Biauw Eng terkejut. Mendengar nama Kok Cin-cu disebut, ia dapat menduga siapa mereka ini. Terbayang di depan matanya peristiwa beberapa tahun yang lalu ketika ia membantu Keng Hong menghadapi orang-orang kong-thong-pai ini. karena Keng Hong terancam bahaya dia turun tangan membantu dan dalam pertandingan itu ia berhasil menotok Kok Cin-cu dengan sabuknya yang mengakibatkan tewasnya tosu itu. Kalau ia kenangkan hal itu ia merasa menyesal. Kok Cin-cu adalah tokoh Kong-thong-pai yang terkenal sebagai seorang di antara Kong-thong Ngo-lo-jin (Lima Kakek Kong-thong-pai) dan dia telah kesalahan tangan membunuhnya untuk membela seorang seperti Keng Hong! Sedangkan yang dibelanya akhirnya hanya menghancurkan perasaannya!

"Ah, kiranya Su-wi adalah tokoh-tokoh Kong-thong Lo-jin? Aku Sie Biauw Eng merasa menyesal bahwa dahulu telah kesalahan tangan menewaskan Kok Cin-cu Totiang. Akan tetapi apakah anehnya kalah menang, terluka atau tewas dalam pertandingan? Yang jelas, dahulu sampai sekarang, aku tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan Kong-thong-pai. harap Locianpwe berempat suka menghabiskan saja urusan ini dan membiarkan aku dan Suci lewat dengan aman."

"Hemmm....! Sucimu kau bilang?" Kok Kim Cu, tosu ke tiga dari Kong-thong Ngo-lo-jin, berkata sambil memandang Hun Bwee dengan penuh selidik. "Song-bun Siu-li! Siapakah yang tidak tahu bahwa engkau adalah puteri Lam-hai Sin-ni dan sumoi dari si iblis betina Ang-kiam Tok-sian-li yang sekarang berjuluk Ang-kiam Bu-tek? Dan nona ini sama sekali bukanlah Ang-kiam Bu-tek!"

"Sumoi, empat orang kakek tua bangka yang usianya sudah tidak seberapa lagi akan tetapi suka sekali mencari urusan ini siapakah? Dan mengapa mereka ini menghadangmu di sini?"

Biauw Eng lega bahwa saat ini sucinya waras benar, kalau sedang kumat dan menghadapi halangan seperti ini, bisa berabe sekali!

"Suci, keempat orang Locianpwe ini adalah tokoh-tokoh besar Kong-thong-pai. Dahulu dalam sebuah pertandingan yang terjadi tanpa dasar permusuhan pribadi, aku telah kesalahan tangan membunuh seorang di antara mereka dan sekarang mereka itu hendak menghukum aku."

Hun Bwee mengarahkan pandang matanya kepada empat orang tosu itu, kemudian berkata,

"Kalian ini empat orang tosu benar-benar memiliki pandangan yang amat dangkal dan cupat! Di antara kaum persilatan, sudah lumrah kalau terjadi kematian dalam pertandingan mengadu ilmu. Kalau setiap orang yang tewas dalam pertandingan lalu dijadikan urusan dendam, tentu dunia ini akan penuh dengan orang yang saling dendam! Sumoiku sudah mengatakan bahwa ketika dia bertanding sampai berakhir dengan tewasnya temanmu, tidak ada dasar urusan pribadi, tidak ada permusuhan. Mengapa kalian tidak mau mengerti? Bagaimana kalau dalam pertandingan itu kebetulan Sumoiku yang kalah lihai dan tewas, lalu apa yang akan kalian lakukan? Apakah kalian juga mengharapkan balas dendam dari keluarga Sumoi?"

Empat orang tosu itu menjadi merah mukanya. Memang mereka pun maklum bahwa antara Kong-thong-pai dan puteri Lam-hai Sin-ni tidak ada permusuhan pribadi dan yang mereka musuhi adalah Cian Keng Hong sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong yang menjadi musuh Kong-thong-pai. Akan tetapi puteri Lam-hai Sin-ni itu membela Keng Hong sehingga mengakibatkan tewasnya seorang di antara Lima kakek Kok-thong-pai. Sekarang, kebetulan sekali seorang anak murid Kong-thong-pai melihat Biauw Eng di jalan dan melapor, masa mereka harus tinggal diam saja?

"Song-bun Siu-li! Kami berempat datang menemuimu di sini bukan untuk mengobrol dan berdebat! Lekas kau membunuh diri di depan kami atau terpaksa kami yang akan mengantar nyawamu menghadap sute kami!" Kembali si buta sebelah menghardik dan tongkat bambunya di todongkan ke arah Biauw Eng.

Biauw Eng tersenyum mengejek.
"Totiang, ucapanmu benar-benar tekebur sekali. Dan kurasa karena kesombongan inilah pula maka dahulu Kok Cin-cu tewas! Aku tidak bersalah, tidak membunuhnya dengan sengaja karena membencinya. Kalau kalian tidak menerimanya dan hendak membalas, silahkan. Aku tidak takut menghadapi kalian dan kalau dalam pertandingan ini kalian nanti sampai tewas pula, hal itu terjadi bukan karena aku sengaja membunuh kalian. Tidak ada dendam dan benci di hatiku, seperti yang terdapat di hati kalian!"

"Hemmm.... mendiang Sin-jiu Kiam-ong banyak dosanya terhadap kami, muridnya akan kami hukum, engkau membelanya! Engkau puteri Lam-hai Sin-ni, mana bisa bicara tentang sopan-santun kang-ouw? Engkau adalah tokoh golongan sesat!"

Teriak Kong Liong-cu, tosu ke dua sambil menerjang maju dengan tangannya. Terdengar bunyi berkerotokan dan tangannya telah berubah merah, mencengkeram ke arah pundak Biauw Eng.

Biauw Eng maklun akan kelihaian empat orang tosu itu maka cepat ia meloncat jauh ke belakang sambil melolos sabuk suteranya. Empat orang tosu itu memang lihai. Mereka ini adalah empat di antara Kong-thong Ngo-lo-jin yang amat terkenal dengan ilmu pukulan mereka yang disebut Ang-liong-jiauw-kang (Cakar Naga Merah)!

Betapapun lihainya mereka itu, kalau maju seorang demi seorang, tentu saja bukanlah lawan Biauw Eng! Dahulu pun, sebelum Biauw Eng digembleng oleh Bo-bi Thai-houw, seorang di antara mereka, Kok Cin-cu, tewas di tangan dara perkasa ini. Apalagi sekarang setelah ilmu kepandaian Biauw Eng menanjak dengan hebatnya. Akan tetapi, empat orang kakek itu tidak maju satu-satu, melainkan berbareng mereka menerjang Biauw Eng.

Kok Sian Cu yang tertua dan paling lihai sudah menggerakan tongkat bambunya yang ternyata hebat sekali, cepat dan menjadi sinar dengan getaran yang amat kuat mengeluarkan suara mencicit. Kok Liong-cu, orang ke dua, menggunakan pedang dan gerakannya pun hebat, berdesing-desing bunyi mata pedang memecah udara. Kok Kiam-cu orang ke tiga juga menggunakan pedang, sedangkan Kok Seng-cu lebih mengandalkan sepasang tangannya yang membentuk cakar naga!

Diserang oleh empat orang pandai ini, Biauw Eng mengeluarkan pekik melengking dan sabuk suteranya sudah bergulung-gulung dengan hebatnya, menyambut dengan tangkisan dan membalas dengan totokan-totokan yang tidak kalah hebatnya. Namun, pengeroyokan empat orang tokoh Kong-thong-pai yang lihai itu terlalu berat sehingga Biauw Eng terpaksa menggunakan ginkangnya berkelebatan ke kanan kiri.

"Tosu-tosu tua yang tak tahu malu, mengeroyok seorang gadis muda!"

Tiba-tiba Hun Bwee berseru keras dan tampaklah sinar pedang hitam bergulung-gulung menimbulkan angin yang dahsyat.

Empat orang kakek itu terkejut dan maklum bahwa suci Biauw Eng ini ternyata juga amat lihai. Maka dua di antara mereka, yaitu Kok Kiam-cu dan Kok Seng-cu, sudah memisahkan diri dan menyambut terjangan wanita baju merah ini. Biauw Eng juga terkejut melihat majunya Hun Bwee. Kalau ia teringat betapa Hun Bwee menyiksa Siauw Lek, ia masih merasa ngeri. Ia tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukan sucinya itu kalau sudah kumat. Sekarang, selagi masih waras, lebih baik ia cepat memberi peringatan,

"Suci, mereka ini bukan musuh. Harap kau tidak membunuh mereka!"

"Hemmm....baiklah, Sumoi."

Empat orang tosu itu marah bukan main, Ucapan kedua orang gadis itu benar-benar merupakan tamparan bagi mereka. Merupakan penghinaan karena jelas bahwa kedua orang gadis ini memandang rendah! Seolah-olah dua orang itu dapat mengatur untuk mengalahkan, untuk membunuh atau tidak membunuh, seenaknya saja!

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: