*

*

Ads

FB

Kamis, 25 Agustus 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 144

Keng Hong mengangguk-angguk dan menelan ludahnya, baru bisa bicara.
"Memang benarlah, Sumoi. Aku telah jatuh cinta kepada seorang gadis lain. Maafkan Sumoi. Aku telah berterus terang, sekarang kuminta Sumoi suka berterus terang pula. Apakah Sumoi cinta padaku?"

Wajah gadis itu berubah agak pucat, sampai lama ia menatap wajah tampan di depannya itu, lalu bertanya,

"Dan gadis itu.apakah dia juga mencintamu?"

Keng Hong menggeleng kepala. Sejenak terjadi perang dihatinya. Dahulu memang Biauw Eng mencintanya, bahkan mengaku cinta di depan ibunya sendiri, di depan banyak tokoh, secara terang-terangan.

Akan tetapi dalam pertemuan terakhir, Biauw Eng telah menyatakan benci kepadanya! Apakah bedanya antara cinta dan benci? Sukar membedakan kalau dia teringat akan sikap Biauw Eng.

"Tidak, dia malah... membenciku, Sumoi!"

Gadis itu menunduk, agaknya menahan senyum karena kembali ia merasa geli hatinya melihat sikap dan mendengar jawaban Keng Hong merendahkan kepalanya untuk mengintai muka yang tunduk itu, keningnya berkerut dan dia menuntut,

"Kenapa kau tertawa, Sumoi? Kau malah menertawakan aku yang dibenci padahal aku mencinta sedangkan dahulu aku yang benci dia dan dia mencintaku dan..."

Tiba-tiba Keng Hong sendiri tak dapat menahan ketawanya melihat betapa gadis itu terbatuk-batuk menahan ketawa dan keduanya lalu tertawa-tawa sambil memegangi perut karena geli!

"Wah, kalau begini terus kita berdua bisa gila, Suheng!"

Gadis itu menahan ketawa sambil mengusap air matanya. Saking geli hatinya ia tadi tertawa sampai keluar air mata.

Keng Hong juga mengusap dua butir air mata yang dia tidak tahu lagi apakah karena tertawa ataukah karena hatinya sakit mengingat Biauw Eng.

"Baiklah, Sumoi. Memang seharusnya kita berdua sebagai manusia-manusia sadar, membicarakan urusan perjodohan kita ini sebelum terlanjur. Percayalah, Sumoi. Andaikata di sana tidak ada gadis itu yang aku tidak tahu entah cinta entah benci kepadaku, demi Tuhan, ajakan perjodohan ini akan kusambut dengan kebahagian besar sekali. Karena itu, agar urusan ini dapat kita pecahkan bersama dengan kesadaran sehingga yang aku lakukan adalah hal yang sudah kita ketahui jelas dan tidak secara membuta, katakanlah sesungguhnya apakah engkau cinta kepadaku!"

"Aku mengerti maksudmu, Suheng dan hal ini malah menambah kekagumanku kepadamu. Engkau laki-laki yang jujur dan memang sebaiknya berterang begini, apalagi menghadapi urusan perjodohan yang akan mengikat kita satu sama lain untuk selama hidup. Tentang cinta, terus terang saja aku sendiri tidak tahu dan tidak mengerti. Aku suka kepadamu, Suheng, dan kiranya kalau dipaksa harus memilih di antara seribu orang pemuda untuk menjadi jodohku, tanpa ragu-ragu lagi aku akan memilihmu. Akan tetapi tentang cinta...? Hemmm, Suheng, mungkin engkau yang lebih berpengalaman daripada aku dapat menjelaskan, apakah sebenarnya cinta itu? Dan bagaimana? Aku tidak tahu bagaimana aku dapat menjawab pertanyaanmu apakah aku cinta kepadamu atau tidak? Coba kau jelaskan padaku, Suheng. Apa sih cinta itu?"






Keng Hong mengerutkan alisnya. Berabe, pikirnya. Itu bukan jawaban namanya! Dan dia malah harus memberi kuliah tentang cinta, sedangkan dia sendiri mengenai urusan cinta kasih masih kelas nol! Urusan cintanya dengan Biauw Eng saja kacau balau tidak karuan. Akan tetapi, dia harus menjawab! Maka dia lalu mengurut-urut dahinya seperti aksi seorang guru besar hendak memberi kuliah,

"Cinta? Apa itu yang dinamakan cinta? Hemmm... cinta itu asmara... cinta itu kasih, cinta itu sayang... hemmm, cinta itu ya cinta, aku sendiri pun tidak mengerti!"

Ia memandang wajah Yan Cu yang semenjak tadi mendengarkan penuh perhatian seolah-olah pandang matanya tergantung pada bibir Keng Hong. Ketika mendengar kalimat terakhir ini, Yan Cu terkekeh dan mencubit lengan Keng Hong dengan gemasnya, sampai Keng Hong teraduh-aduh kesakitan.

"Engkau mempermainkan aku, Suheng!" kata Yan Cu gemas.

"Wah, lihat kulit lenganku sampai biru. Kau memiliki kuku yang lebih jahat daripada kuku Ang-bin Kwi-bo!"

Mereka berdua kembali tertawa-tawa geli.
"Aihhh, kiranya orang yang hendak kumintai kuliah tentang cinta juga menghijau, tidak lebih pintar dan tidak lebih bodoh dari aku sendiri. Suheng, apakah pernikahan harus disertai cinta?"

Kembali Keng Hong memasang muka sungguh-sungguh.
"Harus! Mutlak! Syarat utama!"

"Tapi engkau tidak tahu apa itu cinta!"

"Cinta sukar dimengerti, hanya dapat dirasakan oleh hati." Keng Hong membantah.

Yan Cu bangkit berdiri dan berjalan maju lima langkah. Pakaiannya yang berwarna kuning terbuat dari sutera halus itu berkibar tertiup angin, juga rambutnya berkibar. Indah sekali pemandangan ini. Cantik jelita luar biasa gadis ini! Keng Hong benar-benar kagum dan kembali dia menghela napas. Kalau saja di sana tidak ada Biauw Eng. Kemudian dia mendengar dara jelita itu bernyanyi, suaranya merdu sekali dan kata-kata dalam nyanyian itu membuat Keng Hong bengong terlongo :

"Cinta kasih asmara begitu indah mempesona begitu rumit berbahaya manis mengatakan madu pahit mengatakan empedu dapat mencipta sorga juga menyeret ke neraka! Cinta kasih asmara perpaduan rasa mesra suka sayang dan iba. Ingin menyenangkan dan disenangkan hatinya Ingin memiliki dan dimiliki tubuhnya Ingin mengikat dan diikat hidupnya Harus mencakup seluruhnya satupun tak boleh kurang Lengkap mendatangkan bahagia mencipta sorga di dunia Kurang satu saja menjadi goyah berantakan gugur Menimbulkan derita sengsara Menyeret ke neraka penuh duka!"

Keng Hong meloncat dan memegang lengan gadis itu dari belakang, menarik tubuhnya sehingga membalik dan mereka berhadapan, beradu pandang. Keng Hong mencela sumoinya,

"Wah, ternyata engkau adalah seorang guru besar tentang cinta! Sajakmu itu indah sekali, Sumoi."

Yan Cu menggeleng kepala dan kembali mereka duduk di atas rumput berhadapan.

"Keliru dugaanmu, Suheng. Sajak itu memang indah, akan tetapi aku hanya membacanya dalam sebuah kitab, entah kitab apa aku tidak ingat lagi. Akan tetapi biarpun indah, sayang sekali, aku tidak mengerti artinya sehingga sampai sekarang pun aku tidak mengerti apa itu yang disebut cinta!"

"Aku belum mengerti betul, Sumoi. Memang agaknya urusan cinta ini hanya bisa dimengerti karena pengalaman. Marilah kita mencoba mempelajarinya dari sajakmu tadi."

"Engkau yang coba menjelaskan kepadaku, Suheng, setidaknya engkau tentu lebih berpengalaman daripada aku yang sama sekali tidak tahu."

Merah wajah Keng Hong. Teringat dia akan pengalamannya dengan Bhe Cui Im yang merupakan wanita pertama yang merenggut tubuhnya, akan tetapi terang itu bukan cinta melainkan nafsu berahi semata. Teringat pula dia akan pengalamannya dengan Sim Ciang Bi, dengan Kim Bwee Ceng dan Tang Swat Si. Mungkin sekali di antara tiga orang wanita yang telah tewas itu ada perasaan cinta, akan tetapi dia tidak mengangap peristiwa itu merupakan cinta kasih baginya, melainkan nafsu berahi pula, sungguhpun tidak sekasar pengalamannya dengan Cui Im. Kemudian dia teringat kepada Biauw Eng dan dia menjadi bingung lagi.

"Sajakmu menyatakan bahwa cinta dapat mencipta bahagia dan mencipta sengsara, itu tepat sekali. Memang demikianlah, seperti yang kualami sendiri. Sekarang ini cinta sedang menyeret aku ke neraka sehingga gadis yang dahulu mencintaku itu sekarang membenciku! Dikatakan pula dalam sajak itu bahwa cinta adalah perpaduan antara rasa suka, sayang dan iba. Nah, engkau bilang suka kepadaku, Sumoi, akan tetapi apakah engkau juga merasa sayang dan iba ?"

Gadis itu mengerutkan alis dan berpikir dan menggeleng kepala.
"Aku suka kepadamu, Suheng, dan aku merasa iba ketika engkau sakit. Kalau engkau sehat dan segar bugar begini, kenapa mesti menaruh iba?”

Keng Hong mengangguk-angguk dan tersenyum. Lagaknya seperti seorang guru yang merasa senang mendengar jawaban yang tepat dari muridnya.

"Nah, itu tandanya bahwa engkau tidak mencinta aku! Sekarang kita lanjutkan. Cinta itu adalah rasa ingin memiliki dan dimiliki tubuhnya, hemmm, ini tentu ada hubungannya dengan nafsu. Ingin menyenangkan dan disenangkan hatinya, hemmm, ini tentu timbul dari rasa sayang dan iba yang timbal balik. Ingin mengikat dan diikat hidupnya, wah yang tentu timbul dari kesadaran berkewajiban dan dari perasaan cemburu! Nah, sekarang kau coba menyelidiki hatimu sendiri, Sumoi. Pertama, apakah... apakah timbul... eh, nafsu berahimu kalau kau melihat aku?"

Semenjak kecil Yan Cu tinggal di puncak gunung bersama subonya, urusan cinta dia gelap sama sekali, apalagi mengenai pertanyaan itu yang hanya dapat ia kira-kira artinya oleh perasaan kewanitaannya, namun tentu saja sulit sekali untuk menjawabnya. Ia mengerutkan alisnya dan bibirnya yang merah basah itu cemberut.

"Hemmm, agaknya sukar bagimu, Sumoi. Sekarang kuajukan pertanyaan ini dengan cara yang jelas. Begini!" Keng Hong mengerutkan alisnya yang tebal mendekatkan mukanya dan matanya memandang tajam seolah-olah hendak menyihir gadis itu, lalu dia bertanya, "Apakah kalau engkau berdekatan dengan aku, engkau mempunyai perasaan ingin sekali.. Eh, kupeluk dan kucium...?"

Sepasang mata yang indah itu tiba-tiba membelalak dan mukanya ditarik ke belakang seolah-olah takut kepada muka Keng Hong yang mendekat itu. Akan tetapi Yan Cu menjawab juga,

"Kalau hatiku sedang gembira, hemmm... mungkin ada juga perasaan itu karena aku suka padamu dan engkau tampan, Suheng. Akan tetapi sekarang ini... melihat engkau begini kusut, kotor, berhari-hari tidak berganti pakaian... hemm, tentu saja sama sekali tidak ada perasaan itu, Suheng!"

Keng Hong membelalakkan mata dan meloncat bangun.
"Wah, celaka, aku sampai lupa..! Nanti dulu, Sumoi... Aku... aku mau mencuci muka dulu...!"

Keng Hong lari cepat meninggalkan gadis itu mencari air di lereng gunung. Yan Cu tertawa geli, bahkan terkekeh-kekeh seorang diri setelah Keng Hong pergi, akan tetapi ia mengakhiri kegelian hatinya dengan duduk bersunyi sendiri, termenung memikirkan keputusan yang diambil gurunya. Ia mengerti bahwa agaknya tidaklah sukar baginya untuk jatuh cinta kepada seorang pemuda seperti Keng Hong. Akan tetapi kalau pemuda yang menjadi suhengnya itu telah terang-terangan menyatakan mencinta gadis lain, dan hatinya sendiri tidak merasa sakit mendengar pengakuan itu, dia tahu bahwa dia barulah tertarik dan suka belum jatuh cinta. Untung suhengnya berterus terang sehingga rasa sukanya tidak berlarut-larut menjadi cinta. Akan tetapi subonya telah menentukan hal itu, bagaiamana baiknya?

Yan Cu masih termenung ketika Keng Hong datang kembali. Pemuda itu sudah mencuci muka, bahkan rambutnya masih basah, wajahnya nampak segar. Yan Cu memandang dengan hati geli. Keng Hong duduk lagi menghadapi sumoinya itu dan berkata,

"Nah, aku sudah bersih, tidak menakutkan lagi sekarang. Bagaimana, Sumoi?"

"Bagaimana apa?"

"Apakah sekarang ada perasaan di hatimu, ingin kupeluk dan kucium?"

Yan Cu mengeleng kepalanya. Keng Hong menganguk-angguk girang.
"Bagus, itu tandanya kau tidak cinta padaku. Sekarang pertanyaan yang merupakan ujian terakhir! Engkau dengar baik-baik,,,,, Sumoi! Aku... eh, terus terang saja... aku... Aku pernah melakukan hubungan jasmani dengan Bhe Cui Im si iblis betina, pernah pula melakukan hubungan hanya berdasarkan nafsu berahi dengan tiga orang gadis lain!”

Wajah Yan Cu mendadak menjadi merah sekali dan mulutnya cemberut, matanya memandang merah.

"Ihhh, cabul! Kenapa engkau ceritakan hal semacam itu kepadaku, Suheng?"

"Jawablah! Setelah mendengar ini ditambah lagi, aku mencinta seorang gadis bernama Sie Biauw Eng, aku mencintanya setengah mati, nah, setelah kau mendengar ini bagaimana rasanya hatimu?"

Yan Cu menjawab cemberut.
"Rasanya muak mendengar yang pertama, dan terharu mendengar yang kedua."

"Kau.. kau tidak marah? Aku bermesra-mesraan dengan gadis-gadis lain itu, bagaimana?"

"Bagaimana... bagaimana maksudmu? Aku muak mendengarnya!"

"Tidak cemburu? Tidak iri?"

"Mengapa mesti cemburu dan iri? Kau ingin bermesraan dengan seluruh monyet betina di gunung inipun silakan!"

Keng Hong tertawa bergelak, memegang pundak Yan Cu, menarik gadis itu berdiri dan berjingkrakan menari-nari saking gembiranya.

"Kau tidak cinta padaku! Kau tidak cinta padaku! Aduh, Sumoiku yang baik, engkau telah menolongku!"

Yan Cu menarik tangan Keng Hong.
"Jangan bergirang-girang dulu, Suheng. Subo sudah memutuskan perjodohan itu. Bagaimana?"

Keng Hong menjadi serius kembali dan sambil menarik tangan Yan Cu, dia mengajak gadis itu duduk kembali di atas rumput, berhadapan dan saling pandang dengan wajah serius.

"Benar, Subo telah mengancam bahwa kalau aku menolak, dia akan membunuhku!"
Keng Hong menggigit-gigit kuku telunjuk kanannya, kedua alisnya berkerut.

"Bagaimana baiknya, Suheng?"

"Menolak perintahnya, berati aku akan menjadi orang yang paling hina, tidak ingat budi, apalagi kalau aku melawannya. Tidak menurut perintahnya, hem.. tanpa cinta, kita berdua kelak akan terseret ke neraka penderitaan, disamping menghancurkan hati Biauw Eng, yaitu kalau dia benar mencintaku. Sumoi, baiknya kita mengambil jalan tengah saja!"

"Jalan tengah bagaimana, Suheng?"

"Kita menghadap Subo dan menyatakan terus terang bahwa kita berdua hendak membuktikan dulu apakah kita berdua saling mencinta. Tanpa cinta kita berdua rela mati di tangan Subo. Aku akan menyatakan terus terang bahwa yang menjadi penghalang sambungan cinta kita adalah karena aku mencinta Biauw Eng, dan aku belum tahu apakah gadis itu mencintaku ataukah membenciku. Kita berdua akan mencarinya, kalau sudah bertemu dan kita mendapatkan bahwa Biauw Eng memang membenciku, kita akan kembali ke sini dan menerima keputusan Subo. Karena, kalau Biauw Eng tidak mencintaku, maka sudah pasti akan menumpahkan seluruh cinta kasihku kepadamu, Sumoi!"

"Aihhh, kenapa cinta kasih kau pindah-pindahkan seenakmu saja seperrti orang memindahkan kursi atau meja, Suheng?"

"Bukan begitu, Sumoi. Cinta kasih memang tidak akan dipindah-pindahkan seperti itu. Akan tetapi seperti dalam sajak tadi, cinta kasih itu harus berimbang dari kedua fihak, saling memberi dan saling meminta, kurang satu saja menimbulkan sengsara. Biarpun aku mencinta Biauw Eng, apakah aku harus menggerogoti hatiku sendiri sampai coplok? Di atas segala macam perasaan, termasuk perasaan cinta, masih ada kesadaran yang paling tinggi, Sumoi, yang akan menuntut kita mengatasi segala akibat perasaan sehingga mencegah kita melakukan hal yang bukan-bukan, misalnya karena asmara gagal lalu minum racun tikus dan lain-lain perbutan rendah dan keji untuk membunuh diri! Eh, kita melantur lagi. Bagaimana pendapatmu, Sumoi? Setujukah engkau?"

Gadis itu mengangguk-angguk.
"Baiklah, Suheng. Memang selain engkau harus yakin dulu akan cintamu terhadap gadis itu aku sendiri harus mempelajari dulu bagaimana sebetulnya perasaanku terhadap dirimu. Mudah-mudahan saja kalau kelak ternyata kau tidak dapat melanjutkan tali cintamu dengan gadis itu dan hendak "pindah" kepadaku, aku bisa menerimanya. Siapa tahu, kelak aku jatuh cinta kepada orang lain sehingga tak dapat membalas cintamu."

"Wah, celaka kalau begitu... Biauw Eng putus, engkau luput..., habis bagimana kelak dengan aku?”

Keng Hong menggaruk-garuk kepalanya dan Yan Cu tertawa. Gadis ini sudah mendapatkan kembali kegembiraannya.

"Kalau memang kelak terjadi begitu yaaaahhh, engkau rasakan saja, Suheng, hitung-hitung engkau melanjutkan nasib mendiang gurumu. Eh, kurasa tidak baik kalau kita menanti Subo. Aku mengenal watak Subo. Di waktu dia sedang marah, hatinya keras bukan main dan mungkin kita akan dibunuhnya seketika. Sebaliknya, kalau hatinya lagi lunak, dia merupakan orang yang paling sabar. Sebaiknya kita jangan mempertaruhkan nyawa. Lebih baik kita pergi saja sebelum dia pulang dan kita meninggalkan surat kepadanya, menjelaskan segala maksud kita. Biarpun dia marah, kalau kita tidak ada, akhirnya hatinya akan lunak dan dia akan memaafkan kita."

Keng Hong memegang kedua lengan gadis itu, memandang dengan mata bersinar-sinar gembira dan berkata,

"Yan Cu, kalau di sana tidak ada Biauw Eng kalau kita sudah jelas saling mencinta, saat ini kau sudah kupeluk dan kugigit bibirmu yang manis ini!"

"Ihhh! Pantas kalau Biauw Eng membencimu! Engkau... genit sih!"

Gadis itu melepaskan tangannya dan berlari cepat menuruni puncak, kembali ke pondok diikuti Keng Hong. Mereka berdua lalu membuat surat dan pada hari itu juga pergilah mereka meninggalkan tempat itu. Tentu saja pusaka peninggalan gurunya yang telah dia rampas dari Cui Im, dia bawa, demikian pula pedang Siang-bhok-kiam.

**** 144 ****
Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: